MAKALAH TENTANG Hukum Pidana Pertanggung

MAKALAH
TENTANG

Hukum Pidana (Pertanggung jawaban Pidana Anak)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Disusun Oleh : Nursyifa Maudina Hasanah
Tingkat/Kelas : I/Akuntansi B

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS KUNINGAN
Tahun 2013/2014

Kata Pengantar

Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu
yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju

zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Pidana”.
Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang
konsep yang ada didalamnya.

Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca,
sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.

Penyusun

BAB I
Pendahuluan
A.Latar Belakang
Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena
seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam
pengawasan orang tua atau walinya.
Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem

peradilan pidana adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun
dan belum pernah menikah.
Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.
Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang
berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan
meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain semakin
meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang
melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan anakanak.
Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy
para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal dalam
berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai
arah kebijakan hokum dimasa depan.
Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan
perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh karena
itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami modernisasi dan tidak ada
satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya negara Indonesia yang menuntut
dilakukannya perubahan disegala bidang, diantaranya perubahan bidang hokum dengan
memunculkan pemikiran-pemikiran baru untuk mereformasi hokum yang ada saat ini.


B.Rumusan Masalah
A. Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak.
B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif
D. Contoh Tindak Pidana Yang di Lakukan Oleh Anak

BAB II
Pembahasan
A.Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan
pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah
seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia
dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang
dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.
Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu
dilakukan, yaitu :
1.


Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan
undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.

2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut,
apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggungjawaban

pidana

mengsyaratkan

pelaku

mampu

bertanggungjawab.

Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan


pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu
dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya
kemampuan bertanggungjawab itu.
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal
44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit”.
Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemapuan
bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan
perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan
yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya,
menurut kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak
mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut
pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam
tubuhnya.
Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(Criminee Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undangundang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel
wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915)
dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan
perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap
perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan
pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam

rumusan

undang-undang,sedangkan

menurut

teori


pengetahuan

atau

teori

membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia
hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya
“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai
maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan
bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Kedua

teori

Moeljatno

tersebut

lebih


cenderung

kepada

teori

pengetahuan

dan

membayangkan,alasannya adalah :
Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk
menghendaki sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran)
tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.
Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah,
bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah,
bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan
bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai
(2)antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.

Secara umum ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan
tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini
merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu
dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3.

Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan

timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula
dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.
Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan
resmi dari pihak pembentuk WsV sebagai berikut:

Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan
pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu
mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang
dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka

yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu karena
kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah
menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang
dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga
menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.
Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa
kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya
sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya kemampuan
bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam
kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan
larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang
menimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak,
hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan

Pemidanaan

terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ii
disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas
perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak

mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang
dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.
Pemberian

pertanggungjawaban

terhadap

anak

harus

mempertimbangkan

perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang
salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah
generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang
dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997
pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c) Pidana denda (d)
pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu
dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang
anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan
belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur
terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan; (1)
dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan
kepada negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus
diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang
perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.
Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur
perlindungan terhadap anak yaitu:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak
2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak
5.

Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga.
6.

Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari

labelisasi.
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang
dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana.

Contohnya pasal 43 ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan
anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam
pasal 44 ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari.
Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang
belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan bahwa “Dalam
jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 sudah harus
menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari
polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat
khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
Pembinaan terhadap anak yang terlanjur melakukan tindak pidana merupakan
tanggung jawab semua pihak. Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
memperbaiki kondisi anak yang sudah terlanjur masuk ke dalam proses hokum. Masyarakat
berkewajiban mengontrol perbaikan anak sehingga tidak mengulangi tindakan kriminal lagi atau
menjadi kriminal kambuhan. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan yang sudah
berpengalaman dalam menangani permasalahan sosial cukup efektif untuk menjadi tempat
pemidanaan dan pemulihan anak setelah terlanjur terjerumus kedalam perilaku kriminal
sebelumnya. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan tersebut dapat menjadi pembinaan
dan pendidikan serta bimbingan semua pihak diharapkan agar anak tersebut dapat terus
berkembang kearah yang baik dan tidak mengulangi tindakannya kembali.
Lembaga pemasyarakatan anak sebagai tempat pembinaan narapidana anak, lembaga
tersebut diharapkan dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar anak dapat menjadi
anggota masyarakat yang baik setelah selesai menjalankan pembinaan. Pembentukan dan
pengembangan

keikut

sertaan

lembaga-lembaga

tersebut

perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hokum.

dalam

upaya

memberikan

Lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan, pembinaan,
perawatandan pendidikan. Selanjutnya dalam upaya perlindungan terhadap anak diperlukan
adanya kerjasama antara lembaga sosial dan lembaga pemerintah lainnya yang mempunyai
kepedulian terhadap anak. Dalam pasal 5 UU No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang
menyatakan bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:
1. Pengayoman
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan
3. Pendidikan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan Kemerdekaan
7. Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para
terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi
masyarakat yang baik dan taat hokum. Program pemasyarakatan bagi narapidana anak
bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah
dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program yang dibuat dalam
lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktivitas yang dapat
mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga
pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti hobi,
pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya semaksimal sesuai
dengan kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan sekolah khusus didalam lembaga.
Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan
kerja untuk bekal selesai menjalani pembinaan.
Di Indonesia anak yang dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3 golongan
yaitu:

a.

Anak pidana, yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi pidana

perampasan kemerdekaan
b. Anak negara, yakni seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang diserahkan
pada negara untuk dididik sampai dengan usia 18 tahun.
c.

Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan permintaan orang tua/walinya memperoleh

penetapan dari pengadilan negeri, dititipkan ke lembaga pemasyarakatan khusus anak.
Pembinaan terhadap anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman n0.2-PK04.10
tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan anak dilakukan dalam 4 tahap
yaitu:
1. Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap maximum security yaitu 0-1/3 masa pidana. Pengawasan
pada tahap ini cukup ketat dikarenakan pembina belum mengetahui akan sifat, watak dan
perilaku dari narapidana tersebut. Tahap ini diawali dengan tahap admisi dan orientasi. Tahap
admisi dan orientasi dimulai sejak seorang anak memasuki lembaga yang dilengkapi dengan
surat lengkap (vonis), lama pidananya dan untuk penentuan tanggal bebasnya. Kegiatan yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah pengenalan lembaga, pengenalan petugas lembaga,
penjelasan mengenai hak dan kewajiban anak didik dilembaga dan penyidikan mengenai
identitas pribadi narapidana, pendidikan narapidana yang terakhir, pekerjaan, keadaan
lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan
sekolah dan motif pidana (sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang diancam oleh
UU).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut penting dalam upaya
penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai dengan diri narapidana anak
tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan 1(satu) minggu sedangkan untuk anak
negara, anak didik, dan anak sipil adalah 1(satu) bulan.
Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports yang dibuat oleh
Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam kenyataannya terkadang ada
narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak melampirkan penelitian dari bapas dan
hal ini merupakan kendala sehingga pembina harus melakukan pendataan ulang.

2. Tahap Kedua
Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan pertama untuk anak negara dan sipil dan
untuk anak narapidana anak dilakukan antara 1/3 sampai ½ masa hukuman. Tahapan ini
merupakan tahap medium security, karena pengawasan pada tahap kedua ini tidak seketat
pada tahap pertama.
Pada tahap kedua ini pengawasan dilakukan hanya untuk mengetahui bagaimana
narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan peraturan yang berlakudalam
lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini telah diadakan evaluasi terhadap program tahap pertama.
Tahap kedua ini narapidana telah memperoleh pendidikan umum, pendidikan mental,
pendidikan sosbud, pendidikan kepribadian, pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan,
dan bekerja dalam lapas.
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi yaitu narapidana mendapatkan pembinaan
dengan kesempatan untuk melakukan kerja pada tempat latihan milik lapas diluar lingkungan
lapas seperti kegiatan perkebunan diluar lapas.
Usia anak negara dan anak sipil yang berada pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6
(enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak narapidana saat menjalani ½ sampai 2/3 masa
hukuman.
Pada tahap ini anak dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu sendiri secara lebih
mendalam meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai diperkenalkan dengan masyarakat
sekeliling lembaga melalui jalan olah raga, pramuka dan sebagainya.
4. Tahap Keempat
Tahap ini disebut tahap integrasi, dilaksanakan terhadap anak negara dan anak sipil
pada 6 (enam) bulan keempat, sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan setelah
menjalani 2/3 masa hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan
sangat kurang (minimum security) dan bagi anak didik yang betul-betul telah sadar dan
berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan, mereka dapat
mengusulkan:

a. Cuti Biasa
Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik, baik anak narapidana maupun anak negara
selama 2 (dua) minggu atau permohonan dari orang tua/wali didik anak, setelah waktu
tersebut , mereka harus kembali masuk lembaga.
b. Cuti Menjelang Bebas
Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara menjelang anak tersebut
berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun, sedangkan pada anak pidana setelah
2/3 ke atas masa hukumannya sampai habis pidananya.
c. Pelepasan Bersyarat
Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan pasal 15 sampai
dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti menjelang lepas ataupun
pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat dari Bispa disamping pernyataan
orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan mengawasi mereka. Hal ini dilakukan untuk
menghindari anak didik kembali ke lembaga sebagai residivis, inilah pentingnya pembinaan
sesuai pasal 277 dan 280 KUHAP.
Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga ditentukan anak didik dengan status anak
negara paling lama sampai usia 18 (delapan belas) tahun dan anak didik dengan status
narapidana 21 (dua puluh satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum selesai menjalani
masa hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman usia 12 (dua belas) sampai
usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-15 tahun. Setelah anak berusia 21
tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di LP dewasa.
Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem peradilan anak, memikirkan kembali
untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil tindakan lainnya. Hukuman terbaik bagi anak
dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat
keseriusan tindak pidananya. Ganti rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan
oleh sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang
atau kerja, baik langsung maupun penggantinya.

Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah kerja proyek masyarakat dibandingkan
dalam bentuk ganti rugi uang. Seorang anak yang diputus untuk ganti rugi oleh pengadilan
dapat dimasukkan kedalam program kerja secara berkelompok dengan teman-teman yang lain.
Ganti rugi dengan kerja proyek akan melatih anak untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab
atas hukuman yang diberikan kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi ganti rugi ini
sangat diperlukan dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak dalam rangka perlindungan
anak yang berkonflik dengan hukum.

C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif
Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk
upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hokum pidana dengan
mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media
massa. Konsep “Diversi dan Restorative Justice” merupakan bentuk alternative penyelesaian
tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua
pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep “Diversi dan
Restoratif Justice” merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang
dibeberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.
Adanya beberapa persoalan pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,
menuntut pentingnya dikaji pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

1.DIVERSI
Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan
keluar pelaku pidana anak dari sistem peradilan pidana anak. Diversi dilakukan untuk
memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak
menjadi pelaku kriminal dewasa.
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan
atau pemberiaan kesempatan kepada pelaku untuk berubah. Petugas harus menunjukkan
pentingnya ketaatan kepada hukum dengan cara pendekatan persuasif dan menghindarkan

penangkapan dengan menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan untuk melaksanakan
diversi. Penggunaan kekerasan akan membawa kepada sifat keterpaksaan sebagai hasil dari
penegak hukum.
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum
dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian
kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan
keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru menegakkan keadilan dalam masyarakat.

2.Pelaksanaan Diversi di Indonesia (Studi Kasus di Kota Bandung)
Konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia, awalnya konsep diversi ini
muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian
dan pemahaman dari wacana seminar yang diadakan tentang konsep diversi menumbuhkan
semangat dan keinginan untuk mengkaji dan memahami konsep diversi tersebut.
Konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke
proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum. Selanjutnya secara intern kelembagaan masing-masing
membicarakan kembali tentang konsep diversi dalam memberikan perlindungan terhadap anak
pelaku tindak pidana. Dari diskusi-diskusi intern yang dilakukan masing-masing lembaga
berkeinginan untuk membicarakan konsep diversi secara luas sesama aparat penegak
hukumyang terlibat dalam peradilan pidana terhadap anak.
Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi diantara aparat penegak
hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk membicarakan mengenai
langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana anak. Diskusi
yang dilakukan diantara aparat penegak hukum bertujuan mencari solusi yang terbaik dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Setelah adanya diskusi tersebut para hakim
di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk
memberikan perlindungan tehadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dengan
mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang tunggu khusus anak. Munculnya ide
pembuatan ruang khusus anak dan ruang tunggu anak untuk memberikan perlindungan

terhadap anak agar selama menunggu proses pengadilan dilangsungkan dan proses
penahanan anak terpisah dengan tahanan dewasa.
Untuk mewujudkan ruang sidang anak dan ruang tunggu anak tersebut ketua
Pengadilan Negeri Bandung mengadakab diskusi dengan pemerintah kota bandung dan
pemerhati masalah anak di Bandung. Diskusi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tanggapan
mengenai keinginan Pengadilan negeri Bandung untuk mendirikan ruang tunggu tahanan
khusus anak dan ruang tunggu anak. Diskusi yang dilakukan menghasilkan kesepakatan dan
keinginan serta dorongan untuk mewujudkan cita-cita besar Pengadilan Negeri Bandung untuk
memiliki ruang tahanan khusus anak dan ruang tunggu anak. Akhirnya pada tanggal 13 Agustus
2004 kedua ruang tersebut telah berhasil dibangun di Pengadilan Negeri Bandung.
Perhatian terhadap perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum terus dilakukan.
Secara continue dalam setiap kesempatan diskusi, hakim Pengadilan Negeri Bandung
membicarakan tentang perkembangan konsep diversi dan restorative justice. Melihat adeanya
perhatian yang serius aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Bandung, maka
UNICEF menetapkan kota Bandung sebagai Pilot Project dalam pelaksanaan konsep diversi
dan restorative justice di Indonesia.Berikut pelaksanaan peradilan pidana anak di Kota
Bandung.
a. Lembaga Kepolisian
Pasal 59 UU No.23 Tahun 2002 mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya
untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, termasuk anak
yang berhadapan dengan hukum. Selanjutnya dalam pasal 64 mengatakan bahwa
perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban tindak pidana.
Kepolisian kota Bandung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan
penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak.
Untuk memberikan perlindungan kepada anak, penyidik yang melakukan penyidikan adalah
penyidik polisi wanita yang memiliki minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Penyidikan oleh polisi wanita dimaksudkan untuk memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan.

Penyidik

perlu

meminta

pertimbangan

atau

saran

dari

pembimbing

kemasyarakatan, ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, dan sebagainya. Pemeriksaan anak
pelaku tindak pidana dilakukan diruang khusus dan bersifat rahasia.
Terhadap kasus berat seperti perkelahian yang menyebabkan lukanya seseorang, polisi
melakukan penangkapan terhadap anak pelaku tindak pidana. Saat penangkapan polisi segera
memberitahukan orang tua atau wali atau orang terdekat dengan anak tentang penangkapan
tersebut. Pemberitahuan tersebut penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
Sedang terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan dan penganiayaan ringan, polisi
berhak memberikan peringatan dan tindakan diversi.
Upaya penghindaraan penahanan dilakukan untuk mengurangi akibat negatif yang lebih
besar lagi. Tindakan untuk tidak menahan dikarenakan menurut penilaian bahwa anak tersebut
baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan anak tersebut masih dapat diperbaiki.
b. Lembaga Kejaksaan
Anak pelaku tindak pidana yang menurut penilaian sangat serius tindak pidananya
selanjutnya akan diproses oleh pihak penuntut umum untuk dilanjutkan ke proses persidangan.
Jaksa penuntut umum setelah mendapat laporan dari penyidik tentang kasusnya maka
penuntut umum membuat rencana penuntutan tterhadap kasus tersebut. Keputusan tuntutan
yang telah disetujui inilah yang akan diajukan ke lembaga pengadilan sebagai proses
pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pihak pengadilan.
Konsep ini dilakukan dengan hati-hati agar dalam penerapannya tidak menimbulkan
kesalahan pandangan sesama aparat penegak hukum yang terlibat dalam peradilan pidana
anak. Untuk itu dalam memahami dan melaksanakan kedua konsep tersebut dilakukan dengan
memberikan pemahaman dan pengertian secara continue agar tumbuh pemahaman tentang
perlindungan terhadap anak.
c. Lembaga Pengadilan
Berdasarkan UU Republik indonesia No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman
dalam pasal 10 Ayat 2 yang berbunyi “Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”, dan dalam pasal 15 ayat 1 disebutkan “Yang
dimaksud dengan Pengadilan Khusus dalam ketentuan ini antara lain adalah Pengadilan Niaga,

Pengadilan Hak Azasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan
Industrial yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara”, dengan demikian Pengadilan Anak berada dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Pengadilan anak mempunyai fungsi khusus, ke khususan itu secara normatif
dicerminkan dengan ketentuan hakim yang menyidangkan perkara anak secara khusus, artinya
tidak semua hakim dapat mengadili perkara anak, kemudian kekhususan itu juga terletak pada
acara persidangannya.

3. Restorative Justice
Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi
dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga
pelaku dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan
semua kerugian yang diderita oleh semua pihak.
Konsep Restorative Justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan
sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran
sebagai suatu pengrusakan norma hokum. Menurut pandangan konsep ini, penanganan
kejahatan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara akan tetapi merupakan
tanggung jawab masyarakat. Pelaksanaan konsep ini member banyak kesempatan kepada
masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah tindak pidana. Konsep ini juga
mempunyai suatu kerangka pikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak tanpa hukuman pidana.
Konsep Restorative Justice ini bertujuan untuk mencari jalan keluar dari model keadilan
tradisional yang berpusat pada penghukuman menuju kepada keadilan masyarakat yang
berpusat pada pemulihan. Dalam penyelesaian suatu kasus menurut konsep ini peran dan
keterlibatan anggota masyarakat sangat berguna dan penting untuk membantu memperbaiki
kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan yang bersangkutan.
Penyelesaian dengan system ini diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan
terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu
tindak pidana.

Dalam pelaksanaannya konsep ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada
korban untuk menyampaikan tentang kerugian yang dideritanya, baik kerugian materiil maupun
moril sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukan pelaku padanya. Konsep ini juga
memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menyampaikan sebab-sebab dan alasan
kenapa dirinya melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban dan
masyarakat.
Konsep ini dilaksanakan secara langsung terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum
pelaku masuk system peradilan pidana dan kasus yang masuk system peradilan pidana.
Konsep Restorative justice ini di beberapa Negara secara terus-menerus berproses secara
berlanjut dalam usaha melakukan peningkatan dan perkembangan kearah yang lebih baik
seperti halnya mengembangkan proses yang berlandaskan prinsip dan penerapan konsep
dalam praktiknya.

4.Pelaksanaan Konsep Restorative Justice di Indonesia
Di Indonesia pengembangan konsep Restorative Justice merupakan suatu yang baru,
yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan Pilot Project UNICEF tentang
pengembangan konsep Restorative Justice pada tahun 2004.
Restorative justice adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke
informal sbagai alternative terbaik penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum
dngan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akan datang.
Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan
yang diatur dalam pasal 16 ayat 3 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
bahwa “Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hokum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Sejalan dengan tujan Restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat
ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan terdakwa anak yang ditahan dari
terdakwa dewasa sejak saat bersangkutan tiba dari rutan.

Terdakwa anak yang menunggu waktu persidangan ditempatkan di ruang tunggu khusu
dengan didampingi oleh orang tua atau keluarganya dan atau petugas Bapas dan di ruangan itu
di sediakan pula buku-buku bacaan anak-anak dan remaja yang merupakan sumbangan dari
UNICEF.
Ruang sidang anak itu sendiri, tempat bagi terdakwa anak,sengaja tidak diberi tulisan
“terdakwa” dengan pertimbangan psikologis si anak agar merasa aman, bebas dan tidak
merasa dipermalukan selama menjalankan persidangan.
Selanjutnya dalam hal penuntutan pidana dari jaksa penuntut umum, jarang sekali
ditemukan adanya tuntutan pidana melankan tindakan agar apabila terdakwa anak tersebut
terbukti bersalah, dijauhi tindakan dikembalikan kepada orang tua atau setidak-tidaknya
sesuai/pas dengan lamanya terdakwa anak tersebut berada dalam tahanan sementara.
Upaya melaksanakan perintah UU agar penjatuhan pidana penjara terhadap anak
merupakan upaya terakhir maka putusan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan
terdakwa anak kepada orangtuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.
Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti semua perkara anak harus
dijatuhkan putusan berupa putusan dikembalikan kepada orangtua,karena hakim tentunya
harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu antara lain:
1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan
2. Anak tersebut masih sekolah
3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana
yang menghilangkan nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang
mengganggumerugikan kepentingan umum
4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut
secara lebih baik.
Hambatan pelaksanaan restorative justice di Bandung. Pertama aturan yang berlaku
dalam sistem hokum yang ada mewajibkan polisi dan jaksa penuntut umum untuk
menindaklanjuti perkara-perkara yang masuk.

Hambatan kedua yang dihadapi oleh penuntut umum, bahwa berdasarkan aturan yang
berlaku jaksa penuntut umum wajib mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya dan
atasan itulah yang berwenang memutuskan pidana atau tindakan apa yang akan dituntut
kepada terdakwa, sehingga dalam melaksanakan konsep restorative justice tersebut harus ada
pemahaman secara menyeluruh bagi semua komponen pelaksana peradilan anak.
Karakteristik pelaksanaan restorative justice di Bandung.
1.

Pelaksanaan restorative justice di Bandung ditujukan untuk membuat pelanggar

bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.
2.

Memberikan kesempatan kedua kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan dan

kualitasnya dalam bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, disamping itu untuk
mengatasi rasa bersalah secara konstruktif.
3.

Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban atau para korban,

orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, dan teman sebaya.
4. Penyelesaian dengan konsep resrorative justice ditujukan untuk menciptakan forum untuk
bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.
Berdasarkan karakteristik restorative justice tersebut diatas maka ada prasyarat yang harus
dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice, yaitu:
1. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku
2. Harus ada persetujuan dai pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem
peradilan pidana anak yang berlaku
3. Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan
diskresionerdukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem
peradilan pidana anak
Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep restorative
justice, adalah:

1.

Kasus tersebut bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang

banyak dan bukan pelanggar lalu lintas jalan
2. Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilang nyawa manusia, luka berat, atau cacat
seumur hidup
3.

Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaanyang serius yang

menyangkut dengan kehormatan.
Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah kasus yang telah
masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dam sistem peradilan
pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana)
Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justice di Bandung adalah
sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat, dapat
mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian
(bukan hanya korban dan pelaku) dan tujuan hendak dicapai melalui proses musyawarah
adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa
kenakalan anak tersebut.
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam restorative justice (musyawarah pemulihan) di Bandung
adalah:
1.

Korban dan keluaraga korban. Keterlibatan korban keluarga korban dalam penyelesaian

secara restorative justice tersebut penting sekali. Hal ini dikarenakan selama ini dalam sistem
peradilan pidana, korban kurang dilibatkan padahal korban adalah pihak yang terlibat langsung
dalam konflik (pihak yang menderita kerugian)
2.

Pelaku dan keluarganya. Pelaku adalah pihak yang mutlak dilibatkan, karena keluarga

pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih disebabkan karena usia pelaku yang belum
dewasa (anak).
3. Wakil masyarakat. Wakil masyarakat ini penting untuk mewakili kepentingan dari lingkungan
di mana peristiwa tersebut terjadi.
Adapun tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan yaitu pada tingkat rukun warga
(RW) di lingkungan

di mana kasus kenakalan anak tersebut terjadi (tempat kejadian

perkara/TKP) atau di sekolah, khusunya dalam hal kenakalan yang terjadi di sekolah, baik
pelaku maupun korban berasal dari sekolah yang sama.
Unsur pendukung pelaksanaan restorative justice membutuhkan keterlibatan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) untuk berperan pada tahap awal sebagai inisiator mendorong
penggunaan musyawarah pemulihan sebagai alternative penyelesaian. Pada tahap awal LSM
juga dibutuhkan sebagai konsultan dan fasilitator dalam tahap pelaksanaan musyawarah
pemulihan.
Syarat-syarat Keputusan Hasil Musyawarah Restorative Justice yang diambil adalah:
1. Dapat dilaksanakan oleh pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan instansi penegak hokum
dalam sistem peradilan pidana
2.

Putusan tidak bersifat punitf, tetapi lebih merupakann solusi dengan memperhatikan

kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti restitusi (ganti rugi) atau
community service order berupa kewajiba kerja sosial
3.

Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat dan dapat

dilaksanakan
4. Pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan atau dengan bantuan LSM
sebagai fasilitator.
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus.
Pasal 64 ayat 3, dilaksanakan melalui:
1. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
2.

Upaya perlindungan dan pemberitaan adentitas melalui media dan untuk menghindari

labelisasi
3. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun
sosial
4. Pemberian jalur untuk mendapatkan informasi mengenaiperkembangan perkara.

Peranan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan diversi dan restorative justice, yaitu:
1. Mahkamah agung adalah pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan yakni
peradilan umum, peradilan agama, peradilan mliter, dan peradilan tata usaha negara
2. Pasal 15 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa
pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan UU. Karena itu, pengadilan anak yang bertugas
dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara, berada di lingkungan
peradilan umum
3.

Pengadilan anak sebagai pengadilan khusus bagi anak nakal yang berusia sekurang-

kurangnya 8 tahun dan belum genap 18 tahun serta belum pernah kawin, melakukan tindakan
pidana atau melakukan tindakan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan yang hidap dan berlaku bagi masyarakat
yang bersangkutan
4. Penanganan anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus. Pasal
64 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Mahkamah Agung dalam berbagai penataan/pelatihan selalu mengingatkan para hakim
agar lebih mengutamakan tindakan sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 24 UU No. 3
tahun1997 yang dijatuhkan kepada anak nakal,. Namun permasalahan utamanya orang tua
ataupun wali anak tersebut tidak mampu memberikan pendidikan dan pembinaan lebih baik
oleh karena ketidakmampuan secara ekonomim dan kurangnya pengetahuan untuk berbuat
yang terbaik bagi anak.

D. Beberapa Contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak
1. Kasus Pencurian Sandal Yang Dilakukan Oleh AAL
Anjar Andreas Lagaronda atau biasa disebut dengan AAL, remaja 15 tahun yang
merupakan siswa kelas 1 SMK 3 di Palu yang dihadapkan oleh dakwaan pencurian sandal jepit
milik oknum polisi, Briptu Anwar Rusdi yang terjadi pada bulan November 2011 yang lalu.

Hanya karena masalah sandal jepit yang sederhana dan sebenarnya dapat diselesaikan secara
kekeluargaan, AAL harus menerima konsekuensi yang membawanya ke meja hijau.
Pada saat interogasi pun, AAL mengaku mendapat penganiayaan yaitu berupa
pemukulan yang dilakukan Briptu Anwar Rusdi dan temannya Briptu Simson J. Dalam kasus
AAL, tidak seharusnya seorang aparat menginterogasi dengan kekerasan karena seharusnya
mereka lebih tahu prosedur interogasi apalagi terhadap anak di bawah umur. Kontroversi kasus
ini menyebabkan banyak protes dan kritikan tajam dilontarkan oleh segenap masyarakat
Indonesia yang ditujukan kepada lembaga – lembaga yang memproses perkara tersebut.
Setidaknya terdapat dua versi kronologis kasus pencurian sandal jepit oleh anak di
bawah umur tersebut. Versi yang diceritakan oleh tersangka Aal (15 tahun) seorang pelajar
SMK 3 Palu Sulawesi Tengah, dan versi yang diceritakan oleh Mabes Polri.
Berikut versi yang diceritakan oleh Aal. Kasus ini berawal dan terjadi di Sulawesi
Tengah pada November 2010 saat itu Aal dan teman-temannya menemukan sepasang sandal
di Jalan Zebra di luar pagar kos Briptu Rusdi Harahap seorang anggota Polri. Karena mengira
sandal tersebut tak bertuan maka Aal membawanya pulang. Kemudian pada Mei 2011, Briptu
Rusdi memanggil Aal dan teman – temannya yang saat itu sedang melintas di depan kos
anggota Polri tersebut.
Dengan membentak dan berkata kasar Briptu Rusdi menanyakan prihal sandal yang
sudah diambil oleh Aal. Kemudian Aal berkilah bahwa dia tidak tahu kalau sandal itu ada yang
punya karena pada saat diambil sandal tersebut berada di wilayah umum (berada di jalan dan
jauh di luar kos). Mendengar alasan itu Briptu Rusdi melayangkan pukulan kepada Aal dan
teman – temannya. Tidak hanya itu, Aal dan teman – temannya juga disekap di kos serta
dipukuli oleh Briptu Rusdi dan memaksa Aal dan teman – temannya untuk mengakui pencurian
– pencurian sandal sebelumnya yang telah dituturkan oleh Briptu Rusdi bahwa sudah terjadi
sebanyak 3 (tiga) kali. Penyekapan dan penganiayaan tersebut berlangsung dari pukul 20.00
WITA hingga lewat pukul 22.30 WITA (yaitu pada saat Aal dipanggil pulang oleh orang tuanya).
Setelah peristiwa tersebut Aal dipanggil ke Polda dan di BAP setelah itu divisum.
Setelah divisum Aal dijanjikan akan ditangani dan diproses perihal pemukulan dan
penganiayaan yang terjadi padanya. Tetapi kemudian proses penanganan perkara pemukulan

dan penganiayaan tersebut tidak diangkat dan malahan Aal dimeja-hijaukan atas tuduhan
pencurian sandal dan terkena pasal 362 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Adapun versi yang didapat dari Mabes Polri adalah hampir serupa dengan versi yang
diceritakan oleh tersangka. Perbedaannya adalah :



Adanya perbedaan usia terlapor yaitu disebutkan oleh versi Mabes bahwa terlapor
berusia 17 tahun sedangkan menurut versi yang diceritakan pihak tersangka, terlapor
pada saat itu masih berusia 15 tahun;



Pada versi Mabes tidak disinggung telah terjadi perkara pemukulan dan penganiayaan
terhadap terlapor yang dilakukan oleh pihak korban (Briptu Rusdi);



Pada versi Mabes yang bersikeras mengajukan kasus tersebut ke meja hijau adalah
pihak terlapor dan pengacaranya. Pada 28 Mei 2011 pihak terlapor melaporkan korban
(Briptu Rusdi) ke Propam. Kemudian atas hal tersebut pihak korban (Briptu Rusdi)
membuat laporan. Pihak terlapor dan pengacaranya kemudian meminta agar kasus
tersebut dibawa ke pengadilan sehingga ditetapkan JPU dan masuk ke pengadilan.

Proses kasus pencurian sandal jepit tersebut tidak bisa dikatakan suatu proses peradilan
yang layak dan adil karena pelaku adalah bukan orang yang memiliki profesi sebagai pencuri
dan usianya masih dibawah umur. Ketentuan pemrosesan hukum bagi anak yang dibawah
umur diatur :



Dalam KUHP pasal 45 disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap anak yang
belum berusia 16 (enam belas) tahun maka hakim dapat memerintahkan supaya anak
tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, atau pemerintah,
tanpa pidana apapun. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang
peradilan anak bahwa usia 18 tahun baru bisa di proses tuntutan pidananya, ini tentang
ketentuan normanya;



Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 menyebutkan dan
menetapkan bahwa:

1.

Anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” melalui proses peradilan dan dapat

dibenarkan dan/atau dicek kebenarannya oleh siapap