Karya Sastra Cina dan Kajiannya

Karya Sastra Cina dan Kajiannya
NURNI W. WURYANDARI1
Program Studi Cina, Universitas Indonesia
Surel: nurnismar@yahoo.com

Abstrak

Memperkenalkan karya sastra Cina kepada mahasiswa Indonesia, khususnya yang menaruh minat pada
studi Cina, dan mengajaknya melakukan kajian atas karya, memerlukan persiapan tersendiri dan juga perlu
sedikit membekali mereka dengan pengetahuan khusus. Pertama, perlu persiapan dalam memilih karyakarya primer berbahasa Mandarin, dan bukan karya terjemahannya. Kedua, mahasiswa perlu dibekali
dengan pengetahuan dasar tentang sejarah, budaya dan perkembangan kondisi sosio-politik di Cina.
Sebuah karya sastra bisa dibedah dengan pendekatan intrinsik, namun dengan pendekatan intrinsik saja,
kajian atas karya hasilnya mungkin akan kurang maksimal. Pengarang maupun penyair di Cina amat mahir
mengangkat kondisi sosial atau menyajikan kritik terhadap kondisi tertentu ke dalam karya mereka.
Realisme dalam karya mereka sangat kuat. Hal ini menjadi ciri khas yang tidak bisa diabaikan.
Makalah ini akan membahas pentingnya menggunakan karya-karya asli berbahasa Mandarin dalam
pengajaran sastra pada Program Studi Cina/Sinologi dan juga pentingnya memiliki pengetahuan tentang
sejarah, budaya dan perkembangan kondisi sosio-politik di Cina.
Kata Kunci: karya sastra, strategi pengajaran, kajian Cina, pengetahuan tambahan
(a) Pendahuluan
Dewasa ini makin banyak karya sastra terjemahan yang muncul ke hadapan publik pembaca. Karya sastra dari berbagai

negara diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, termasuk karya sastra dari Cina. Karya-karya sebagai bentuk
apresiasi yang memiliki sifat hiburan, tentu bisa dibaca dan dinikmati kapanpun. Pembaca tak perlu direpotkan pula
dengan keharusan mengetahui latar belakang kondisi tempat karya sastra itu dilahirkan. Namun, dalam hal pengajaran
sastra Cina dan kajiannya, mungkin akan sedikit lain halnya.
Sastra sebagai sebuah kajian, khususnya kesusastraan Cina, bila ditujukan kepada mahasiswa untuk memperoleh
pemahaman lebih dalam atas makna cerita, maka diperlukan beberapa syarat. Pertama, mahasiswa diarahkan untuk
membaca karya sastra aslinya yang ditulis dalam bahasa Mandarin, lalu membaca unsur intrinsik yang membangun
karya dengan teliti. Karya sastra Cina yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tetap bisa dimanfaatkan,
namun hanya sebagai pendukung pemahaman. Kedua, mahasiswa juga perlu membekali diri dengan pengetahuan
tambahan tentang Cina. Mengapa hal seperti ini perlu menjadi perhatian, akan menjadi materi pembicaraan dalam
makalah ini.
(b) Kajian Pustaka
Membaca karya-karya terjemahan bagi pembaca asing memiliki manfaat tersendiri. Dengan memanfaatkan karya
sastra Cina yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh para penerjemah asing, Li (2014) mendapati bahwa
karya-karya yang dipilih untuk diterjemahkan kebanyakan bertema tentang masyarakat, politik, filsafat, dan sejarah
Cina. Terlepas dari beberapa kekurangannya, para penerjemah asing tersebut turut memberi sumbangan sebagai berikut
bagi pembaca di negerinya:
They hoped to help to revive the Western civilization by a better understanding of China and her people (...).
The English translations of Chinese fictions can provide them with chances to understand China and her


1

Penulis adalah pengajar pada Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia
dengan peminatan pada bidang kesusastraan Cina dan kajian naskah klasik Cina.

Karya Sastra Cina dan Kajiannya

545

people and make a better living in China or serve their government (...). Their translations help foreign
people interested in Chinese missionary, business, and learning Chinese in China. (hlm: 41)
Argumen Li tersebut sangat beralasan, dan bisa berlaku juga kondisinya untuk Indonesia. Hanya saja, menurut hemat
saya, sebagai sebuah kajian sastra, karya dengan bahasa asli akan memiliki kekuatan tersendiri. Apalagi bila yang
melakukan kajian adalah mahasiswa yang mengambil studi pada Program Studi Cina. Pentingnya penggunaan naskah
atau karya asli dalam bahasa Mandarin sebagai kajian akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Selain itu, yang perlu juga untuk diperhatikan adalah kekuatan karya sastra hasil pengarang Tiongkok, terutama karya
pengarang-pengarang besar. Karya-karya mereka yang sudah dikenal secara internasional, pada umumnya memiliki
realisme yang sangat tinggi, mengangkat berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat Cina. Karena itu dalam
banyak hal, pengetahuan tambahan diperlukan. Suatu pengetahuan yang meliputi pengetahuan budaya, kondisi sosial
dan politik di Cina. Kajian yang mengaitkan karya dengan kondisi sosial di Cina sangat banyak dilakukan oleh

pengamat dan akademisi. Salah satu contoh kuat untuk hal ini bisa dilihat dari kajian yang dilakukan oleh Shih Chiaying (2014). Ia mengupas karya-karya satire yang dihasilkan pengarang-pengarang terkemuka Cina di masa perang
(1937-1945), di kota Chongqing. Kajiannya melibatkan tidak hanya karya sastranya sendiri, namun juga definisi satire,
pandangan pengarang terhadap kondisi sosial, dan juga kondisi sosial nyata yang terjadi pada masa tersebut. Dari
kajian Shih terlihat bahwa kajian yang menyeluruh terhadap karya sastra dihasilkan melalui analisa yang mengaitkan
karya dengan kondisi sosial, budaya, politik di Cina.
(c) Pengarang, Karya, dan Latar Pengetahuan
Mengajar pengkajian karya sastra Cina kepada mahasiswa, karena kekhasan yang ia miliki, membuat dosen harus
mengarahkan mahasiswa menggunakan naskah dalam bahasa aslinya. Cerpen menjadi pilihan terbaik karena
terbatasnya waktu tatap muka dalam satu semester. Pertimbangan menggunakan naskah asli didasarkan setidaknya
pada dua hal. Pertama, karya terjemahan seringkali tidak akurat penerjemahannya. Kedua, nama tokoh dalam karya
terjemahan, karena ditulis dalam romanisasi, tidak menyiratkan karakter huruf kanji yang sesungguhnya, padahal nama
tokoh yang diciptakan seringkali dibuat oleh pengarang dengan maksud-maksud tertentu dan memiliki makna yang
merujuk pada kondisi yang tertentu pula. Nama tokoh dalam sebuah karya kadang menjadi wahana bagi pengarang
untuk menyampaikan sifat dari tokoh atau menjadi suatu simbol yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan
kritik atau sindiran terhadap suatu kondisi. Karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bila tidak
mencantumkan nama tokoh dalam huruf kanji, maka kesempatan membahas tokoh lebih dalam akan hilang. Sebagai
contoh yang menguatkan asumsi ini, akan dihadirkan ulasan tentang beberapa cerpen dari tiga pengarang yang cukup
terkenal di Cina, yaitu Lu Xun, Zhang Tianyi dan Mo Yan.
Lu Xun, Simbol, dan Kondisi Sosial
Lu Xun (魯迅, 1881-1936) adalah tokoh penting dalam kesusastraan modern di Cina. Karya-karya yang diciptakan Lu

Xun banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing di dunia dan sering menjadi topik kajian para
pemerhati atau kritikus sastra di Barat. Karya-karya yang diciptakan Lu Xun sangat kuat dalam penggunaan simbol
dan sorotannya pada kondisi sosial. Ini bisa ditemukan dalam karya-karyanya seperti Kong Yiji (孔乙己), Catatan
Harian Orang Gila (Kuangren Riji 狂人日記), Obat (Yao 藥), dan Perceraian (Lihun 離婚). Salah satu karyanya
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah cerpen Obat.
Cerpen Obat pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang mahasiswa D3 Program Studi Bahasa
Mandarin di UGM. Selain melakukan terjemahan, mahasiswa juga melakukan kajian terhadap karya secara semiotik
melalui pendekatan intrinsik (Nuraini, 2015). Apa yang dikerjakannya merupakan kajian awal yang cukup baik. Cerpen
ini meski pendek, menurut hemat saya tidak cukup dibaca satu kali. Pembaca harus membaca teliti untuk memperoleh
makna cerita, dan cukup penting pula memperhatikan nama-nama tokoh di dalamnya. Di sinilah nama dan sifat-sifat
tokoh mulai perlu diungkap untuk dikaitkan dengan kisah secara menyeluruh. Dalam cerpen yang sudah diterjemahkan
oleh Rachmi ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor, tidak pernah disebut nama marga
keluarga dari tokoh-tokoh yang bermain dalam cerita (Rachmi, 1992). Kisah Obat menggambarkan seorang pemuda
yang menderita sakit paru-paru kronis, dan membutuhkan “obat” berupa darah segar manusia yang dioleskan ke sebuah
mantou, sebuah makanan khas Tiongkok, sementara dalam cerpen terjemahan disebut:
Seorang pria yang berpakaian serba hitam berdiri di hadapannya, matanya seperti pisau belati, berdiri
membuat Shuan Tua ketakutan. Orang itu mengulurkankan tangannya yang panjang dan hitam ke arahnya,

546


Seminar NasionalHimpunanSarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Surabaya
Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

sementara tangan yang lain memegang segulung roti bakar, dan dari roti itu menetes cairan merah tua.
(hlm: 28)
Dalam versi terjemahan, sejak awal hanya disebutkan bahwa ayah dari pemuda yang sakit bernama Shuan Tua, dan
ibunya disebut “wanita tua”. Ini mungkin karena sulitnya menerjemahkan nama agar sesuai untuk pembaca Indonesia.
Dengan menggunakan naskah asli berbahasa Mandarin, khususnya yang disertai penggunaan penjelasan kosa kata
(Lau, 1987), mahasiswa dapat menemukan bahwa keluarga tersebut bermarga Hua, sang ayah disebut dengan Hua
Laoshuan (華老栓), sementara ibunya disebut dengan Hua Dama (華大媽). Kembali ke cerita, dikisahkan bahwa
pemuda yang sedang sakit tidak memperlihatkan upaya mencari tahu obat apa yang baik untuknya. Ia tak pernah
bertanya dan menerima saja apa yang diupayakan oleh orangtuanya sebagai obat. Obat untuknya tak lain adalah darah
pemuda pemberontak bermarga Xia yang baru saja menjalani eksekusi. Tanpa penyebutan nama marga dalam huruf
kanji, maka tidak akan terungkap maksud di balik penciptaan nama-nama tokoh yang dibuat Lu Xun. Di sinilah
pentingnya menggunakan naskah asli berbahasa Mandarin mulai terlihat. Nama marga Hua (華) tersebut adalah marga
yang merepresentasikan bangsa Cina. Obat yang dianggap manjur untuk mengobati adalah darah dari seorang pemuda
bermarga Xia (夏). Sebagaimana halnya marga Hua, marga Xia bila dikaji adalah juga nama marga yang
menyimbolkan bangsa Cina.
Pengetahuan lain apa lagi yang diperlukan untuk menambah pemahaman atas cerita dan mengungkap makna lebih
dalam? Untuk menjawab pertanyaan ini, buku-buku atau artikel-artikel menggenai Lu Xun dan juga yang membahas

kondisi sejarah masa akhir dinasti Qing dan awal berdirinya Republik Cina pada tahun 1911 perlu dibaca. Ini adalah
langkah kedua dalam mengkaji setelah unsur-unsur intrinsik dari karya diungkap. Dalam cerita dikisahkan bahwa
pemuda bermarga Xia adalah pemberontak terhadap pemerintahan dinasti Qing, maka bisa dipastikan bahwa latar
waktu cerita adalah masa akhir dinasti Qing. Informasi tentang kondisi Cina masa akhir pemerintahan dinasti Qing
diperlukan untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut. Saat itu adalah masa dimana usaha pemberontakan
menjatuhkan dinasti mulai banyak dilakukan, dan upaya membentuk Republik terus digaungkan. Tidak semua orang
memiliki kesadaran untuk memperjuangkan Cina lepas dari feodalisme dan juga lepas dari bangsa asing yang saat itu
banyak mendapat hak konsesi di Cina. Dalam kondisi kritis seperti itu, hanya sejumlah kecil orang yang peduli
terhadap keadaan negerinya. Sikap tidak peduli dari sebagian besar penduduk seperti ini bisa dilihat juga dari sejumlah
tokoh pendamping dalam cerita Obat. Dari ucapan, sikap dan pandangan mereka, jelas terlihat bahwa mereka tidak
berempati pada perjuangan tokoh Xia, dan justru memihak pada pemerintah dinasti Qing.
Dengan mengupas nama tokoh, jalan cerita, dan juga latar waktu dalam cerita, maka bisa ditarik suatu benang merah
cerita sebagai berikut: bangsa Cina pada masa itu sedang sakit dan perlu obat. Cina disimbolkan dalam sosok pemuda
(Hua Muda) yang pasif, pasrah, dan tak sadar akan penyakit paru-paru yang dideritanya. Sementara paru-paru adalah
organ vital bagi kehidupan. Bisa diambil makna bahwa bangsa Cina saat itu sedang menderita sakit parah, karena organ
penting untuk bernapaslah yang mengalami masalah. Cina harus disembuhkan oleh bangsa Cina sendiri, yaitu dengan
darah dan semangat para pejuang muda (pemuda bermarga Xia) yang rela mengorbankan diri bagi sebuah cita-cita
luhur membebaskan diri dari feodalisme maupun imperialisme asing. Obat dalam kisah ini adalah obat yang bersifat
spiritual bagi bangsa Cina, yang saat itu sedang menderita penyakit mental. Perjuangan dan darah tersebut akan
kehilangan makna bila si sakit tidak berjuang untuk mencari penyebab sakit, dan tidak akan berhasil pula tanpa

dukungan banyak orang.
Kepekaan Lu Xun menangkap kondisi sosial di Cina masa itu, dan keprihatinan melihat sikap bangsa Cina yang apatis
telah mendorongnya menciptakan cerpen Obat. Karya-karya lain seperti Catatan Harian Orang Gila, dan Kong Yiji
juga memiliki substansi yang sama.
Zhang Tianyi, Satire dan Kritik Sosial
Berbeda dengan Lu Xun yang berkiprah sebagai pengarang 5 tahun menjelang republik berdiri (1911) hingga 1930an, maka Zhang Tianyi (张天翼 , 1906-1985) baru memulai kiprahnya menjelang tahun1930. Bila karya Lu Xun kuat
dalam penggunaan simbol, maka Zhang Tianyi adalah pengarang yang dikenal dengan kritik tajamnya terhadap kondisi
sosial yang dia ungkapkan secara gamblang namun dengan cara penyampaian yang halus. Ia dinilai sebagai pengarang
yang ahli dalam menulis cerpen. Semenjak awal berkiprah sebagai pengarang, karya-karyanya langsung mengundang
perhatian. Ia disebut pengarang cerita pendek yang paling cemerlang masa itu. Ia mampu mengangkat gerak-gerik
setiap karakter, dengan gaya dramatis dan gesit, dan dengan menggunakan narasi yang sangat efektif (Xia, 2005: 150).
Berkat cara bercerita yang halus dan memikat, pembaca tidak akan merasa bahwa ia dituntun untuk menilai dan
bersikap terhadap tokoh yang dipaparkan oleh Zhang Tianyi. Karya-karya Zhang umumnya berdasarkan pengamatan
yang baik terhadap kondisi sosial sekitar. Berkat gaya menulis seperti itu, cerita satire yang ia ciptakan menjadi sangat

Karya Sastra Cina dan Kajiannya

547

hidup dan realistis. Kalangan menengah ke atas adalah kalangan yang paling banyak menjadi sorotan dalam karyanya.

Salah satu karya satire yang menunjukkan kekhasan tulisan Zhang Tianyi adalah cerpen berjudul Tuan Hua Wei (Hua
Wei Xiansheng 華威先生).
Cerpen Tuan Hua Wei sangat pendek, namun hampir semua bagian dari cerita menjadi unsur penting dan kuat dalam
membangun cerita. Mengkaji Tuan Hua Wei, pemahaman awal melalui faktor intrinsik seperi tokoh, penokohan, alur
dan latar sanagat perlu dilakukan. Tanpa bedah intrinsik yang maksimal, akan sulit memahami cerita akan dibawa
kemana oleh pengarangnya. Sinyal-sinyal tertentu mengarahkan pembaca untuk mengaitkan cerita dengan aspek
intrinsik, yaitu kondisi sosial yang dirujuk oleh latar waktu. Judul cerpen tersebut adalah juga nama tokoh utama dalam
cerita. Latar waktu yang digunakan dalam cerita sangatlah singkat. Dalam waktu yang sangat singkat yang digunakan
dalam cerita, Tuan Hua Wei digambarkan sibuk beraktivitas dari rapat ke rapat lain, yaitu dengan Perhimpunan
Bantuan Pengungsi, Perhimpunan Peneliti Seni dan Sastra Populer, dewan eksekutif Asosiasi Kaum Intelektual
Melawan Musuh, hingga menjadi anggota komite Perhimpunan Perawat Bayi Masa Perang. Apa yang ia lakukan dalam
kurun waktu pendek itu adalah hadir dalam beberapa rapat, namun selalu terlambat datang dan lebih awal
meninggalkan lokasi rapat. Uniknya, tokoh utama meski hanya datang dalam rapat dalam waktu yang singkat, ia selalu
meminta agar diberi waktu untuk memberikan usul atau pendapat:
Setelah menyampaikan semua hal (pandangan) ini, barulah ia benar-benar pergi meninggalkan tempat
tersebut. Dengan cara begini dia (bisa) tiba di balai pertemuan Perhimpunan Peneliti Seni dan Sastra
Populer, dan Ia mendapati bahwa orang lain sudah memulai rapat di sana....
Oleh karena itu, ketika rapat komite dimulai, Tuan Hua Wei dengan mengepit tas dokumennya duduk
selama lima menit, menyampaikan satu dua pendapat lalu melangkah (meninggalkan ruang rapat, dan)
masuk lagi ke dalam riksanya. (hlm: 460, 466)

Sikap tokoh utama sebagaimana yang digambarkan di atas, di akhir cerita mengakibatkan timbulnya amarah anggota
berbagai perkumpulan dan hilangnya kepercayaan mereka pada Tuan Hua Wei. Sikap-sikap Tuan Hua Wei berkaitan
erat dengan penciptaan nama yang diberikan oleh pengarangnya untuk tokoh utama, yaitu 華威, yang tak lain berarti
“orang Cina yang intimidatif”. Latar waktu peristiwa tidak dinarasikan dengan nyata dalam cerita, namun beberapa
sinyal kalimat seperti, “pekerjaan (pada masa) perang anti-Jepang benar-benar terlalu banyak” (hal. 454) dapat
mengarahkan pembaca pada waktu dimana Jepang ada di Cina. Dengan menilik latar waktu, dan reaksi protes dan
marah anggota perkumpulan, mau tak mau membawa pembaca memberi kesimpulan kecil bahwa sikap mementingkan
diri sendiri seperti Tuan Hua Wei sangat tidak tepat dalam kondisi genting saat Jepang menduduki Cina. Inilah
sesungguhnya sasaran kritik Zhang Tianyi dalam cerita satirenya. Tokoh Tuan Hua Wei adalah tokoh tipikal, tokoh
yang mewakili golongan tertentu, yang umum dapat ditemukan dalam kehidupan masa itu.
Dari pembacaan yang teliti terhadap unsur-unsur intrinsik dalam karya dan kemudian mengaitkan latar waktu dan latar
tempat dengan kondisi nyata pada zaman tersebut melalui buku-buku referensi, seorang mahasiswa dapat
menghasilkan kajian yang lengkap tentang cerpen Tuan Hua Wei. Ia bahkan dapat menghadirkan gambaran fisik dan
atribut yang biasa dikenakan oleh tokoh Tuan Hua Wei yang diambilnya dari paparan cerita (Budianto: 2016).
Mo Yan, Humor dan Refleksi Zaman
Mo Yan (莫言, 1955- ) adalah salah satu pengarang besar Tiongkok pada masa kini. Ia pernah menerima hadiah nobel
di bidang sastra pada tahun 2012. Karya yang ia hasilkan sangat beragam dan cukup banyak. Perhatiannya pada
masalah sosial bisa ditemukan nyaris di semua karyanya. Agak berbeda dari Lu Xun, Zhang Tianyi dan karya mereka
yang bersifat serius menyorot kondisi sosial zamannya, karya yang dipilih untuk pembahasan di sini adalah sebuah
cerpen yang juga menyorot kondisi sosial namun bernada bernada humor-getir, berjudul Shifu, Yuelaiyue Youmo (師

傅你越來越幽默). Cerita pendek ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Goldblatt, dengan judul Shifu,
You’ll Do Anything for a Laugh (2001). Bila membaca isi cerpen secara menyeluruh, pembaca yang juga memahami
bahasa Mandarin akan mendapati bahwa penerjemahan judul ke dalam bahasa Inggris tidaklah akurat. Sebab, cerita
lebih banyak menyoroti tindakan tokoh utama yang semakin lama semakin konyol dalam menjalani hidup di saat
zaman sudah berubah, dan bukan karena tindakan lucu-lucuan yang sengaja dibuat hingga memancing tawa orang lain.
Kekonyolan hidup yang ia alami lebih banyak terbentuk oleh perasaan takut dan kepatuhan buta kepada pemerintah,
yang telah tertanam semenjak Cina mulai menggalakkan industrialisasi. Sikap patuh ini terus terbawa meski
pemerintahan sudah bukan di tangan Mao lagi. Karena itu, bila diterjemahkan mengikuti huruf kanji yang tertera,
judulnya akan lebih pas bila disebut “Shifu, Semakin Lama Semakin Konyol”.

548

Seminar NasionalHimpunanSarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Surabaya
Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

Cerita dibuka dengan memperkenalkan tokoh pekerja pabrik bermarga Ding (丁). Karena keteladanan yang ia
perlihatkan dalam bekerja, maka ia mendapat julukan “Ding Shifu” alias seorang ahli (shifu = ahli) bermarga Ding.
Nama pemberian orang tuanya yang sebenarnya adalah Ding Shikou (丁十口). Nama ini dibuat oleh orangtuanya
dengan harapan khusus, yaitu dengan imaji bila dua huruf terakhir (十口) digabung akan membentuk huruf “sawah”
(tian 田), suatu harapan sederhana sebagai petani bahwa anak dari keluarga Ding ini suatu hari juga akan memiliki

kehidupan baik dari hasil menggarap sawah. Namun, tak lama setelah paparan tentang harapan orangtua ini muncul di
awal cerita, paparan kegetiran hidup mulai digelar:
Tetapi takdir tak mengizinkan Ding Shikou memiliki sawah, ia malah masuk ke pabrik menjadi buruh, dan
menjalani hidup yang jauh dari hidup bahagia sebagai petani. (hlm: 159).
Dengan paparan singkat seperti ini, timbul pertanyaan mengapa Ding Shikou tak dapat memiliki sawah dan mengapa
harus menjadi buruh di pabrik? Jawaban untuk hal-hal ini tak dapat ditemukan dari cerita, pembaca harus cermat
menangkap tiga kata kunci, yaitu “sawah”, “pabrik”, dan “buruh” sebagai jalan membuka pemahaman melalui
referensi pendukung. Usia produktif Ding Shikou untuk bekerja, nampaknya merupakan masa peralihan dari era land
reform yang dicanangkan Partai Komunis Cina pada pertengahan tahun 1950an menuju era percepatan industrialisasi
di Cina (Fairbank, 1987: 282-284). Kondisi ini membuat kebutuhan akan buruh meningkat. Pabrik-pabrik didorong
mencetak pekerja-pekerja keras, disiplin dan taat pada pemerintah. Buruh-buruh yang berhasil menjadi model bagi
para buruh lainnya akan diberi penghargaan, dan diberi sebutan “shifu”. Tidak adanya pilihan pekerjaan, membuat
tokoh Ding Shikou harus bekerja di pabrik dengan kepatuhan total kepada instruksi dan jargon-jargon pemerintah.
Semua hal dijalaninya dengan ketekunan yang luar biasa, hingga ia tak punya waktu memperhatikan kondisi sekitar.
Akibatnya, saat menghadapi masa pensiun yang datang lebih awal, sang tokoh gamang menghadapi dunia di luar
pabrik yang ternyata telah mengalami perubahan besar. Pabrik telah membentuknya menjadi manusia yang kaku, dan
tak memiliki ketrampilan lain selain bekerja monoton menghadapi mesin di pabrik. Ia perlu belajar dari awal untuk
menghadapi perubahan mengejutkan ini. Setelah berhenti kerja dari pabrik, berupaya keluar dari “kungkungan”
pengawasan ketat pemerintah, dan mencoba memulai bisnis baru menyewakan tempat untuk bercinta, Ding Shikou
kerap dihantui oleh perasaan bersalah. Ia merasa pekerjaan yang ia lakukan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang
selama ini ditanamkan dan telah terpatri di benaknya.
Merujuk pada kondisi sosial nyata pada masa Mao berkuasa, kontrol sosial di Cina memang sangat ketat, melibatkan
polisi-polisi di bawah panduan Kementrian Keamanan Umum untuk menjangkau desa-desa. Tugas mereka adalah
melakukan investigasi, pengawasan kepada masyarakat, memungut pajak dan kontribusi, dan melarang segala bentuk
kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau partai (Yee, 1957: 85). Nampaknya, nilai-nilai seperti
inilah yang secara tak langsung telah membentuk kepribadian tokoh Ding sebagaimana yang terlihat dalam cerita.
Di bagian akhir cerita, Ding merasa didatangi sepasang tamu anggota partai yang berniat menyewa tempat bercinta
yang dimiliki Ding. Sepasang tamu tersebut di luar dugaannya menghilang begitu saja, hingga diperkirakan mati oleh
Ding. Di bawah perasaan takut luar biasa akibat peristiwa tersebut, bisnisnya nyaris gulung tikar dan hidupnya juga
nyaris hancur. Berkat bantuan temannya, Ding akhirnya menyadari bahwa semua itu ternyata halusinasinya saja:
“Xiaohu, sekarang saya mengerti. Kedua orang itu adalah hantu...”
Selesai mengatakan ini, ia merasa punggungnya dingin, kulit kepalanya menegang, tapi setelah itu hatinya
justru jadi luar biasa tenang.
Lü Xiaohu, dengan perasaan makin sebal, lantas berkata, “Shifu, semakin lama semakin konyol saja!”
(hlm: 197)
Dari petikan di atas, terlihat bahwa bayangan anggota partai pun ternyata bisa turut campur menghantui gerak langkah
seseorang. Yang tak kalah menarik dari cerita pendek ini adalah latar waktu yang begitu panjang yang digunakan Mo
Yan dalam bercerita, yaitu semenjak land reform diberlakukan di Cina hingga masa dimana jalan-jalan di kota besar
di Cina mulai banyak dilalui kendaraan-kendaraan mewah seperti Audi, Santana, dan Cherokee. Bisa diperkirakan
bahwa latar waktu cerita adalah 40 tahun, yaitu sejak tahun 1950an hingga 1990-an. Refleksi perubahan kondisi sosial
dari satu masa ke masa lainnya, berikut dampaknya pada sikap manusia dapat terlihat dengan jelas dalam cerpen.
Sebuah tinjauan lain yang pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa terhadap cerpen Shifu, Semakin Lama Semakin
Konyol ini adalah membuat perbandingan antara tokoh utama dan tokoh pendamping dalam menyikapi perbedaan
kondisi zaman (Tanriwa, 2016). Meski yang utama yang ia kerjakan adalah menyorot perbedaan sikap dan pandangan
dua tokoh yang bermain dalam cerita, namun aspek-aspek sosial, kondisi zaman dan perubahan pesat yang terjadi di
Cina yang tergambar dalam cerita, juga menjadi ulasannya.

Karya Sastra Cina dan Kajiannya

549

(d) Penutup
Mengajarkan bagaimana melakukan kajian terhadap karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang Cina kepada
mahasiswa, memerlukan beberapa strategi, yaitu: memilihkan cerita pendek yang sesuai untuk tujuan pengajaran
kajian sastra, dan membekali mereka dengan pengetahuan dasar mengenai kondisi sosial di Cina melalui referensi
pendukung di luar karya yang dapat memperkuat pemahaman dan kajian. Teks yang dipilih sebaiknya yang berbahasa
Mandarin, agar mahasiswa dapat menangkap makna sebaik mungkin dari teks, baik itu melalui nama tokoh dalam
cerita, simbol-simbol yang muncul, maupun peristiwa yang dipaparkan.
Untuk memaksimalkan kajian, mahasiswa perlu melakukan paduan pendekatan, yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Memadukan pembahasan atas unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri dengan aspek di luar karya sastra.
Prinsipnya, pendekatan intrinsik merupakan langkah awal untuk membedah, sedangkan pendekatan ekstrinsik menjadi
cara untuk memperkaya dan maksimalkan hasil kajian. Sejak zaman dulu, di Cina dikenal istilah wenshi bu fen (文史
不分), yaitu: sastra tak terpisahkan dari sejarah. Karena tradisi itulah, bisa dilihat bahwa realisme dalam karya sastra
sangat kuat. Pengarang-pengarang Cina sangat jeli melihat dan menaruh perhatian besar pada kondisi sosial zamannya,
dan kemudian mengangkatnya ke dalam karya. Pembaca yang teliti akan dapat menemukan bahwa meski berbeda
zaman, cara pengarang mengangkat cerita dan menyampaikan kritik sosial sesungguhnya mirip dari waktu ke waktu,
hanya latar waktu sejarah dan kondisi sosialnya sajalah yang membedakan.
Daftar Pustaka

o

Budianto, Minah Febriani, 2016, Tokoh, Penokohan, dan Kritik Pengarang dalam Cerpen Tuan
Hua Wei (Hua Wei Xiansheng 华威先生 ) Karya Zhang Tanyi, Depok: FIB UI (Skripsi Sarjana)

o

Fairbank, John King, 1987, The Great Chinese Revolution 1800-1985, New York: Harper & Row.

o

Lau, D.C. (compiler), 1987, Lu Xun Xiaoshuoji-Cihui (魯迅小說集-詞彙), Hongkong: The
Chinese University Press.

o

Li, Ping, 2014, “Translators’ Selection on Chinese Fictions Translated into English during the AntiJapanese War to the Establishment of the People’s Republic of China”, Academic Research
Journals, volume 2(4), halaman 32-47, April.

o

Mo, Yan, 2001, Shifu, You'll Do Anything for a Laugh (H. Goldblatt, Trans.), New York: Arcade.

o

Mo, Yan 莫言, 2010, Shifu Yuelai Yue Youmo (師傅越来越幽默 ), Shanghai: Shanghai Wenyi
Chubanshe.

o

Nuraini, Dwi, 2015, Analisis Cerita Yao Karya Lu Xun, Yogyakarta: D3 Bahasa Mandarin UGM
(Tugas Akhir)

o

Rachmi, Nur, dan Rasti Suryandani (penerjemah), 1992, Lu Xun, Catatan Harian Orang Gila, dan
Cerita Pendek Lainnya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

o

Shih, Chia-ying. (2014). The Transformation of Satire: Satirical Fiction in Wartime Chongqing
(1937-1945). Washington, DC: University of Washington (disertasi)

o

Tanriwa, Arkan, 2016, Kontras Kepribadian antar Generasi dalam Cerpen “Shifu Semakin Lama
Semakin Konyol”, Depok: FIB UI (tugas akhir/jurnal mahasiswa).

o

Xia Zhiqing 夏志清, 2005, Zhongguo Xiandai Xiaoshuoshi (中国现代小说史 ), Shanghai: Fudan
Daxue Chubanshe

o Yee, F. S., 1957, “Chinese Communist Police and Courts”. The Journal of Criminal Law,
Criminology, and Police Science, 83-92.

550

Seminar NasionalHimpunanSarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Surabaya
Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

o Zhang, Tianyi 张天翼, 2002, Hua Wei Xiansheng (华威先生) dalam Zhongguo Xiandai
Mingjia Duanpian Xiaoshuo Xuan (中国现代名家短篇小说选 ). Beijing: Waiwen Chuban
She.