BAB II LANDASAN TEORI - Perancangan Model Pengukuran Kinerja Dengan Metode Quantitative Models For Performance Measurement System (QMPMS) Berdasarkan Persepsi Mahasiswa Di STMIK IBBI Medan

BAB II LANDASAN TEORI

4.1. Deskripsi Teori

2.1.1. Sistem Pengukuran Kinerja

  Pengukuran kinerja menurut Neely et. al., (2005) adalah proses kuantifikasi tindakan, dimana pengukuran adalah proses kuantifikasi, dan tindakan mengarah kepada kinerja. Tujuan lebih lanjut dari kinerja ini adalah adanya efisiensi dan efektifitas dari setiap tindakan yang diambil. Secara lebih luas pengukuran kinerja dapat diartikan sebagai suatu proses penilaian kemajuan yang dicapai perusahaan dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan termasuk didalamnya penilaian mengenai efisiensi sumber daya dalam menghasilkan produk dan jasa, kualitas output perusahaan dan efektifitas kegiatan organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Taufiqurrahman, 2011).

  Menurut Yuwono et. al., (2004) pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian (Taufiqurrahman, 2011).

  U.S. General Accounting Office (Artley et al, 2001) mendefinisikan pengukuran

  kinerja sebagai suatu aktivitas memonitor secara terus-menerus terhadap pencapaian program, terutama kemajuan ke arah pencapaian tujuan jangka panjang. Di dalam pengukuran kinerja, disebutkan tentang level dari aktivitas yang berhubungan dengan program, output dari program, baik berupa produk secara langsung maupun jasa, serta

  

outcome dari produk atau jasa tersebut. Program yang dimaksud tersebut dapat berupa

aktivitas, proyek, fungsi, atau kebijaksanaan yang mengidentifikasikan tujuan.

  Dari definisi-definisi tersebut, terdapat dua dimensi penting yang menggambarkan pengukuran kinerja yaitu efisiensi dan efektivitas. Sumanth (1984) mendefinisikan efisiensi sebagai rasio jumlah output yang dihasilkan terhadap jumlah standar output yang diharapkan. Sedangkan, efektivitas adalah derajad pencapaian sasaran. Dengan perkataan lain, efektivitas adalah suatu ukuran yang menjelaskan seberapa baik hasil yang dicapai relatif terhadap sasaran yang ditetapkan.

  Pengukuran kinerja pada suatu perusahaan dalam periode atau jangka waktu tertentu sangat diperlukan agar prestasi perusahaan dalam periode tersebut dapat diketahui, apakah sudah mencapai kinerja yang diharapkan atau belum, sehingga dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat antara kegiatan pengukuran kinerja yang telah dilakukan dengan hasil akhir yang dicapai. Pengukuran kinerja merupakan komponen dalam performance-based management, yaitu suatu aplikasi informasi sistematik yang dibangun berdasarkan perencanaan, pengukuran, dan evaluasi kinerja menuju perencanaan yang strategik. Hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan landasan bagi perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan dan melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kinerja, sehingga pada akhirnya perusahaan dapat meningkatkan daya saingnya.

  Artley, et. al., (2001) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja sangat diperlukan karena:

  1. Pengukuran lebih memfokuskan suatu perusahaan pada apa yang ingin

  diselesaikan dan memaksa untuk berkonsentrasi pada waktu, sumber daya, dan energi dalam mencapai tujuan.

  2. Pengukuran kinerja dapat memperbaiki komunikasi internal karyawan dan eksternal antar perusahaan dengan konsumen maupun stakeholders.

  3. Pengukuran kinerja akan sangat bermanfaat bagi perusahaan, yaitu dengan

  menyediakan suatu pendekatan yang terstruktur, yang berfokus pada rencana strategis, tujuan, dan performansi, serta adanya mekanisme pelaporan pada manajemen tingkat atas.

  4. Pengukuran kinerja dapat membantu suatu perusahaan untuk mempertanggung jawabkan program serta biayanya.

  Neely et. al., (2005) mendefinisikan sistem pengukuran kinerja sebagai seperangkat ukuran kinerja yang digunakan untuk mengkuantifikasi baik efisiensi maupun efektifitas dari tindakan-tindakan. Sistem pengukuran kinerja dapat diuji pada tiga tingkatan yang berbeda, yaitu:

  1. Pengukuran kinerja secara individu.

  2. Seperangkat pengukuran kinerja

  • –sistem pengukuran kinerja sebagai entitas.

  3. Hubungan antara sistem pengukuran kinerja dan lingkungan dimana dioperasikan.

  Kerangka kerja perancangan pengukuran kinerja menurut Neely dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut.

Gambar 2.1 Kerangka kerja untuk merancang sistem pengukuran kinerja

  (Sumber : Neely et. al., 2005) Najmi, et. al., (2005) menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam perancangan sistem pengukuran kinerja, yaitu:

  1. Arah Menentukan arah perusahaan secara jelas dengan mendefinisikan visi, misi dan tujuan strategis perusahaan.

  2. Proses-proses Arah perusahaan diimplementasikan dengan dalam setiap proses dan aktivitas dengan menerapkan improvement process practices.

  3. Pengukuran Setiap proses diukur menggunakan Indikator pengukuran.

  Interaksi ketiga elemen dasar tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.2. berikut.

Gambar 2.2. Pendekatan Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja

  (sumber : Najmi, et. al, 2005)

2.1.2. Indikator Kinerja

  Moeheriono (2012) merangkum definisi-definisi indikator kinerja sebagai berikut:

  1. Nilai atau karakteristik tertentu yang digunakan untuk mengukur output atau outcome suatu kegiatan/tindakan.

  2. Alat ukur yang digunakan untuk menentukan derajat keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.

  3. Ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi.

  4. Informasi operasional yang berupa indikasi mengenai kinerja atau kondisi suatu fasilitas atau kelompok fasilitas.

  Mustopadidjaja (2000) menyatakan bahwa di dalam pengukuran kinerja akan dimunculkan indikator-indikator kinerja, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:

  1. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

  2. Dapat diukur secara obyektif, baik yang bersifat kuantitatif, maupun kualitatif.

  3. Relevan, harus menangani aspek-aspek obyektif yang relevan.

  4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna. Hal ini bertujuan agar pengukuran kinerja dapat menunjukkan keberhasilan masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak, serta proses.

  5. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan atau penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan .

  6. Efektif. Data atau informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan dan diolah, dan dianilisis dengan biaya yang tersedia.

2.1.3. Quantitave Models for Performance Measurement System (QMPMS)

  Menurut Bititci, et al. (2001) sistem pengukuran kinerja melibatkan sejumlah ukuran-ukuran kinerja multi dimensional, seperti biaya, kualitas, waktu, dll. Integrasi beberapa ukuran multi dimensional yang ditunjukkan dalam unit-unit heterogen menjadi sebuah unit tunggal merupakan suatu masalah yang perlu dihadapi. Berikut ini tiga langkah utama metode QMPMS dalam penyusunan sistem pengukuran kinerja:

  1. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan hubungannya.

  2. Menyusun faktor-faktor tersebut secara hirarki.

  3. Mengukur pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kinerja. Ketiga langkah pendekatan diatas dikembangkan sebagai model acuan dari metode QMPMS ditunjukkan pada Gambar 2.3. berikut.

Gambar 2.3. Kerangka kerja pendekatan QMPMS

  (Sumber : Bititci, et al., 2001)

2.1.3.1 Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja dan Hubungannya

  Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja merupakan langkah yang paling penting dalam penerapan QMPMS. Kegagalan dalam mengidentifikasi seluruh faktor yang mempengaruhi kinerja dan hubungannya akan menyebabkan gangguan terhadap hasil rancangan. Untuk menyelidiki dan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut digunakan peta kognitif (cognitive maps). Step 1 Identification of factors affecting performance and their relationship. Tools: Cognitive maps Step 2 Structuring the factors hierarchically Tools: Cause and Effect Diagrams and Structured Diagrams Step 3 Quantifying the effects of factors on performance Tools: Analytic Hierarchy Process

  Suwignjo, et al (2000) memberikan contoh peta kognitif sebagai berikut, misalkan seseorang ingin pindah ke negara lain. Dia ingin memilih negara yang dapat menambah kekayaannya di Bank. Dia dapat menggunakan cognitive maps untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uangnya di bank, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.

  • >
Gambar 2.4. Cognitive Maps

  (Sumber : Suwignjo, et al., 2000) Secara umum pengaruh dari sebuah faktor terhadap kinerja dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Direct (vertical) effect (pengaruh langsung) Pengaruh langsung dari sebuah faktor terhadap kinerja adalah sebuah agregat/kumpulan dari seluruh pengaruh dari faktor kinerja terhadap kinerja melalui faktor itu.

  2. Indirect (horizontal) effect (pengaruh tidak langsung)

  Indirect effect adalah pengaruh dari sebuah faktor terhadap kinerja melalui

  faktor lain pada level yang sama

  Amount of money in the bank Initial Deposit

  Interest Savings paid in

  3. Self-interaction effect

  Self-interaction effect adalah pengaruh dari sebuah faktor terhadap dirinya sendiri.

2.1.3.2 Menyusun Faktor-Faktor Secara Hirarki

  Pada langkah pertama, perhatian utama hanya menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan hubungannya. Tidak ada usaha untuk mengelompokkan faktor-faktor pada level yang sama dalam satu kelompok. Tools yang digunakan untuk menyusun hirarki adalah Cause and effect diagram dan tree diagram. Diagram sebab akibat ditunjukkan pada Gambar 2.5. berikut.

  Interest Amount of money in the bank Saving s Initial Deposit paid in

Gambar 2.5. Diagram Sebab Akibat

  (Sumber : Suwignjo, et al., 2000) Diagram sebab akibat digunakan untuk mengetahui susunan hirarki dari faktor- faktor tersebut. Sebuah faktor adalah anggota level 0 jika faktor ini dipengaruhi oleh faktor lain namun tidak mempengaruhi faktor lain. Sementara, faktor yang secara langsung mempengaruhi faktor lain pada level tertentu akan menjadi anggota level berikutnya yang lebih rendah.

  Diagram pohon yang digunakan dalam penyusunan hirarki dapat dilihat pada Gambar 2.6. berikut.

  Amount of money in the Bank Interest Savings paid in Initials deposit

Gambar 2.6. Tree Diagram

  (Sumber : Suwignjo, et al., 2000) Diagram pohon dapat digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai struktur hirarki.

2.1.3.3 Mengukur Pengaruh Faktor-Faktor Terhadap Kinerja

  Pengaruh relatif dari faktor-faktor (direct, indirect, dan self interaction) dapat diukur menggunakan prosedur Analytical Hierarchy Process (AHP). Proses pengukuran dijalankan berdasarkan hasil perbandingan berpasangan diantara faktor-faktor. Untuk tiap pasangan faktor dari level tertentu, pengaruhnya terhadap faktor lain dari level berikutnya yang lebih tinggi (direct effect) atau terhadap faktor dalam kelompok yang sama (indirect effect) dibandingkan. Sebuah nilai yang berada antara satu (sama-sama penting) dan sembilan (pasti lebih penting) akan ditetapkan untuk tiap perbandingan, bergantung pada pertimbangan subyektif dari analisis. Pengaruh-pengaruh relatif dari faktor-faktor terhadap kinerja dapat dibangkitkan dengan menormalisasi eigen vector dihubungkan dengan nilai eigen maksimum dari matriks perbandingan berpasangan.

  Kuesioner perbandingan berpasangan dan matriks perbandingan berpasangan ditunjukkan pada Gambar 2.7. berikut.

Gambar 2.7. (a) kuesioner perbandingan berpasangan,

  (b) matriks perbandingan berpasangan (Sumber : Suwignjo, et al., 2000)

  Structural equation modeling (SEM) adalah suatu teknik statistik yang mampu

  menganalisis pola hubungan antara konstruk laten dan indikatornya, konstruk laten yang satu dengan lainnya, serta kesalahan pengukuran secara langsung. SEM memungkinkan dilakukannya analisis di antara beberapa variabel dependen dan independen secara langsung (Hair et al, 2006).

  Teknik analisis data menggunakan SEM, dilakukan untuk menjelaskan secara menyeluruh hubungan antar variabel yang ada dalam penelitian. SEM digunakan bukan untuk merancang suatu teori, tetapi lebih ditujukan untuk memeriksa dan membenarkan Amount of Deposit Interest Saving Priority money in bank Deposit 1 5 1/5 0.212 Interest 1/5 1 1/8 0.062 Saving 5 8 1 0.726 The priority in the table is computed using QMPMS software developed at DMEM. Level : 0 Factor : Amount of money in bank. Sub-factors : Initial deposit, Interest, Saving. Row Absolutely Very Strong Weak Equal Weak Strong Very Absolutely Column Strong Strong 1.1 Deposit - - V - - - - - - 1.2 Interest 1.1 Deposit - - - - - - V - - 1.3 Saving 1.2 Interest - - - - - - - - V - 1.3 Saving

  (a) (b)

2.1.4. Structural Equation Modeling (SEM)

  suatu model. Oleh karena itu, syarat utama menggunakan SEM adalah membangun suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur yang berdasarkan justifikasi teori. SEM adalah merupakan sekumpulan teknik-teknik statistik yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan secara simultan. Hubungan itu dibangun antara satu atau beberapa variabel independen (Santoso, 2011).

  SEM menjadi suatu teknik analisis yang lebih kuat karena mempertimbangkan pemodelan interaksi, nonlinearitas, variabel-variabel bebas yang berkorelasi (correlated

  

independent ), kesalahan pengukuran, gangguan kesalahan-kesalahan yang berkorelasi

  (correlated error terms), beberapa variabel bebas laten (multiple latent independent) dimana masing-masing diukur dengan menggunakan banyak indikator, dan satu atau dua variabel tergantung laten yang juga masing-masing diukur dengan beberapa indikator. Dengan demikian menurut definisi ini SEM dapat digunakan alternatif lain yang lebih kuat dibandingkan dengan menggunakan regresi berganda, analisis jalur, analisis faktor, analisis time series, dan analisis kovarian (Byrne, 2010).

  Yamin (2009) mengemukakan bahwa di dalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan analisis faktor konfirmatori), pengujian model hubungan antar variabel laten (setara dengan analisis path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prediksi (setara dengan model struktural atau analisis regresi).

  Dua alasan yang mendasari digunakannya SEM adalah (1) SEM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi hubungan antar variabel yang bersifat multiple

  

relationship. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstruk dependen dan independen). (2) SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola hubungan antara konstruk laten dan variabel manifes atau variabel indikator.

  Menurut Wijanto (2008), dari segi metodologi, SEM memainkan berbagai peran, dianataranya, sebagai sistem persamaan simultan, analisis kausal linier, analisis lintasan (path analysis), analysis of covariance structure, dan model persamaan struktural. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang membedakan SEM dengan regresi biasa maupun teknik multivariat yang lain, karena SEM membutuhkan lebih dari sekedar perangkat statistik yang didasarkan atas regresi biasa dan analisis varian. SEM terdiri dari 2 bagian yaitu model variabel laten dan model pengukuran. Kedua model SEM ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan regresi biasa. Regresi biasa, umumnya, menspesifikasikan hubungan kausal antara variable-variabel teramati (observed

  

variable ), sedangkan pada model variabel laten SEM, hubungan kausal terjadi diantara

variable-variabel tidak teramati (unobserved variables) atau variable-variabel laten.

  Wijanto (2008) menunjukan bahwa penggunaan variable-variabel laten pada regresi berganda menimbulkan kesalahan-kesalahan pengukuran (measurements errors) yang berpengaruh pada estimasi parameter dari sudut biased-unbiased dan besar kecilnya variance. Masalah kesalahan pengukuran ini diatasi oleh SEM melalui persamaan-persamaan yang ada pada model pengukuran. Parameter-parameter dari persamaan pada model pengukuran SEM merupakan “muatan faktor” atau factor

  

loadings dari variabel laten terhadap indicator-indikator atau variable-variabel termati

  yang terkait. Dengan demikian, kedua model SEM tersebut selain memberikan informasi tentang hubungan kausal simultan di antara variable-variabelnya juga memberikan informasi tentang muatan faktor dan kesalahan-kesalahan pengukuran. Wijanto (2008) lebih mendorong penggunaan SEM dibandingkan regresi berganda karena 5 alasan sebagai berikut:

  1. SEM memeriksa hubungan di antara variabel-variabel sebagai sebuah unit, tidak seperti pada regresi berganda yang pendekatannya sedikit demi sedikit (piecemeal).

  2. Asumsi pengukuran yang andal dan sempurna pada regresi berganda tidak dapat dipertahankan, dan pengukuran dengan kesalahan dapat ditangani dengan mudah oleh SEM.

  3. Modification Index yang dihasilkan SEM menyediakan lebih banyak isyarat tentang arah penelitian dan pemodelan yang perlu ditindaklanjuti dibandingkan pada regresi.

  4. Interaksi juga dapat ditangani dalam SEM.

  5. Kemampuan SEM dalam menangani non recursive path.

  2.1.4.1. Penerapan SEM dalam Metode QMPMS Tiga langkah utama metode QMPMS dalam penyusunan sistem pengukuran kinerja dapat dianalisis menggunakan metode structural equation modeling. Dengan penggunaan SEM pada langkah-langkah dalam QMPMS maka tidak perlu digunakan lagi cognitive map, tree diagram, cause and effect diagram, dan analytical hierarchy

  

process sebagai alat bantu. Prosedur pengujian SEM yang dilakukan adalah sebagai

  berikut:

  1. Pengembangan model struktural berdasarkan teori yang mendukung

  Tahap ini untuk mengidentifikasi seluruh faktor yang mempengaruhi kinerja dan hubungannya, apakah berpengaruh langsung (direct effect), tidak langsung (indirect effect), atau self-interaction effect. Tujuan dari pengembangan model struktural untuk menguji validitas dan realibilitas pola hubungan antar variabel dari sebuah konsep atau teori yang direpresentasikan dengan sebuah model sehubungan dengan masalah yang akan diteliti.

  2. Pengembangan diagram jalur pola hubungan sebab akibat antar variabel laten eksogen dan variabel laten endogen Langkah satu adalah visualisasi pola hubungan tersebut dalam diagram sehingga lebih mudah untuk dilakukan pengujian. Karena goodness of fit test akan dikenakan terhadap model tersebut untuk menguji kesesuaiannya dengan realita maka sebaiknya disiapkan beberapa alternatif model pola hubungan.

  3. Pengembangan model persamaan struktural dan model pengukuran Setalah proses identifikasi maka dilakukan penyusunan faktor-faktor secara hirarki menggunakan diagram pohon dan diagram sebab akibat. Untuk menunjukkan tingkatan (level) dari setiap faktor (variabel) dan hubungannya.

  Apabila diagram jalur pola hubungan antara variabel laten eksogen dan endogen telah jelas dan koefisien hubungan masing-masing variabel diidentifikasi maka model persamaan struktural dan model persamaan pengukuran telah dapat dirumuskan. Langkah berikutnya dilakukan perumusan hipotesis yang ditindaklanjuti dengan pengumpulan data dengan menggunakan instrumen yang mengacu kepada variabel manifes dari masing-masing variabel laten. Untuk pengujian hipotesis dalam teknik SEM perhitungan skor butir-butir yang valid dan reliabel dilakukan dengan menggunakan metode confirmatory factor analysis (CFA).

  4. Menyusun matriks input dan estimasi model Tahap terakhir dalam perancangan model pengukuran kinerja ini adalah dengan mengukur pengaruh dari faktor-faktor terhadap kinerja dengan menggunakan perbandingan matriks dalam prosedur SEM. Ada dua tipe matriks yang perlu dibuat. Matriks pertama adalah matriks korelasi yaitu matriks yang elemen-elemennya adalah hasil perhitungan koefisien korelasi antar variabel laten. Berdasarkan variabel laten akan diketahui variabel laten eksogen mana yang lebih kuat pengaruhnya terhadap variabel laten endogen tertentu. Disamping itu, dengan diketahuinya koefisien korelasi antar variabel laten dalam diagram jalur maka dapat pula diketahui jalur-jalur mana yang mempunyai pengaruh yang lebih dominan.

  Matriks kedua ialah matriks kovarians yaitu matriks yang ele-men- elemennya adalah hasil perhitungan kovarians antar variabel yang dapat diobservasi langsung yaitu antar variabel manifes X dan variabel manifes Y. Koefisien kovarians mengukur hubungan antar dua variabel laten dalam struktur.

  ∑( ̅)( ̅)

  ...............(2.1.)

  5. Melakukan evaluasi kesesuaian model Evaluasi kesesuaian model dapat dibagi atas dua bagian yaitu pertama menguji kesesuaian model secara keseluruhan (overall model fit test) dan kedua menguji secara individual signifikansi hasil estimasi parameter model. Pengujian model keseluruhan berkaitan dengan masalah generalisasi yaitu mengevaluasi sejauh mana hasil esitimasi parameter model dapat diberlakukan terhadap populasi. Pengujian signifikansi berkaitan dengan pengujian hipotesis penelitian yang diajukan.

  Evaluasi kesesuaian model pada dasarnya adalah evaluasi tentang kesesuaian pola hubungan antar variabel laten terhadap data empiris. Tujuan yang ingin dicapai dari pengujian kesesuaian model pengukuran ialah untuk mengetahui apakah model pengukuran sesuai (fit) dengan data.

  Untuk menguji kesesuaian model digunakan ukuran goodness of fit test

  2 (GFT) melalui uji statistik chi kuadrat X test ) pada .

  ...............(2.2.) ( )( ∑ )

  6. Interpretasi dan modifikasi model Fokus dari interpretasi hasil analisis adalah penjelasan tentang arti dan hasil dari hasil pengujian kesesuaian model baik jika hasil pengujian fit ataupun tidak fit dengan data empiris. Interpretasi juga diberikan terhadap hasil pengujian signifikansi masing-masing koefisien bobot (load) dikaitkan dengan hasil pengujian validitas dan realibilitas. Khusus untuk jalur interpretasi diberikan terhadap masing-masing efek baik, efek langsung, tidak langsung maupun efek total.

4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Perguruan Tinggi

  Perguruan tinggi didedikasikan untuk: (1) menguasai, memanfaatkan, mendiseminasikan, mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks), (2) mempelajari, mengklarifikasikan dan melestarikan budaya, serta (3) meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perguruan tinggi sebagai lembaga melaksanakan fungsi tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengelola ipteks.

  Untuk menopang dedikasi dan fungsi tersebut, perguruan tinggi harus mampu mengatur diri sendiri dalam upaya meningkatkan dan menjamin mutu secara terus menerus, baik masukan, proses maupun keluaran berbagai program dan layanan yang diberikan kepada masyarakat. (Badan Akreditasi Nasional (BAN), 2011)

  Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik, perguruan tinggi harus secara aktif membangun sistem penjaminan mutu internal. Untuk membuktikan bahwa sistem penjaminan mutu internal telah dilaksanakan dengan baik dan benar, perguruan tinggi harus diakreditasi oleh lembaga penjaminan mutu eksternal. Dengan sistem penjaminan mutu yang baik dan benar, perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu, menegakkan otonomi, dan mengembangkan diri sebagai institusi akademik dan kekuatan moral masyarakat secara berkelanjutan.

  Perguruan Tinggi yang ideal (das sollen) harus memenuhi kriteria antara lain, memiliki SDM profesional dan bermutu, sanggup membangun kepercayaan masyarakat, memiliki sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan yang memadai, organisasi berjalan secara efektif dan dinamis, serta selalu memperhatikan dan meningkatkan kualitas kinerjanya. Sementara itu fenomena atau gambaran empirik universitas swasta di daerah (das sein) memperlihatkan; tingkat pendidikan dan kepakaran pimpinan relatif rendah, posisi jabatan kunci masih ada yang dirangkap oleh dosen/pejabat PTN/PNS lainnya, organisasi belum berjalan dinamis dan efektif (adanya kendala hubungan yayasan dengan universitas), kualitas lulusan rendah, sarana kampus dan fasilitas akademik lainnya relatif terbatas, kepercayaan stakeholders kecil bahkan belum tampak, peringkat akreditasi BAN PT sebagian besar masih berkisar pada peringkat C.

2.2.1. Kompetensi Dosen

  Dosen merupakan komponen yang penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar di perguruan tinggi, semakin baik peran dosen akan semakin baik hasil belajar mahasiswanya. Menurut Dyah Kusumastuti (2001), dosen merupakan komponen vital, penggerak utama dari sistem pendidikan dan pengajaran yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas perguruan tinggi. Dosen sebagai salah satu penjamin mutu dalam proses pendidikan merupakan tenaga kependidikan yang profesional dituntut mempunyai kompetensi sehingga dapat mewujudkan standar kinerja yang bermutu, selanjutnya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu kinerja organisasi perguruan tinggi dan berdampak pada mutu pendidikan atau lulusan.

  Menurut Saud (2009), seorang profesional yang kompeten itu harus dapat menunjukkan karakteristik utamanya, antara lain: 1. mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional.

  2. menguasai perangkat pengetahuan (teori dan konsep, prinsip dan kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan informasi, dan sebagainya) tentang seluk beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya. 3. menguasai perangkat keterampilan (strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen, dan sebagainya) tentang cara bagaimana dan dengan apa harus melakukan tugas pekerjaannya. 4. memahami perangkat persyaratan ambang (basic standards) tentang ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat ditoleransikan dari kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang dilakukannya. 5. memiliki daya (motivasi) dan citra (aspirasi) unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya.

  6. memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas penguasaan perangkat kompetensinya dalam batas tertentu yang didemonstrasikan (observeable) dan teruji (measureable) sehingga memungkinkan memperoleh pengakuan pihak berwenang (certifiable).

2.2.2. Learning Ability Mahasiswa

  Mahasiswa adalah kelompok pemangku kepentingan internal yang mendapatkan manfaat, dan sekaligus sebagai pelaku, proses pembentukan nilai tambah dalam penyelenggaraan kegiatan/program akademik yang bermutu di perguruan tinggi. Mahasiswa merupakan pembelajar yang membutuhkan pengembangan diri secara holistik yang mencakup unsur fisik, mental, dan kepribadian sebagai sumber daya manusia yang bermutu di masa depan. Mahasiswa perlu memiliki nilai-nilai profesionalisme, kemampuan adapatif, kreatif dan inovatif dalam mempersiapkan diri memasuki dunia profesi dan atau dunia kerja (BAN, 2011). Learning ability mahasiswa adalah kemauan dan usaha dari mahasiswa untuk mengembangkan diri.

  2.2.3. Dukungan Fasilitas

  Fasilitas pendidikan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan proses akademik sebagai alat teknis dalam mencapai maksud, tujuan, dan sasaran pendidikan yang bersifat mobile (dapat dipindah-pindahkan), antara lain komputer, peralatan dan perlengkapan pembelajaran di dalam kelas, laboratorium, kantor, dan lingkungan akademik lainnya.

  Pengelolaan fasilitas perguruan tinggi meliputi perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemeliharaan, pemutakhiran, inventarisasi, dan penghapusan aset yang dilakukan secara baik, sehingga efektif mendukung kegiatan penyelenggaraan akademik di perguruan tinggi. Kepemilikan dan aksesibilitas fasilitas sangat penting untuk menjamin mutu penyelenggaraan akademik secara berkelanjutan.

  2.2.4. Alumni

  Alumni adalah status yang dicapai mahasiswa setelah menyelesaikan proses pendidikan sesuai dengan persyaratan kelulusan yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.

  Sebagai salah satu keluaran langsung dari proses pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi, lulusan yang bermutu memiliki ciri penguasaan kompetensi akademik termasuk hard skills dan soft skills sebagaimana dinyatakan dalam sasaran mutu serta dibuktikan dengan kinerja lulusan di masyarakat sesuai dengan profesi dan bidang ilmu.

  Dukungan alumni adalah feedback yang diberikan oleh lulusan dalam mengembangkan perguruan tinggi. Jika feedback baik, maka kinerja perguruan tinggi dikatakan baik.

  (BAN, 2011)

2.2.5. Administrasi Akademik

  Salah satu bentuk pelayanan sebuah perguruan tinggi adalah pelayanan administrasi akademik. Administrasi akademik adalah suatu rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai suatu tujuan yang telah dirumuskan secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan formal (Daryanto, 2010). Mahasiswa merupakan pelanggan atau konsumen bagi institusi pendidikan tinggi. Institusi sudah seharusnya dapat menjamin kepuasan mahasiswa, tidak hanya dalam proses belajar mengajar, tetapi mencakup pula dalam pelayanan administrasinya. Pelayanan administrasi akademik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh kegiatan pendidikan.

  Pelayanan administrasi akademik sangat penting dalam menunjang kelancaran studi selama di perguruan tinggi dan setelah lulus. Peran pelayanan administrasi akademik menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh komponen yang terlibat dalam pengembangan perguruan tinggi. Proses administrasi akademik merupakan bagian yang paling banyak bersentuhan dengan mahasiswa, sehingga yang terpikir pertama kali oleh mahasiswa ketika ditanya bagaimana kualitas pelayanan di sebuah perguruan tinggi, maka yang dinilainya adalah pelayanan administrasi akademik, meskipun beberapa aspek sudah terkomputerisasi dan sudah online, namun pelayanan secara manual tetap diperlukan.

2.2.6. Promosi

  Promosi adalah sejenis komunikasi yang memberi penjelasan dan meyakinkan calon konsumen mengenai barang dan jasa dengan tujuan untuk memperoleh perhatian, mendidik, mengingatkan dan meyakinkan calon konsumen (Buchari Alma, 2006). Promosi merupakan alat komunikasi dan penyampaian pesan yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun perantara dengan tujuan memberikan informasi mengenai produk, harga dan tempat. Informasi itu bersifat memberitahukan, membujuk, mengingatkan kembali kepada konsumen, para perantara atau kombinasi keduanya. Jika promosi berhasil, maka kinerja institusi dikatakan baik.

  Dalam promosi juga, terdapat beberapa unsur yang mendukung jalannya sebuah promosi tersebut yang biasa disebut bauran promosi. Adapun bauran promosi menurut Plilip Kotler adalah sebagai berikut (Drs. Djaslim Saladin, 2004):

  1. Periklanan (Advertising) adalah semua bentuk penyajian nonpersonal, promosi ide-ide, promosi barang atau jasa yang dilakukan oleh sponsor yang dibayar.

  2. Promosi Penjualan (Sales Promotion) adalah variasi insentif jangka pendek untuk merangsang pembelian atau penjualan suatu produk atau jasa.

  3. Hubungan masyarakat dan Publisitas (Public Relation and Publicity) adalah suatu usaha (variasi) dari rancangan program guna memperbaiki, mempertahankan, atau melindungi perusahaan atau citra produk.

  4. Penjualan Personal (Personal Selling) adalah penyajian lisan dalam suatu pembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli potensial dengan tujuan untuk melakukan penjualan.

  5. Pemasaran Langsung (Direct Marketing) Komunikasi secara langsung yang digunakan dari mail, telepon, fax, e-mail, atau internet untuk mendapatkan tanggapan langsung dari konsumen secara jelas.

2.2.7. Proses Pembelajaran

  Pembelajaran (tatap muka atau jarak jauh) adalah pengalaman belajar yang diperoleh mahasiswa dari kegiatan belajar, seperti perkuliahan, praktikum atau praktek, magang, pelatihan, diskusi, lokakarya, seminar, dan tugas-tugas pembelajaran lainnya. Dalam pelaksanaan pembelajaran digunakan berbagai pendekatan, strategi, dan teknik, yang menantang agar dapat mengkondisikan mahasiswa berpikir kritis, bereksplorasi, berkreasi, dan bereksperimen dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar.

  Dalam proses pembelajaran, dosen sebagai pengajar akan menggunakan pedoman dalam kurikulum dalam menjalankan tugasnya. Melalui proses pembelajaran terjadi penyampaian informasi dan ilmu pengetahuan serta penanaman nilai-nilai maupun sikap. Pada akhir suatu proses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi akan diperoleh lulusan (out put) yang dapat mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (Dirjen Dikti, 2001) Di dalam perilaku organisasi, proses belajar itu didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman hidup. Dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan perilaku itu menunjukkan telah terjadinya proses belajar dan proses belajar itu sendiri adalah perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses belajar tersebut. Jika perubahan menjadikan lebih baik, maka kinerja menjadi lebih baik. Sebaliknya bila tidak, maka kinerjanya menurun (Sagala, 2010).

4.3. Pengukuran Kinerja Perguruan Tinggi

  Salah satu yang dapat dijadikan acuan dalam menilai kinerja perguruan tinggi adalah dengan melihat sistem pemeringkatan perguruan tinggi nasional dan dunia yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan lembaga‐lembaga independen. Beberapa teknik pemeringkatan yang diakui dan telah menjadi acuan diantaranya adalah:

  1. Badan Akreditasi Nasional

  Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1994 dengan tugas melakukan akreditasi terhadap perguruan tinggi. Standar akreditasi perguruan tinggi mencakup standar tentang komitmen perguruan tinggi terhadap kapasitas institusional (institutional capacity) dan komitmen terhadap efektivitas program pendidikan (educational effectiveness), yang dikemas dalam tujuh standar akreditasi, yaitu: a. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian

  b. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu

  c. Mahasiswa dan lulusan

  d. Sumber daya manusia

  e. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik

  f. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi

  g. Penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama

  2. Thes World University Rangking

  Dari sekian banyak sistem pemeringkatan yang ada, salah satu yang terpopuler adalah THES World University Ranking atau lebih dikenal dengan QS Star (Quacquarelli Symonds). Sejak diluncurkan pada tahun 2004, QS Star berkembang menjadi sistem pemeringkatan paling komprehensif di dunia. Di dalam QS Star terdapat 4 kriteria utama yang diperhitungkan, yaitu: a. Research Quality (60%), meliputi: Academic Peer Review dan Citation Per

  Faculty

  b. Graduate Employability (10%)

  c. International Outlook (10%), meliputi: International Students dan

  International Faculty

  d. Teaching Quality (20%)

3. ARWU (Academic Ranking of World Universities)

  Lebih dikenal dengan Shanghai Ranking merupakan sistem pemeringkatan yang pertama kali diperkenalkan oleh Center for World Class Universities dan

  Institute of Higher Education of Shanghai Jiao Tong University di China pada

  Juni 2003. Dan kemudian secara rutin dilakukan update pemeringkatan setiap tahunnya. Kriteria ‐kriteria yang digunakan dalam ARWU meliputi:

  a. Quality of Education (10%)

  b. Quality of Faculty (40%)

  c. Research Output (40%)

  d. Academic performance (10%)

4.4. Review Hasil Penelitian

  Penelitian atau research yang berkenaan dengan perancangan sistem pengukuran kinerja dalam bidang pendidikan sudah dilakukan oleh beberapa ahli. I Made Suardika (2007) melakukan perancangan sistem pengukuran kinerja di Jurusan Teknik Mesin Universitas Mataram menggunakan metode Integrated Performance Measurement

  

System (IPMS). Dengan metode IPMS, Key Performance Indicators (KPI) Jurusan

  Teknik Mesin ditentukan berdasarkan stakeholder requirement melalui empat tahapan yaitu; identifikasi stakeholder requirement, external monitor, penetapan objectives, dan identifikasi KPIs.

  Hasil perancangan mengidentifikasi 38 KPIs yang dikelompokkan dalam 9 kriteria kinerja Jurusan Teknik Mesin, yaitu 2 KPI kurikulum, 5 KPI mahasiswa, 3 KPI finansial, 7 KPI sumber daya manusia, 3 KPI administrasi akademik, 7 KPI proses pembelajaran, 6 KPI alumni, 2 KPI evaluasi dan pengendalian, 3 KPI external party.

  Hasil pembobotan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa prioritas utama dari sembilan kriteria yang ada adalah kurikulum dengan bobot terbesar yaitu 0,189 dan yang terendah adalah external party sebesar 0,049.

  Penelitian serupa dilakukan oleh Widyaswanti (2010) di Program Studi Teknik Industri Universitas Trunojoyo, Madura. Metode yang digunakan adalah Performance

  

Prism . Pengukuran kinerja dengan metode ini tidak hanya didasari oleh strategi proses

  dan kapabilitas dari universitas tersebut, tetapi juga memperhatikan kepuasan dan kontribusi stakeholder. Terbukti pada penelitian tersebut penyusunan KPI Program Studi dimulai dari mengidentifikasi kepuasan dan kontribusi para stakeholder untuk menentukan indikator kinerja dari kriteria strategi, proses dan kapabilitas Program Studi.

  Hasil rancangan menunjukkan bahwa stakeholder Program Studi meliputi: mahasiswa, dosen/pengajar, manajemen Program Studi, Fakultas dan Universitas, Orang tua mahasiswa, Pengguna lulusan, dan Pemerintah pendidikan. Sistem pengukuran kinerja memuat 40 KPI yang meliputi, 5 KPI fasilitas perkuliahan dan praktikum, 14 KPI untuk karakteristik dosen, 15 KPI karakteristik mahasiswa, dan 6 KPI untuk Program Studi. Hasil pembobotan menunjukkan bahwa KPI dengan bobot tertinggi adalah Persentase rata-rata kehadiran dosen yaitu 0,547 dan terendah adalah jumlah mahasiswa baru yang diterima sebesar 0,065.

  Penelitian lain yang secara khusus mencari indikator kinerja pada bidang akademik institusi perguruan tinggi dilakukan oleh Sadaf Ashraf (2012). Metode yang digunakan adalah Balance Scorecard. Sebelum tahap perancangan dilakukan analisis untuk mengetahui apakah ada pengaruh kriteria kepemimpinan dengan indikator kinerja di dunia pendidikan, dan apakah ada perbedaan indikator kinerja antara perguruan tinggi swasta dan negeri. Penelitian berhasil mendefinisikan 17 KPI untuk 4 perspektif, yaitu 4 KPI perspektif internal proses, 6 KPI perspektif finansial, 4 KPI perspektif pelanggan, dan 3 KPI perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.

  Penelitian lain dilakukan oleh Sivaraman (2014) di Oman. Penelitian dilakukan di Sekolah Tinggi Teknik menggunakan metode Balance Scorecard. Fokus penelitian pada perancangan indikator kinerja dari pernyataan visi dan misi. Penelitian berhasil mendefinisikan 14 indikator kinerja kunci (KPI), dengan perincian 4 KPI untuk mengukur kinerja kriteria mahasiswa, 4 KPI kriteria staff, dan 6 KPI kriteria manajemen. Penelitian juga menjelaskan bahwa pernyataan visi dan misi dapat membantu organisasi dalam melakukan transformasi untuk memperoleh kinerja yang lebih baik.

  Berdasarkan uraian-uraian tersebut, pada Tabel 2.1. dapat dilihat rangkuman mengenai berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kinerja institusi perguruan tinggi.

Tabel 2.1. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan

  6 Brent D. Ruben (1999) Toward a Balance Scorecard Higher Education : Rethinking the College and University Excellence Indicators Framework

  Quality Measures in Higher Education: A Review and Conceptual Model Physical Aspects, Reliability,

  9 Ram Komal Prasad & Manoj Kumar Jha (2013)

  Student Level Factors Influencing Performance and Study Progress Mahasiswa, study progress

  8 Liv Susanne Bugge & Gerd Wıkan (2013)

  Internal Proses, Finansial, Kepuasan Pelanggan, dan Pembelajaran & Pertumbuhan

  Developing Key Performance Indicators from Mission and Vision Statements of an Engineering College in Oman

  7 Ilango Sivaraman, Dr. Ahmed Al Balushi & Dr. D.H. Rao (2014)

  Proses Pembelajaran, Layanan Akademik, Ketersediaan Fasilitas, Penelitian, dan Finansia

  Internal Proses, Finansial, Kepuasan Pelanggan, dan Pembelajaran & Pertumbuhan

  No Peneliti / Tahun Judul Penelitian Variabel (Kriteria)

  An Academic Scorecard for Performance Measurement of Higher Education Institutes

  Kurikulum, Mahasiswa, Finansial, Sumber Daya Manusia, Administrasi Akademik, Proses Pembelajaran, Alumni, Evaluasi dan Pengendalian, dan Masyarakat 5 Sadaf Ashraf, dan M. Kamran Javed (2014)