Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

  TINJAUAN PUSTAKA Sistem Irigasi

  Irigasi atau pengairan adalah suatu usaha untuk memberikan air guna keperluan pertanian yang dilakukan dengan tertib dan teratur untuk daerah pertanian yang membutuhkannya dan kemudian air itu dipergunakan secara tertib dan teratur dan dibuang ke saluran pembuang. Pengairan selanjutnya diartikan sebagai pemanfaatan serta pengaturan air dan sumber-sumber air yang meliputi irigasi, pengembangan daerah rawa, pengendalian dan pengaturan banjir, serta usaha perbaikan sungai, waduk dan penyediaan air minum, air perkotaan dan air industri (Ambler, 1991).

  Sebagian besar sumber air untuk irigasi adalah air permukaan yang berasal dari air hujan dan pencairan salju. Air ini secara alami mengalir di sungai-sungai yang membawanya ke laut. Jika dimanfaatkan untuk irigasi, sungai dibendung dan dialirkan melalui saluran-saluran buatan ke daerah pertanian atau air terlebih dahulu ditampung di dalam waduk yang selanjutnya dialirkan secara teratur melalui jaringan irigasi ke daerah pertanian. Adapun faktor-faktor yang menentukan pemilihan metode pemberian air irigasi adalah distribusi musiman hujan, kemiringan lereng dan bentuk permukaan lahan, suplai air, rotasi tanaman dan permeabilitas tanah lapisan bawah. Metode pendistribusian air irigasi dapat dibagi menjadi irigasi permukaan, irigasi lapisan bawah, sprinkler, drip atau

  trickle (Hakim, dkk., 1986).

  Berdasarkan sudut pandangnya irigasi dikelompokan menjadi irigasi aliran dan irigasi angkat yang lebih dikenal dengan sebutan irigasi pompa. Irigasi aliran adalah tipe irigasi yang penyampaian airnya ke dalam pertanian atau area persawahan dilakukan dengan cara pengaliran. Sedangkan irigasi angkat adalah tipe irigasi yang penyampaian airnya ke areal pertanaman dilakukan dengan cara pemompaan, bangunan airnya berupa pompa bukan bendungan atau waduk (Dumairy, 1992).

  Jaringan Irigasi

  Pasandaran (1991) mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi empat jenis berdasarkan segi konstruksi jaringan irigasinya, yaitu:

  1. Irigasi sederhana adalah sistem irigasi yang sistem konstruksinya dilakukan dengan sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur sehingga air irigasinya tidak teratur dan efisiensinya rendah.

  2. Irigasi setengah teknis adalah suatu sistem irigasi dengan konstruksi pintu pengatur dan alat pengukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya sedang.

  3. Irigasi teknis adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi alat pengatur dan pengukur air pada bangunan pengembalian, bangunan bagi dan bangunan sadap sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap sehingga diharapkan efisiensinya tinggi.

  4. Irigasi teknis maju adalah suatu sistem irigasi yang airnya dapat diatur dan terukur pada seluruh jaringan dan diharapkan efisiensinya tinggi sekali.

  Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dai saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang serta bangunan pelengkapnya (Direktorat Jendral Pengairan, 1986).

  Debit Air

  Debit air adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter per detik. Pengukuran debit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1.

  Pengukuran debit dengan bendung 2. Pengukuran debit berdasarkan kerapatan larutan obat 3. Pengukuran kecepatan aliran dan luas penampang melintang, dalam hal ini untuk mengukur kecepatan arus digunakan pelampung atau pengukur arus dengan kincir 4. Pengukuran dengan menggunakan alat-alat tertentu seperti pengukuran arus magnetis dan pengukuran arus gelombang supersonis

  (Dumairy, 1992).

  Pengukuran debit air dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam pengukuran tidak langsung yang sangat diperhatikan yaitu tentang kecepatan aliran (v) dan luas penampang aliran (A), sehingga terdapat rumus pengukuran debit air sebagai berikut: Q = v x A .....................................................................................(1)

  3

  dimana: Q = debit air (m /detik) v = kecepatan aliran (m/detik)

  2 A = luas penampang aliran (m ).

  Tentang kecepatan aliran dapat diukur dengan pelampung (metode pelampung), dengan alat ukur (current meter) atau dengan menggunakan rumus. Pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (float method) dapat dengan mudah dilakukan walaupun keadaan permukaan air sungai tinggi dan selain itu karena dalam pelaksanaanya tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang terhanyutkan, maka cara inilah yang sering digunakan. Tempat yang sebaiknya dipilih untuk pengukuran kecepatan aliran yaitu bagian sungai atau saluran yang lurus dengan dimensi seragam, sehingga lebar permukaan air dapat dibagi kedalam beberapa bagian dengan jarak lebar antara 0,25 m sampai 3 m atau lebih tergantung lebar permukaan. Pada setiap bagian lebar tadi diapungkan suatu pelampung, waktu mengalirnya dicatat/diukur dengan stopwatch, dengan cara demikian dihitung kecepatan aliran dan selanjutnya diadakan perhitungan debit yaitu: kecepatan aliran x luas penampang melintangnya. Kecepatan rata-rata aliran pada penampang bagian sungai atau saluran yang diukur adalah kecepatan pelampung permukaan dikalikan dengan koefisien 0,70 atau 0,90 tergantung dari keadaan sungai saluran dan arah angin, koefisien yang sering digunakan 0,8. Alat ukur arus (current meter) biasanya digunakan untuk mengukur aliran pada air rendah sehingga kurang bermanfaat jika digunakan untuk pengukuran kecepatan aliran pada keadaan air sungai sedang membanjir karena hasilnya akan kurang teliti (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).

  Menurut Asdak (1995) pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat dilakukan dengan metode apung. Caranya dengan menempatkan benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari suatu titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Kecepatan aliran juga bisa diukur dengan menggunakan alat ukur current meter.

  Alat ukur arus adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran. Apabila alat ini ditempatkan pada suatu titik kedalaman tertentu maka kecepatan aliran pada titik tersebut akan dapat ditentukan berdasarkan jumlah pengukuran dan lamanya pengukuran. Apabila keadaan lapangan tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan alat ukur arus maka pengukuran dapat dilakukan dengan alat pelampung. Alat pelampung yang digunakan dapat mengapung seluruhnya atau sebagian melayang dalam air (Lubis, dkk., 1993).

  Debit air juga dapat diukur secara langsung dengan menggunakan sekat

  o

  ukur tipe Cipolleti atau Thomson (Segitiga 90 ). Persamaan Cipolleti yang menunjukkan pengaliran adalah:

  3/2

  Q = 0.0186 LH ..............................................................(2) Dimana Q dalam liter tiap detik, L dan H adalah dalam sentimeter. Untuk sekat

  o

  ukur segitiga 90 (tipe Thomsom) persamaannya adalah:

  5/2

  Q = 0.0138 H ..................................................................(3) Di mana Q dalam liter per detik dan H dalam sentimeter. o

  Sekat ukur segitiga 90 (tipe Thomson) baik digunakan untuk pengukuran aliran yang tidak lebih dari 112 l/det atau aliran dengan debit relatif kecil, selain itu

  o

  sekat ukur segitiga 90 (tipe Thomson) juga sangat mudah konstruksi dan pengaplikasiannya (Lenka, 1991).

  Kehilangan Air

  Agar suatu areal lahan pertanian mendapatkan air pengairan yang cukup, maka dalam memperkirakan kebutuhan airnya perlu diperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh atas kebutuhan dan ketersediaan airnya seperti: jenis dan sifat tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, keadaan topografi, luas areal pertanaman dan kehilangan air selama pengairan dan penyalurannya. Kehilangan air pengairan selama penyaluran antara lain disebabkan oleh: evaporasi, evapotranspirasi, perkolasi perembesan dan kebocoran (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).

  Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan gabungan proses evaporasi dan transpirasi.

  Evaporasi adalah peristiwa air menjadi uap naik ke udara dan berlangsung terus menerus dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput, persawahan, hutan dan lain-lain, sedangkan transpirasi adalah peristiwa perpindahan air dari tanah ke atmosfer melalui akar, batang dan daun (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).

  Di lapangan proses evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersamaan dan sulit dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu kehilangan air akibat kedua proses ini pada umumnya disebut evapotranspirasi, dengan demikian evapotranspirasi merupakan jumlah air yang diperlukan tanaman (Islami dan Wani, 1995).

  Kebutuhan air tanaman yaitu jumlah air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi tanaman agar tanaman dapat tumbuh dengan baik atau kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Pengaruh karakteristik tanaman terhadap kebutuhan air tanaman diberikan oleh koefisien tanaman (Kc) yang menyatakan hubungan antara ETo dengan ET tanaman. Nilai Kc beragam tergantung terhadap jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman (Suroso, 2010).

  Michael (1978) menyatakan hubungan antara nilai F dengan evapotranspirasi potensial, menggambarkan suhu untuk daerah dengan sedikit varietas tanaman. Faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi tanaman, sehingga hubungan antara F dalam persamaan Blaney dan Criddle, dimana t dalam (

  ℃) dapat dihitung dengan persamaan: F = P (0,46 t + 8,13)

  Sehingga menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) persamaan untuk menentukan nilai evapotranspirasi, yaitu:

  (45,7 t + 813)

  U = K P ......................................(4)

  100

  K = K t × K e K t = 0,311 t + 0,240

  Dimana: U = evapotranspirasi bulanan (mm) t = suhu rata-rata bulanan ( ℃)

  K e = koefisien tanaman P = persentase jam siang bulanan dalam setahun Persamaan ini merupakan persamaan yang penggunaannya lebih luas dalam menentukan nilai evapotranspirasi. Ciri khas persamaan Blaney Criddle yaitu dengan memperhitungkan koefisien tanaman.

  Doorenbos and Pruitt (1984) menolak penggunaan koefisien tanaman (K) secara normal dalam persamaan Blaney-Criddle karena nilai koefisien tanaman (K) bergantung pada kondisi lokal dan variasi yang begitu banyak membuat pemilihan nilai menjadi sulit, hubungan antara nilai f dan evapotranspirasi potensial yang dikemukakan Blaney-Criddle cukup menggambarkan cakupan luas dari suhu untuk daerah yang memiliki sedikit varietas dengan kelembapan relatif dan ketika nilai evapotranspirasi potensial ditemukan dengan menggunakan metode standart, faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi tanaman sehingga diperoleh hubungan faktor f dalam persamaan Blaney-Criddle.

  o

  f = p (0,46t + 8,13) t dalam C atau

  t x p o

  f = 25,4 t dalam F............................................(5)

  100

  dimana:

  o o

  t = rata-rata suhu maksimum dan minimum dalam C atau F dalam bulan yang ditentukan. p = rata-rata persentase jam siang hari tahunan untuk garis lintang dan bulan yang ditentukan.

  Perkolasi

  Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona tidak jenuh yang terletak di antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah (Soemarto, 1995).

  Salah satu cara menentukan laju perkolasi di lapangan adalah dengan metode silinder. Pengukuran dengan metode silinder yaitu dengan membenamkan pipa ke tanah sedalam 30 – 40 cm, lalu diisi air setinggi 10 cm (h

  1 ). Laju perkolasi

  dihitung dengan rumus:

  h - h 1 2 P = mm/hari........................................(6) t - t 1 2 Dimana: P = laju perkolasi (mm/hari)

  h

  1 -h 2 = beda tinggi air dalam sulinder waktu t 1 dan t 2 (mm)

  t -t = selisih waktu pengamatan tinggi air (hari)

  1

  2 (Hariyanto, 1987).

  Rembesan

  Rembesan air dari saluran irigasi merupakan persoalan yang serius. Bukan hanya kehilangan air, melainkan juga persoalan drainase adalah kerap kali membebani daerah sekitarnya yang lebih rendah. Kadang-kadang air merembes keluar dari saluran masuk kembali ke sungai yang di lembah dimana air ini tidak dapat diarahkan kembali atau masuk ke suatu aquifer yang dipakai lagi. Metode yang sangat umum digunakan dalam pengukuran rembesan adalah metode inflow-

  outflow terdiri dari pengukuran aliran yang masuk dan aliran yang keluar dari

  suatu penampang saluran yang dipilihnya. Ketelitian cara ini meningkat dengan perbedaan antara hasil banyaknya aliran masuk dan aliran keluar (Hansen, dkk., 1992).

  Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) menyatakan bahwa perembesan air dan kebocoran air pada saluran pengairan pada umumnya berlangsung ke samping

  (horisontal) terutama terjadi pada saluran-saluran pengairan yang dibangun pada tanah-tanah tanpa dilapisi tembok, sedang pada saluran yang dilapisi (kecuali dalam keadaan retak-retak) kehilangan air sehubungan dengan terjadinya perembesan dan kebocoran tidak terjadi. Untuk menghitung kehilangan air pengairan sehubung dengan berlangsungnya perembesan pada saluran pengairannya, berdasarkan cara empiris yaitu dengan menghitung konduktivitas hidrolik tanah, kamiringan saluran serta beberapa parameter.

  Untuk menghitung besarnya nilai rembesan dapat digunakan rumus sebagai berikut: Rembesan = kehilangan air di saluran–(Evapotranspirasi+Perkolasi)..................(7)

  Efisiensi Irigasi

  Efisiensi pengairan merupakan suatu rasio atau perbandingan antara jumlah air yang nyata bermanfaat bagi tanaman yang diusahakan terhadap jumlah air yang tersedia atau yang diberikan dinyatakan dalam satuan persentase. Dalam hal ini dikenal tiga macam efisiensi, yaitu efisiensi penyaluran air, efisiensi pemberian air dan efisiensi penyimpanan air (Dumairy, 1992).

  Jumlah air yang tersedia bagi tanaman di areal persawahan dapat berkurang karena adanya evaporasi permukaan, limpasan air dan perkolasi.

  Efisiensi irigasi adalah perbandingan antara air yang digunakan oleh tanaman atau yang bermanfaat bagi tanaman dengan jumlah air yang tersedia yang dinyatakan dalam satuan persen (Lenka, 1991).

  Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk mengevaluasi kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawa air. Kebanyakan air irigasi berasal dari sungai atau waduk. Kehilangan yang terjadi pada waktu air disalurkan sering berlebihan. Efisiensi saluran pembawa yang diformulasikan untuk mengevaluasi kehilangan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

  W f

  E = 100 × ..................................................(8)

  e W r

  Dimana: E = efisiensi saluran pembawa air

  e

  W f = air yang dialurkan ke sawah W r = air yang diambil dari sungai/waduk (Susanto, 2006).

  Menurut Direktorat Sumber Daya Air (2010), pada umumnya kehilangan air di jaringan irigasi dapat dibagi-bagi sebagai berikut 12,5 % sampai 20 % di petak tersier (antara bangunan sadap tersier dan sawah) 5 % sampai 10 % di saluran sekunder dan 5 % sampai 10 % di saluran utama.

  Efisiensi irigasi dapat ditingkatkan dengan penjadwalan irigasi. Penjadwalan irigasi berarti perencanaan waktu dan jumlah pemberian air irigasi sesuai dengan kebutuhan air tanaman. Suplai air yang terbatas dapat menurunkan produksi tanaman, sedangkan suplai air yang berlebih selain dapat menurunkan produksi tanaman juga dapat meningkatkan jumlah air irigasi yang hilang dalam bentuk perkolasi (Raes, 1987).

  Kemiringan

  Tepi saluran tanah biasanya dibuat miring sedemikian rupa seperti kemampuan tanah berdiri bila keadaan basah. Kemiringan tepi berbeda dari tiga horizontal dan satu vertikal (bagi material yang sangat stabil). Hubungan antara lebar dasar saluran (b), dengan kedalaman pada saluran tanah (d), ditentukan sesuai dengan keadaan topografi. Lebar dasar saluran dapat lebih kecil dari kedalamannya atau dapat sepuluh kali atau lebih besar dari kedalamannya. Potongan melintang hidrolik terbaik pada keadaan bangunan yang sesuai adalah:

  θ

  b = 2d tan .........................................(9)

  2

  (Hansen, dkk., 1992) Mawardi (2007) menyatakan bahwa dalam desain hidrolik sebuah saluran pembawa terdapat dua parameter pokok yang harus ditentukan apabila kapasitas rencana yang diperlukan sudah diketahui, yaitu: 1.

  Perbandingan kedalaman air dengan lebar dasar 2. Kemiringan memanjang saluran

  Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5-2,5. Untuk jenis tanah pasir lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25.

  Sifat Fisik Tanah

  Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur, porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim, dkk., 1986).

  Tekstur Tanah

  Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekerasan tanah. Lebih khasnya tekstur adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah liat. Partikel debu terasa halus seperti tepung dan mempunyai sedikit kecenderungan untuk saling melekat atau menempel pada partikel lain. Tanah dengan kapasitas terbesar untuk menahan air melawan tarikan gravitasi merupakan ciri utama tanah liat. Tanah berdebu mempunyai kapasitas besar untuk menyimpan air yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Pada tanah yang bertekstur lebih halus, kadar air pada tegangan air yang sama lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur kasar. Dengan demikian tanah bertekstur halus lebih kuat menahan air dibanding tanah yang bertekstur kasar (Foth, 1994).

  Menurut Hanafiah (2005), berdasarkan kelas teksturnya maka tanah digolongkan menjadi tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir, berarti tanah yang mengandung minimal 70 % pasir yaitu bertekstur pasir atau pasir berlempung. Tanah bertekstur halus atau kasar berliat, berarti tanah yang mengandung minimal 37,5 % liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir. Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung, terdiri dari tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar meliputi tanah yang bertekstur lempung berpasir (sandy loam) atau lempung berpasir halus, tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur berlempung berpasir sangat halus, lempung (loam), lempung berdebu (silty loam) atau debu (silt) dan tanah bertekstur sedang tetapi agak halus mencakup lempung liat (clay

  loam ), lempung liat berpasir (sandy clay loam), atau lempung liat berdebu (sandy silt loam ).

  Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).

  Tanah berpasir memiliki porositas rendah (< 40 %), sebagian besar ruang pori berukuran besar sehingga aerasinya baik, daya hantar air cepat, tetapi kemampuan menyimpan air dan zat hara rendah. Tanah liat memiliki porositas yang relatif tinggi (60 %), tetapi sebagian besar merupakan pori berukuran kecil sehingga daya hantar air sangat lambat dan sirkulasi udara kurang lancar. Kemampuan menyimpan air dan hara tanaman tinggi. Tanah berlempung merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu dan liat sedemikian rupa sehingga sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi aerasi dan tata udara serta air cukup baik, kemampuan menyimpan dan menyediakan air untuk tanaman tinggi (Islami dan Wani, 1995).

  Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)

  Kerapatan massa adalah berat per unit volume tanah yang dikeringkan

  3

  dengan oven yang biasanya dinyatakan dalam g/cm . Setiap perubahan dalam struktur tanah mungkin untuk mengubah jumlah ruang-ruang pori dan juga berat per unit volume (Foth, 1994).

  Ms Ms

  = ………………………………………………………….(10) ρb =

  Vt Vs+Va+Vw

  Dimana :

  

3

  ) b = kerapatan massa (bulk density) (g/cm Ms = massa tanah (g)

  

3

Vt = volume total tanah (volume ring) (cm )

  Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar. Pada tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan bulk density yang lebih rendah dibandingkan tanah dibawahnya. Bulk density dilapangan tersusun atas tanah-

  3

  tanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm . Tanah organik memiliki

  3

  nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm pada bahan organik. Bulk density atau kerapatan massa tanah banyak mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti porositas, kekuatan, daya dukung, kemampuan tanah menyimpan air drainase dan lain-lain. Sifat fisik tanah ini banyak bersangkutan dengan penggunaan tanah dalam berbagai keadaan (Hardjowigeno, 2003).

  Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle

density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan

partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah

  memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah, 2005).

  Menurut Islami dan Wani (1995) besarnya bobot volume (bulk density)

  3

  3

  tanah-tanah pertanian bervariasi dari sekitar 1,0 g/cm sampai 1,6 g/cm , yang dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah, dan struktur tanah atau lebih khusus bagian rongga pori tanah. Nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 % sampai 60 %.

  Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai bulk density berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Nilai bulk density yang tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut lebih padat dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki nilai bulk

  density yang lebih rendah. Semakin padat suatu tanah, volume pori pada tanah

  tersebut semakin rendah. Mustofa (2007) menyatakan bahwa nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah, dan lain-lain. Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.

  Kerapatan Partikel Tanah (Particel Density)

  Kerapatan partikel tanah menunjukkan perbandingan antara massa tanah kering terhadap volume tanah kering dengan persamaan :

  Ms

s = …………………………………………………………………………(11)

  Vs

  Dimana,

  3 s = Kerapatan partikel (g/cm )

3 Vs = Volume tanah (cm ) (Hilel, 1981).

  3 Besarnya kerapatan partikel tanah pertanian bervariasi diantara 2,2 g/cm

  3

  sampai 2,8 g/cm , dipengaruhi terutama oleh kandungan bahan organik tanah dan kepadatan jenis partikel penyusun tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan tanah mempunyai bobot jenis partikel (particel density) rendah.

  3 Tanah Andosol misalnya, nilai kerapatan partikel hanya 2,2 – 2,4 g/cm (Islami dan Wani, 1995).

  Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka makin kecil nilai kerapatan partikelnya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir. Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Dengan adanya bahan organik, menyebabkan nilai kerapatan partikel semakin kecil (Hanafiah, 2005).

  Porositas Tanah

  Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah pori-pori makro + mikro) lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno, 2007).

  Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro), sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 2007).

  Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah makin meninggi. Selanjutnya permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2) adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan 4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief, 1989).

  Untuk menghitung persentase ruang pori ( θ) yaitu dengan membandingkan nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel dengan persamaan:

  B d

  � ×100%..........................................................(12) θ = �1-

  P d

  Dimana: θ = porositas (%)

3 B d = Kerapatan massa (g/cm )

  3 P = Kerapatan partikel (g/cm ) d

  (Hansen, dkk, 1992).

  Bahan Organik Tanah

  Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan organik merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Bahan organik merupakan salah satu bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah (Hakim, dkk, 1986).

  Kohnke (1968) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat- agregat tanah, memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.

  Rancangan Saluran

  Kegiatan perencanaan diharapkan untuk dapat mencapai sasaran dengan jalan mengembangkan jaringan-jaringan pengairan, baik jaringan-jaringan utama maupun jaringan-jaringan tersier. Jaringan-jaringan tersier ini lah yang nantinya akan melaksanakan kewajiban-kewajiban.

  a.

  Membagi air secara merata dan adil ke sawah-sawah, sehingga sawah yang jauh dari pintu penyadap pun dapat pula menerima air.

  b.

  Bila ternyata keadaan air pengairan berkurang, melalui saluran tersier ini dapat dibagi-bagi secara bergilir (rotasi) kepada saluran-saluran sub tersier/petak-petak tersier.

  c.

  Menampung dan membuang kelebihan air (air hujan dan sebagainya) agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.

  Dengan adanya efisiensi penggunaan air dari pengairan, maka tidak mustahil kemungkinan dapat terjadinya peningkatan luas areal padi pada musim kemarau.

  Dalam pengembangan jaringan pengairan/irigasi tersier diperlukan perencanaan- perencanaan yang matang dan terarah. Kegiatan perencanaan tersier meliputi kegiatan pembuatan rencana pendahuluan sebelum disesuaikan dengan keadaan lapangan, kemudian pemeriksaan lapangan, rencana yang sudah tepat/pasti, pengukuran profil saluran melintang dan memanjang. Akhirnya penentuan disain

  capasity berikut sistem rotasi, mendimensi bangunan-bangunan dan saluran- saluran (Soekarto dan Hartoyo, 1981).

  Dalam merancang saluran, faktor-faktor yang perlu di perhatikan adalah: 1. Debit

  Debit dapat diukur dengan menggunakan rumus: Q = v × A

3 Dimana: Q = debit air (m /detik)

  v = Kecepatan aliran (m/detik)

  2 A = luas penampang aliran (m ) 2.

  Kecepatan aliran Menurut Basak (1999) kecepatan dari pengukuran aliran pada aliran permukaan disebut dengan kecepatan permukaan. Kecepatan pada setiap kedalaman di saluran ataupun sungai tidaklah sama. Ini ditemukan melalui observasi, dimana kecepatan pada kedalaman 0,6 D merupakan kecepatan rata- rata, dimana “D” adalah kedalaman air pada saluran atau sungai. Setelah penelitian yang panjang dengan saluran yang bervariasi, Chezy dan Manning menetapkan persamaan untuk memperoleh kecepatan dari suatu aliran. Untuk disain saluran dengan jenis tanah non-alluvial, koefisien kekerasan memiliki peranan penting, namun faktor lain seperti sedimentasi tidak berperan penting. Disini, kecepatan aliran permukaan dianggap sangat dekat terhadap kecepatan kritis. Untuk itu persamaan kecepatan oleh Chezy atau Manning sesuai untuk disain saluran dengan jenis tanah ini. Persamaan Kecepatan menurut Chezy V = C ×

  √R S.....................................(13) Dimana: V = Kecepatan aliran (m/detik)

  × R

  0.02 Beton 0.013-0.018

  Bahan N Tanah 0.0225 Tembok/semen

  Nilai N (koefisien kekasaran) dapat dilihat pada Tabel 2, sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Koefisien Kekasaran (N)

  V = Kecepatan aliran (m/detik) R = kedalaman rata-rata hidrolik S = kemiringan saluran

  ............................(16) Dimana: N = koefisien kekasaran

  1 2 ⁄

  × S

  2 3 ⁄

  Persamaan Kecepatan oleh Manning V =

  C = konstanta Chezy R = kedalaman rata-rata hidrolik S = kemiringan saluran

  ................(15) Dimana: N = koefisien kekasaran

  √R

  23 + 0,00155 s + 1 n 1+ �23+ 0,00155 s � × N

  C =

  ....................................(14) Dimana: K = konstanta Bazin b. Formula Kutter

  87 1 + K √R

  Formula Bazin C =

  Konstanta Chezy ‘C’ dapat dikalkulasikan sebagai berrikut: a.

1 N

  Sumber: Basak (1999) Ketentuan:

  a) Jika nilai K tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut: untuk saluran tidak disemen K = 1,30-1,75 untuk saluran yang disemen K = 0,45-0,85

  b) Jika nilai N tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut: untuk saluran tidak disemen K = 0,0225 untuk saluran yang disemen K = 0,333 3. Kecepatan Aliran Kritis

  Kecepatan kritis merupakan kecepatan aliran air yang tidak menyebabkan pengendapan ataupun penggerusan di dasar saluran. Kecepatan kritis disimbolkan dengan ‘Vo’. Nilai dari Vo dapat diperoleh malalui persamaan yang diungkapkan oleh Kennedy, yaitu:

  0,64

  V = 0,546 × D ................................(17) Dimana D adalah kedalaman air.

  Rasio kecepatan kritis adalah perbandingan antara kecepatan aliran ‘V’ terhadap kecepatan kritis ‘V ’ disebut sebagai rasio kecepatan kritis.

  V V

  CVR = atau m = .....................(18)

  V V

  Jika m = 1 berarti tidak terjadi pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 akan terjadi penggerusan dan jika m < 1 akan terjadi pengendapan. Maka melalui nilai m ini kondisi saluran dapat diprediksi terjadi penggerusan atau pengendapan.

4. Kemiringan saluran

  Menurut Soekarto dan Hartoyo (1981), dalam merencanakan saluran tersier maka harus ditetapkan besarnya kemiringan dasar saluran (i). Bila kemiringan medan lapangan kecil berarti harus menghemat kehilangan energi. Dalam merencanakan dipilih suatu kemiringan dasar (i) yang sesuai dengan keadaan/kemiringan lapangan, namun harus diperhatikan juga agar kecepatan aliran (V) masih dalam batas-batas yang diizinkan. Bila kecepatan (V) terlalu besar, maka akan membahayakan saluran karena akan terjadi proses penggerusan dasar maupun tebing saluran. Bila kecepatan terlalu kecil, maka akan terjadi endapan sehingga saluran akan cepat menjadi dangkal.

  Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5 - 2,5. Untuk jenis tanah pasir lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25 (Mawardi, 2007).

  5. Penampang melintang saluran basah Mays (2001) menyatakan bahwa penampang saluran basah dari saluran irigasi ada beberapa jenis, yaitu penampang berbentuk persegi, trapesium, segitiga dan berbentuk gelang (lingkaran). Penampang yang umum digunakan yaitu berbentuk persegi dan trapesium. Selain biaya yang murah juga mudah dalam pembuatannya.

  6. Kedalaman hidrolik Perbandingan antara luas penampang saluran terhadap perimeter basah disebut sebagai kedalaman hidrolik atau radius. Biasanya disimbolkan dengan R.

  A

  R = ........................................................ (19)

  P w

  Dimana: A = luas penampang saluran P w = perimeter basah (Basak, 1999).

  Luas (A) untuk geometri saluran yang berbentuk persegi dapat diperoleh dengan menggunakan rumus: A = B × y...................................................(20)

  w

  Untuk mengetahui perimeter basah (P) dari geometri saluran yang berbentuk persegi dapat diperoleh melalui rumus: P = B + 2y..................................................(21)

  w w

  Dimana: A = luas penampang aliran P = perimeter basah

  w

  B w = lebar dasar saluran y = tinggi air pada saluran (Mays, 2001).

  Sedangkan untuk geometri saluran berbentuk trapesium, luasnya (A) dapat diperoleh dengan rumus:

  A = (b + zy)y

2 Pw = b + 2y (

  �(1+z) dimana: b = lebar dasar y = kedalaman aliran m = kemiringan dinding saluran

  Untuk geometri saluran berbentuk segitiga, luasnya (A) dapat diperoleh dengan rumus:

  2 A = zy

  2 Pw = 2y √1+z (Chow dan Rosalina, 1997).