Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

(1)

KAJIAN SALURAN IRIGASI TERSIER DI DESA NAMU

UKUR UTARA DAERAH IRIGASI NAMU SIRA SIRA

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

OLEH :

VIKRI NOVANDI AKBAR 090308054

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

KAJIAN SALURAN IRIGASI TERSIER DI DESA NAMU

UKUR UTARA DAERAH IRIGASI NAMU SIRA SIRA

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

OLEH :

VIKRI NOVANDI AKBAR

090308054/KETEKNIKAN PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN


(3)

Judul Skripsi : Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

Nama : Vikri Novandi Akbar

NIM : 090308054

Program Studi : Keteknikan Pertanian

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumono, MS Ainun Rohanah, STP, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ainun Rohanah, STP, M.Si


(4)

ABSTRAK

Vikri Novandi Akbar : Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dibimbing oleh SUMONO dan AINUN ROHANAH.

Penyaluran air irigasi pada lahan persawahan di Desa Namu Ukur Utara dilakukan melalui saluran tersier yang merupakan saluran tanah. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan air yang besar melalui evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan sehingga efisiensi penyaluran air menjadi berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan merancang dimensi saluran yang sesuai agar tidak terjadi pengendapan dan penggerusan pada 2 saluran irigasi tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.

Hasil penelitian ini menunjukkan kecepatan aliran rata-rata lebih kecil daripada kecepatan aliran kritis sehingga terjadi pengendapan pada saluran, untuk itu perlu rancangan ulang terhadap dimensi pada kedua saluran. Efisiensi penyaluran pada saluran 1 dengan jarak 45 meter adalah 73% dan saluran 2 dengan jarak 35 meter adalah 75%. Namun efisiensi penyaluran pada jarak yang sama (35 meter) dengan asumsi kehilangan air pada setiap meter adalah sama yaitu 83,87% pada saluran 1 dan 75% pada saluran 2. Rancangan dimensi saluran tersier terbaik untuk saluran 1 adalah lebar saluran (B) 0,37 m dan kedalaman (D) 0,17 m dengan kemiringan 0,04%, dan untuk saluran 2 yaitu lebar saluran (B) 0,52 m dan kedalaman (D) 0,24 m dengan kemiringan 0,04%.

Kata Kunci: Saluran Tersier, Kehilangan Air, Efisiensi Penyaluran dan Dimensi Saluran.

ABSTRACT

Vikri Novandi Akbar : Study of Tertiary Irrigation Canals in Namu Ukur Utara

Village in The Irrigation Areas of Namu Sira-sira Sei Bingai District of Langkat Supervised by SUMONO and AINUN ROHANAH.

The distribution of irrigation water on the field of Namu Ukur Utara village is done through tertiary canal which is a soil canal. This can affect the lossing of water through evapotranspiration, percolation and seepage so that the efficiency of water distribution is reduced. This research was aimed to review and design an appropriate canal dimensions to prevent scour and sedimentation at 2 tertiary irrigation canals in Namu Ukur Utara village in the Irrigation Areas of Namu Sira-sira Sei Bingei District of Langkat.

The results of the research showed that the average flow velocity was smaller than the critical speed so that sedimentation occured in the canals, therefore redesigning of the dimensions on the both canals was needed. The efficiency of the distribution on canal 1 at a distance of 45 m was 73% and on canal 2 at a distance of 35 m was 75%. However the efficiency of distribution at a same distance (35 m) with the assumption of losing the water on every meters was the same, was 83,87% on canal 1 and 75% on canal 2. The best design of tertiary canal dimensions for the canal 1 was: width of the canal (B) was 0,37 m and depth (D) was 0,17 m with a slope of 0,04%, and for the canal 2 was: width of the canal (B) was 0,52 m and depth (D) was 0,24 m with a slope of 0,04%.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Vikri Novandi Akbar dilahirkan di Medan pada tanggal 15 November 1991 dari Ayah Robert Sembiring dan Ibu Sri Rusminawati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Swasta Singosari Deli Tua dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih Program Studi Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota IMATETA (Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian). Penulis juga pernah menjadi asisten di Laboratorium Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Kebun Pagar Merbau PTPN II Tg. Garbus pada tahun 2012.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah mendukung baik secara moril dan materil. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono MS., selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ainun Rohanah STP, MSi., selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Disamping itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Keteknikan Pertanian, kepada adik Vandy Winata serta teman-teman TEP 2009 yang telah membantu penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

Untuk lebih menyempurnakan skripsi ini, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun.Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga skripsi ini nantinya dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


(7)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Irigasi ... 5

Jaringan Irigasi ... 6

Debit Air ... 7

Kehilangan Air...10

Evapotranspirasi ... 10

Perkolasi ... 12

Rembesan ... 13

Efisiensi Irigasi ... 14

Kemiringan ... 15

Sifat Fisik Tanah ... 16

Tekstur Tanah ... 17

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) ... 18

Kerapatan Partikel Tanah (Particel Density) ... 20

Porositas Tanah ... 21

Bahan Organik Tanah ... 22

Rancangan Saluran ... 23

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

Alat dan Bahan Penelitian ... 30

Metode Penelitian ... 31

Pelaksanaan Penelitian ... 31

Parameter Penelitian ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Daerah Penelitian ... 37

Sifat Fisik Tanah ... 38

Tekstur Tanah ... 38

Bahan Organik Tanah ... 40

Kerapatan Massa (Bulk Density) ... 41

Kerapatan Partikel (Particel Density) ... 42

Porositas Tanah ... 43

Debit ... 44


(8)

Evapotranspirasi ... 46

Perkolasi ... 47

Rembesan ... 48

Efisiensi Irigasi ... 48

Rancangan Saluran ... 50

Kecepatan Aliran Rata-Rata ... 50

Kecepatan Aliran Kritis ... 51

Penampang Melintang Saluran ... 52

Kemiringan Saluran ... 52

Kombinasi Dimensi Saluran ... 53

Saluran Tersier I ... 53

Saluran Tersier II... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 56

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Nilai koefisien kekasaran ... 26

2. Hasil analisa tekstur tanah... 38

3. Hasil analisa bahan organik ... 40

4. Hasil analisa kerapatan massa (bulk density) ... 41

5. Hasil analisa kerapatan partikel (particle density) ... 42

6. Hasil analisa porositas tanah ... 43

7. Hasil pengukuran debit saluran ... 45

8. Hasil pengukuran kehilangan air... 46

9. Efisiensi saluran tersier ... 48

10. Hasil pengukuran kecepatan aliran rata-rata ... 50

11. Hasil pengukuran kecepatan aliran kritis ... 51

12. Hasil perhitungan rancangan dimensi saluran I ... 53


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Flowchart penelitian ... 60

2. Perhitungan bulk density, particle density dan porositas ... 61

3. Perhitungan debit pada saluran satu dan dua ... 65

4. Ukuran saluran tersier ... 67

5. Perhitungan kehilangan air ... 68

6. Perhitungan efisiensi saluran ... 73

7. Perhitungan kemiringan pada saluran 1 dan 2 ... 74

8. Perhitungan kecepatan rata-rata (V) ... 74

9. Perhitungan kecepatan kritis (Vo) ... 75

10. Perhitungan rancangan saluran ... 75

11. Lampiran Gambar ... 84

12. Hasil Analisa Tekstur Tanah ... 86

13. Hasil Analisa Bahan Organik Tanah ... 88

14. Data Iklim Bulanan ... 89

15. Denah Lokasi Saluran Tersier ... 90


(11)

ABSTRAK

Vikri Novandi Akbar : Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dibimbing oleh SUMONO dan AINUN ROHANAH.

Penyaluran air irigasi pada lahan persawahan di Desa Namu Ukur Utara dilakukan melalui saluran tersier yang merupakan saluran tanah. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan air yang besar melalui evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan sehingga efisiensi penyaluran air menjadi berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan merancang dimensi saluran yang sesuai agar tidak terjadi pengendapan dan penggerusan pada 2 saluran irigasi tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.

Hasil penelitian ini menunjukkan kecepatan aliran rata-rata lebih kecil daripada kecepatan aliran kritis sehingga terjadi pengendapan pada saluran, untuk itu perlu rancangan ulang terhadap dimensi pada kedua saluran. Efisiensi penyaluran pada saluran 1 dengan jarak 45 meter adalah 73% dan saluran 2 dengan jarak 35 meter adalah 75%. Namun efisiensi penyaluran pada jarak yang sama (35 meter) dengan asumsi kehilangan air pada setiap meter adalah sama yaitu 83,87% pada saluran 1 dan 75% pada saluran 2. Rancangan dimensi saluran tersier terbaik untuk saluran 1 adalah lebar saluran (B) 0,37 m dan kedalaman (D) 0,17 m dengan kemiringan 0,04%, dan untuk saluran 2 yaitu lebar saluran (B) 0,52 m dan kedalaman (D) 0,24 m dengan kemiringan 0,04%.

Kata Kunci: Saluran Tersier, Kehilangan Air, Efisiensi Penyaluran dan Dimensi Saluran.

ABSTRACT

Vikri Novandi Akbar : Study of Tertiary Irrigation Canals in Namu Ukur Utara

Village in The Irrigation Areas of Namu Sira-sira Sei Bingai District of Langkat Supervised by SUMONO and AINUN ROHANAH.

The distribution of irrigation water on the field of Namu Ukur Utara village is done through tertiary canal which is a soil canal. This can affect the lossing of water through evapotranspiration, percolation and seepage so that the efficiency of water distribution is reduced. This research was aimed to review and design an appropriate canal dimensions to prevent scour and sedimentation at 2 tertiary irrigation canals in Namu Ukur Utara village in the Irrigation Areas of Namu Sira-sira Sei Bingei District of Langkat.

The results of the research showed that the average flow velocity was smaller than the critical speed so that sedimentation occured in the canals, therefore redesigning of the dimensions on the both canals was needed. The efficiency of the distribution on canal 1 at a distance of 45 m was 73% and on canal 2 at a distance of 35 m was 75%. However the efficiency of distribution at a same distance (35 m) with the assumption of losing the water on every meters was the same, was 83,87% on canal 1 and 75% on canal 2. The best design of tertiary canal dimensions for the canal 1 was: width of the canal (B) was 0,37 m and depth (D) was 0,17 m with a slope of 0,04%, and for the canal 2 was: width of the canal (B) was 0,52 m and depth (D) was 0,24 m with a slope of 0,04%.


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air adalah segala-galanya bagi kehidupan, juga peradaban bagi manusia, bagi tanaman dan bagi hewan; bagi pertanian, bagi industri dan bagi keseimbangan alam. Pada tanaman selain dipengaruhi oleh faktor cuaca dan kandungan unsur hara dalam tanah, tanaman hanya dapat hidup dengan subur apabila ia mendapat cukup air. Pemberian air yang mencukupi merupakan faktor penting bagi pertumbuhan tanaman. Setiap tanaman akan mencoba menyerap air secukupnya dari tanah tempatnya tumbuh. Untuk menjamin pertumbuhannya maka perlu dilakukan pengairan buatan yang sesuai dengan kebutuhan (Dumairy, 1992).

Dalam bidang pertanian pengairan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tanaman adalah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang hilang akibat evaporasi dan transpirasi. Kebutuhan air di lapangan merupakan jumlah air yang harus disediakan untuk keperluan pengolahan lahan ditambah kebutuhan air tanaman (Doorenbos dan Pruit, 1984).

Irigasi adalah penambahan kekurangan kadar air tanah secara buatan yakni dengan memberikan air secara sistematis pada tanah yang diolah. Sebaliknya pemberian air yang berlebihan pada tanah yang diolah itu akan merusak tanaman (Sunaryo, dkk., 2004). Sedangkan Pusposutardjo (2001) menyatakan irigasi merupakan bentuk kegiatan penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu kesatuan saluran dan


(13)

Peningkatan produksi pangan menuntut adanya peningkatan unsur-unsur penunjangnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Areal persawahan merupakan lahan pertanian utama penghasil beras sebagai bahan pokok pangan sehingga diperlukan usaha-usaha secara intensif dan ekstensif untuk peningkatan produksinya, salah satunya adalah dengan mengatur pemberian air. Besarnya kehilangan air pada saluran selain dipengaruhi oleh musim, jenis tanah, keadaan dan panjang saluran juga dipengaruhi oleh karakteristik saluran. Sistem penyaluran air ke areal persawahan menggunakan saluran tanah dan mengakibatkan rendahnya efisiensi pengairan (Syarnadi, 1985).

Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian sangat berperan penting dalam menunjang kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu sistem dan segala aspek yang mendukung bidang tersebut perlu diberdayakan agar dapat memperoleh hasil yang masksimal, salah satunya adalah sistem irigasinya. Sistem irigasi di Namu Sira-Sira yang mencakup tiga kecamatan di kabupaten Langkat dan satu kecamatan di kota Binjai merupakan salah satu bagian penunjang yang vital dalam produksi padi di Sumatera Utara. Salah satu daerah yang mendapat pelayanan irigasi Namu Sira-sira adalah desa Namu Ukur Utara di Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.

Daerah irigasi ini termasuk jenis irigasi teknis, dimana pembuatan dan perawatan saluran primer dan saluran sekundernya menjadi tanggung jawab pemerintah, sementara saluran tersier ditangani sendiri oleh masyarakat (petani pemakai air) yang merupakan saluran tanah. Hansen, dkk. (1992) menyatakan bahwa bentuk saluran pembawa irigasi yang sangat umum adalah bentuk saluran tanah. Keuntungan utamanya adalah memiliki biaya awal yang rendah, namun


(14)

irigasi ini memiliki banyak kerugian yaitu kehilangan air akibat rembesan yang besar, debit air yang rendah, bahaya kerusakan yang diakibatkan gerusan dan injakan hewan serta keadaan yang sesuai untuk pertumbuhan tanah dan rumput air.

Suatu jaringan irigasi diharapkan memiliki tingkat efisiensi teknis yang tinggi sehingga dapat menyalurkan air secara efektif dan efisien. Agar dapat menyalurkan air melalui saluran tersier dalam jumlah yang cukup dan tidak terjadi kehilangan air yang besar pada saluran atau untuk mendapatkan efisiensi penyaluran air lebih tinggi, maka perlu dilakukan perancangan saluran irigasi tersier yang baik pada lapisan saluran tanah. Untuk memperoleh efisiensi yang tinggi maka hal yang perlu diperhatikan yaitu debit air yang tersedia dari saluran utama, kebutuhan air sawah, ukuran saluran, kehilangan air di saluran, kecepatan air mengalir dan luas petak tersier di Desa Namu Ukur Utara yang akan diairi. Semakin tinggi efisiensi saluran maka akan semakin kecil kehilangan air yang terjadi. Salah satu faktor yang akan menentukan efisiensi penyaluran air yang tinggi yaitu apabila tidak terjadi pengendapan atau penggerusan pada saluran tanah. Oleh karena itu, perlu dirancang suatu saluran yang memenuhi persyaratan-persyaratan teknis agar tidak terjadi pengendapan atau penggerusan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji saluran irigasi tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah irigasi Namu Sira-sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat.


(15)

Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis yaitu sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan

syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi mahasiswa, sebagai informasi pendukung untuk melakukan penelitian

lebih lanjut mengenai rancangan saluran irigasi.

3. Bagi masyarakat, untuk membantu masyarakat dalam pengembangan dan


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Irigasi

Irigasi atau pengairan adalah suatu usaha untuk memberikan air guna keperluan pertanian yang dilakukan dengan tertib dan teratur untuk daerah pertanian yang membutuhkannya dan kemudian air itu dipergunakan secara tertib dan teratur dan dibuang ke saluran pembuang. Pengairan selanjutnya diartikan sebagai pemanfaatan serta pengaturan air dan sumber-sumber air yang meliputi irigasi, pengembangan daerah rawa, pengendalian dan pengaturan banjir, serta usaha perbaikan sungai, waduk dan penyediaan air minum, air perkotaan dan air industri (Ambler, 1991).

Sebagian besar sumber air untuk irigasi adalah air permukaan yang berasal dari air hujan dan pencairan salju. Air ini secara alami mengalir di sungai-sungai yang membawanya ke laut. Jika dimanfaatkan untuk irigasi, sungai dibendung dan dialirkan melalui saluran-saluran buatan ke daerah pertanian atau air terlebih dahulu ditampung di dalam waduk yang selanjutnya dialirkan secara teratur melalui jaringan irigasi ke daerah pertanian. Adapun faktor-faktor yang menentukan pemilihan metode pemberian air irigasi adalah distribusi musiman hujan, kemiringan lereng dan bentuk permukaan lahan, suplai air, rotasi tanaman dan permeabilitas tanah lapisan bawah. Metode pendistribusian air irigasi dapat dibagi menjadi irigasi permukaan, irigasi lapisan bawah, sprinkler, drip atau

trickle (Hakim, dkk., 1986).

Berdasarkan sudut pandangnya irigasi dikelompokan menjadi irigasi aliran dan irigasi angkat yang lebih dikenal dengan sebutan irigasi pompa. Irigasi aliran


(17)

persawahan dilakukan dengan cara pengaliran. Sedangkan irigasi angkat adalah tipe irigasi yang penyampaian airnya ke areal pertanaman dilakukan dengan cara pemompaan, bangunan airnya berupa pompa bukan bendungan atau waduk (Dumairy, 1992).

Jaringan Irigasi

Pasandaran (1991) mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi empat jenis berdasarkan segi konstruksi jaringan irigasinya, yaitu:

1. Irigasi sederhana

adalah sistem irigasi yang sistem konstruksinya dilakukan dengan sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur sehingga air irigasinya tidak teratur dan efisiensinya rendah.

2. Irigasi setengah teknis

adalah suatu sistem irigasi dengan konstruksi pintu pengatur dan alat pengukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya sedang.

3. Irigasi teknis

adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi alat pengatur dan pengukur air pada bangunan pengembalian, bangunan bagi dan bangunan sadap sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap sehingga diharapkan efisiensinya tinggi.

4. Irigasi teknis maju

adalah suatu sistem irigasi yang airnya dapat diatur dan terukur pada seluruh jaringan dan diharapkan efisiensinya tinggi sekali.


(18)

Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer, sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi ke dalam petakan sawah adalah jaringan irigasi tersier yang terdiri dai saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang serta bangunan pelengkapnya (Direktorat Jendral Pengairan, 1986).

Debit Air

Debit air adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter per detik. Pengukuran debit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:

1. Pengukuran debit dengan bendung

2. Pengukuran debit berdasarkan kerapatan larutan obat

3. Pengukuran kecepatan aliran dan luas penampang melintang, dalam hal ini

untuk mengukur kecepatan arus digunakan pelampung atau pengukur arus dengan kincir

4. Pengukuran dengan menggunakan alat-alat tertentu seperti pengukuran

arus magnetis dan pengukuran arus gelombang supersonis (Dumairy, 1992).

Pengukuran debit air dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam pengukuran tidak langsung yang sangat diperhatikan yaitu


(19)

tentang kecepatan aliran (v) dan luas penampang aliran (A), sehingga terdapat rumus pengukuran debit air sebagai berikut:

Q = v x A ...(1)

dimana: Q = debit air (m3/detik)

v = kecepatan aliran (m/detik) A = luas penampang aliran (m2).

Tentang kecepatan aliran dapat diukur dengan pelampung (metode pelampung),

dengan alat ukur (current meter) atau dengan menggunakan rumus. Pengukuran

kecepatan aliran dengan pelampung (float method) dapat dengan mudah dilakukan walaupun keadaan permukaan air sungai tinggi dan selain itu karena dalam pelaksanaanya tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang terhanyutkan, maka cara inilah yang sering digunakan. Tempat yang sebaiknya dipilih untuk pengukuran kecepatan aliran yaitu bagian sungai atau saluran yang lurus dengan dimensi seragam, sehingga lebar permukaan air dapat dibagi kedalam beberapa bagian dengan jarak lebar antara 0,25 m sampai 3 m atau lebih tergantung lebar permukaan. Pada setiap bagian lebar tadi diapungkan suatu

pelampung, waktu mengalirnya dicatat/diukur dengan stopwatch, dengan cara

demikian dihitung kecepatan aliran dan selanjutnya diadakan perhitungan debit yaitu: kecepatan aliran x luas penampang melintangnya. Kecepatan rata-rata aliran pada penampang bagian sungai atau saluran yang diukur adalah kecepatan pelampung permukaan dikalikan dengan koefisien 0,70 atau 0,90 tergantung dari keadaan sungai saluran dan arah angin, koefisien yang sering digunakan 0,8. Alat

ukur arus (current meter) biasanya digunakan untuk mengukur aliran pada air


(20)

aliran pada keadaan air sungai sedang membanjir karena hasilnya akan kurang teliti (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).

Menurut Asdak (1995) pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat dilakukan dengan metode apung. Caranya dengan menempatkan benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari suatu titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Kecepatan aliran juga bisa diukur dengan menggunakan alat ukur current meter.

Alat ukur arus adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran. Apabila alat ini ditempatkan pada suatu titik kedalaman tertentu maka kecepatan aliran pada titik tersebut akan dapat ditentukan berdasarkan jumlah pengukuran dan lamanya pengukuran. Apabila keadaan lapangan tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan alat ukur arus maka pengukuran dapat dilakukan dengan alat pelampung. Alat pelampung yang digunakan dapat mengapung seluruhnya atau sebagian melayang dalam air (Lubis, dkk., 1993).

Debit air juga dapat diukur secara langsung dengan menggunakan sekat

ukur tipe Cipolleti atau Thomson (Segitiga 90o). Persamaan Cipolleti yang

menunjukkan pengaliran adalah:

Q = 0.0186 LH3/2 ...(2) Dimana Q dalam liter tiap detik, L dan H adalah dalam sentimeter. Untuk sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomsom) persamaannya adalah:

Q = 0.0138 H5/2...(3) Di mana Q dalam liter per detik dan H dalam sentimeter.


(21)

Sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) baik digunakan untuk pengukuran aliran yang tidak lebih dari 112 l/det atau aliran dengan debit relatif kecil, selain itu

sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) juga sangat mudah konstruksi dan

pengaplikasiannya (Lenka, 1991).

Kehilangan Air

Agar suatu areal lahan pertanian mendapatkan air pengairan yang cukup, maka dalam memperkirakan kebutuhan airnya perlu diperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh atas kebutuhan dan ketersediaan airnya seperti: jenis dan sifat tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, keadaan topografi, luas areal pertanaman dan kehilangan air selama pengairan dan penyalurannya. Kehilangan air pengairan selama penyaluran antara lain disebabkan oleh: evaporasi,

evapotranspirasi, perkolasi perembesan dan kebocoran

(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan gabungan proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah peristiwa air menjadi uap naik ke udara dan berlangsung terus menerus dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput, persawahan, hutan dan lain-lain, sedangkan transpirasi adalah peristiwa perpindahan air dari tanah ke atmosfer melalui akar, batang dan daun (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).

Di lapangan proses evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersamaan dan sulit dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu kehilangan air akibat kedua proses ini pada umumnya disebut evapotranspirasi, dengan demikian


(22)

evapotranspirasi merupakan jumlah air yang diperlukan tanaman (Islami dan Wani, 1995).

Kebutuhan air tanaman yaitu jumlah air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi tanaman agar tanaman dapat tumbuh dengan baik atau kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Pengaruh karakteristik tanaman terhadap kebutuhan air tanaman diberikan oleh koefisien tanaman (Kc) yang menyatakan hubungan antara ETo dengan ET tanaman. Nilai Kc beragam tergantung terhadap jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman (Suroso, 2010).

Michael (1978) menyatakan hubungan antara nilai F dengan evapotranspirasi potensial, menggambarkan suhu untuk daerah dengan sedikit varietas tanaman. Faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi tanaman, sehingga hubungan antara F dalam persamaan Blaney dan Criddle, dimana t dalam (℃) dapat dihitung dengan persamaan:

F=P (0,46 t +8,13)

Sehingga menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) persamaan untuk menentukan nilai evapotranspirasi, yaitu:

U =K P (45,7 t+813)

100 ...(4) K = Kt × Ke

Kt = 0,311 t + 0,240

Dimana: U = evapotranspirasi bulanan (mm) t = suhu rata-rata bulanan (℃)

Ke = koefisien tanaman


(23)

Persamaan ini merupakan persamaan yang penggunaannya lebih luas dalam menentukan nilai evapotranspirasi. Ciri khas persamaan Blaney Criddle yaitu dengan memperhitungkan koefisien tanaman.

Doorenbos and Pruitt (1984) menolak penggunaan koefisien tanaman (K) secara normal dalam persamaan Blaney-Criddle karena nilai koefisien tanaman (K) bergantung pada kondisi lokal dan variasi yang begitu banyak membuat pemilihan nilai menjadi sulit, hubungan antara nilai f dan evapotranspirasi potensial yang dikemukakan Blaney-Criddle cukup menggambarkan cakupan luas dari suhu untuk daerah yang memiliki sedikit varietas dengan kelembapan relatif dan ketika nilai evapotranspirasi potensial ditemukan dengan menggunakan metode standart, faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi tanaman sehingga diperoleh hubungan faktor f dalam persamaan Blaney-Criddle.

f = p (0,46t + 8,13) t dalam oC atau

f = 25,4 txp

100 t dalam o

F...(5) dimana:

t = rata-rata suhu maksimum dan minimum dalam oC atau oF dalam bulan yang

ditentukan.

p = rata-rata persentase jam siang hari tahunan untuk garis lintang dan bulan yang ditentukan.

Perkolasi

Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona tidak jenuh yang terletak di antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya


(24)

dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah (Soemarto, 1995).

Salah satu cara menentukan laju perkolasi di lapangan adalah dengan metode silinder. Pengukuran dengan metode silinder yaitu dengan membenamkan pipa ke tanah sedalam 30 – 40 cm, lalu diisi air setinggi 10 cm (h1). Laju perkolasi dihitung dengan rumus:

P = h1- h2

t1- t2 mm/hari...(6)

Dimana: P = laju perkolasi (mm/hari)

h1-h2 = beda tinggi air dalam sulinder waktu t1 dan t2 (mm) t1-t2 = selisih waktu pengamatan tinggi air (hari)

(Hariyanto, 1987).

Rembesan

Rembesan air dari saluran irigasi merupakan persoalan yang serius. Bukan hanya kehilangan air, melainkan juga persoalan drainase adalah kerap kali membebani daerah sekitarnya yang lebih rendah. Kadang-kadang air merembes keluar dari saluran masuk kembali ke sungai yang di lembah dimana air ini tidak dapat diarahkan kembali atau masuk ke suatu aquifer yang dipakai lagi. Metode

yang sangat umum digunakan dalam pengukuran rembesan adalah metode

inflow-outflow terdiri dari pengukuran aliran yang masuk dan aliran yang keluar dari suatu penampang saluran yang dipilihnya. Ketelitian cara ini meningkat dengan

perbedaan antara hasil banyaknya aliran masuk dan aliran keluar (Hansen, dkk., 1992).


(25)

(horisontal) terutama terjadi pada saluran-saluran pengairan yang dibangun pada tanah-tanah tanpa dilapisi tembok, sedang pada saluran yang dilapisi (kecuali dalam keadaan retak-retak) kehilangan air sehubungan dengan terjadinya perembesan dan kebocoran tidak terjadi. Untuk menghitung kehilangan air pengairan sehubung dengan berlangsungnya perembesan pada saluran pengairannya, berdasarkan cara empiris yaitu dengan menghitung konduktivitas hidrolik tanah, kamiringan saluran serta beberapa parameter.

Untuk menghitung besarnya nilai rembesan dapat digunakan rumus sebagai berikut:

Rembesan = kehilangan air di saluran–(Evapotranspirasi+Perkolasi)...(7)

Efisiensi Irigasi

Efisiensi pengairan merupakan suatu rasio atau perbandingan antara jumlah air yang nyata bermanfaat bagi tanaman yang diusahakan terhadap jumlah air yang tersedia atau yang diberikan dinyatakan dalam satuan persentase. Dalam hal ini dikenal tiga macam efisiensi, yaitu efisiensi penyaluran air, efisiensi pemberian air dan efisiensi penyimpanan air (Dumairy, 1992).

Jumlah air yang tersedia bagi tanaman di areal persawahan dapat berkurang karena adanya evaporasi permukaan, limpasan air dan perkolasi. Efisiensi irigasi adalah perbandingan antara air yang digunakan oleh tanaman atau yang bermanfaat bagi tanaman dengan jumlah air yang tersedia yang dinyatakan dalam satuan persen (Lenka, 1991).

Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk mengevaluasi kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawa air. Kebanyakan air irigasi berasal dari sungai atau waduk. Kehilangan yang terjadi pada waktu air


(26)

disalurkan sering berlebihan. Efisiensi saluran pembawa yang diformulasikan untuk mengevaluasi kehilangan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ee=100× Wf

Wr...(8)

Dimana: Ee = efisiensi saluran pembawa air Wf = air yang dialurkan ke sawah

Wr = air yang diambil dari sungai/waduk (Susanto, 2006).

Menurut Direktorat Sumber Daya Air (2010), pada umumnya kehilangan air di jaringan irigasi dapat dibagi-bagi sebagai berikut 12,5 % sampai 20 % di petak tersier (antara bangunan sadap tersier dan sawah) 5 % sampai 10 % di saluran sekunder dan 5 % sampai 10 % di saluran utama.

Efisiensi irigasi dapat ditingkatkan dengan penjadwalan irigasi. Penjadwalan irigasi berarti perencanaan waktu dan jumlah pemberian air irigasi sesuai dengan kebutuhan air tanaman. Suplai air yang terbatas dapat menurunkan produksi tanaman, sedangkan suplai air yang berlebih selain dapat menurunkan produksi tanaman juga dapat meningkatkan jumlah air irigasi yang hilang dalam bentuk perkolasi (Raes, 1987).

Kemiringan

Tepi saluran tanah biasanya dibuat miring sedemikian rupa seperti kemampuan tanah berdiri bila keadaan basah. Kemiringan tepi berbeda dari tiga horizontal dan satu vertikal (bagi material yang sangat stabil). Hubungan antara lebar dasar saluran (b), dengan kedalaman pada saluran tanah (d), ditentukan sesuai dengan keadaan topografi. Lebar dasar saluran dapat lebih kecil dari


(27)

kedalamannya atau dapat sepuluh kali atau lebih besar dari kedalamannya. Potongan melintang hidrolik terbaik pada keadaan bangunan yang sesuai adalah:

b = 2d tan θ

2...(9) (Hansen, dkk., 1992)

Mawardi (2007) menyatakan bahwa dalam desain hidrolik sebuah saluran pembawa terdapat dua parameter pokok yang harus ditentukan apabila kapasitas rencana yang diperlukan sudah diketahui, yaitu:

1. Perbandingan kedalaman air dengan lebar dasar

2. Kemiringan memanjang saluran

Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5-2,5. Untuk jenis tanah pasir lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25.

Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur, porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air

maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman


(28)

Tekstur Tanah

Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekerasan tanah. Lebih khasnya tekstur adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah liat. Partikel debu terasa halus seperti tepung dan mempunyai sedikit kecenderungan untuk saling melekat atau menempel pada partikel lain. Tanah dengan kapasitas terbesar untuk menahan air melawan tarikan gravitasi merupakan ciri utama tanah liat. Tanah berdebu mempunyai kapasitas besar untuk menyimpan air yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Pada tanah yang bertekstur lebih halus, kadar air pada tegangan air yangsama lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur kasar. Dengan demikian tanah bertekstur halus lebih kuat menahan air dibanding tanah yang bertekstur kasar (Foth, 1994).

Menurut Hanafiah (2005), berdasarkan kelas teksturnya maka tanah digolongkan menjadi tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir, berarti tanah yang mengandung minimal 70 % pasir yaitu bertekstur pasir atau pasir berlempung. Tanah bertekstur halus atau kasar berliat, berarti tanah yang mengandung minimal 37,5 % liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir. Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung, terdiri dari tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar meliputi tanah yang bertekstur lempung berpasir (sandy loam) atau lempung berpasir halus, tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur berlempung berpasir sangat halus, lempung (loam), lempung berdebu (silty loam) atau debu (silt) dan tanah bertekstur sedang tetapi agak halus mencakup lempung liat (clay loam), lempung liat berpasir (sandy clay loam), atau lempung liat berdebu (sandy silt loam).


(29)

Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).

Tanah berpasir memiliki porositas rendah (< 40 %), sebagian besar ruang pori berukuran besar sehingga aerasinya baik, daya hantar air cepat, tetapi kemampuan menyimpan air dan zat hara rendah. Tanah liat memiliki porositas yang relatif tinggi (60 %), tetapi sebagian besar merupakan pori berukuran kecil sehingga daya hantar air sangat lambat dan sirkulasi udara kurang lancar. Kemampuan menyimpan air dan hara tanaman tinggi. Tanah berlempung merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu dan liat sedemikian rupa sehingga sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi aerasi dan tata udara serta air cukup baik, kemampuan menyimpan dan menyediakan air untuk tanaman tinggi (Islami dan Wani, 1995).

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)

Kerapatan massa adalah berat per unit volume tanah yang dikeringkan

dengan oven yang biasanya dinyatakan dalam g/cm3. Setiap perubahan dalam

struktur tanah mungkin untuk mengubah jumlah ruang-ruang pori dan juga berat per unit volume (Foth, 1994).

ρb= Ms Vt =

Ms

Vs+Va+Vw ……….(10)


(30)

�b = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) Ms = massa tanah (g)

Vt = volume total tanah (volume ring) (cm3)

Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar. Pada

tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan bulk density yang lebih rendah

dibandingkan tanah dibawahnya. Bulk density dilapangan tersusun atas

tanah-tanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm3. Tanah organik memiliki

nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm3 pada bahan organik. Bulk density atau kerapatan massa tanah banyak mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti porositas, kekuatan, daya dukung, kemampuan tanah menyimpan air drainase dan lain-lain. Sifat fisik tanah ini banyak bersangkutan dengan penggunaan tanah dalam berbagai keadaan (Hardjowigeno, 2003).

Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan

partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah

memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah, 2005).

Menurut Islami dan Wani (1995) besarnya bobot volume (bulk density)


(31)

dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah, dan struktur tanah atau lebih khusus bagian rongga pori tanah. Nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 % sampai 60 %.

Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai bulk density berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Nilai bulk density yang tinggi menunjukkan bahwa tanah

tersebut lebih padat dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki nilai bulk

density yang lebih rendah. Semakin padat suatu tanah, volume pori pada tanah tersebut semakin rendah. Mustofa (2007) menyatakan bahwa nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah, dan lain-lain. Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.

Kerapatan Partikel Tanah (Particel Density)

Kerapatan partikel tanah menunjukkan perbandingan antara massa tanah kering terhadap volume tanah kering dengan persamaan :

�s = Ms

Vs ………(11)

Dimana,

�s = Kerapatan partikel (g/cm3) Vs = Volume tanah (cm3) (Hilel, 1981).

Besarnya kerapatan partikel tanah pertanian bervariasi diantara 2,2 g/cm3 sampai 2,8 g/cm3, dipengaruhi terutama oleh kandungan bahan organik tanah dan kepadatan jenis partikel penyusun tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi


(32)

menyebabkan tanah mempunyai bobot jenis partikel (particel density) rendah.

Tanah Andosol misalnya, nilai kerapatan partikel hanya 2,2 – 2,4 g/cm3

(Islami dan Wani, 1995).

Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka makin kecil nilai kerapatan partikelnya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir. Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Dengan adanya bahan organik, menyebabkan nilai kerapatan partikelsemakin kecil (Hanafiah, 2005).

Porositas Tanah

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah pori-pori makro + mikro) lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno, 2007).

Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada


(33)

tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro), sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 2007).

Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah makin meninggi. Selanjutnya permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2) adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan 4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief, 1989).

Untuk menghitung persentase ruang pori (θ) yaitu dengan

membandingkan nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel dengan persamaan:

θ = �1-Bd Pd�

×100%...(12) Dimana: θ = porositas (%)

Bd = Kerapatan massa (g/cm3) Pd = Kerapatan partikel (g/cm3) (Hansen, dkk, 1992).

Bahan Organik Tanah

Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal dari tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan organik merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Bahan organik merupakan salah satu bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah (Hakim, dkk, 1986).


(34)

Kohnke (1968) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat-agregat tanah, memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.

Rancangan Saluran

Kegiatan perencanaan diharapkan untuk dapat mencapai sasaran dengan jalan mengembangkan jaringan-jaringan pengairan, baik jaringan-jaringan utama maupun jaringan-jaringan tersier. Jaringan-jaringan tersier ini lah yang nantinya akan melaksanakan kewajiban-kewajiban.

a. Membagi air secara merata dan adil ke sawah-sawah, sehingga sawah yang

jauh dari pintu penyadap pun dapat pula menerima air.

b. Bila ternyata keadaan air pengairan berkurang, melalui saluran tersier ini dapat dibagi-bagi secara bergilir (rotasi) kepada saluran-saluran sub tersier/petak-petak tersier.

c. Menampung dan membuang kelebihan air (air hujan dan sebagainya) agar

tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.

Dengan adanya efisiensi penggunaan air dari pengairan, maka tidak mustahil kemungkinan dapat terjadinya peningkatan luas areal padi pada musim kemarau. Dalam pengembangan jaringan pengairan/irigasi tersier diperlukan perencanaan-perencanaan yang matang dan terarah. Kegiatan perencanaan-perencanaan tersier meliputi kegiatan pembuatan rencana pendahuluan sebelum disesuaikan dengan keadaan lapangan, kemudian pemeriksaan lapangan, rencana yang sudah tepat/pasti,


(35)

pengukuran profil saluran melintang dan memanjang. Akhirnya penentuan disain

capasity berikut sistem rotasi, mendimensi bangunan-bangunan dan

saluran-saluran (Soekarto dan Hartoyo, 1981).

Dalam merancang saluran, faktor-faktor yang perlu di perhatikan adalah: 1. Debit

Debit dapat diukur dengan menggunakan rumus: Q = v × A

Dimana: Q = debit air (m3/detik)

v = Kecepatan aliran (m/detik) A = luas penampang aliran (m2) 2. Kecepatan aliran

Menurut Basak (1999) kecepatan dari pengukuran aliran pada aliran permukaan disebut dengan kecepatan permukaan. Kecepatan pada setiap kedalaman di saluran ataupun sungai tidaklah sama. Ini ditemukan melalui observasi, dimana kecepatan pada kedalaman 0,6 D merupakan kecepatan rata-rata, dimana “D” adalah kedalaman air pada saluran atau sungai. Setelah penelitian yang panjang dengan saluran yang bervariasi, Chezy dan Manning menetapkan persamaan untuk memperoleh kecepatan dari suatu aliran. Untuk disain saluran dengan jenis tanah non-alluvial, koefisien kekerasan memiliki peranan penting, namun faktor lain seperti sedimentasi tidak berperan penting. Disini, kecepatan aliran permukaan dianggap sangat dekat terhadap kecepatan kritis. Untuk itu persamaan kecepatan oleh Chezy atau Manning sesuai untuk disain saluran dengan jenis tanah ini.


(36)

Persamaan Kecepatan menurut Chezy

V = C × √R S...(13) Dimana: V = Kecepatan aliran (m/detik)

C = konstanta Chezy

R = kedalaman rata-rata hidrolik S = kemiringan saluran

Konstanta Chezy ‘C’ dapat dikalkulasikan sebagai berrikut:

a. Formula Bazin

C = 87

1 + K

√R

...(14)

Dimana: K = konstanta Bazin

b. Formula Kutter

C = 23 +

0,00155 s +

1 n

1+�23+ 0,00155

s � × N √R

...(15)

Dimana: N = koefisien kekasaran Persamaan Kecepatan oleh Manning

V = 1

N× R

2 3⁄

× S1 2⁄ ...(16) Dimana: N = koefisien kekasaran

V = Kecepatan aliran (m/detik) R = kedalaman rata-rata hidrolik S = kemiringan saluran

Nilai N (koefisien kekasaran) dapat dilihat pada Tabel 2, sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Koefisien Kekasaran (N)

Bahan N

Tanah 0.0225

Tembok/semen 0.02


(37)

Sumber: Basak (1999) Ketentuan:

a) Jika nilai K tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut: untuk saluran tidak disemen K = 1,30-1,75

untuk saluran yang disemen K = 0,45-0,85

b) Jika nilai N tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut: untuk saluran tidak disemen K = 0,0225

untuk saluran yang disemen K = 0,333 3. Kecepatan Aliran Kritis

Kecepatan kritis merupakan kecepatan aliran air yang tidak menyebabkan pengendapan ataupun penggerusan di dasar saluran. Kecepatan kritis disimbolkan dengan ‘Vo’. Nilai dari Vo dapat diperoleh malalui persamaan yang diungkapkan oleh Kennedy, yaitu:

V0 = 0,546 × D0,64...(17) Dimana D adalah kedalaman air.

Rasio kecepatan kritis adalah perbandingan antara kecepatan aliran ‘V’ terhadap kecepatan kritis ‘V0’ disebut sebagai rasio kecepatan kritis.

CVR = V

V0

atau m = V V0

...(18)

Jika m = 1 berarti tidak terjadi pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 akan terjadi penggerusan dan jika m < 1 akan terjadi pengendapan. Maka melalui nilai m ini kondisi saluran dapat diprediksi terjadi penggerusan atau pengendapan. 4. Kemiringan saluran

Menurut Soekarto dan Hartoyo (1981), dalam merencanakan saluran tersier maka harus ditetapkan besarnya kemiringan dasar saluran (i). Bila


(38)

kemiringan medan lapangan kecil berarti harus menghemat kehilangan energi. Dalam merencanakan dipilih suatu kemiringan dasar (i) yang sesuai dengan keadaan/kemiringan lapangan, namun harus diperhatikan juga agar kecepatan aliran (V) masih dalam batas-batas yang diizinkan. Bila kecepatan (V) terlalu besar, maka akan membahayakan saluran karena akan terjadi proses penggerusan dasar maupun tebing saluran. Bila kecepatan terlalu kecil, maka akan terjadi endapan sehingga saluran akan cepat menjadi dangkal.

Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5 - 2,5. Untuk jenis tanah pasir lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25 (Mawardi, 2007).

5. Penampang melintang saluran basah

Mays (2001) menyatakan bahwa penampang saluran basah dari saluran irigasi ada beberapa jenis, yaitu penampang berbentuk persegi, trapesium, segitiga dan berbentuk gelang (lingkaran). Penampang yang umum digunakan yaitu berbentuk persegi dan trapesium. Selain biaya yang murah juga mudah dalam pembuatannya.

6. Kedalaman hidrolik

Perbandingan antara luas penampang saluran terhadap perimeter basah disebut sebagai kedalaman hidrolik atau radius. Biasanya disimbolkan dengan R.


(39)

R= A Pw

... (19) Dimana: A = luas penampang saluran

Pw = perimeter basah (Basak, 1999).

Luas (A) untuk geometri saluran yang berbentuk persegi dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:

A = Bw× y...(20)

Untuk mengetahui perimeter basah (P) dari geometri saluran yang berbentuk persegi dapat diperoleh melalui rumus:

Pw = Bw+ 2y...(21) Dimana: A = luas penampang aliran

Pw = perimeter basah Bw = lebar dasar saluran y = tinggi air pada saluran (Mays, 2001).

Sedangkan untuk geometri saluran berbentuk trapesium, luasnya (A) dapat diperoleh dengan rumus:

A = (b + zy)y

Pw = b + 2y (�(1+z)2 dimana: b = lebar dasar

y = kedalaman aliran

m = kemiringan dinding saluran

Untuk geometri saluran berbentuk segitiga, luasnya (A) dapat diperoleh dengan rumus:


(40)

A = zy2

Pw = 2y√1+z2


(41)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2013 di Desa Namu Ukur Utara daerah irigasi Namu Sira-sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat untuk mengkaji saluran irigasi tersier, di Laboratorium Keteknikan Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk pengukuran sifat fisik tanah dan bobot kering tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk pengukuran tekstur tanah dan kandungan bahan organik tanah.

Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stopwatch

digunakan untuk menghitung waktu yang diperlukan air terjun dari sekat ukur,

waterpass digunakan untuk mengukur kemiringan saluran, kalkulator digunakan untuk perhitungan, tape digunakan untuk mengukur panjang saluran tersier, sekat ukur tipe Thompson digunakan untuk mengukur debit air pada saluran, silinder besi untuk mengukur laju perkolasi pada saluran, ring sample, oven, timbangan digital, erlenmeyer, gelas ukurdan alat tulis.

Bahan Penelitian

1. Deskripsi jaringan irigasi diperoleh dari kantor proyek irigasi 2. Peta jaringan irigasi diperoleh dari dinas Pekerjaan Umum

3. Data rata-rata suhu bulanan dan data persentase jam siang hari bulanan


(42)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan dengan mengukur parameter yang diteliti. Data primer dan sekunder pada daerah irigasi yang ditinjau, selanjutnya dilakukan rancangan saluran tersier di desa Namu Ukur Utara daerah irigasi Namu Sira-sira.

Pelaksanaan Penelitian

1. Mendeskripsikan jaringan irigasi yang meliputi: a. Letak dan luas daerah irigasi

b. Keadaan iklim

c. Kondisi bangunan irigasi

2. Menetapkan lokasi pengukuran saluran irigasi

3. Menghitung efisiensi penyaluran air irigasi dengan cara:

a. Dihitung debit air di hulu dan hilir saluran dengan menggunakan sekat ukur tipe segitiga 90° (Thompson)

b. Dihitung efisiensi penyaluran dengan menggunakan Persamaan (10)

4. Luas penampang saluran dan saluran basah

a. Dihitung luas penampang saluran dengan menggunakan rumus:

- Untuk penampang berbentuk persegi:

A = Panjang × Lebar

- Untuk penampang berbentuk trapesium:

A = 1

2 (jumlah sisi sejajar)

b. Dihitung kecepatan aliran air dengan rumus debit dibagi luas

penampang basah, V = Q


(43)

c. Dihitung kecepatan kritis dengan menggunakan Persamaan (15)

5. Tekstur Tanah

Tekstur tanah dianalisis di laboratorium dengan sampel tanah kering udara 25 g. Kemudian dari hasil laboratorium ditentukan tekstur tanah menggunakan segitiga USDA.

6. Kerapatan Massa (Bulk Density)

- Diambil tanah dengan ring sample di dalam dan tepi saluran tersier satu dan saluran tersier dua.

- Diovenkan tanah selama 24 jam dengan suhu 1050C dan ditimbang

berat tanah kering oven.

- Diukur diameter dan tinggi ring sample.

- Dihitung volume ring sample sebagai volume total tanah dengan rumus

V=π r2t.

- Dihitung kerapatan massa tanah dengan menggunakan Persamaan (1)

7. Kerapatan Partikel (Particle Density)

- Ditimbang berat tanah kering oven.

- Dimasukkan tanah kering oven ke dalam erlenmayer.

- Dipadatkan tanah dengan cara diketuk-ketuk hingga volumenya tetap

dan hasilnya dicatat sebagai volume tanah dalam ml.

- Erlenmayer diisi air sebanyak 300 ml dan dicatat sebagai volume air.

- Dimasukkan tanah kedalam erlenmayer dan hasilnya dicatat sebagai

volume air tanah.

- Dihitung kerapatan partikel tanah dengan menggunakan rumus:

Kerapatan partikel (Pd)= Berat Tanah


(44)

8. Porositas Tanah

Dihitung nilai porositas tanah dengan menggunakan Persamaan (3)

9. Bahan Organik

Bahan organik tanah dianalisis di laboratorium dengan sampel tanah kering udara 25 g.

10.Evapotranspirasi

- Dihitung suhu rata-rata bulanan

- Ditentukan koefisien tanaman

- Dihitung persentase jam siang bulanan dalam setahun

- Dihitung nilai evapotranspirasi dengan menggunakan Persamaan (7)

11.Perkolasi

- Dibenamkan silinder ke dasar saluran sedalam 30 - 40 cm

- Dicatat penurunan air selama 24 jam

- Dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali

- Dihitung laju perkolasi dengan menggunakan Persamaan (8)

12.Rembesan

- Dihitung besar kehilangan air per satuan waktu

- Dihitung nilai rembesan dengan cara menggunakan rumus:

Rembesan = Kehilangan air di saluran – (Evapotranspirasi + Perkolasi)

13.Pengukuran Saluran

- Diukur debit saluran tersier dengan menggunakan sekat ukur tipe

Thompson

- Ditentukan koefisien kekasaran (N)


(45)

- Dihitung kedalaman rata-rata hidrolik dengan menggunakan Persamaan (19)

- Diukur lebar dan dalam saluran yang ada

- Dengan debit yang tersedia dan dengan penetapan lebar saluran,

kemudian dirancang dimensi saluran irigasi yang sesuai untuk merencanakan kecepatan rata-rata dengan kecepatan kritis agar tidak terjadi penggerusan atau pengendapan.


(46)

Parameter Penelitian

1. Tekstur Tanah

Tekstur tanah dianalisis di laboratorium. 2. Kerapatan Massa (Bulk Density)

Kerapatan massa tanah dihitung dengan menggunakan Persamaan (1). 3. Kerapatan Partikel (Particel Density)

Kerapatan partikel tanah dihitung dengan menggunakan Persamaan (2). 4. Porositas

Porositas tanah dihitung dengan menggunakan Persamaan (3).

5. Kandungan Bahan Organik

Kandungan bahan organik dianalisis di laboratorium.

6. Debit

Besarnya debit saluran dihitung dengan menggunakan sekat ukur tipe Thompson.

7. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan Persamaan (7). 8. Perkolasi

Perkolasi dihitung dengan menggunakan Persamaan (8).

9. Rembesan

Rembesan dihitung dengan menggunakan Persamaan (9). 10.Efisiensi Saluran

Efisiensi saluran besarnya efisiensi saluran dihitung dengan menggunakan Persamaan (10).


(47)

11.Kecepatan aliran rata-rata

Kecepatan aliran air dihitung dengan persamaan V=Q A. 12.Kecepatan Aliran Kritis

Kecepatan kritis dihitung dengan menggunakan Persamaan (15). 13.Kemiringan

Pengukuran kemiringan saluran menggunakan alat waterpass.

14.Rancangan Saluran


(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Daerah Penelitian

Letak geografis daerah Namu Sira-sira berada pada kisaran 3’ 31’ LU dan 98’ 27’ BT. Mencakup empat bagian kecamatan yaitu kecamatan Sei Bingei, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai dan Kecamatan Binjai Selatan. Kecamatan yang paling luas mendapat pelayanan dari irigasi Namu Sira-sira adalah Kecamatan Sei Bingei.

Desa Namu Ukur Utara merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat berada pada ketinggian 75 meter di atas permukaan laut. Keadaan suhu rata-rata di desa ini berkisar antara 25º - 32º Celcius, curah hujan rata-rata 800 mm/ tahun. Desa Namu Ukur Utara merupakan salah satu desa yang dialiri oleh jaringan irigasi Namu Sira Sira. Luas lahan sawah di desa ini sekitar 1142 Ha.

Desa Namu Ukur Utara berjarak 3 km dari ibu kota kecamatan Sei Bingei dan 25 km dari ibu kota kabupaten Langkat, yaitu kota Stabat dan 32 km dari ibu kota provinsi Sumut, dengan jumlah penduduk sebanyak 4.958 jiwa, terdiri dari 2.446 jiwa laki-laki dan 2.512 jiwa perempuan, dengan 1.325 KK. Secara administratif, desa Namu Ukur Utara berbatasan dengan wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Pasar IV

Sebelah Selatan : Desa Durian Linnga

Sebelah Timur : Desa Pasar VIII dan desa Namu Trasi


(49)

1. Sifat Fisik Tanah

Tekstur Tanah

Hasil analisis tekstur tanah pada 2 saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisa teksur tanah

Saluran Fraksi Tekstur Tanah

Pasir (%) Debu (%) Liat (%)

Dasar I 71,12 6,00 22,88 Lempung Liat Berpasir

Tepi I 61 0 39 Liat Berpasir

Dasar II 73,12 6,00 20,88 Lempung Liat Berpasir

Tepi II 73 0 27 Lempung Liat Berpasir

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tanah pada saluran tersier 1 memiliki tekstur yang berbeda antara dasar dan tepi saluran yaitu lempung liat berpasir pada dasar saluran dan liat berpasir pada tepi saluran, sedangkan pada saluran tersier 2 memiliki tekstur yang sama antara dasar dan tepi saluran yaitu lempung liat berpasir, yang dapat ditentukan dengan menggunakan segitiga USDA.

Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara (Hadjowigeno 2007).

Jika dilihat perbandingan persentase pasir, liat dan debu pada kedua saluran, kandungan pasir pada tepi saluran 2 lebih besar dari pada tepi saluran 1, sedangkan kandungan liat pada tepi saluran 2 lebih kecil dari pada tepi saluran 1 dan kandungan debu pada tepi saluran 1 sama dengan tepi saluran 2. Untuk dasar saluran kandungan pasir saluran 1 lebih kecil dari saluran 2, kandungan liat


(50)

saluran 1 lebih besar dari pada saluran 2, sedangkan kandungan debu saluran 1 sama dengan saluran 2. Kalau dilihat dari kandungan liatnya, dasar dan tepi saluran 1 lebih sulit untuk meloloskan air dibandingkan dengan dasar dan tepi saluran 2. Namun kemungkinan tanah untuk meloloskan air juga akan dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kandungan bahan organik, porositas tanah dan pori-pori tanah.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan debu pada kedua saluran sangat sedikit jika dibandingkan dengan kandungan pasir dan liatnya. Hal ini dikarenakan sifat debu berada di antara pasir dan liat, debu memiliki ukuran yang lebih halus dan lebih ringan dibandingkan pasir dan daya ikat antar partikelnya yang lebih lemah ketimbang liat oleh karena itu debu lebih mudah terbawa air yang mengalir pada saluran tersebut sehingga kandungan debunya lebih sedikit. sedangkan liat walaupun memiliki ukuran partikel yang lebih halus ketimbang pasir dan debu, namun liat mempunyai daya lekat yang sangat kuat dibandingkan dengan pasir dan debu, hal ini yang menyebabkan liat tidak mudah dibawa air yang mengalir. Hal ini sesuai dengan literatur Wesley (1973) yang menyatakan bahwa debu merupakan bahan peralihan antara liat dan pasir halus. Fraksi ini memiliki ukuran yang lebih kecil namun luas permukaan yang lebih besar dari fraksi pasir, kurang plastis dan lebih mudah ditembus air daripada liat, partikel-partikel debu terasa licin dan kurang melekat. Menurut Hanafiah (2005) liat memiliki ukuran yang paling halus dan luas permukaan yang paling besar dibanding fraksi pasir dan debu, akan terasa berat, dapat membentuk bola yang baik serta memiliki daya lekat yang tinggi (melekat sekali).


(51)

Bahan Organik Tanah

Hasil pengukuran bahan organik tanah tanah pada 2 saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisa bahan organik

Lokasi % C – organik Bahan Organik (%)

Dasar Saluran I 0,46 0,79

Tepi Saluran I 0,95 1,64

Dasar Saluran II 0,50 0,86

Tepi Saluran II 1,91 3,29

Berdasarkan hasil pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa bahan organik pada tepi saluran lebih besar dari pada dasar saluran, sehingga mengakibatkan tanah pada dasar saluran lebih padat dan lebih susah untuk meloloskan air. Menurut

Hardjowigeno (2003) tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih

besar. Pada tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan bulk density yang

lebih rendah dibandingkan tanah dibawahnya.

Kandungan bahan organik pada tepi saluran lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dalam saluran karena adanya tanaman pada bagian tepi saluran. Menurut Foth (1994) banyaknya tanaman akan meningkatkan bahan organik pada tanah karena sisa-sisa tanaman dapat diurai oleh jasat renik menjadi bahan organik. Sementara pada bagian dalam saluran tidak ditumbuhi oleh rumput. Adanya kandungan bahan organik pada tanah akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah seperti meningkatkan total ruang pori pada tanah dan menurunkan kepadatan tanah.


(52)

Kerapatan Massa (Bulk Density)

Hasil pengukuran kerapatan massa tanah pada 2 saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisa kerapatan massa (bulk density)

Saluran Kerapatan Massa (Bulk Density)

Tepi Saluran (g/cm3) Dasar Saluran (g/cm3)

I 0,70 0,92

II 0,67 0,89

Dari Tabel 4 dapat dilihat hasil pengukuran kerapatan massa yang berbeda antara tepi saluran dan dasar saluran, dimana nilai kerapatan massa di dasar kedua saluran lebih besar dibandingkan dengan di tepi kedua saluran. Menurut

Hardjowigeno (2003) Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih

besar. Bulk density di lapangan tersusun atas tanah-tanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm3. Tanah organik memiliki nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm3.

Kerapatan massa tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Semakin besar kandungan bahan organik pada tanah maka kepadatan tanah akan berkurang sehingga kerapatan massa tanahnya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan literatur Foth (1994) yang menyatakan adanya kandungan bahan organik pada tanah akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah seperti meningkatkan total ruang pori pada tanah dan menurunkan kepadatan tanah. Berdasarkan kandungan bahan organik tanah yang tertera pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan bahan organik tanah pada kedua tepi saluran lebih besar daripada di dasar saluran, oleh karena itu tepi saluran baik saluran 1 dan saluran 2


(53)

menjadi kurang padat. Kurang padatnya tanah pada tepi saluran mengakibatkan kerapatan massanya menjadi rendah dibandingkan dengan dasar saluran.

Kerapatan Partikel (Particle Density)

Hasil pengukuran kerapatan partikel tanah pada 2 saluran tersier di desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisa kerapatan partikel (particle density)

Saluran Kerapatan Partikel (Particle Density)

Tepi Saluran (g/cm3) Dasar Saluran (g/cm3)

I 2,70 2,96

II 2,87 2,94

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai kerapatan partikel pada kedua saluran berbeda, baik di tepi maupun di dasar saluran. Tepi saluran baik saluran 1 maupun saluran 2 memiliki nilai kerapatan partikel yang lebih kecil dibandingkan dasar saluran 1 maupun saluran 2, karena nilai kerapatan massa tepi saluran juga

lebih kecil dibandingkan dengan dasar saluran. Menurut Hanafiah (2005) Bulk

density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan partikel density

berbanding lurus dengan bulk density.

Dari Tabel 4 diperoleh nilai kerapatan massa pada bagian tepi saluran 1 lebih rendah dibandingkan dengan bagian dasar saluran 1. Begitu juga nilai kerapatan massa pada bagian tepi saluran 2 lebih rendah dibandingkan dengan bagian dasar saluran 2. Sehingga dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa nilai kerapatan partikel bagian tepi saluran 1 lebih rendah daripada dasar saluran 1 dan kerapatan partikel bagian tepi saluran 2 lebih randah daripada bagian dasar saluran 2.

Besarnya nilai kerapatan partikel dipengaruhi oleh kandungan bahan organik pada tanah. Semakin besar nilai kandungan bahan organik maka semakin


(54)

rendah nilai kerapatan partikel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarief (1986) bahwa dengan adanya kandungan bahan organik pada tanah maka nilai berat jenis butir menjadi lebih rendah. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan bahan organik dasar saluran lebih kecil dibandingkan tepi saluran, sehingga kerapatan partikel dasar saluran lebih besar dari tepi saluran. Menurut Hanafiah (2005) jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan partikel tanah. Dengan adanya bahan organik maka nilai particle density-nya semakin kecil.

Porositas Tanah

Nilai porositas tanah pada 2 saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisa porositas tanah

Saluran Porositas Tanah

Tepi Saluran (%) Dasar Saluran (%)

I 74 69

II 77 70

Dari Tabel 6 diperoleh bahwa porositas tanah di tepi saluran lebih besar daripada di dasar saluran. Besarnya nilai porositas tanah berbanding terbalik

terhadap kerapatan massa. Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai bulk density

berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa nilai kerapatan massa bagian dalam saluran lebih besar dibanding dengan bagian tepi saluran. Sehingga porositas bagian tepi saluran lebih besar daripada bagian dalam saluran.

Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai porositas yaitu f= ρs-ρρb

s =

1-ρb

ρs. Dari persamaan tersebut maka nilai porositas berbanding terbalik dengan kerapatan massa dengan nilai kerapatan partikel tetap. Dilihat dari nilai porositasnya, tepi saluran 2 memiliki nilai paling besar sehingga lebih mudah


(55)

untuk meloloskan air. Sedangkan dasar saluran 1 memiliki nilai porositas yang paling kecil sehingga kemampuan untuk meloloskan air akan lebih kecil juga.

Bahan organik tanah mempengaruhi nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel sehingga juga mempengaruhi nilai porositas tanah. Bahan organik tanah memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan kerapatan massa dan kerapatan partikel, dimana semakin tinggi kandungan bahan organik tanah akan menyebabkan kepadatan tanah berkurang dan meningkatkan volume tanah sehingga nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel tanah akan semakin kecil, sedangkan porositas tanah semakin besar. Hal ini sesuai dengan literatur Israelsen

and Hansen (1962) yang menyatakan bahwa bahan organik sangat mempengaruhi

nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel tanah, semakin besar kandungan bahan organik maka kerapatan massa dan kerapatan partikelnya akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan kandungan bahan organik yang besar akan meningkatkan volume tanah menjadi lebih besar. Kandungan bahan organik tanah pada tepi saluran lebih besar dari dasar saluran (dapat dilihat pada Tabel 3), mengakibatkan nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel pada tepi saluran lebih kecil dibandingkan dasar saluran (dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5). Sehingga untuk nilai porositas tanah pada tepi saluran lebih besar dibandingkan dengan porositas tanah pada dasar saluran.

2. Debit

Debit saluran menunjukkan jumlah air yang akan dialirkan ke sawah. Dari

pengukuran debit yang dilakukan, diperoleh besarnya debit pada kedua saluran yaitu dapat dilihat pada Tabel 7.


(56)

Tabel 7. Hasil pengukuran debit saluran

Lokasi Jarak Pengukuran

(m)

Debit (l/det)

Hulu Hilir

Saluran I 45 8,25 6,05

Saluran II 35 9,76 7,32

Saluran I 35 8,25 6,92

Pada saat pengukuran debit, jarak antara pengukuran di hulu dan hilir pada saluran 1 yaitu 45 meter, sedangkan pada saluran kedua jarak pengukurannya yaitu 30 meter, dimana debit pada kedua saluran relatif kecil. Pengukuran debit pada saluran 1 dan saluran 2 dilakukan pada jarak yang berbeda antara hulu dan hilirnya karena adanya sadapan air dari saluran ke sawah, dimana jarak sadapan pada saluran 1 dan saluran 2 berbeda. Pengukuran debit di hilir sebaiknya dilakukan sebelum sadapan, agar tidak ada kehilangan air akibat air mengalir ke sawah. Dapat dilihat pada Tabel 7 panjangnya jarak pengukuran debit saluran antara hulu dan hilir menentukan besarnya debit pada bagian hilir. Semakin jauh jarak pengukuran maka debit pada bagian hilir semakin kecil.

Dalam pengukuran debit, digunakan metode segitiga Thompson. Penggunaan segitiga ini sangat sesuai untuk saluran-saluran yang relatif kecil debitnya, sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat. Hal ini sesuai dengan literatur Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) yang menyatakan bahwa sekat ukur

Thompson berbentuk segitiga sama kaki dengan sudut 90°, dapat

dipindah-pindahkan karena bentuknya sangat sederhana, lazim digunakan untuk mengukur debit air yang relatif kecil.

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai debit pada bagian hulu dengan bagian hilir berbeda. Hal ini tentu menunjukkan bahwa terdapat kehilangan air pada sepanjang saluran. Maka besarnya debit di hilir saluran tergantung terhadap banyaknya kehilangan air pada sepanjang saluran. Hal ini sesuai dengan literatur


(57)

Wigati dan Zahab (2010) yang menyatakan bahwa kehilangan air pada

saluran-saluran irigasi (conveyance loss) meliputi komponen kehilangan air melalui

evaporasi, perkolasi, perembesan (seepage) dan bocoran.

3. Kehilangan Air

Pengukuran kehilangan air pada 2 saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil pengukuran kehilangan air

Lokasi Jarak

(m)

Evapotranspirasi (mm/hari)

Perkolasi (mm/hari)

Rembesan (mm/hari)

Kehilangan Air (mm/hari)

Saluran I 45 2,38 61,7 5724,72 5788,80

Saluran II 35 2,38 71,7 8058,2 8138,88

Saluran I 35 2,38 61,7 4438,32 4502,40

Dari Tabel 8 dapat dilihat jumlah kehilangan air pada saluran 2 lebih besar dari saluran 1. Kehilangan air pada saluran meliputi evapotransipirasi, perkolasi dan rembesan karena pada penelitian ini menggunakan saluran tanah.

Kehilangan air yang terjadi pada kedua saluran berbeda salah satunya disebabkan perbedaan jarak pengukuran dilapangan. Dimana saluran 1 jarak pengukurannya 45 meter dan saluran 2 jarak pengukurannya 30 meter. Jika jarak pengukuran sama (30 meter) dengan asumsi bahwa kehilangan air pada setiap meternya sama, maka besar kehilangan air pada saluran 1 lebih kecil yaitu sebesar 4502,40 mm/hari, sedangkan pada saluran 2 sebesar 8138,88 mm/hari.

Evapotranspirasi

Suhu rata-rata harian diperoleh dari data sekunder yaitu data suhu tahunan selama 10 tahun terakhir yang terdapat pada Lampiran 3. Suhu rata-rata yang diperoleh yaitu 26,86º C. Nilai jam hari terang Lintang Utara rata-rata diperoleh


(58)

dari data sekunder selama 10 tahun terakhir yang terdapat pada lampiran (3). Persen jam hari terang Lintang Utara yaitu 3,8.

Pada sepanjang saluran terdapat berbagai jenis tanaman, yang digolongkan ke dalam tanaman rumput. Menurut Hansen (1992) nilai koefisien tanaman (Kc) untuk tanaman rumput yaitu 0,85. Berdasarkan data ini maka pada kedua saluran nilai evapotranspirasinya sebesar 2,38 mm/ hari. Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) menyatakan bahwa evapotranspirasi merupakan kehilangan air melalui proses penguapan dari tumbuh-tumbuhan, yang banyaknya berbeda-beda tergantung dari kadar kelembaban dan jenis tumbuhannya. Perhitungan besar evapotranspirasi dapat dilihat pada Lampiran 5.

Perkolasi

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa laju perkolasi pada saluran 2 lebih besar dari pada saluran 1. Kandungan pasir dan liat pada tanah mempengaruhi besar air yang lolos akibat perkolasi. Tanah pasir memiliki daya hantar air cepat tetapi kemampuan menyimpan air dan zat hara rendah, sementara tanah liat memiliki daya hantar air yang lambat. Analisis sifat fisik tanah menunjukan bahwa persentase kandungan pasir dan liat pada dasar saluran 1 lebih kecil dari pada saluran 2. Menurut Hardjowigeno (2007) tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara.

Porositas yang kecil juga menunjukkan bahwa pori-pori tanah relatif kecil yang dapat menghambat gerakan air tanah sehingga penghambatan gerakan air tanah makin meninggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Foth (1994) yang


(59)

menyatakan bahwa tanah bertekstur halus lebih kuat menahan air dibanding tanah yang bertekstur kasar. Dilihat dari segi kerapatan massanya, semakin tinggi nilai kerapatan massa tanah maka semakin sulit tanah tersebut untuk dilalui oleh air, sehingga perkolasi pada saluran 1 lebih rendah.

Rembesan

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah rembesan yang terjadi pada saluran 2 lebih besar dari pada saluran 1. Rembesan yang lebih besar pada saluran 2, karena porositas pada bagian tepi saluran 2 lebih tinggi dibandingkan dengan saluran 1. Porositas yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan tanah lebih mudah untuk meloloskan air. Pada tepi saluran 1 fraksi liatnya lebih besar dibandingkan dengan tepi saluran 2, sehingga lebih sulit untuk meloloskan air.

Kehilangan air yang terjadi pada setiap saluran akan mengurangi jumlah air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Besarnya kehilangan air akan menurunkan tingkat efisiensi dari penyaluran air tersebut. Untuk meningkatkan efisiensi penyaluran maka dilakukan perbaikan pada saluran.

4. Efisiensi Irigasi

Besar efisiensi pada saluran tersier 1 dan saluran tersier 2 di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 9 dan perhitungannya terdapat pada Lampiran 10.

Tabel 9. Efisiensi saluran tersier

Lokasi Jarak pengukuran (m) Efisiensi (%)

Saluran I 45 73

Saluran II 35 75


(60)

Pada jarak pengukuran yang berbeda, efisiensi penyaluran pada saluran 2 lebih tinggi dibandingkan dengan saluran 1, sedangkan pada jarak yang sama (35 m) dengan mengasumsikan bahwa kehilangan air setiap meter sama, maka diperoleh efisiensi penyaluran pada saluran 2 lebih rendah dibandingkan dengan saluran 1. Perbedaan efisiensi pada kedua saluran disebabkan perbedaan besar kehilangan air, dimana pada saluran 2 kehilangan air yang terjadi lebih besar. Direktorat Jendral Pengairan (2010) menyatakan bahwa efisiensi irigasi pada saluran tersier yang baik adalah 80 % - 87,5 %. Dari nilai efisiensi yang diperoleh dapat dilihat bahwa efisiensi saluran 1 untuk jarak saluran 45 m dan untuk saluran 2 pada jarak 35 m efisiensinya kurang baik. Sehingga diperlukan perbaikan pada saluran untuk meningkatkan efisiensi dari saluran tersier tersebut.

Besarnya nilai efisiensi ini dipengaruhi oleh besarnya kehilangan air pada saluran. Pada jarak yang sama yaitu 35 meter, efisiensi pada saluran 1 lebih tinggi dibandingkan dengan saluran 2. Kehilangan yang terjadi dapat melalui evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan. Dimana nilai evapotranspirasi, perkolasi dan rembesan pada saluran satu dan dua dapat dilihat pada Tabel 8. Kehilangan air terbesar terjadi pada saluran 2, sehingga efisiensinya lebih kecil.

Kehilangan air terbesar terjadi melalui rembesan. Hal ini disebabkan oleh nilai porositas bagian tepi saluran lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dalam saluran, dapat dilihat pada Tabel 6.

Kehilangan air melalui evapotranspirasi pada saluran satu dan dua adalah sama, hal ini dikarenakan kebutuhan air tanaman (rumput) yang sama pada kedua saluran dimana nilai koefisien tanaman (Kc) rumput yaitu 0,85 dan suhu pada


(61)

kedua tempat juga sama. Sehingga besar nilai evapotranspirasi pada kedua saluran sama.

Kehilangan air akibat perkolasi pada saluran 1 lebih kecil dibandingkan dengan saluran 2, disebabkan karena besarnya nilai kerapatan massa pada kedua saluran berbeda. Dimana kerapatan massa pada saluran 1 lebih tinggi dibandingkan dengan saluran 2 (Tabel 4). Semakin tinggi nilai kerapatan massanya maka akan semakin padat tanah tersebut dan kandungan bahan organiknya rendah (dapat dilihat pada Lampiran 6). Tanah yang mengandung

bahan organik rendah memiliki total ruang pori yang rendah juga

(Nurmi dkk, 2009) sehingga kemampuan untuk meloloskan air lebih sulit. Maka pada saluran 1 perkolasi yang terjadi lebih kecil.

5. Rancangan Saluran Kecepatan aliran rata-rata

Besar kecepatan aliran rata-rata saluran 1 dan saluran 2 di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 10 dan perhitungannya pada Lampiran 8.

Tabel 10. Hasil pengukuran kecepatan aliran rata-rata

Lokasi Debit Rata-Rata

×10-3 (m3/det)

Luas Penampang (m2)

Kecepatan Rata-Rata (m/det)

Saluran 1 7,15 0,1241 0,057

Saluran 2 8,54 0,1776 0,048

Kecepatan rata-rata pada kedua saluran diperoleh dengan cara membandingkan antara debit rata-rata saluran yang diukur secara langsung, dimana debit rata-rata ini adalah debit di hulu dan hilir saluran dengan luas penampang saluran. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai kecepatan rata-rata pada saluran satu lebih besar dibandingkan dengan nilai kecepatan rata-rata pada


(62)

saluran dua, meskipun debit pada saluran satu lebih kecil dibanding debit pada saluran dua. Hal ini disebabkan luas penampang pada saluran pertama lebih kecil dibanding dengan luas penampang pada saluran kedua. Melalui rumus V = (Q/A) dapat dilihat bahwa kecepatan aliran berbanding terbalik terhadap luas penampang dan berbanding lurus terhadap debit aliran.

Kecepatan Aliran Kritis

Besar kecepatan aliran kritis saluran 1 dan saluran 2 di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 11 dan perhitungannya pada Lampiran 9.

Tabel 11. Hasil pengukuran kecepatan aliran kritis

Lokasi Kedalaman Air

(m)

Kecepatan Aliran Kritis (m/det)

Saluran 1 0,17 0,18

Saluran 2 0,24 0,22

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa kecepatan aliran kritis pada saluran dua lebih besar dibandingkan dengan kecepatan aliran kritis pada saluran satu. Kecepatan aliran kritis dipengaruhi oleh kedalaman air pada saluran. Semakin besar kedalamannya maka kecepatan aliran kritis akan semakin besar pula. Pada Tabel 11 dilihat bahwa kedalaman air pada saluran dua lebih besar, sehingga kecepatan aliran kritisnya lebih besar. Kecepatan aliran kritis merupakan kecepatan aliran yang diharapkan pada saluran, dimana ketika kecepatan aliran air sama dengan kecepatan aliran kritis, maka pada saluran tidak terjadi penggerusan ataupun pengendapan sehingga efisiensi penyaluran air optimal.

Untuk mengetahui terjadinya penggerusan ataupun pengendapan di saluran dapat dilakukan dengan membandingkan nilai kecepatan rata-rata dengan kecepatan aliran kritis. Menurut Basak (1999) jika m = 1 berarti tidak terjadi


(63)

pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 akan terjadi penggerusan dan jika m < 1 akan terjadi pengendapan. Pada saluran satu dan dua perbandingan nilai kecepatan rata-rata dengan kecepatan aliran kritis masing-masing yaitu 0,32 dan 0,22, dimana nilai ini lebih kecil dari 1 (<1) sehingga di saluran satu dan dua sama-sama terjadi pengendapan.

Penampang Melintang Saluran

Saluran tersier di Desa Namu Ukur Utara adalah Saluran Tunggal dengan bentuk persegi. Untuk saluran 1 dimensinya adalah B = 0,73 m dan D = 0,17 m, untuk saluran 2 dimensinya adalah B = 0,74 m dan D = 0,24 m. Bentuk penampang melintang saluran 1 dan 2 dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

0,17 m 0,24 m

0,73 m 0,74 m

Saluran 1 Saluran 2

Gambar 1. Penampang Melintang Saluran Tersier

Kemiringan Saluran

Dari pengukuran dilapangan diperoleh kemiringan saluran satu sebesar 1,17 % dan saluran dua sebesar 2,04 %. Perhitungan kemiringan saluran dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dengan kemiringan yang terdapat di lapangan, maka yang terjadi pada kedua saluran adalah pengendapan sehingga perlu dilakukan perancangan kembali saluran.


(64)

Kombinasi Dimensi Saluran

Untuk meningkatkan efisiensi penyaluran air irigasi maka diperlukan perancangan saluran irigasi yang baik, baik ukuran saluran maupun kecepatan alirannya. Untuk memperoleh kecepatan aliran yang tidak mengakibatkan penggerusan dan pengendapan di saluran maka nilai rasio kecepatan kritis (m) = 1 (Basak,1999).

Dimensi saluran diperoleh dengan mengasumsikan nilai kecepatan aliran rata-rata sama dengan kecepatan kritisnya sehingga m = 1. Rancangan saluran untuk berbagai kombinasi kemiringan dan lebar saluran 1 dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Untuk perhitungan kombinasi setiap saluran dapat dilihat pada Lampiran 10.

Saluran Tersier 1

Tabel 12. Hasil perhitungan rancangan dimensi saluran I

No Kemiringan Lebar (B)

(m)

Dalam (D) (m)

1 0,0003 0,73* 0,17*

2 0,0002 0,73*

0,64**

0,28** 0,32**

3 0,0004

0,36** 0,37** 0,73*

0,18** 0,17* 0,12**

* = nilai pengukuran di lapangan ** = nilai perhitungan kombinasi saluran

Menurut Hansen, dkk (1992) potongan melintang hidrolik terbaik pada keadaan bangunan yang sesuai adalah: b = 2d tan θ

2. Karena bentuk saluran adalah persegi panjang maka nilai tan θ

2=1, sehingga B = 2D. Dari kelima kombinasi rancangan saluran, rancangan dimensi saluran tersier terbaik adalah kombinasi rancangan ke-5, kemiringan 0,04 % dengan B = 0,37 m dan lebar saluran sesuai


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

1 75 85

Kajian Nilai Kekasaran dan Konstanta Beberapa Kondisi Saluran Tersier Pada Jaringan Irigasi Namu Sira Sira Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

1 6 84

Kajian Nilai Kekasaran dan Konstanta Beberapa Kondisi Saluran Tersier Pada Jaringan Irigasi Namu Sira Sira Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

0 0 9

Kajian Nilai Kekasaran dan Konstanta Beberapa Kondisi Saluran Tersier Pada Jaringan Irigasi Namu Sira Sira Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

0 0 1

Kajian Nilai Kekasaran dan Konstanta Beberapa Kondisi Saluran Tersier Pada Jaringan Irigasi Namu Sira Sira Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

0 0 4

Kajian Nilai Kekasaran dan Konstanta Beberapa Kondisi Saluran Tersier Pada Jaringan Irigasi Namu Sira Sira Desa Namu Ukur Utara Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

0 0 19

Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

1 1 32

Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

0 0 25

Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Namu Ukur Utara Daerah Irigasi Namu Sira-Sira Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

0 0 10

Kajian Saluran Irigasi Tersier di Desa Durian Lingga Daerah Irigasi Namu Sira Sira Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat

0 0 25