TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama S. litura

  TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama S. litura

  Menurut Kalshoven (1981) ulat grayakdiklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili : Noctuidae Subfamili : Amphipyrinae Genus : Spodoptera Spesies : Spodoptera lituraF.

  Telur

  Kelompok telur mempunyai ukuran dan bentuk yang tidak tetap, yang berisi rata-rata 350 telur dan ditutupi dengan bulu halus. Total telur yang dihasilkan adalah 2000-3000. Telur menetas setelah 3-5 hari (Kalshoven, 1981).

  Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian dasar melekat pada daun (kadang-kadang tersusun dua lapis), berwarna coklat kekuningan. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya (Gambar 1), baik pada

  Gambar 1: Kelompok Telur S. litura tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Larva

  Larva yang baru saja menetas hidup berkelompok, tetapi setelah beberapa hari berpencar (Deptan, 2012). Beberapa hari setelah menetas (bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Biasanya larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku larva instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur 2 minggu panjang larva sekitar 5 cm (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Larva instar satu berkepala hitam, badannya berwarna hijau kekuningan yang kemudian menjadi semakin hijau. Larva instar dua kepalanya berwarna coklat muda pada badan didekat kepala terlihat garis coklat melintang dan dan dua titik hitam dikedua sisinya. Larva instar tiga mempunyai variasi warna lebih jelas.

  Badan berwarna dasar hijau coklat dengan garis-garis putih dan coklat sepanjang badan. Pada ruas pertama abdomen terdapat garis coklat melintang. Larva instar empat mempunyai warna dasar abu-abu, pada bagian dorsal badan terdapat tiga garis kuning memanjang dan diatas garis-garis tersebut terlihat berbentuk setengah lingkaran yang terdapat hampir disetiap ruas badannya. Larva instar lima dan enam warnanya hitam tapi ukuran badan instar enam lebih besar dari instar lima (Tampenawas, 1981).

  Stadium ulat terdiri atas 6 instar yang berlangsung selama 14 hari. Ulat instar I, II dan III, masing-masing berlangsung sekitar 2 hari (Arifin, 1990). Instar pertama berukuran panjang 1,2-1,5 mm. Instar kedua sampai instar keempat berkisar 15-16 mm. Larva muda berwarna hijau dengan garis-garis hitam di punggungnya (Gambar 2), sedangkan larva yang sudah tua warnanya beragam

  Gambar 2: Larva S. litura (Sumber: http://www.penyuluhpertanian.com) yaitu hijau, coklat muda, hitam kecoklatan atau hijau tua kecoklatan dengan garis- garis kuning. Larva yang hidup di dataran tinggi berwarna coklat. Stadia larva merupakan stadia yang merusak tanaman (Purnomo dan Amalia, 2007).

  Ulat grayak memiliki ciri khas yaitu terdapatnya 2 bintik hitam berbentuk bulan sabit pada ruas abdomen ke 4 dan 10, yang dibatasi alur- alur lateral dan dorsal berwarna kuning yang memanjang sepanjang badan (Kalshoven, 1981).

  Pupa

  Ulat berpupa di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm (Gambar 3). Lama stadium pupa 8

  − 11 hari ( Marwoto dan Suharsono, 2008). Pupa berada di dalam tanah pada kedalaman kurang lebih 1 cm dan sering dijumpai pada pangkal

  Gambar 3: Pupa S. litura (Sumbe batang, berlindung dibawah daun kering. Pupa berwarna coklat muda dengan garis segmen beraturan (Purnomo dan Amalia, 2007).

  Imago

  Ngengat berwarna abu-abu sampai kecoklat-coklatan dengan bintik terang dekat sayap. Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis-garis yang kurang jelas dan terdapat bintik hitam. Sedangkan sayap belakang keputih-putihan dan tepinya bergaris hitam (Gambar 4). Ukuran sayap bila di rentangkan dapat

  Gambar 4: Imago S. litura (Sumbe mencapai 25-30 mm (Purnomo dan Amalia, 2007). Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. lama hidup 9-18 hari.Siklus hidup berkisar antara 30

  −60 hari (Marwoto dan Suharsono, 2008). Ngengat berumur pendek dan bertelur dalam 2-6 hari yang menghasilkan beberapa kelompok telur. Ngengat kawin beberapa kali. Pheromone yang terlalu banyak dapat mengganggu perilaku kawin (Kalshoven, 1981). Perkembangan ulat grayak bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia ulat, kepompong, ngengat dan telur (Arifin, 1990).

  Imago bersifat nokturnal, malam hari terbang dan menghisap nektar sementara pada siang hari bersembunyi di tempat yang terlindung. Imago yang baru keluar dari pupa dapat langsung berkopulasi dan kemudian meletakkan telur. Waktu peletakan telur biasanya sore dan malam hari (Widihastuty, 2001).

  Gejala Serangan

  Larva merusak seluruh bagian tanaman terutama daun dan polong. Daun yang terserang berlubang-lubang tidak beraturan. Pada tingkat serangan yang berat, daun tanaman dapat menjadi gundul (Gambar 5) (Deptan, 2012).

  Gambar 5: Gejala Serangan S. litura (Sumber: httpv-images2.antarafoto.com)

  Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada dipermukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan larva. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono, 2008). Larva instar akhir sangat rakus dan membuat lubang besar di daun-daun tembakau, melubangi ke dalam buah (polong) (Kalshoven, 1981).

  Faktor yang Mempengaruhi

  Pertumbuhan populasi ulat grayak sering dipicu oleh situasi dan kondisi lingkungan, yakni: 1) Cuaca panas. Pada kondisi kering dan suhu tinggi, metabolisme serangga hama meningkat sehingga memperpendek siklus hidup.

  2) Penanaman tidak serentak dalam satu areal yang luas. 3) Aplikasi insektisida. Penggunaan insektisida yang kurang tepat baik jenis maupun dosisnya dapat mematikan musuh alami serta meningkatkan resistensi dan resurgensi hama. 4) Penggunaan benih yang kurang sehat menghasilkan tanaman yang mudah terserang hama dan penyakit.

  5) Ketersediaan air. Kerusakan tanaman akibat serangan hama akan makin parah jika terjadi kekurangan air.

  6) Kondisi kesuburan tanah. 7) Keragaman cara pengendalian hama dan penyakit (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Pengendalian

  Prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah : 1. Fisik, membunuh organisme pengganggu secara manual, 2. Biologi, memanfaatkan peranan agens hayati seperti predator dan, patogen, 3. Kultur teknis, dengan penanaman varietas toleran, pengaturan jarak tanam, pengaturan drainase, pemupukan berimbang, penjarangan buah, dll. 4. Kimiawi, merupakan alternatif terakhir, dengan mempertimbangkan ambang ekonomi (Dewi, 2007).

  Komponen-komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT adalah sebagai berikut: 1) Pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.

  2) Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, Pengurangan populasi hama dapat pula dilakukan dengan mengambil kelompok telur, membunuh larva dan imago atau mencabut tanaman yang sakit.

  3) Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam yang bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan hama, serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. 4) Penggunaan agens hayati (pengendalian biologis). 5) Pestisida nabati untuk mengembalikan populasi hama pada asas keseimbangannya (Marwoto dan Suharsono, 2008).

  Insektisida Nabati

  Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang, biji atau buah. Bahan- bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai pestisida (Thamrin dkk, 2007). Insektisida alami mencakup semua bahan insektisida yang berasal dari alam, baik senyawa organik maupun anorganik (Prijono,1999).

  Kecenderungan masyarakat menggunakan bahan-bahan yang berasal dari tanaman obat terus meningkat. Produk berbahan baku yang berasal dari tanaman dinilai relatif lebih aman dan ramah lingkungan dibanding dengan produk berbahan aktif kimia sintetik. Sampai saat ini ketersediaan pestisida yang berbahan baku tumbuhan sebagai pestisida nabati yang telah diuji khasiat dan keamanannya secara ilmiah masih terbatas. Sementara itu petani kerapkali membuat ramuan sendiri dari berbagai tanaman, termasuk tanaman obat yang secara empiris dikatakan efektif untuk suatu organisme pengganggu tanaman (OPT), namun belum ditunjang dengan data ilmiah agar mutu dan keamanan produk tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Balfas dan Willis, 2009).

  Triterpen sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpen atau steroid yang terutama terdapat pada glokosida.Triterpen tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya.

  Dari segi ekonomi sapogenin penting juga karena kadang-kadang menimbulkan keracunan pada ternak. Sebagian besar tumbuhan yang banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Rustaman dkk, 2006).

  Tanin terdapat di seluruh bagian tumbuhan yang sedang tumbuh seperti tunas, akar tumbuh, buah muda, kulit bagian dalam, kulit bagian luar, dan daun muda. Dan dalam tumbuhan tanin berfungsi sebagai pelindung jaringan dari serangan jamur, bakteri, dan organisme pengganggu lainnya bahkan terhadap virus. Saponin adalah zat yang apabila di kocok dengan air maka akan mengeluarkan buih dan bila di hidrolisis akan menghasilkan gula dan sapogenin. Sifat-sifat sapogenin ialah dapat menghemolisis darah, mengikat kolesterol, dan toksin pada hewan berdarah dingin. Minyak atsiri adalah minyak yang di hasilkan tanaman, mempunyai sifat mudah menguap pada suhu kamar, bila diteteskan pada kertas saring maka akan menguap dan tidak berbekas, mempunyai rasa getir, dan berbau wangi segar, atau busuk sesuai dengan bau tanaman penghasilnya (Mulyana, 2002).

  Senyawa-senyawa yang telah dikenal baik oleh serangga akan dijadikan tanda bahwa tanaman tersebut adalah inang mereka dan kebanyakan senyawa- senyawa yang telah dikenal dijadikan sebagai senyawa penarik (attraktan). Sebaliknya kehadiran senyawa-senyawa yang belum dikenal (foreign compounds) dapat mengakibatkan penolakan pada serangga (Yunia, 2006).

  Pada umumnya pestisida berbahan nabati bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan terhadap musuh alami atau serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan pestisida berbahan nabati dapat dikombinasikan dengan musuh alami. Selain memiliki senyawa aktif utama dalam ekstrak tumbuhan juga terdapat senyawa lain yang kurang aktif, namun keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi). Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif, karena kemampuan serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang berbeda sekaligus lebih kecil daripada terhadap senyawa insektisida tunggal. Selain itu cara kerja senyawa dari bahan nabati berbeda dengan bahan sintetik sehingga kecil kemungkinannya terjadi resistensi silang (Thamrin dkk, 2007).

  Tumbuh-tumbuhan tersebut diduga bersifat sebagai racun perut, karena larva tidak menunjukkan gejala keracunan walaupun sudah terjadi kontak, gejala keracunan mulai tampak satu hari setelah makan yang ditandai dengan menurunnya aktivitas makan dan gerakannya melemah yang mengakibatkan kematian larva. Kematian larva terjadi pada hari kedua dan ketiga, kemudian hari berikutnya tidak terjadi kematian bahkan larva-larva yang masih bertahan hidup dapat membentuk pupa pada hari keenam dan ketujuh. Hal ini diduga bahwa setelah hari empat daya racun dari tumbuhan yang diuji sudah menurun (terdegradasi) (Thamrin dkk, 2007).

  Dosis yang digunakan pun tidak terlalu mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintesis. Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya, karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun. Sebanyak apapun yang diberikan pada tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering karena terlalu sering disiram dan lembab malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh tanamannya (Galingging, 2010).

  Ekstrak yang tidak aktif pada konsentrasi rendah mungkin disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalamnya kurang aktif atau senyawa tersebut sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah (Prijono, 1999).

  Pada umumnya pestisida sintetik dapat membunuh langsung organisme sasaran dengan cepat. Hal ini berbeda dengan pestisida nabati, sebagai contoh insektisida nabati yang umumnya tidak dapat mematikan langsung serangga, biasanya berfungsi seperti berikut:

  1. Refellent, yaitu menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya yang menyengat

  2. Antifeedan, menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya disebabkan rasa yang pahit

  3. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur (insect growth regulator)

  4. Racun syaraf

  5. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga

  6. Attraktan, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan sebagai perangkap (Thamrin dkk, 2007).

  Alamanda (Allamanda catharticaL.) Alamanda mempunyai sifat racun dan mengandung Triterpenoid resin.

  Getah dari tumbuhan Alamanda dapat mematikan belatung dan jentik nyamuk (Kusuma dkk, 1995). Daun A. cathartica mengandung alkaloida, kulit batang dan buahnya mengandung saponin (Gambar 6), disamping itu kulit batangnya juga

  Gambar 6: Tanaman Alamanda (A. cathartica) mengandung tanin dan buahnya mengandung flavonoida dan polifenol. Daun A. cathartica berkhasiat untuk penawar keracunan (Ristek, 2012).

  Alamanda positif mengandung alkaloid karena dari pengujian terbentuknya endapan berturut-turut berwarna cokelat, putih, dan merah-jingga.

  Saponin menunjukkan terbentuknya buih yang stabil pada larutan. Flavonoid menunjukkan perubahan warna menjadi merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol. Tanin menunjukkan perubahan warna menjadi hitam kehijauan. Fenol ditunjukkan dengan timbulnya warna ungu, biru atau hijau. Terpenoid ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi merah. Steroid ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi hijau atau biru. Terpenoid merupakan senyawa yang larut dalam lemak, umumnya terkandung dalam bentuk minyak atsiri (Vibrianthi, 2011).

  Babadotan (Ageratum conyzoidesLinn.)

  A. conyzoides (babadotan) adalah sejenis tanaman perdu yang tumbuh di

  daerah basah dan berawa. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Asteraceae dan banyak dijumpai tumbuh diberbagai daerah di Indonesia (Gambar 7). Secara Gambar 7: Tanaman Babadotan (A. conyzoides L.) umum tanaman ini memiliki rasa yang pahit dan mengeluarkan aroma yang kurang sedap sehingga kurang diminati sebagai pakan hijauan (Sani, 1998).

  Daun babadotan mengandung Asam amino, caumarin, betasitossterol dan

  

friedelin (Sudirga, 1996). Babadotan (A. conyzoidesLinn.) dan tembelekan

  (Lantana camaraLinn.), pestisida alami yang dijumpai ternyata mampu membasmi hama penggerek pucuk mahoni (Lepidoptera: Pyralidae), sehingga akan berdampak positif untuk suatu ekosistem hutan (Octavia dkk, 2008).

  Daun dan bunga babadotan mengandung saponin, flavonoid dan polifenol serta minyak atsiri. Tumbuhan ini telah berhasil diisolasi, ditemukan ada dua senyawa aktif yang diberi nama Precocene I dan Precocene II , yang dikenal sebagai senyawa anti hormone juvenile. Anti juvenile hormone yang terkandung di dalam babadotan menganggu tahapan proses perkembangan larva. Jadi racun ini tidak secara langsung membunuh tetapi sebagai growth inhibitor. Pemberian senyawa Precocene akan menyebabkan turunnya titer hormon juvenile sehingga menyebabkan terjadinya metamorfosis dini, dewasa yang steril, diapause, dan terganggunya produksi feromon. Dalam hal ini ia juga mengganggu proses pergantian kulit serangga yang mengakibatkan larva cacat atau mati. Gangguan tidak hanya berlangsung pada stadia larva tetapi berlanjut pada pembentukan pupa dan serangga dewasa. Mekanisme penghambatan diduga terganggu melalui perintah ke otak oleh suatu zat (Prijono, 1999).

  Serbuk daun tanaman babadotan (A. conyzoides) sangat efektif untuk membunuh larva Sitophilus oryzae. Setelah aplikasi mengakibatkan persentase mortalitas S. oryzae mencapai 50 %. Semakin tinggi konsentrasi serbuk daun babadotan yang digunakan semakin tinggi pula persentase mortalitas S. oryzae (Azwana dan Marjun, 2009).

  Perlakuan minyak daun babadotan dapat mengakibatkan kematian ulat hingga 100% pada konsentrasi 1 dan 5%. Akan tetapi pada konsentrasi ini mengakibatkan fitotoksik pada daun talas. Pada konsentrasi 0,5% memberikan mortalitas larva lebih dari 90% dan tidak fitotoksik. Pada ekstrak metanol babadotan 1% hanya memberikan mortalitas larva 10%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak babadotan cukup efektif untuk mengendalikan larva S. litura dibandingkan dalam bentuk ekstrak metanol (Balfas dan Willis, 2009).

  Kamboja (Plumeriaacuminata W. T. Ait)

  Salah satu tanaman yang telah banyak dikenal dan digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia adalah kamboja (P. acuminata). Daun kamboja mudah sekali ditemukan dan didapatkan hampir di seluruh Indonesia (Gambar 8).

  Gambar 8: Tanaman Kamboja (P. acuminata) Masyarakat Indonesia telah lama dipercaya dan digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit, tapi belum banyak diteliti. Daun kamboja (P. acuminata), mengandung senyawa flavonoid, terpenoid, glycoside dan Alkaloid (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

  Selain berguna untuk tanaman hias, ternyata kamboja juga memiliki beberapa khasiat. Tetapi, hati-hati, kulit batang kamboja mengandung senyawa

  

plumeirid, yakni senyawa glikosida yang bersifat racun. Batangnya mengandung

  getah putih yang mengandung damar, kautscuk, senyawa sejenis karet, senyawa

  

triterpenoid amytin dan lupeol (Warini, 2012).Kulit batang dan getah kamboja

  mengandung Alkaloid, plumerin, fernozol, plumoplumerin. Akar dan daun kemboja mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol, selain itu daunnya juga mengandung alkaloid(Sudirga, 1996).

  Akar dan daun P. acuminata mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol, selain itu daunnya juga mengandung alkaloid. Tumbuhan ini mengandung fulvoplumierin yang memperlihatkan daya mencegah pertumbuhan bakteri, selain itu juga mengandung minyak atsiri antara lain geraniol, farsenol,

  

sitronelol, fenetilalkohol dan linalool. Kulit batang kamboja mengandung

flavonoid, alkaloid, polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

  Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Mengkudu termasuk dalam famili Rubiaceae dan mempunyai banyak

spesies, di antaranya yang sudah dimanfaatkan di Indonesia adalah M. citrifolia

dan M. Bracteata (Winarti, 2005). Mengkudu (M. citrifolia L.) merupakan

  tanaman yang potensial untuk di kembangkan. Buah mengkudu banyak di manfaatkan untuk obat karena mengandung zat aktif yang berkhasiat. Beberapa tahun terakhir banyak penemuan yang menunjukkan bahwa jus mengkudu sangat bermanfaat bagi peningkatan kekebalan tubuh manusia (Gambar 9). Selain

  Gambar 9: Tanaman Mengkudu (M. citrifolia) buahnya di buat jus, biji mengkudu di ketahui mengandung sejumlah komponen minyak. Minyak biji mengkudu dapat di manfaatkan untuk bahan kosmetik, lilin dan message oil. Minyak biji mengkudu mengandung asam palmitat, stearat, oleat, linoleat, dan linolenat. Dari hasil pengukuran rendemen dan sifat-sifat minyak di ketahui heksana menghasilkan minyak dengan karakteristik terbaik (Unin, 2003).

  Buah buni tumbuhan mengkudu yang telah masak mempunyai aroma yang tidak sedap, namun mengandung sejumlah zat yang berkhasiat untuk pengobatan.

  Adapun kandungan zat tersebut antara lain morinda diol, morindone,

morindin,damnacanthal, metil asetil, asam kapril dan sorandiyiol (Lipi, 2009).

  Buah dan daun mengkudu mengandung minyak karvon, asam kaprilat (Sudirga, 1996).

  Komponen kimia yang terkandung di dalam biji mengkudu adalah lemak sebanyak 13,2%, serat 41,3%, protein 8,2% dan karbohidrat 29,1%. Di dalam ekstrak biji mengkudu juga terdapat senyawa alkaloid, saponin, tanin dan glikosida jantung. Biji mengkudu mengandung asam lemak yaitu asam palmitat sebesar 1,9%, asam oktanoat 5,1%, asam oleat 0,8% dan asam linoleat 10,5% (Sembiring dan Suriati, 2009).

  Selain untuk mengendalikan hama, ekstrak biji mengkudu juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri B. Stearothermophillusdengan zona hambatan sebesar 7,75 mm (Sembiring dan Suriati, 2009). Berbagai penelitian telah membuktikan adanya aktivitas antibakteri dari mengkudu. Acubin, lasperuloside dan alizarin serta komponen antrakuinon lainnya terbukti mempunyai aktivitas antibakteri. Komponen-komponen tersebut dapat menghambat berbagai bakteri seperti P.aeruginosa, Proteus morgaii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis,

  E. coli, Salmonella , dan Shigela serta dapat digunakan sebagai obat pada infeksi

  kulit, flu (batuk), dan demam yang disebabkan oleh bakteri. Ekstrak buah matang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap P. aeruginosa, M. pyrogenes, dan E.

  coli (Winarti, 2005).

  Biji mengkudu dalam bentuk serbuk maupun ekstrak dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, karena mengandung senyawa alkaloid dan glikosida jantung. Ekstrak biji mengkudu sebanyak 1 g/% (v/b) dapat menghambat perkembangan Sitophilus zeamais. Daya hambat yang dimiliki berupa anti

  ovipositant (serangga tidak mau bertelur pada saat infestasi) juga dapat menurunkan nafsu makan (anti feedant) (Sembiring dan Suriati, 2009).

  Semakin tinggi dosis ekstrak yang di aplikasikan terhadap larva

  P. xylostella maka semakin tinggi persentase mortalitas larva. Hal ini berarti

  peningkatan dosis berbanding lurus dengan peningkatan bahan racun tersebut, sehingga daya bunuh semakin tinggi untuk membunuh larva P. xylostella.

  Persentase mortalitas larva P. xylostella dengan dosis 100 gr/liter air adalah 13,33% sedangkan pada dosis 400 gr/ liter air mencapai 70%. Gejala yang di timbulkan setelah larva memakan daun yang telah di aplikasikan dengan ekstrak daun mengkudu akan tampak lemas dan terjadi perubahan warna pada tubuh larva, larva akan berwarna kuning kecoklatan (Purba, 2007).