BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Majalah Hijabella dan Gaya Hidup Dalam Mengimitasi Budaya Populer Berhijab (Studi Korelasi Pada Mahasiswi di Kota Medan)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

  Beberapa hasil dari berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai pendukung hasil penelitian yang ditemukan. Penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yang dijadikan acuan adalah terkait dengan masalah media massa, gaya hidup dan imitasi budaya populer berhijab. Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah kajian terhadap beberapa hasil penelitian berupa tesis dan jurnal-jurnal melalui internet. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang penulis jadikan acuan dalam penelitian ini :

  Dikutip dari hasil penelitian Lusiana Andriani (2014) yang berjudul "Peranan Media Terhadap Imitasi Budaya Pop Berhijab (Studi Kasus Pada Muslimah di Kota Medan)" menyatakan bahwa penggunaan hijab dengan kesadaran hati bukan karena ikut-ikutan dan gaya hidup meskipun media televisi, majalah, dan media sosial berperanan dalam hal mempengaruhi cara pandang informan. Namun di antaranya yang paling berperanan adalah media jejaring sosial, seperti : youtube, google, instagram, facebook, dan blok; sebab dapat dibawa kemana saja, dapat dilihat di mana saja, kapan saja, dan biayanya murah serta praktis. Selain itu, imitasi hijab pop di kota Medan masih mengikuti norma- norma agama / syar'i dan dapat digunakan dengan tetap fashionable, tidak kuno, serta diupayakan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi (tidak dipaksakan memakai sesuatu yang tidak serasi dan pantas). Temuan lainnya juga mendapati bahwa teori peniruan (modelling theories) yang menekankan pada

  13

  14 orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi masih terlihat disini, yang mana individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orang- orang yang diamatinya dan meniru perilakunya.

  Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Susi Kurniawati (2014) yang berjudul "Popularitas Jilbab Selebritis Di Kalangan Mahasiswi (Studi pada mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)" menyatakan bahwa fenomena penggunaan hijab dikalangan mahasiswa semakin

  bertambah dengan varian yang bermacam-macam. Selain itu, selebritis yang menjadi inspirasi mereka bergaya dalam menggunakan hijab , terutama ketika mereka berada di lingkungan kampus atau universitas diantaranya adalah Marshanda dan Zaskia Mecca. Dari gaya mereka berpakaian jelas mereka terpengaruh atau mengalami imitasi dari media yang dibawa oleh selebritis dengan gaya mereka berpakaian .

  D alam menggunakan hijab, terlihat bahwa mahasiswa UMY menjadikan gaya

  berpakaian mereka sebagai identitas sosial mereka di mata teman-temannya. Ketika mereka memiliki ciri khas dengan gaya hijab yang menyerupai idolanya, maka identitas itu muncul dan jadi mudah dikenal di lingkunganya. Proses menjadikan artis sebagai trendsetter dalam berhijab oleh media menjadikan mahasiswi UMY mengikutiya dan diterima sebagai gaya hidup. Selain itu, dampak lain adalah munculnya konsumerisme karena adanya selebritis yang menjadi model atas jilbab tertentu.sehingga menjadi daya tarik bagi mahasisiwi.

  Penelitian yang dilakukan Taruna Budiono (2013) dengan judul

  "Pemaknaan Tren Fashion Berjilbab Ala Hijabers Oleh Wanita Muslimah Berjilbab" menyatakan jilbab yang dipakai oleh para wanita muslim digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, menunjukkan identitas diri, dan sebagai media ekspresi diri. Pesan utama yang ingin dinyatakan oleh para wanita

  15 berjilbab ini adalah bahwa selain melaksanakan perintah agama, mereka juga bisa tampil modis dan fashionable, serta tetap aktif dengan berbagai macam kegiatan tanpa terganggu jilbab yang mereka pakai. Lebih lanjut, media massa yang dijadikan rujukan oleh para wanita berjilbab adalah media internet, dimana kemudahan akses menjadi daya tariknya. Situs yang paling sering diakses adalah

  youtube . Mereka memilih internet karena kemudahan akses dimana saja, dan youtube dipilih karena youtube menawarkan konten audio visual yang menarik

  sama seperti televisi, ditambah dengan segala kelebihan internet yang melekat padanya. Selain itu daya tarik utama youtube adalah konten media tersebut yang bisa diunduh, sehingga bisa ditonton lagi sewaktu-waktu.

  Penelitian yang dilakukan oleh Yasinta Fauziah Novitasari (2014) yang berjudul "Makna Tradisi Jilbab Sebagai Gaya Hidup (Studi Fenomenologi Tentang Alasan Perempuan Memakai Jilbab dan Aktivitas Solo Hijabers Community)" menyatakan bahwa Solo Hijabers Community adalah suatu perkumpulan wanita muslimah yang berada di Kota Surakarta. Solo Hijabers Community ini dapat dikontruksikan sebagai komunitas yang bergaya, dalam artian komunitas muslimah yang berjilbab namun fashionable dengan mengkreasi jilbab mereka dengan tetap sesuai dengan syar’i. Hal tersebut memang telah menjadikan jilbab sebagai gaya hidup bagi mereka, karena mereka memiliki pendapat kenapa mereka melakukannya seperti itu. Hasil penelitian dalam

  (1) Alasan mereka untuk bergabung dengan komunitas ini

  penelitian ini adalah :

  karena mereka haus akan ilmu agama, komunitas muslimah dengan anggota mayoritas kaum muda dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Solo Hijabers Community (religi, charity dan fashion). (2) Pemaknaan jilbab oleh anggota Solo

  16 Hijabers Community, Jilbab sendiri berarti pembatas, penutup aurat yang dapat

  menjadi pelindung dan suatu kewajiban atau perintah agama guna menjaga kehormatan wanita muslimah. Banyak hal yang melatarbelakangi para anggota Solo Hijabers Community untuk mulai memakai hijab. Ada yang dilatarbelangi karena kesadaran sendiri, keinginan dan lingkungan keluarga yang islami. (3) Aktivitas Solo Hijabers Community antara lain : kegiatan religi, charity (amal), dan fashion.

  Penelitian yang dilakukan Dwita Fajardianie (2012) yang berjudul

  "Komodifikasi Penggunaan Jilbab Sebagai Gaya Hidup dalam Majalah Muslimah (Analisis Semiotika pada Rubrik Mode Majalah Noor)" menyatakan bahwa terjadinya pergeseran model jilbab yang ditampilkan dalam majalah Noor. Dari yang biasa (menggunakan jilbab Paris) menjadi jilbab yang masuk dalam kriteria jilbab gaul. Hal tersebut terlihat pada perbedaan model jilbab pada gambar yang diambil dari tahun 2008 dan tahun 2011. Selain itu majalah Noor juga menampilkan jilbab dengan model yang unik dan fashionable karena memiliki ideologi yang berkaitan dengan dunia fashion. Hal ini terlihat dari slogan yang dimiliki oleh majalah Noor, yaitu "Yakin, Cerdas, Bergaya". Keunikan dan model jilbab yang dimuat di majalah Noor memang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dari majalah Noor. Majalah Noor membuat keunikan tersebut sebagai nilai jual agar memiliki keuntungan yang lebih.

  Selanjutnya penulis mengambil penelitian yang dilakukan Ade Suryanah (2010) yang berjudul "Pengaruh Menonton Tayangan Drama Seri Korea di

  Indosiar terhadap Perilaku Imitasi di Kalangan Remaja Pangkalan Jati, Depok", meskipun penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, namun penulis melihatnya dari sisi perilaku imitasi yang kuat dari remaja dalam menonton tayangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

  17 adanya pengaruh antara menonton tayangan drama seri Korea di Indosiar terhadap perilaku imitasi di kalangan remaja Pangkalan Jati, Depok. Pengaruh yang kuat menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,760 yang terletak antara 0,60-0,80.

  Korelasi yang terjadi memiliki pola positif searah, ini terlihat dengan tidak adanya tanda minus (-) di depan angka 0,760. Arah hubungan positif menunjukkan semakin tinggi frekuensi, intensitas, dan durasi dalam menonton tayangan drama seri Korea di Indosiar, maka semakin tinggi pula perilaku imitasi di kalangan remaja Pangkalan Jati, Depok. Peneliti juga mengatakan bahwa penonton terbanyak drama seri Korea di Indosiar ini berjenis kelamin perempuan dan masih duduk dibangku SMA, yang mana media dalam hal ini memang sangat memiliki pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi khalayaknya, sehingga khalayak penikmat media mengimitasi sesuatu yang dianggapnya menarik dan menjadi suatu kebudayaan populer atau kebudayaan yang sedang trend saat ini.

  Pengaruh yang kuat dari media ini juga dapat dilihat dalam penelitian dari Anggun Putri Pramitha (2013) dengan judul "Terpaan media Televisi dan Budaya (Studi Korelasi Antara Terpaan Film Cartoon Naruto di Global TV Terhadap Perilaku Imitasi Pada Komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta)". Metode

  kuantitatif dengan metode

  yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

  survei dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Populasi dalam penelitian ini adalah komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta yang berjumlah 45 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi terpaan media

  massa melalui film cartoon naruto tentang kebudayaan harajuku, maka akan semakin tinggi pula perilaku imitasi pada komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta karena tingginya frekuensi, durasi dan intensitas yang terjadi. Dalam

  18 penelitian ini juga terdapat hubungan yang positif atau searah dengan taraf yang kuat antara terpaan media massa melalui film cartoon naruto tentang kebudayaan harajuku terhadap perilaku imitasi pada komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta.

  Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yessi Paradina Sella (2013) dengan judul "Analisa Perilaku Imitasi di Kalangan Remaja Setelah Menonton Tayangan Drama Seri Korea di Indosiar (Studi Kasus Perumahan Pondok Karya Lestari Sei Kapih Samarinda)" menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang kuat dari media, sehingga khalayak penikmat media itu mengimitasi kebudayaan yang sedang tren yang ditampilkan oleh media. Para remaja putri mengatakan bahwa tanpa disadari oleh masing-masing individu yang menjadi informan, secara tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perilaku meniru secara berkelanjutan dan mulai mengaplikasikannya kepada kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya kontrol dari orang tua, kurangnya tayangan bercita rasa lokal dengan penyajian yang menarik, serta kurangnya kedasaran dari remaja-remaja putri itu sendiri mengenai hal yang layak ditiru dan tidak terhadap tayangan seperti halnya drama seri Korea. Selain itu, juga adanya perilaku dasar remaja yang mengalami perubahan akibat paparan secara rutin oleh media televisi melalui drama seri Korea di Indosiar. Perubahan tersebut adalah perilaku meniru cara berpakaian dan memakai make up secara keseluruhan atau disebut dengan perilaku imitasi. Dari keenam informan yang diambil dari dua RT berbeda yang secara keseluruhan tidak menyadari apa yang mereka lakukan sebenarnya itu hanya akan mengubah jati diri mereka menjadi orang lain dengan melakukan perilaku meniru atau perilaku imitasi yang tanpa

  19 disadarinya. Bentuk perilaku imitasinya itu berupa memakai pakaian (baju, rok, celana) yang mengikuti idolanya yang memakai busana berpotongan rendah yang jauh dari norma ketimuran serta perilaku imitasi lainnya adalah memakai make up yang seharusnya belum mereka lakukan di usia dini.

  Penelitian yang dilakukan oleh Olivia M. Kaparang (2013) yang berjudul "Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi (Studi pada siswa SMA Negeri 9, Manado)" menyatakan bahwa budaya pop Korea sangat terlihat mulai mendominasi remaja SMA Negeri 9, Manado dan tampak jelas mereka mulai meninggalkan budaya Indonesia sebagai pegangan hidup keseharian. Mereka bahkan rela menghabiskan banyak waktu untuk memperoleh informasi mengenai budaya ini dibandingkan budaya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran budaya dan hal tersebut perlu ditindaklanjuti dari sekarang. Peran orang tua dan guru diperlukan dalam pengawasan akan perkembangan hidup para remaja dalam hal berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi. Pihak pemerintah pun perlu turut memajukan budaya bangsa dan membuatnya menjadi lebih menarik sehingga para remaja jadi lebih tertarik untuk memajukan budaya bangsa.

  Sementara apabila melihat perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya, terdapat beberapa perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut. 1) penelitian ini mengungkapkan terpaan media melalui majalah Hijabella tentang gaya hidup hijab modern; 2) penelitian ini mengungkapkan terpaan media massa terhadap imitasi budaya populer; dan 3) penelitian ini mengungkapkan imitasi budaya populer berhijab sebagai variabel

  20

  intervening dan pengaruhnya terhadap gaya hidup serta majalah Hijabella sebagai media.

2.2. Pendekatan Positivisme

  Sebuah penelitian memerlukan satu sudut pandang yang menjadi acuan, agar penelitian tidak melahirkan sebuah kesalahan dari setiap aspek yang diteliti.

  Penelitian ini nantinya akan melihat sejauhmanakah pengaruh majalah Hijabella terhadap imitasi budaya populer hijab modern dan gaya hidup berhijab pada mahasiswi muslimah yang ada di Kota Medan.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan posivisme yang lahir dari pemikiran Aguste Comte, seorang kebangsaan Prancis di abad sembilan belas yang juga menemukan pemahaman tentang Sosiologi (Ritzer dan Goodman, 2010:17). Peneliti yang menggunakan pendekatan ini lebih suka menggunakan data kuantitatif dan sering menggunakan eksperimen, survei, dan statistik.

  Pendekatan positivisme mencari kebenaran melalui langkah-langkah yang ketat, alat ukur yang tepat dan objektif serta melakukan serangkaian analisa terhadap hipotesis dalam penelitian. Pendekatan positivisme membuat jarak bagai subjek dan objek dalam penelitian. Secara akademik, kaidah positivisme banyak mempengaruhi penelitian sosial (Danandjaja, 2012:13).

  Gagasan utama pendekatan positivisme di sini adalah melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk menggabungkan logika deduktif dengan observasi empiris yang tepat dari perilaku individu dalam menemukan dan mengkonfirmasi satu set kausal hukum probabilitas yang kemudian dapat digunakan untuk membuat prediksi pola umum dari aktivitas manusia (Neuman, 1997:6).

  21

2.3. Komunikasi Massa

2.3.1. Pengertian Komunikasi Massa

  Komunikasi massa (mass comunication) adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media

  communication ). Hal ini berbeda dengan pendapat ahli psikologi sosial yang

  menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunakan media massa. Menurut mereka pidato di hadapan sejumlah orang banyak di sebuah lapangan, misalnya, asal menunjukkan perilaku massa (mass behavior), itu dapat dikatakan komunikasi massa.

  Seperti dikemukakan di atas, para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya : surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Sehubungan dengan itu, dalam berbagai literatur sering dijumpai istilah mass comunications dan mass

  comunication seperti disebutkan di atas dan yang menjadi pokok pembahasan.

  Arti mass comunications sama dengan mass media atau dalam bahasa indonesia adalah media massa. Sedangkan yang dimaksud dengan mass communication adalah prosesnya, yakni proses komunikasi melalui media massa. Seperti ditegaskan sebelumnya, media massa dalam cakupan pengertian komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Jadi, media massa modern merupakan produk teknologi modern yang selalu berkembang menuju kesempurnaan.

  Bagaimana peliknya komunikasi massa, Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya, Communication Theories, Origins, Methods, Uses, mengatakan sebagai berikut :

  22 "Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik" (Effendy, 2004:20-21).

  Selanjutnya Ardianto, Komala, dan Karlinah menyatakan bahwa komunikasi massa tersebut juga harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah, keduanya disebut sebagai media cetak; serta media film (Ardianto dkk, 2004:3). Komunikasi massa juga melibatkan banyak komunikator, berlangsung melalui sistem bermedia dengan jarak fisik yang rendah (artinya jauh), memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi (penglihatan, pendengaran), dan biasanya tidak memungkinkan umpan balik segera (Mulyana, 2005:71).

  Dari definisi-definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator dan komunikan secara tidak langsung yakni melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi, majalah atau film.

  Jika melihat pengertian komunikasi massa menurut Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya, "Communication Theories, Origins,

  

Methods , Uses" dan Joseph A.Devito A. Devito dalam bukunya, "Communicology

: An Introduction to the Study of communication ", maka komunikasi massa

  mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciri- cirinya adalah sebagai berikut :

  23 a. Komunikasi massa berlangsung satu arah.

  Secara singkat komunikasi massa itu adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpersona. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

  b.

  Komunikator pada komunikasi massa melembaga.

  Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Sebelumnya sudah dipahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Apabila media komunikasi yang digunakan adalah televisi, tentu akan banyak lagi melibatkan orang seperti juru kamera, juru lampu, pengarah acara, bagian make up, floor manager dan lain-lain.

  c.

  Pesan pada komunikasi massa bersifat umum.

  Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

  d.

  Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan.

  Kelebihan komunikasi massa dibandingkan komunikasi yang lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama juga. Effendy mengartikan keserempakan media massa itu adalah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

  e.

  Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.

  Dalam komunikasi massa, komunikator bersifat heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pemdidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi (Effendy, 2004:22-26).

2.3.2. Fungsi Komunikasi Massa

  Fungsi komunikasi massa yang begitu banyak dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yaitu : a.

  Menginformasikan (to inform); Maksudnya memberikan informasi kepada masyarakat, karena perilaku menerima informasi merupakan perilaku alamiah masyarakat. Dengan menerima informasi yang benar masyarakat akan merasa aman tentram. Informasi akurat diperlukan oleh beberapa bagian masyarakat untuk bahan dalam pembuatan

  24 keputusan. Informasi dapat dikaji secara mendalam sehingga melahirkan teori baru dengan demikian akan menambah perkembangan ilmu pengetahuan. Informasi disampaikan pada masyarakat melalui berbagai tatanan komunikasi, tetapi yang lebih banyak melalui kegiatan komunikasi massa (mass

  communication ).

  b.

  Mendidik (to educate); Maksudnya adalah mendidik masyarakat. Kegiatan komunikasi pada masyarakat dengan memberikan berbagai informasi tidak lain agar masyarakat menjadi lebih baik, lebih maju, lebih berkembang kebudayaannya. Kegiatan mendidik masyarakat dalam arti luas adalah memberikan berbagai informasi yang dapat menambah kemajuan masyarakat dengan tatanan komunikasi massa. Sedangkan kegiatan mendidik masyarakat dalam arti sempit adalah memberikan berbagai informasi dan juga berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai tatanan komunikasi kelompok pada pertemuan-pertemuan, kelas-kelas, dan sebagainya.

  c.

  Menghibur (to entertain); Maksudnya adalah menghibur masyarakat. Perilaku masyarakat menerima informasi selain untuk memenuhi rasa aman juga menjadi sarana hiburan masyarakat. Apalagi pada masa sekarang ini banyak penyajian informasi melalui sarana seni hiburan.

  d.

  Mempengaruhi (to influence); Maksudnya mempengaruhi masyarakat. Kegiatan memberikan berbagai informasi pada masyarakat juga dapat dijadikan sarana untuk mempengaruhi masyarakat tersebut ke arah perubahan sikap dan perilaku yang diharapkan (Effendy, 2004:31).

  25

2.3.3. Majalah sebagai Media Komunikasi Massa

  Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak (Cangara, 2006:119). Sedangkan media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis, seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara, 2006:122).

  Selanjutnya Burhan Bungin memberikan definisi media massa sebagai institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita, peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi dan merefleksikan suatu masyarakat (Bungin, 2008:258). Media massa juga merupakan media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula (Bungin, 2008:72). Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti menangkap kesimpulan bahwa media massa adalah media komunikasi yang menyebarkan informasi secara massal dan khalayak memperhatikan pesannya secara bersamaan.

  Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa.

  Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan : a.

  Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu peranannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.

  b.

  Selain itu, media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan jujur/ benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi dan menjadi masyarakat yang terbuka dengan informasi. Sebaliknya pula, masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadi masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.

  26 c. Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, dan menjadi katalisator perkembangan budaya. Sebagai

  

agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan

  budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan bermasyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya (Bungin, 2008:85-86).

  Media yang termasuk kedalam kategori media massa adalah surat kabar, majalah, radio, TV dan film. Kelima media tersebut dinamakan "The Big Five Of

  

Mass Media (Lima besar media massa)", media massa sendiri terbagi menjadi dua

  macam, yaitu : media massa cetak (printed media) dan media massa elektonik (electronic media). Tetapi sekarang ini ditambah dengan media online. Yang termasuk media massa elektronik adalah radio, TV, Film (movie), termasuk CD; sedangkan media massa cetak dari segi formatnya dibagi menjadi enam, yaitu : a.

  Koran atau surat kabar (ukuran kertas broadsheet atau setengah plano).

  b.

  Tabloid (setengah broadsheet).

  c.

  Majalah (setengah tabloid atau kertas ukuran polio kuarto).

  d.

  Buku (setengah majalah).

  e.

  Newsletter (polio atau kuarto, jumlah halaman lazimnya 4-8 halaman).

  f.

  Buletin (setengah majalah jumlah halaman lazimnya 4-8) (Romly, 2002:5).

  Media massa memang beranekaragam, baik media yang berbentuk cetak (surat kabar, majalah, tabloid, dan lain sebagainya, media elektronik (televisi dan radio), dan media online. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan media cetak yaitu majalah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:615), majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai laporan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan dan sebagainya, dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, majalah wanita, remaja, olah raga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu dan sebagainya. Selain itu, majalah merupakan penerbitan pers berkala yang

  27 menggunakan kertas sampul, yang memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto (Junaedhi, 1995:155).

  Majalah merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya dimana pembacanya diharapkan akan mendapatkan gambaran yang utuh mengenai segala sesuatu yang sedang berkembang saat itu. Oleh karenanya majalah dapat dikatakan sebagai penemuan yang fenomenal. Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah dimulai pertama kali di London, Inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan lainnya pada tahun 1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.

  Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah membawa dunia pers khususnya majalah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ini terlihat dari banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negara- negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Nama-nama majalah tersebut seperti : Femina, Gadis, Hai, Kartini, Kawanku, dan lain sebagainya. Majalah-majalah tersebut telah memiliki kelompoknya masing- masing. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern lebih bersifat selektif terhadap media yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mereka akan informasi. Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibandingkan surat kabar harian.

  28 Boove dalam Liliweri (1992: 75) mengemukakan media massa cetak (dalam hal ini majalah) yang baik harus memiliki daya tarik, antara lain : a.

  Daya tarik pesan, meliputi isi pesan, tata bahasa, sistem penulisan dan aktualitas berita yang disajikan dalam majalah.

  b.

  Daya tarik fisik, meliputi gambar (kualitas gambar/ foto dan kualitas kertas), tata letak, tata warna (teknik pewarnaan dan kualitas warna) dari majalah tersebut.

  c.

  Daya tarik kuantitas, meliputi frekuensi terbitnya media (majalah).

  d.

  Massa cetak tersebut dan jumlah halaman yang tersedia.

  e.

  Daya tarik dengan menggunakan teknik propaganda. Untuk menciptakan daya tarik, media massa cetak menggunakan teknik propaganda yang dapat mempengaruhi khalayak sasarannya seperti menggunakan public figure dan slogan.

  Gempuran media yang mengedepankan teknologi terbaru tidak mematikan perkembangan majalah. Sampai saat ini majalah tetap berkembang dengan jurus lamanya; yaitu dengan menjual segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye

  cathing , permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai nilai jual (selling point ).

  Namun, majalah tidak bisa lagi selalu dituntut layaknya sebuah “toko serba ada” yang menyediakan beragam kebutuhan informasi. Berbeda dengan suratkabar, majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak atau target audiens tertentu. Berikut sejumlah kategori majalah menurut Morissan dan setiap kategori dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan isi (editorial content) dan ketertarikan pembaca (audiensice appeal), yaitu : majalah konsumen (consumer

  magazines ), majalah pertanian (farm magazines), majalah bisnis (bussiness publications ), dan majalah perdagangan (Morissan, 2012:282-284).

  Selain memiliki kategori atau karakteristik yang telah penulis kemukakan di atas, ternyata majalah juga memiliki keunggulan. Berikut beberapa keunggulan dari majalah diantaranya :

  29 1. Permanen. Keunggulan majalah yang dapat dilihat secara nyata adalah daya hidup pesannya yang lama. Televisi dan radio memiliki ciri bahwa pesan yang disampaikan memiliki waktu hidup yang sangat singkat dan juga tidak dapat diulang. Pesan muncul seketika dan hilang seketika. Surat kabar biasanya langsung ditinggalkan segera setelah selesai dibaca. Namun majalah biasanya dibaca dalam periode beberapa hari dan sering kali disimpan untuk digunakan sebagai referensi di masa datang. Majalah adalah media yang paling lama disimpan di rumah dibandingkan dengan media lainnya. Suatu penelitian yang dilakukan terhadap sekelompok pembaca majalah menemukan bahwa pembaca menghabiskan waktu hampir satu jam, namun dalam periode dua hingga tiga hari untuk menyelesaikan bacaan majalah yang dibelinya. Studi juga menunjukkan sekitar 75 persen pembaca menyimpan majalah yang digunakan untuk referensi di masa depan (Morissan, 2012:289). Bahkan rubrik-rubrik yang ada di dalam majalah dapat dikliping.

  Keuntungan jangka hidup majalah yang lebih panjang ini memungkinkan audiensi untuk membaca secara lebih rileks atau tidak terburu-buru, sehingga memberi kesempatan pembaca untuk melihat-lihat isi majalah secara lebih cermat. Sifat permanen majalah ini juga dapat membuka kemungkinan beberapa orang untuk membaca majalah yang sama (Morissan, 2012:289- 290).

  2. Kualitas Reproduksi. Atribut paling berharga yang dimiliki majalah adalah kualitas reproduksinya. Majalah pada umumnya dicetak di atas kertas berkualitas tinggi dan menggunakan proses percetakan yang memungkinkan reproduksi yang sangat bagus, baik dalam hitam putih ataupun berwarna. Pada

  30 umumnya, kualitas reproduksi majalah jauh lebih baik dibandingkan media cetak lainnya, seperti : surat kabar, khususnya jika menggunakan warna (Morissan, 2012:287).

  3. Isi Majalah. Majalah dengan isi atau editorial yang kuat yang dapat menarik minat dan memenuhi kebutuhan demografis serta gaya hidup konsumen yang terus berubah memiliki posisi yang kuat untuk menarik pembaca (Morissan, 2012:298). Pada masa lalu, mungkin sulit membayangkan akan terbitnya majalah yang isinya khusus membahas mengenai tata rias muslimah, khususnya hijab; namun saat ini sudah ada beberapa majalah yang menyajikan editorial yang khusus membahas mengenai tata rias muslimah, khususnya hijab (seperti : majalah Hijabella, Laiqa, Scraft, dan lain sebagainya).

  4. Kreativitas Fleksibel. Majalah memiliki keunggulan dalam hal kreativitas dalam penyajiannya, baik dalam hal desain, tata letak, ukuran, dan lain sebagainya. Dari segi ukuran, majalah memiliki ukuran yang standart, sekitar 210.5mm x 270,5mm dan sekarang ini bahkan majalah ada yang berukuran kecil seperti buku dengan ukuran sekitar 21,5cm x 17,5cm. Dengan berbagai ukuran yang standart dan kecil seperti buku itu, maka majalah mudah dibawa kemana-mana tanpa membuat beban bagi pembacanya.

5. Majalah karena bersifat tertulis dan cetak, maka dianggap pembaca sebagai sesuatu yang aktual dan layak dipercaya.

2.4. Teori Norma Budaya (Cultural Norms Theory)

  Teori norma budaya menyatakan bahwa komunikasi massa mempunyai efek tidak langsung (indirect effect) terhadap perilaku individu melalui kemampuannya untuk membentuk norma-norma. Melvin DeFleur (dalam Severin

  31 dan Tankard Jr, 1979) menyatakan pada dasarnya teori norma budaya mengemukakan bahwa media massa melalui presentasi selektif dan penekanan ada tema-tema tertentu menciptakan kesan di antara para khalayaknya. DeFleur menegaskan penekanan pada topik-topik dari norma budaya, tersusun atau ditetapkan dalam beberapa cara spesifik. Biasanya menurut DeFleur, perilaku individual dibimbing oleh norma-norma dan sebagai aktor yang terpengaruh norma-norma yang berkaitan dengan topik atau situasi, maka media massa akan memberikan pengaruh tidak langsung (Suprapto, 2009:53).

  Teori norma budaya dari DeFleur ini tampaknya menawarkan banyak harapan Di mana teori ini menyatakan bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan menekankan pada tema-tema tertentu mampu menciptakan kesan yang mendalam pada khalayaknya. Peranan media massa dapat menumbuhkan kesan yang dapat mempengaruhi norma, seperti tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan "cara" untuk berhubungan dengan pihak lain. Di samping itu pula, media massa akan membentuk streotipe seksual dan citra anggota khalayak terutama yang menyangkut materialisme dan konsumerisme (Suprapto, 2009:54).

  Jadi inti dari teori ini adalah melihat cara-cara media massa mempengaruhi sebagai suatu produk budaya. Pada hakikatnya, teori norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya secara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Dalam hal ini media akan bekerja secara tidak langsung untuk mempengaruhi sikap individu tersebut.

  32 Paling sedikit ada tiga cara untuk mempengaruhi norma budaya yang dapat ditempuh oleh media massa. Pertama, pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku dan membimbing masyarakat untuk mempercayai bahwa pola-pola tersebut masih tetap berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya.

  Ketiga, media massa dapat mengubah norma budaya yang berlaku dan dengan

  demikian mengubah perilaku individu-individu dalam masyarakat (Suprapto, 2009:25-26).

  Menurut Lazarfeld dan Merton dalam Wright (1985) mengatakan bahwa media sebenarnya hanya berpengaruh dalam memperkokoh norma-norma budaya yang berlaku. Mereka berpandangan bahwa media bekerja secara konservatif dan hanya menyesuaikan diri dengan norma budaya masyarakat seperti selera dan nilai-nilai, daripada memimpin mereka untuk membentuk norma-norma yang baru. Lazarfeld dan Merton mengatakan bahwa media memperkuat status quo belaka daripada menciptakan norma-norma baru yang berarti (Suprapto, 2009:26).

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media massa dapat memperkuat norma budaya dengan informasi-informasi yang disampaikan setiap hari. Selain itu, media massa dapat mengaktifkan perilaku tertentu. Hal tersebut terjadi apabila informasi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan individu dan tidak bertentangan dengan struktur norma budaya yang berlaku. Media massa bahkan dapat menumbuhkan norma-norma budaya baru dalam perilaku selama norma tersebut tidak dihalangi oleh hambatan-hambatan sosial budaya (Suprapto, 2009:26-27).

  33

2.5. Imitasi Budaya Populer

  Menurut Jalaluddin Rakhmat, teori peniruan (modeling theories) hampir sama dengan teori identifikasi, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuan afektifnya. Tetapi berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Di sini, individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orang- orang yang diamatinya dan meniru perilakunya. Membandingkan perilaku seseorang dengan orang yang lain yang diamati, yang berfungsi sebagai model. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh khalayaknya. Media cetak mungkin menyajikan pikiran dan gagasan yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti daripada yang dikemukakan orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Media piktorial seperti televisi, film, dan komik secara dramatis mempertontonkan perilaku fisik yang mudah dicontoh. Melalui media, orang meniru perilaku idola mereka. Teori peniruanlah yang dapat menjelaskan mengapa media massa begitu berperan dalam menyebarkan mode berpakaian, fashion, gaya berbicara, atau berperilaku tertentu lainnya (Rakhmat, 2005:216).

  Perilaku mempunyai arti yang lebih konkret daripada "jiwa". Karena lebih konkret itu, maka perilaku lebih mudah dipelajari daripada jiwa. Termasuk dalam perilaku disini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang kasat mata, dapat diamati secara langsung oleh panca indera, seperti : cara berpakaian atau cara berbicara.

  Perilaku tertutup hanya dapat diketahui secara tidak langsung, misalnya : berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya (Sarwono, 2009:8). Di dalam

  34 penelitian ini, perilaku yang diteliti mengenai perilaku yang terbuka atau perilaku yang kasat mata, yaitu dari cara menggunakan hijab yang modern.

  Menurut Gerungan (2004:64), imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial, melainkan merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku diantara orang banyak. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap-sikap, ide-ide, dan adat istiadat dari suatu keseluruhan kelompok masyarakat. Dengan demikian, seseorang itu dapat lebih melebarkan dan meluaskan hubungan-hubungannya dengan orang lain. Selanjutnya menurut Gabriel Tarde dalam Ahmadi (2007:52), perilaku imitasi adalah seluruh kehidupan sosial yang sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja, walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil.

  Berdasarkan pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa perilaku imitasi adalah segala macam kegiatan yang ditiru atau dicontohkan oleh orang yang melihatnya. Perilaku imitasi ini bisa dalam wujud terbuka ataupun tertutup. Maksud dari wujud terbuka ini adalah perilaku yang kasat mata dan dapat diamati secara langsung oleh pancaindra, seperti : cara berpakaian atau cara berbicara. Sedangkan wujud yang tertutup adalah perilaku yang tertutup dan hanya dapat diketahui secara tidak langsung, misalnya : berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya.

  Alex Sobur dalam bukunya Psikologi Umum (2003:152) mengemukakan bahwa ada beberapa indikator yang terdapat dalam perilaku imitasi, diantaranya :

  35 1. Indikator motif.

  Meliputi dorongan yang bersifat irasional maupun yang rasional, ikut- ikutan dan uji coba. Pada awalnya dorongan seorang konsumen untuk melakukan tindak pemilihan diantara jenis kegiatan karena rasa senang. Namun kenyataannya sering kali pertimbangan itu bukan hanya pertimbangan rasa senang saja, banyak pertimbangan lainnya, sehingga mampu meningkatkan harga dirinya dan dikagumi.

2. Indikator Mode.

  Mencakup kegiatan yang sedang popular dan digemari oleh banyak orang. Adapun kesempatan dari aspek-aspek yang mendasari perilaku seseorang dalam berperilaku adalah pengenalan masalah, pencarian informasi, penilaian alternatif, keputusan untuk melakukan perilaku.

  Dalam penelitian ini, imitasi atau peniruan yang terjadi adalah imitasi dalam hal budaya dalam menggunakan hijab, dimana dahulu hijab dianggap kuno, lebih tradisional, monoton, tidak modis, tidak gaul, konvensional, berbentuk kotak, menutup dada, tidak dililit-lilit, dan biasa saja; tetapi sekarang hijab lebih modis, modern, menarik, gaya, menampilkan berbagai model (bervariasi), treni, menggunakan berbagai macam corak, berbagai macam aksesoris, dan lain sebagainya yang dapat menarik daya tarik penggunanya tanpa menghilangkan sisi religius dari penggunaan hijab. modis, modern, menampilkan berbagai model.

  Kemunculan hijab modern ini berasal dari adanya kebudayaan baru yang pada awalnya tidak ada Indonesia. Kebudayaan baru itu dikenal dengan kebudayaan populer atau yang biasa disebut juga dengan budaya pop.

  Untuk membahas pengertian “budaya populer” ada baiknya perlu pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”. Selanjutnya untuk mendefinisi kan budaya pop perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. John Storey mengutip tiga pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Raymond Williams, yaitu : "Pertama, pengertian kebudayaan mengacu pada suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, kebudayaan bisa berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Terakhir, kebudayaan diartikan untuk merujuk pada karya dan praktek-praktek intelektual dan terutama aktivitas artistik" (Storey, 2003:2).

  Sedangkan kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Williams memaknai istilah populer sebagai berikut : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Storey, 2003:10). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Selanjutnya dapat dilihat definisi mengenai budaya pop, berikut ini :

  1. Budaya Pop merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang. Contoh : buku novel atau larisnya album single R&B. Definisi budaya pop dengan demikian harus mencakup dimensi kuantitatif, apakah suatu budaya itu dikonsumsi oleh banyak orang. Pop-nya budaya populer menjadi sebuah prasyarat.

  2. Definisi kedua budaya Pop adalah budaya sub standar, yaitu kategori residual (sisa) untuk mengakomodasi praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti para seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya budaya. Sedangkan budaya pop adalah budaya komersial (memiliki nilai jual) dampak dari produksi massal. Contohnya : Pers pop Pers berkualitas Sinema pop Sinema berkualitas Hiburan pop Seni/budaya 3. Budaya pop merupakan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan

  36