BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990 2. 1 Letak Geografis - Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)

BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA LUMBAN SILINTONG SEBELUM TAHUN 1990 2. 1 Letak Geografis Desa Lumban Silintong terletak di dataran tinggi Danau Toba yang termasuk wilayah Kecamatan Balige. Pusat kegiatan terdapat di desa itu sendiri, di mana terdapat fasilitas

  kantor Kepala Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemberdayaan Kepala Keluarga (PKK) sampai Karang Taruna. Kecuali fasilitas pendidikan, di desa ini terdapat tempat peribadatan (Gereja) dan Balai Pelayanan Masyarakat (Polindes).

  Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan pusat kecamatan adalah 1,5 kilometer. Keadaan jalannya belum dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat karena belum beraspal. Di desa ini terdapat areal pertanian yang terhampar luas. Seluruh areal pertanian penduduk Desa Lumban Silintong merupakan milik perseorangan.

  Jalan menuju desa dibangun sejak 1970-an. Saat itu kondisi jalan masih terbuat dari pasir putih dan belum aspal. Walaupun demikian, jalan tersebut dipelihara dengan baik, karena di samping berfungsi sebagai penghubung Lumban Silintong dengan pusat pasar (onan), juga berfungsi sebagai jalan penghubung dengan desa lainnya.

  Desa Lumban Silintong terletak antara 905-1200 meter di atas permukaan laut,

  o o

  memiliki suhu 17 C-29 C dengan rata-rata kelembaban 85,04 % yang baik untuk daerah pertanian. Seluruh areal pertanian diusahakan seefektif mungkin dengan tanaman padi. Curah hujan turun pada Agustus hingga Desember dan bulan berikutnya terdapat musim kemarau yang diselingi oleh hujan yang tidak teratur.

  Desa Lumban Silintong dapat ditempuh dari dua arah, yakni dari Simpang Pemandian dan dari Simpang Meat. Lumban Silintong dapat dilalui transportasi darat dan menggunakan kapal motor. Jarak desa ini kira-kira 250 km dari Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara dan memerlukan waktu sekitar enam jam perjalanan kendaraan roda empat.

  2 Luas wilayah Desa Lumban Silintong meliputi 1,74 Km atau 1584, 27 hektar. Dari

  areal tersebut dapat diperinci sesuai dengan fungsinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Luas areal Desa Lumban Silintong sesuai dengan fungsinya

  No Fungsi Tanah Luas Tanah (Ha)

  1 Sawah 100

  2 Perumahan

  74 Total 174

  Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990 Tanah kering pada umumnya tidak ditanami tanaman keras. Tanah kering lebih banyak dibiarkan kosong dan sebagian jadi tempat penggembalaan ternak seperti kerbau. Di samping bertani sawah, penduduk juga memiliki ternak sebagai sumber mata pencaharian lain. Berikut dapat dilihat tabel peternak menurut jenis ternaknya.

  Tabel 2. Jenis-jenis ternak penduduk Lumban Silintong No Jenis Ternak Jumlah Pemilik (orang)

  1 Kerbau

  20

  2 Sapi

  4

  3 Babi

  72

  4 Ayam

  50

  5 Itik/Bebek 250 Jumlah

  396 Sumber: Kecamatan Balige dalam Angka 1990 Jarak antara Desa Lumban Silintong dengan desa-desa di sekitarnya tidaklah begitu jauh. Jarak antara satu desa dengan desa yang lainnya hanya dipisahkan oleh areal pertanian penduduk dan pemukiman. Hubungan antara satu desa dengan desa yang lain dihubungkan oleh jalan yang telah dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Adapun batas-batas Lumban Silintong dengan desa lainnya adalah sebagai berikut:

  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sangkarnihuta dan Silalahi Pagar Batu -

  Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Longat

  • Sebelah Barat Daya berbatasan dengan Desa Hinalang Bagasan -

  Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pardedeonan

  • Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba

  2. 2 Latar Belakang Historis

  Penduduk Desa Lumban Silintong telah mendiami desanya sejak zaman nenek moyang mereka. Mereka dari generasi ke generasi hingga sekarang telah menjadi penduduk asli Lumban Silintong. Jauh sebelum kedatangan Belanda ke Balige, masyarakat Lumban Silintong hidup rukun dan damai. Berada di bawah Patuan Nagari, penduduk Lumban Silintong turut berperang membantu Sisingamangaraja XII saat Belanda datang.

  Nama Desa Lumban Silintong juga telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Penduduk menamakan desa ini dengan nama Lumban Silintong atas dasar bahwa nama tersebut berasal dari penamaan terhadap sebuah sudut kampung. Lumban dalam arti luas dapat diartikan sebagai huta atau pemukiman, namun pada awalnya lumban lebih spesifik

  

  sebagai dusun atau sub-desa. Sedangkan Silintong berarti garis-garis. Hal ini berangkat dari tepian huta tersebut yang melintang seperti garis-garis. Hubungan Desa Lumban Silintong ke daerah perkotaan seperti Balige, Parapat, Siantar, Tarutung dan seterusnya dihubungkan melalui jalan provinsi.

  2. 3 Penduduk

  Pada umumnya daerah-daerah yang terdapat di kawasan Toba Samosir didiami oleh suku bangsa Batak Toba, begitu juga halnya dengan Desa Lumban Silintong. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1987 Desa Lumban Silintong mempunyai penduduk 517 jiwa yang 14 Huta adalah luasan hutan berupa lapangan kecil , di tengahnya sebuah pekarangan dan terbuka. Di

  

satu sisi pekarangan terdapat sejumlah rumah kediaman , biasanya berjejer letaknya. Di belakang rumah ada

kebun untuk keperluan sehari-hari , dihadapan rumah-rumah kediaman itu berdiri sebarisan lumbung (sopo),

juga terdapat satu atau dua tempat berkubang. Keseluruhanya dikelilingi oleh tembok yang ditanami dengan

bambu, kadang-kadang di sekitar temboknya digali parit. Baca Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX , Jakarta: Komunitas Bambu, 2009. terdiri dari 120 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk tersebut dapat diperinci berdasarkan jenis kelamin, seperti pada tabel di bawah ini.

  Tabel 3. Distribusi penduduk Desa Lumban Silintong berdasarkan jenis kelamin No Jenis Kelamin Jumlah

  1 Laki-laki 250

  2 Perempuan 267 Jumlah 517 Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990.

  Dari 517 jiwa penduduk Desa Lumban Silintong, penduduknya mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Mereka mengenal agama Kristen sejak abad XIX yang dibawa oleh

  

  missionaris Jerman L. I. Nommensen. Pada awal abad XX penduduk desa ini telah memeluk agama Kristen Protestan secara keseluruhan.

  Namun pada masa ini kearifan budaya lokal belum bisa ditinggalkan sepenuhnya, meskipun mereka telah menganut agama Kristen. Adapun kearifan budaya lokal yang dimaksud adalah berupa pelaksanaan upacara ritual yang sudah diterapkan secara turun- temurun, seperti mengadakan makan bersama yang sebelumnya diawali dengan memberikan sesajen kepada ruh nenek moyang yang mereka yakini akan memberikan kesuburan bagi lahan pertanian mereka saat hendak menabur benih/menyemai. Kemudian pada masa panen,

15 Ludwig Ingwer Nommensen (kadang-kadang namanya ditulis I.L. Nommensen) adalah seorang

  

tokoh yang oleh sebagian orang Batak tidak hanya dihormati atas jasanya menyebarkan agama Kristen di Tanah

Batak, tetapi bahkan dianggap sebagai rasul atau apostel Batak. Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba , Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, hal. 13. upacara ritual juga dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada nenek moyang yang mereka percayai telah memberkati pekerjaan mereka dengan memberikan sesajen.

  Sebelum mereka mengenal agama Kristen maupun agama yang lain, maka mereka memiliki aliran kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar). Penduduk masih percaya akan kekuatan-kekuatan gaib dan ruh-ruh nenek moyangnya. Pada hari-hari tertentu yang dianggap tepat untuk mengadakan penjamuan bagi kepercayaan masing-masing, maka mereka pun melakukan upacara-upacara dengan tujuan untuk meminta rejeki dari unsur-unsur yang dianggap dapat memberikannya. Tradisi ini perlahan-lahan bertransformasi menjadi adat-istiadat masyarakat setempat.

  Adat pertama-tama merupakan kejadian berulang-ulang dan yang teratur, lalu kemudian menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa. Kebiasaan itu dalam perjalanan sejarah karena terus-menerus dipraktikkan, jadi bukan karena alasan praktis, kemudian mendapat kekuatan hukumnya (legalitas). Oleh karena itu adalah kurang tepat untuk

   mengerti adat sebagai kebiasaan saja atau hukum kebiasaan.

  Lebih jauh, adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susilanya. Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spritual, di mana kedamaian menyeluruh ada karena kesepakatan bersama. Sebagai kebiasaan, adat dijalankan sesuai irama alam yang kepadanya terikat kehidupan suku atau huta. Adat yang mengatur dengan

16 Hukum kebiasaan atau aturan-aturan di sini dapat dilukiskan pandangan Soepomo. Menurutnya

  

yang dimaksud dengan aturan-aturan hukum yang tak tertulis di antaranya hukum yang hidup sebagai peraturan

kebiasaan dan dipertahankan dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-desa. Muhammad, Busar, Asas-Asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, hal. 18. kokoh segenap kehidupan ke segala segi dan dalam segala hubungan adalah serentak

   rangkuman segala hukum.

  Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum penguasaan tanah di Desa Lumban Silintong disesuaikan dengan hukum adat dan bius yang berlaku. Adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat) merupakan milik Raja Huta (pendiri huta), kawasan sumber daya komunal seperti tombak (hutan), harangan (padang rumput penggembalaan), dan pemukiman dikuasai secara kolektif berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja Huta, hukum adat satu klan atau wilayah adalah hak pendiri huta atau pemilik huta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Raja Huta.

  Adanya pengaruh hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta (desa), merupakan hak pendiri huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki.

  Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki-laki yang merupakan penyambung garis keturunan (patrilineal), dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak perempuan).

  Dalam hukum adat di Desa Lumban Silintong, pola kepemilikan (pembagian) tanah untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah panjaean dan

  

pauseang (pemberian kasih sayang). Panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan

  kepada anak laki-laki, tanah panjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah 17 Hukum yang kemudian menjadi muara dari perbincangan ini adalah hukum adat. Hukum adat

  

adalah merupakan hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama

lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di

masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu maupun yang

merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam

keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi

keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah,

kepala adat, hakim. Bushar, ibid, hal. 19.

  (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pauseang yaitu

  marhasohotan

  sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk boru sama halnya seperti untuk anak yaitu diberi setelah boru-nya marhamulian (menikah dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pauseang memang berbeda, luas tanah panjaean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pauseang yang diberikan kepada boru.

  Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Oleh karena itu, adat bersifat sakral. Dia datang dari Debata Mulajadi Nabolon yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat orang hidup dengan nenek moyang. Seperti dikatakan Adriani, keturunan mereka hidup sesuai dengan aturan nenek moyang itu:

  “Adat bagi orang-orang Indonesia adalah jalannya dunia yang tidak bisa tidak harus demikian, yang bersifat mutlak—yaitu jalannya dunia itu sendiri—seperti yang diatur dan dipelihara oleh nenek moyang, sehingga setiap orang yang bermaksud mengadakan perubahan-perubahan, melibatkan diri dalam suatu pertentangan dengan para nenek moyang.”

  Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman dan merupakan sikap hidup orang Batak Toba untuk dunianya, maka dia bersifat mutlak. Biarpun orang Batak Toba sudah menjadi Kristen atau Islam atau terpelajar atau merantau, mereka tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya tidak seperti dahulu lagi, tetapi isinya tetap sama.

  Setelah agama Kristen masuk dan diperkenalkan kepada masyarakat, maka kebiasaan tradisional seperti upacara-upacara keagamaan tadi lenyap secara lambat laun. Di mana masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap kegaiban-kegaiban dan ruh nenek moyang. 18 N. Adriani, Christelijke Adat (Overzicht van de 14. Zendings-Conferentie, Batavia 1912), 1913, hal.

  

100., dalam Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta:

PT. BPK Gunung Mulia, 2008, hal. 21-22.

  Mereka mulai yakin tentang kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka ketahui dari agama Kristen. Segala sesuatunya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dikaitkan dengan agama yang dianut.

  Kebiasaan lama seperti adat-istiadat dipertahankan dengan sesungguhnya asal tidak bertentangan dengan ajaran agama mereka. Pesta-pesta adat selalu diselingi oleh upacara agama, misalnya pesta perkawinan biasanya dilakukan dengan cara agama dan cara-cara adat.

  Setelah upacara agama selesai dilanjutkan dengan upacara adat barulah perkawinan tadi dianggap resmi oleh penduduk. Hidup saling ketergantungan di antara penduduk desa tercermin melalui hidup beragama. Sarana-sarana sosial dipelihara dengan baik oleh masyarakat.

  Berita kematian, kelahiran, pernikahan dan diberitakan melalui perkumpulan Gereja yang dilakukan setiap hari Minggu. Adapun sarana sosial yang terdapat di Desa Lumban Silintong dapat dilihat pada tabel 4.

  Tabel 4. Jenis Sarana Sosial No Jenis Sarana Sosial Jumlah

  • 1 Sarana pendidikan

  2 Sarana kesehatan

  • Poliklinik

  1

  3 Tempat peribadatan

  • Gereja
  • Masjid Total

  1 Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990 Dilihat dari segi kepemimpinan masyarakat, Desa Lumban Silintong dipimpin oleh seorang kepala desa dibantu oleh lembaga-lembaga desanya. Masyarakat desa ini patuh terhadap perintah pimpinan mereka. Di samping pemimpin formal seperti kepala desa, masih terdapat satu bentuk kepemimpinan informal yang dipegang oleh pendeta, guru-guru agama dan penatua-penatua Gereja serta para pemuka adat.

  Acapkali cara yang dilakukan seorang kepala desa untuk mengajak warganya bergotong royong adalah dengan menyampaikannya melalui pertemuan-pertemuan informal, sehingga kesan demikian tampak tidak kaku. Sebagai contoh pembangunan desa, kebersihan lingkungan peningkatannya selalu diterapkan melalui ceramah-ceramah agama dan kegiatan- kegiatan lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.

  Sebelum adanya pengaruh agama Kristen, wilayah Tapanuli dikenal suatu bentuk lapisan sosial yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Lapisan sosial yang dianggap lebih tinggi atau golongan elite adalah keturunan marga penguasa tanah dan para datu (dukun).

  Selain itu, lapisan sosial juga dibedakan berdasarkan perbedaan umur dan pernikahan. Meskipun demikian, tidaklah begitu nyata adanya seperti yang dipengaruhi langsung oleh Hindu. Dalam hal ini lapisan sosial yang lebih tinggi dapat berhubungan bebas dengan lapisan sosial yang ada di bawahnya. Kedudukan mereka hanya dibedakan pada pesta-pesta adat yang sedang dilaksanakan. Pada umumnya masyarakat lebih menghormati klan penguasa tanah dan orang berilmu (kebatinan, umpamanya dukun).

  Pendapat mereka selalu dihargai oleh penduduk. Namun setelah masuknya pengaruh agama, di Desa Lumban Silintong pandangan demikian berubah ke arah persamaan hidup berdasarkan ajaran agama. Masyarakat lebih menghormati marga penguasa tanah, guru agama dan pendeta daripada dukun-dukun yang ada.

  Dalam upacara pesta, baik pesta adat maupun yang lainnya peranan golongan dukun sudah tidak kelihatan lagi. Mereka tidak mampu menonjolkan diri untuk menarik perhatian masyarakat. Kegiatan-kegiatan serta pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selalu diawali doa bersama yang bertujuan untuk menggantungkan diri terhadap Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar.

  Segala kegiatan sosial yang bertentangan dengan ajaran agama mereka sudah tidak mendapat dukungan lagi dari masyarakat. Masyarakat yang patuh dengan ajaran agamanya dianggap berhasil di kalangan masyarakat. Sikap tolong-menolong yang timbul di kalangan masyarakat desa ini lebih besar terlaksana berdasarkan keagamaan daripada berdasarkan ikatan kekeluargaan.

2.4 Kelembagaan di Desa

  Lembaga yang ada di Desa Lumban Silintong: Pemerintah desa

  • Lembaga adat
  • >Badan Perwakilan Desa (BPD)

  Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)

  • Kelompok Tani (Koptan)
  • Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
  • Karang Taruna -

2.5 Sosial Budaya

  Orang Batak Toba percaya bahwa kehidupan ada tiga yaitu kehidupan Banua Ginjang (Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah), dan Banua Toru (Dunia Bawah). Kehidupan adalah kehidupan dalam nirwana dan dilambangkan dengan warna putih.

  Banua Ginjang

  Kehidupan Banua Tonga adalah kehidupan sekarang yang penuh dengan permusuhan, taktik, dan pergolakan perilaku lainnya, dan ini disimbolkan dengan warna merah. Sedangkan kehidupan Banua Toru merupakan kehidupan alam kubur yang dilambangkan dengan warna hitam. Ketiga warna ini sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, baik itu pada rumah, ulos, ukiran, dan pahatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.

  Suku Batak Toba adalah suku yang berdiam di sekitar Danau Toba, yakni di Toba, Humbang, Samosir, dan Silindung. Menurut sejarahnya, masyarakat Batak berasal dari dataran Asia, yaitu dari rumpun Melayu Tua (Deutro Melayu) yang mendarat di pantai barat pulau Sumatera dan meneruskan perjalanan ke pedalaman. Akan tetapi orang Batak percaya bahwa mereka merupakan titisan dari Debata Mulajadi Nabolon melalui si Deak Parujar yang turun ke bumi.

  Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal, yakni mengambil garis keturunan dari laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba, anak laki-laki memegang peranan yang sangat penting karena merupakan penyambung garis keturunan atau marga. Sementara perempuan akan berhenti garis keturunannya karena menjadi bagian dari marga suaminya.

  Sistem kekerabatan masyarakat di Desa Lumban Silintong menganut sistem kekerabatan patrinineal, artinya kedudukan ataupun peranan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan ditentukan laki-laki. Di Desa Lumban Silintong untuk urusan permasalahan perekonomian keluarga merupakan tanggung jawab ayah dan ibu.

  Bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong, laki-laki juga merupakan tokoh utama dalam tatanan kemasyarakatan. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di samping kesibukannya sebagai kepala keluarga, berbagai kegiatan pada masyarakat Desa Lumban Silintong selalu dipimpin dan dilakukan oleh laki-laki. Perempuan lebih bersifat sebagai pendukung atau penunjang. Dalam berbagai acara adat, pesta dan upacara-upacara keagamaan pada umumnya lebih di dominasi oleh kaum laki-laki. Pimpinan-pimpinan lingkungan seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun yang ada di Desa Lumban Silintong semuanya dijabat oleh laki-laki.

  Sistem kekerabatan di Desa Lumban Silintong masih terlihat satu dan utuh. Pada umumnya semua tatanan masyarakat mempunyai ikatan kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan marga sebelumnya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat di desa ini. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila tetangga mereka adalah juga saudaranya. Dengan demikian, setiap warga saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.

  Selanjutnya, masyarakat Batak Toba juga menganut kebudayaan Dalihan Na Tolu. Secara harafiah Dalihan berarti tungku yang terbuat dari batu, sedangkan Tolu berarti numerik tiga dan Na adalah kata penghubung yang dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi yang hampir sama dengan penghubung “yang”. Jadi dalam tafsiran denotatif Dalihan Na adalah tiga buah tungku batu tempat diletakkannya periuk untuk memasak.

  Tolu

  Pada prinsipnya Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur yang kuat dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba, yakni: Hula-hula: kelompok pemberi istri

   Boru: kelompok penerima istri

   Dongan tubu: kelompok semarga

   Ketiga unsur ini masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan kewajibannya sebagai pelaksana tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Di suatu ketika pihak boru bisa saja menjadi pihak hula-hula atau dongan tubu dan demikian juga sebaliknya tergantung pada pihak yang mengadakan pesta. tidak lebih rendah dari hula-hula. Ada ungkapan yaitu bahwa hula-hula haruslah

  Boruelek mar-boru” artinya agar hula-hula selalu bersikap membujuk dan sayang terhadap boru.

  Sedangkan setiap boru haruslah “somba mar-hula-hula” artinya bahwa setiap boru haruslah bersikap hormat terhadap hula-hula dan setiap perbuatan hula-hula harus dipandang hormat oleh boru. Sedangkan suhut (tuan rumah adat) harus bersikap “manat mardongan tubu” artinya dalam semarga haruslah juga bersikap hati-hati.

  Pesta nikah merupakan satu dari sekian banyak kegiatan adat yang di dalamnya berlaku sistem Dalihan Na Tolu. Salah satu kegiatan sosial budaya yang ada di Desa Lumban Silintong adalah upacara perkawinan. Perkawinan berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu tersebut atau perkawinan sirkulasi asimetri tersebut berarti harus terdiri dari tiga kelompok marga, yaitu kelompok ego (dongan tubu), kelompok pemberi istri (hula-hula), dan kelompok penerima istri (boru).

  Ketiga kelompok ini selalu dalam bentuk aliansi. Maka kelompok ego ialah ego sendiri bersama dengan teman semarganya, yang disebut dongan sabutuha. Kelompok hula- hula ialah mertua dan saudara mertua ego, saudara istri dan semua anggota dari garis keturunan saudara istri. Kemudian masuk dalam kelompok ini juga ialah kelompok garis keturunan saudara ibu ego dan semua kelompok garis keturunan pengambilan istri dari nenek, ayah, saudara dan anak ego. Sedangkan yang masuk dalam kelompok boru ialah semua kelompok marga yang mengambil wanita garis keturunan marga ego. Perlu juga diperhatikan tentang istilah boru ini sebab kata ‘boru’ berlaku baik untuk anak putri maupun marga penerima istri.

  Masyarakat Lumban Silintong saling tolong-menolong untuk mengupayakan agar perayaan ataupun pelaksanaan pesta adat suatu rumah tangga dapat berjalan lancar.

  Istilah yang mereka pakai dalam bagian ini adalah marhobas. Marhobas maksudnya membantu pihak suhut yang mengadakan pesta untuk mengerjakan ataupun melengkapi kebutuhan-kebutuhan dalam pesta, seperti memasak, menerima tamu dan segala sesuatunya sesuai dengan posisinya dalam konteks Dalihan Na Tolu yang sebelumnya aturan-aturan akan tugas dan tanggung jawab tersebut sudah ditetapkan dengan mengundang seluruh masyarakat Lumban Silintong dan sanak famili dari luar kampung, baik dekat maupun jauh. Bagi masyarakat setempat pergi marhobas dapat juga dikatakan dengan sebutan manghobasi. suatu pesta dilakukan secara gotong royong, kecuali pihak tuan rumah.

  Manghobasi

  Hal ini berlangsung secara bergantian. Dengan kata lain, setiap rumah tangga akan mendapat giliran untuk dihobasi. Sebab suatu pesta terlaksana tidak menyesuaikan dengan suatu peraturan lingkungan. Umpamanya untuk pesta pernikahan bisa terjadi jika seorang anak sudah tergolong dewasa. Di sisi lain jika orang meninggal, maka siapa menduga suatu keluarga akan mendapat gilirannya untuk dihobasi.

  Marsiadapari biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau

  kepentingan sesama warga masyarakat. Kegiatan marsiadapari pada umumnya diwujudkan dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti dalam membangun irigasi, menata lingkungan ataupun menyelenggarakan suatu kegiatan upacara (ritual), masyarakat masih menerapkan sistem marsiadapari dalam mengolah lahan

   pertanian.

  Ikatan kekeluargaan bagi masyarakat Desa Lumban Silintong masih terjaga erat, baik yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan marsiadapari dan adanya rasa tolong menolong di antara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila di antara mereka sedang 19 Marsiadapari adalah bentuk kerja bersama yang dilakukan secara timbal balik. Jika pada hari ini jasa

  

kerja sekelompok keluarga dimanfaatkan oleh pemilik lahan, maka di hari berikutnya (sesuai kesepakatan) si

pemilik lahan gantian memberi jasa kerja kepada sekelompok keluarga tadi sesuai ukuran yang telah ia dapatkan sebelumnya. mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila di antara mereka sedang mengalami musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani, mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian mereka semakin meningkat. Tujuan utama sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan sikap tolong-menolong di sesama petani.

  Salah satu bentuk marsiadapari dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Lumban Silintong terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan

  

(pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu / peresmian suatu huta), monding / saur

matua (meninggal), ulangtahun , dan sebagainya. Untuk meringankan beban dari keluarga

  yang mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadaton) biasanya memberikan sumbangan (papungu tumpak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat. Hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan sumbangan, para petani di desa ini juga turut berpatisipasi untuk membantu pihak yang mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.

  Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa kemalangan, seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada umumnya berdatangan untuk menjenguk. Biasanya bagi anggota masyarakat yang tertimpa bencana, di desa ini diadakan sebuah acara mangapuli (menjenguk keluarga yang tertimpa masalah). Acara ini dilakukan dalam bentuk doa bersama antarsesama warga. Bagi keluarga terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan sipanganon (membawa makanan) sebagai bentuk adanya rasa senasip dan sependeritaan).

  Budaya dan hukum adat selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan dengan hukum adat di samping hukum agama.

  Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) merupakan bagian dari budaya adat yang berlaku di Desa Lumban Silintong. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai ataupun norma-norma (falsafah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari dari umpasa dan umpama yang merupakan indikator ataupun tolok ukur dalam kehidupan bermasyarakat.

  Menurut adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boru ni huta / sonduk hela / maisolat (marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan golongan masyarakat sama tanpa ada perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan.

  Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Lumban Silintong terdapat dua unsur kepemimpinan yang bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan.

  Adapun kedua kepemimpinan itu adalah kepemimpinan formal dan nonformal.

  Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan nonformal yaitu kepemimpinan adat dan agama yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama sering disebut dengan sintua (penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja). Kedua pimpinan ini biasanya berfungsi untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.

2.6 Mata Pencaharian

  Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah Tapanuli umumnya dan Desa Lumban Silintong khususnya. Hampir setiap rumah tangga di Desa Lumban Silintong memiliki areal pertanian. Umumnya masyarakat Batak Toba sangat berkeinginan untuk memiliki lahan pertanian, sehingga petani di daerah Tapanuli jarang dijumpai tidak memiliki areal sendiri.

  Sumber kehidupan masyarakat di Desa Lumban Silintong sangat bergantung kepada pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian juga sangat tergantung kepada luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak salah masyarakat di desa ini menggangap bahwa tanah merupakan aset yang sangat berharga.

  Lahan pertanian yang cenderung berada di lereng perbukitan mengakibatkan ketergantungan yang sangat erat dengan berhasil tidaknya pertanian masyarakat. Irigasi dibangun dengan membuat aliran air yang menggunakan pipa terbuat dari bambu, lalu dihubungkan dengan sungai menuju lokasi pertanian. Apabila sistem irigasi tersebut mengalami kerusakan akibat kondisi alam bisa mengakibatkan kerusakan bahkan gagal panen. Batas kepemilikan lahan ditandai dengan adanya parit-parit yang dalam bahasa

  

  setempat disebut dengan bondar (golat), di mana jarak antara parit-parit yang satu dengan yang lain biasanya berkisar 20-40 cm. Selain sebagai pembatas tanah, gadu-gadu digunakan sebagai jalan umum menuju areal pertanian masyarakat.

  Proses keberlangsungan hidup sebagai petani bukan lagi hal baru bagi masyarakat di Desa Lumban Silintong. Profesi sebagai petani adalah sistem kerja yang dilanjutkan secara turun-temurun. Rerata mata pencaharian penduduk adalah dari bertani sawah.

  Pada hakikatnya di Desa Lumban Silintong areal pertanian tidaklah begitu sempit. Jika melihat perbandingan antara kepala keluarga dengan luas areal yang ada, ternyata dari 120 kepala keluarga tersedia areal pertanian seluas 150 hektar. Dengan demikian, maka tidak jarang dijumpai penduduk yang memiliki areal pertanian lebih dari satu hektar.

  Umumnya masyarakat di desa ini memiliki areal pertaniannya berdasarkan warisan orangtuanya, sehingga mereka enggan menjualnya kepada orang lain. Hal ini merupakan cerminan kearifan lokal dalam menjaga dan melestarikan tanah leluhur mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan tanah bagi orang Batak Toba adalah merupakan sesuatu yang sakral. Oleh karena itu, jarang ada penjualan tanah kecuali gadai.

20 Gadu -gadu dan bondar artinya parit-parit, tanda pembatas tanah. Istilah gadu-gadu dipakai untuk pembatas tanah di persawahan dan bondar dipakai untuk pembatas tanah di areal perladangan.

  Tradisi adat masyarakat di Desa Lumban Silintong menganggap bahwa tanah itu

   sering disebut dengan ulos na so buruk (sumber penghidupan yang tidak ada matinya).

  Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai warisan dari ompu si jolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata Mulajadi (Tuhan Maha Pencipta dan Maha Besar).

  Nabolon

  Masyarakat menjual tanah hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan paksaaan). Pada awalnya penjualan tanah dilakukan masyarakat selalu mengusahakan untuk

  

  menjual tanahnya pada sesama keluarga (keluarga dekat). Sebagian masyarakat ada yang menjual tanahnya dengan cara marbile (tanah dibayar dengan tanah), dan disesuaikan dengan kondisi tanah.

  Petani Desa Lumban Silintong umumnya menanam padi. Tanaman palawija ataupun tanaman keras relatif tidak ada. Untuk pengolahan sawahnya, masyarakat Lumban Silintong masih mempergunakan cara tradisional, yakni membajak dengan memakai tenaga kerbau. Bahkan membajak dengan memanfaatkan tenaga hewan juga tidak bagi setiap keluarga. Sebagian masih mencangkol dengan tenaga manusia.

  Selain bertani, masyarakat Lumban Silintong juga bekerja sebagai nelayan. Pada umumnya, nelayan dilakoni oleh masyarakat yang bertempat tinggal di tepi Danau Toba. 21 Bagi suku batak Toba tanah sering disebut dengan ulos naso ra buruk. Tanah di ibaratkan seperti

  

ulos, ulos sebagai pakaian ciri khas batak Toba. Ulos na so ra buruk artinya ulos yang tidak bisa membusuk

atau rusak. 22 Pada masyarakat Batak Toba, menjual tanah sebenarnya tidak dikenal. Mereka hanya mengenal

istilah gadai di mana sifatnya adalah tidak permanen. Jadi, ketika si penggadai suatu waktu sudah memiliki

modal untuk menebus tanahnya, maka ia bisa menarik kembali tanahnya dengan mengembalikan uang gadai

berikut hitungan ekonomis yang disepakati (bisa berbentuk bunga uang). Penggadaian seperti ini menjadi

prasyarat untuk memberikan orang lain kelonggaran untuk merubah pola kerja. Di sisi lain, si penerima gadai

telah turut menyumbang pertolongan pada yang membutuhkan. Singkat kata, praktik ini merupakan sikap

tolong-menolong yang mengental di masyarakat Batak Toba.

  • Pegawai Negeri Sipil -ABRI
  • Swasta

  12

  7 Total 517

  7 Pensiunan

  8

  6 Pertukangan

  2

  5 Jasa

  5

  4 Pedagang/Wiraswasta

  3 Nelayan

  Meskipun demikian, nelayan bukanlah tergolong mata pencaharian utama mereka. Menjaring ikan adalah kerja sampingan ketika istirahat dari sawah, saat setelah menanam dan sebelum panen tiba.

  9

  1

  17

  2 Karyawan

  1 Petani 456

  No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (orang)

  Perhatikan tabel 5 tentang mata pencaharian penduduk di Desa Lumban Silintong. Tabel 5. Distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian

  Dalam perjalanannya, banyak ditemukan orang-orang Batak yang tinggal di daerah persawahan. Pendatang pertama, kedua, dan ketiga masih banyak yang tetap bertani, namun sudah ada yang beralih pekerjaan menjadi pedagang atau usaha di luar pertanian.

  Sumber: Kantor Kepala Desa Lumban Silintong, 1990

  Para pedagang dan pengusaha juga mempunyai tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Tidak sedikit dari antara mereka yang menyekolahkan anak-anaknya sampai Perguruan Tinggi seperti di Siantar atau Medan. Sebaliknya petani-petani yang berlahan sempit mengalami kesulitan yang lebih besar, sehingga kebanyakan dari anak-anak mereka hanya tamat SLTA.

  Kaum muda tidak ingin tinggal di desa dan bertani, mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota-kota besar di Sumatera, Jawa bahkan ada yang ke Kalimantan dan sebagainya.

  Kemampuan mereka untuk mengembangkan usaha di luar sektor pertanian tentu akan berpengaruh pada pendapatan keluarga. Masa depan anak-anaknya pun semakin mendapat prioritas. Dampaknya antara lain berupa keberhasilan anak-anak mereka bekerja di luar sektor pertanian.

  Akan tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan tahun-tahun belakangan jelas hasilnya tidak mampu mengimbangi kebutuhan akan produk jasa-jasa yang kian hari terus bertambah. Hal ini telah menjadi dilema bagi petani-petani yang tidak mau melepaskan tanahnya dan tidak ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih produktif.

  Mereka kurang tanggap terhadap perubahan yang hanya berpegang pada apa yang tampak dihasilkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Mereka kurang menyadari bahwa kebutuhan hidup bukan hanya ditentukan oleh apa yang dihasilkan, tetapi juga oleh kemajuan dan kebutuhan di luar produksi yang berkembang dengan lebih cepat.

  Oleh karena itu, banyak dari antara mereka pindah ke daerah lain. Para petani yang tinggal di desa hanya menggarap sawah tanpa kreatifitas lain yang mendukung. Dengan demikian terdapat kesan bahwa mereka tidak mampu meraih tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi di masa depan.

  Ketergantungan hidup pada produksi sawah tidak hanya pada pola pencaharian yang heterogen. Secara umum para petani di Desa Lumban Silintong banyak yang ketinggalan dalam pola hidup yang sebagian besar sebagai petani. Sedangkan di beberapa daerah dekat jalan raya atau tepi pantai petani-petani yang memiliki lahan luas, memiliki hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih baik. Mereka ketinggalan dibandingkan dengan tetangganya seperti masyarakat Karo yang mengombinasikan pertanian berladang, kebun dan beternak.

  Oleh karena situasi ekonomi keluarga yang sulit, sebagian ada yang bekerja keras dan ada yang memilih pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Kaum wanita ikut membantu kepala keluarga dengan turut serta bekerja ke sawah atau membawa barang dagangan seadanya ke pasar guna menambah penghasilan.

  Sementara pada era sebelum 1990 kondisi perekonomian Indonesia relatif tergolong baik, utamanya di kota. Oleh karena itu, seperti Medan dan Jakarta sangat banyak menampung pendatang baru, baik yang bersekolah atau melanjutkan pendidikannya hingga pendidikan tinggi maupun sekadar mencari nafkah. Mereka berharap memperoleh sumber penghidupan menetap di kota agar tidak perlu lagi kembali ke bonapasogit (kampung halaman). Dengan kata lain, konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas yang terjadi. Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang selalu ketinggalan zaman. Jadilah eksodus dari desa ke kota. Dengan demikian, desa tetaplah sebagai peta kemiskinan, banyak warganya yang buta huruf sehingga tak mampu merantau ke kota.

  Perlu ditambahkan bahwa kondisi wilayah Tapanuli (Utara) secara umum dikenal sebagai peta kemiskinan. Tentang peta kemiskinan, penulis mengambil contoh: Tapanuli yakni pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli pada 1986 masih berkisar Rp 240.000/kapita/tahun, sementara rata-rata pendapatan nasional telah mencapai Rp 600.000/kapita/tahun. Namun rata-rata nasional ini agaknya disesuaikan dengan standar batas garis kemiskinan yang dipakai Bank Dunia, yakni sebesar US$ 370/kapita/tahun atau Rp

   600.000.

  Angka pendapatan rata-rata penduduk Tapanuli yang jauh di bawah garis kemiskinan menyatakan bahwa Tapanuli memang peta kemiskinan. Hal ini turut pula didukung oleh lembaga keagamaan seperti Gereja. Kemudian masyarakat perantau Tapanuli juga mengatakan keyakinan tersebut, sehingga mereka terlihat turut hendak menghapus kategori kemiskinan. Dorongan para perantau ditambah lembaga keagamaan dan juga kaum intelektual perantau berusaha mencari solusi untuk menjawab perihal kemiskinan.

  Dengan bertolak dari peta kemiskinan yang ada, mereka kemudian turut menyuarakan agar pembangunan sampai ke Sumatera Utara yang ditempatkan di daerah Tapanuli. Daerah 23 Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan

  Perlawanan Masyarakat Batak vs PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara , Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009. ini didorong sesegera mungkin agar didatangkan aroma pembangunan yang juga dianggap bersamaan dengan datangnya kemajuan. Sekaligus menjawab permasalahan yang melanda kawasan Tapanuli: kemiskinan.

  Dengan desakan sebagian masyarakat, akhirnya pemerintah melakukan pembangunan dalam bentuk perusahaan. Pembangunan sebuah perusahaan diperkirakan menjadi jawaban terhadap persoalan yang sudah mendesak. Perkiraan jika sebuah perusahaan berdiri di daerah Sumatera Utara seperti Tapanuli serta merta pula akan mendatangkan kemajuan. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat akan meningkat setelah perusahaan tersebut menyerap warga lokal sebagai pekerjanya.

Dokumen yang terkait

Kontribusi Sektor Wisata Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir

6 86 120

Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Lumban Silintong Kecamatan Balige (1990 – 2003)

4 87 126

STUDI KUALITAS PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA MINOMARTANI Muhammad Khusban Nurmansyah mkhusbangmail.com Djaka Marwasta marwasta_dgeo.ugm.ac.id Abstrak - STUDI KUALITAS PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA MINOMARTAN

0 0 7

PERUBAHAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA WEDOMARTANI AKIBAT PEMBANGUNAN JOGJA BAY WATERPARK

0 0 8

BAB II KEHIDUPAN MASYARAKAT PARSALAKAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Kondisi Alam dan Geografis - Kehidupan Petani Salak di Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan (1970 – 200)

1 7 18

BAB II BUDAYA PAKPAK KELASEN SEBELUM MASUKNYA BATAK TOBA 2.1 Letak dan Keadaan Geografis - Pengaruh Budaya Batak Toba Terhadap Masyarakat Pakpak Kelasen Di Kecamatan Manduamas (1946-1992)

0 0 17

BAB II KONDISI GEOGRAFIS MASYARAKAT KARO DI DESA SURBAKTI - Dinamika Nazareth Musik Tiup Pada Masyarakat Karo Di Desa Surbakti Kecamatan Simpang IV Kabupaten Karo.

0 0 9

BAB II GAMBARAN UMUM DUSUN KUTA KENDIT 2.1 Letak Geografis - Perkembangan Perekonomian Kuta Kendit Setelah Proyek Pemukiman Masyarakat Terasing (PKMT) Kecamatan Mardingding Kabupaten Karo Dibangun pada Tahun 1981-2010

0 0 25

BAB 2 GAMBARAN UMUM DESA PARBULUAN 1 2.1 Letak Geografis - Dari Pertanian Nilam Ke Pertanian Hortikultura di Desa Parbulan 1 di Kecamatan Parbulan Kabupaten Dairi (1959-1998)

0 0 7

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT 2.1 Letak Geografis

0 0 14