KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT 2.1 Letak Geografis

  

BAB II

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT

2.1 Letak Geografis

  Kecamatan Bagan Sinembah adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah provinsi Riau dari arah Sumatera Utara. Jarak menuju ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api kurang lebih 180 Km atau sekitar 4 jam jarak tempuh, dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak menuju Pekan Baru yang merupakan ibu kota Provinsi Riau kurang lebih 360 Km atau sekitar 5-6 jam jarak tempuh. Secara geografis, Kecamatan Bagan Sinembah berada di ketinggian 10 meter dari permukaan laut. Luas Wilayah Kecamatan Bagan

  2 Sinembah ini secara keseluruhannya sekitar 847, 35 Km , 89% dari luas wilayah tersebut

   terdiri dari dataran, selebihnya merupakan daerah bergelombang yakni sekitar 11%.

  Kecamatan Bagan Sinembah memiliki batas-batas sebagai berikut:

  Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kecamatan Kubu 1.

  2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pujud

  3. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara

  4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bangko Pusako

  Kecamatan ini terdiri atas 14 desa , yang kesemuanya sudah definitif antara lain, desa Bahtera Makmur, Gelora, Pelita, Kencana, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Lubuk Jawi, Bagan Sinembah, Panca Mukti, Salak, Bagan Bhakti, Harapan Makmur, dan Bagan 14 Monografi/ Profil Kecamatan Bagan Sinembah

  

16 Batu. Desa-desa di kecamatan Bagan Sinembah merupakan wilayah dataran. Dan setiap desa atau lebih dikenal dengan kepenghuluan yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah dipimpin oleh seorang kepala desa atau datuk penghulu. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh beberapa aparatnya. Di Bagan Sinembah ini, aparat desa sudah lengkap.

  Seluruh desa sudah memiliki sekretaris dan telah dilengkapi dengan Badan Perwakilan Kepenghuluan (BPK) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Pada setiap desa atau

  

kepenghuluan yang ada di kecamatan Bagan Sinembah telah terbentuk RT dan RW, jumlah

  RT dan RW pada setiap desa cukup bervariasi, berkisar antara 8 sampai 74 untuk RT dan 2

   sampai 25 untuk RW.

  Desa yang paling luas wilayahnya adalah desa Balam Sempurna sedangkan yang terkecil ialah desa Salak. Jumlah penduduk Kecamatan Bagan Sinembah pada tahun 2000 sebanyak 87,958 orang dan jumlah penduduk paling banyak berada di Bagan Batu yang merupakan ibukota kecamatan Bagan Sinembah, sementara jumlah penduduk yang terendah berada di desa Salak. Sebanyak 10 desa yang relatif dekat dan mudah aksesnya ke ibukota kecamatan, jaraknya kurang lebih 20 Km, sedangkan 4 desa lainnya, antara lain desa Lubuk Jawi, Panca Mukti, Salak dan Bagan Bhakti jaraknya mencapai 30 Km. Untuk lebih jelas, lihat tabel di bawah ini.

  15 BPS dan BAPPEDA Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah dalam Angka 2004, Bagan Siapiapi: BPS Kabupaten Rokan Hilir, 2005, hlm. 2.

  

17

  

18

Tabel 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan

  

Sinembah tahun 2000

No Desa Luas Wilayah (Km 2) Jumlah Penduduk (jiwa)

  1 Bahtera Makmur 150.75 9,688

  2 Gelora 7.08 1,316

  3 Pelita 11.53 1,245

  4 Kencana 6.99 1,435

  5 Pasir Putih 139.21 6,842

  6 Balai Jaya 111.52 13,290

  7 Balam Sempurna 203.05 19,366

  8 Lubuk Jawi 11.58 1,576

  9 Bagan Sinembah 75.76 5,351

  10 Panca Mukti 8.51 1,443

  11 Salak 5.81 1,006

  12 Bagan Bhakti 7.05 1,276

  13 Harapan Makmur 8.53 1,671

  14 Bagan Batu 99.98 22,453 Sumber: BPS Kabupaten Rokan Hilir

  Satu hal yang menarik dari Kecamatan Bagan Sinembah ini, yaitu sampai sekarang penyebutan desa masih menggunakan kata kepenghuluan dan datuk penghulu untuk menyebut kepala desanya. Hal ini sudah menjadi peraturan daerah yakni bagi setiap daerah yang masuk ke dalam Kabupaten Rokan Hilir wajib menggunakan kata kepenghuluan untuk

  

  menyebut sebuah desa. Cara kerja atau struktur keorganisasian kepenghuluan ini sebenarnya sama saja seperti sistem keorganisasian desa, hanya saja penyebutannya yang berbeda. Dengan kata lain kepenghuluan dan desa itu sama saja. Menurut data sejarah, sebelum tahun 1979, di daerah ini untuk penyebutan sebuah desa menggunakan kata kepenghuluan. Namun setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1979, penyebutan kepenghuluan diganti menjadi desa dan berdasarkan UU No.22 1999 secara historis penyebutan desa diganti menjadi kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang datuk penghulu. Penyebutan

   datuk penghulu ini dianggap lebih terhormat daripada kepala desa.

  Tidak bisa dipungkiri, bahwa evolusi pembangunan sebuah wilayah, kota maupun Negara sebagian besar bermula dari perkembangan entitas sebuah desa. Desa dalam pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di manapun di dunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan terutama yang tergantung pada kegiatan pertanian. Pengertian desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Egon E. Bergel misalnya, mendefenisikan desa sebagai “setiap

  

  pemukiman para petani (peasants)”. Padahal sebenarnya faktor pertanian bukanlah suatu 16 17 Op. Cit., 25 Februari 2013 18 Op. Cit., 30 Mei 2013.

  Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm.29-30.

  

19 hal yang selalu harus terlekat pada setiap desa, begitu juga sebaliknya, desa tidak harus dikaitkan dengan kegiatan pertanian, hanya saja kebanyakan desa di Indonesia khususnya yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada kegiatan pertanian, namun tidak semua, ada juga desa yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada bidang lain seperti bidang perikanan, industri rumahan (home industry) atau kegiatan pekerjaan tangan dan lain sebagainya. Yang menjadi ciri utama dari suatu desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal yang menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Atau dengan kata lain, sebuah desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu.

  Keterikatan terhadap wilayah ini di samping sebagai tempat tinggal, juga sebagai penyangga kehidupan mereka.

  Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah ingin hidup bersama keluarga suami/istri dan anak serta sanak familinya, yang kemudian lazimnya memilih suatu tempat kediaman bersama. Tempat kediaman tersebut dapat berupa suatu wilayah dengan berpindah-pindah terutama terjadi pada kawasan tertentu hutan atau areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut berpindah-pindah. Hal ini masih dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatera, seperti kubu, suku anak dalam, beberapa warga melayu asli, juga di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Kalimantan dan

   Papua. Sama halnya dengan pembentukan desa Bagan Batu, yang tidak berbeda dengan

  pembentukan sebuah desa pada umumnya, yang secara naluriah ingin hidup bersama dengan keluarga bahkan sanak famili mereka dan yang terpenting adalah untuk mempertahankan serta mencapai kemajuan dalam hidupnya.

19 Op. Cit., Hal. 10-11.

  

20 Istilah desa itu sendiri semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan

dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah ai, tanah asal atau tanah kelahiran.

  

Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah

dusundati. Tidak hanya sekedar nama, menurut beberapa ahli seperti van den Berg dan Kern,

desa-desa di Jawa menyerupai desa-desa di India.

  Berbeda dengan perkembangan peradaban di Negara-negara Eropa yang menggunakan kota sebagai pusat peradaban dan desa menjadi sumber ekonomi semata, perkembangan peradaban di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di wilayah pedesaan. Awal perkembangan kota-kota Indonesia sendiri dimulai dari dua tipe pedesaan yakni pedesaan berbasis pertanian (inland atau agrarian) dan tipe pedesaan yang berbasis

  

  pesisir. Sama halnya dengan keberadaan kecamatan Bagan Sinembah ini. Awalnya Kecamatan Bagan Sinembah belum ada, yang dikenal saat itu hanya desa Bagan Sinembah yang masuk ke dalam Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.

  Berkembangnya suatu daerah yang semula masih terbelakang, baik dari segi perkembangan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduknya, akan mengakibatkan terciptanya desa-desa baru. Pemecahan suatu desa disebabkan oleh alasan yang objektif, yakni karena adanya perkembangan, maupun karena adanya kebijakan tertentu oleh pemerintah. Munculnya desa-desa baru juga disebabkan oleh berubahnya status unit-unit pemukiman transmigran (UPT) yang setelah lima tahun dalam binaan kemudian resmi berstatus desa. Sehingga, pada 25 Juni 1987, berdasarkan keputusan Bupati, Kepala Daerah 20 21 Ibid., hal. 48.

  M.A.Chozin, Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Bogor: IPB Press, 2010, hlm. 104.

  21 Tingkat II Bengkalis Nomor: KPTS.151/VII/1987 Bagan Sinembah dimekarkan menjadi 7 desa perwakilan kecamatan Kubu di Bagan Batu yaitu:

  1. Desa Induk Bagan Sinembah, Kepala desanya Wan Muhammad Nor 2.

  Desa Bagan Batu, Kepala desanya Wan Bahrum Noor 3. Desa Bahtera Makmur, Kepala desanya H. Nurdin AR 4. Desa Pasir Putih, Kepala desanya A. Marlani 5. Desa Balai Jaya, Kepala desanya H. Wan Muchtar Noor 6. Desa Balam Sempurna, Kepala desanya H. Abdul Azis Hasibuan 7. Desa Simpang Kanan, Kepala desanya M. Yazid Hamta

  Begitu pula dengan kecamatan Bagan Sinembah yang sudah terbentuk sejak tahun 1995. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa kecamatan Bagan Sinembah ini awalnya merupakan sebuah desa yang luas, dan berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.

  Dan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pemerintahan serta pembangunan pada wilayah Kabupaten Tingkat II Bengkalis, dalam wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau, maka untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, maka dipandang perlu membentuk kecamatan baru dan menata kecamatan di wilayah Kabupaten daerah tingkat II tersebut. Dengan demikian, presiden mengeluarkan PP No.33 Tahun 1995, tentang pembentukan 13 kecamatan di wilayah kabupaten Tingkat II Bengkalis, Indragiri Hilir dan Kampar, dalam wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Sesuai dengan ketentuan pasal 75 Undang-undang

  

22 nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pembentukan kecamatan

  

  harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

  Mengingat: 1.

  Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kabupaten dalam lingkungan daeerah Provinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara tahun 1956 Nomor 25); 3. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat

  Nomor 19 tahun 1957 tentang pembentukan daerah-daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 75) 4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah

  (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 38);

  Memutuskan: 1.

  Membentuk Kecamatan Bagan Sinembah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis, yang meliputi wilayah: a. Desa Bagan Batu; b. Desa Simpang Kanan; c.

  Desa Bagan Sinembah; d. Desa Pasir Putih; e. Desa Bahtera Makmur; f. Desa Balai Jaya; g. Desa Balam Sempurna.

  2. Wilayah Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kubu. Dengan dibentuknya Kecamatan

22 Saaldi Syukri Hasibuan, Kontribusi Anak dalam Membantu Ekonomi Keluarga Petani Kelapa Sawit…, 2005. USU e-Repository.

  

23 Bagan Sinembah, maka wilayah Kecamatan Kubu dikurangi dengan Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  Berdasarkan musyawarah, mufakat serta dukungan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah yang semula merupakan bagian dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis secara resmi terbentuk sebagai suatu kecamatan definitif, tepatnya pada hari rabu, tanggal 4 Januari 1995, yang dipimpin oleh seorang camat yang pertama bernama Drs. H. Wan Achmad Saiful. Dan sebagai hari jadi yang pertama, berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1995, Kecamatan Bagan Sinembah terdiri dari 15 desa antara lain, desa Bagan Batu, Bagan Sinembah, Bahtera Makmur, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Simpang kanan, Gelora, Pelita, Harapan Makmur, Salak, Panca Mukti, Kencana, Bagan Bakti dan Lubuk Jawi.

  Berdasarkan UU No.53 Tahun 1999, tepatnya pada bulan Oktober 1999 Kabupaten Bengkalis beralih menjadi Kabupaten Rokan Hilir. Kabupaten Rokan Hilir dibentuk dari tiga kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih. Negeri-negeri tersebut dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Kerajaan Siak. Distrik pertama didirikan Belanda di Tanah Putih pada saat menduduki daerah ini tahun 1890.

  Setelah Bagan Siapiapi yang dibuka oleh pemukim-pemukim Cina berkembang pesat, Belanda memindahkan pemerintahan kontroleurnya ke kota ini tahun 1901. Sejak itu Belanda membangun kota pelabuhan modern terlengkap di masanya mengimbangi pelabuhan

  

  lainnya di selat Malaka. Bekas wilayah Bagan Siapiapi yang terdiri dari Kecamatan Tanah putih, Kubu dan Bangko yang awalnya masuk ke dalam Kabupaten Bengkalis, kemudian 23 Ibid.,

  

24 pada Oktober 1999, ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Kabupaten baru di Provinsi Riau yakni Kabupaten Rokan Hilir yang ibukotanya terletak di Bagan Siapiapi.

  Kadang-kadang alasan terbentuknya desa tercantum dalam nama desa, dari nama desa

  

  dapat diketahui alasan terbentuknya suatu masyarakat desa tertentu. Kata Bagan Sinembah sendiri memiliki berasal dari bahasa Melayu. Adapun arti dari kata Bagan adalah tempat, dan kata sinembah, diambil dari nama seorang pendatang dari Sumatera Utara yaitu Janombah, yang kemudian pengucapannya oleh orang Melayu berubah menjadi sinembah. Sehingga dapat disimpulkan secara sederhana bahwa arti dari Bagan Sinembah ialah tempat si

25 Janombah.

  Selain penyebutan kata kepenghuluan, hal lain yang cukup menarik untuk dikaji dari sisi historis ialah mengenai kata Sinembah yang merupakan nama Kecamatan dari desa Bagan Batu sendiri. Jika kita mendengar kata Sinembah maka banyak yang heran dan bertanya-tanya. Mengapa kata sinembah ada dan dijadikan sebagai nama tempat di daerah tersebut, padahal kata Sinembah sendiri erat kaitannya dengan bahasa Batak dari Sumatera Utara, namun nama atau kata tersebut ada di desa Bagan Sinembah yang merupakan kawasan suku Melayu. Itulah hal pertama yang ditanyakan orang ketika mendengar kata sinembah.

  Menurut sejarahnya, Bagan Sinembah berasal dari kata Bagan Jasinombah yang artinya tempat pondok persinggahan. Letaknya di sekitar sungai Bagan Sinembah yang populernya merupakan tempat persinggahan masyarakat. Karena jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka, maka bagi orang yang juga membuka serta mengambil hasil hutan di daerah Bagan Sinembah tersebut terpaksa singgah ataupun numpang istirahat di pondok itu, terlebih 24 25 Op. Cit., hal.11.

  

Wawancara, Bapak Muktar Waslin, Kantor Kepenghuluan Bagan Batu, 25 Februari 2013.

  25 bagi masyarakat Kubu di mana pada saat itu jarak tempuh menuju Kubu bisa sampai berhari- hari.

  Menurut informasi yang dapat dipercaya bahwa nama Sinembah berasal dari nama Jasinombah Siregar yang merupakan masyarakat dari Tapanuli Selatan yang merantau ke daerah Riau tepatnya di daerah Salak Bagan Sinembah sekarang, ia mulai membuka hutan dan hidup di daerah tersebut dengan memanfaatkan hasil hutan yang seadanya serta membangun sebuah pondok atau gubuk gubuk didekatnya sebagai tempat tinggalnya. Pada saat daerah itu sudah mulai ramai dikunjungi orang maka Jasinombah tidak berada di tempat atau menghilang secara misterius, yang secara positif beliau tidak diketahui oleh orang lagi keberadaannya dan saat itu masih zaman penjajahan Belanda lebih kurang sekitar abad ke-19 daerah tersebut disebut kepenghuluan Hulu Kubu dan Penghulunya bernama Penghulu

   Gundah, Hulu Kubu tersebut masih dalam wilayah Kecamatan Kubu.

  

2.2 Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kec. Bagan Sinembah sebelum Dibukanya

Pertanian Kelapa Sawit

  Sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan program pemerintah, daerah ini merupakan daerah yang sepi dan sangat sulit dijangkau karena jalur transportasinya yang belum memadai. Menurut informasi, masyarakat yang mendiami daerah ini sangat sedikit

  

  jika dibandingkan dengan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit. Pada saat itu, orang yang tinggal di daerah ini kebanyakan adalah orang-orang yang berasal dari Sumatera Utara seperti dari Labuhan Batu dan sekitarnya (Rantau Prapat, Aek Nabara, Kota Pinang, 26 Darsono, Sejarah Bagan Sinembah: Bagan Sinembah Kota Sawit (Hari Jadi Kecamatan Bagan Sinembah ke-17), Bagan Batu, 2012. 27 Op. Cit., Bapak Muktar Waslin

  

26 Sigambal dan lain sebagainya) karena menurut jarak, mereka lah yang paling dekat dengan wilayah Bagan Sinembah, yang terdiri dari orang-orang Jawa, Tapanuli, baik Selatan maupun Utara dan orang-orang Melayu yang merupakan penduduk asli daerah ini. Kebanyakan mereka lebih memilih tinggal di daerah Kubu. Pada saat itu belum ditentukan batas wilayah antara Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Utara sehingga untuk menjaga keamanan maka dikirimlah utusan dari Kodam yang berada di Pulau Jawa ke daerah Bagan Sinembah

   yang kemudian menjadi penduduk lokal di daerah ini.

  Mereka bermata pencaharian sebagai pencari ikan, berdagang dan mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, gaharu dan lain sebagainya. Pada saat itu Bagan Sinembah merupakan penghasil hutan rotan (Rotan Batu, Rotan Sogo, Rota Dahanan) yang bisa dikatakan cukup baik sehingga sampai mengekspor ke luar negeri seperti Singapura dan penghasil Jernang, damar mata kucing yang diolah menjadi pewarna kain atau pakaian yang sekarang disebut wanted. Selain itu, mereka juga berkebun, tetapi hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pangan seperti menanam padi, ubi, jagung dan lain sebagainya.

  Karena hasil hutan di daerah ini cukup baik seperti adanya kayu damar, gaharu, rotan dan jenis kayu lainnya yang dianggap bernilai dan dibutuhkan sampai ke luar negeri maka mulai dibuka perusahaan balok di sekitar daerah tersebut. Dibukanya perusahaan balok, maka mulailah dirintis jalan sebagai jalur transportasi atau pengangkutan balok-balok tersebut yang dikenal dengan jalan balok. Kondisi tanahnya juga masih memprihatinkan terdiri dari tanah merah, yang berlumpur ketika musim hujan sehingga tidak jarang truk lengket di dalamnya dan berabu ketika musim kemarau. Sebelum adanya jalan balok ini, 28 Wawancara, Bapak Ahmadan Simatupang, di Kantor SMA Pembangunan Bagan Sinembah, 30 Mei

  2013

  

27 orang Sumatera Utara yang hendak ke daerah Bagan Sinembah ini harus ke Tasik terlebih dahulu. Tasik merupakan perkumpulan kayu balok yang dijadikan sebagai tempat penyeberangan. Ketika orang hendak ke Bagan Sinembah dari arah Sumatera Utara maka harus ke hulu Kota Pinang terlebih dahulu dengan naik boat menyeberang selama kurang

   lebih 2 jam kemudian melewati jalan darat lagi hingga sampai ke daerah Bagan Sinembah.

  Begitulah keadaan transportasi saat itu, ketika perkebunan kelapa sawit belum berkembang.

  Seiring perkembangannya, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mulai membuka hutan serta membuka perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit dan karet dengan kualitas yang rendah. Masyarakat yang membuka perkebunan tersebut ada yang menetap dan adapula yang tidak menetap. Mereka masih berpindah-pindah dan mencari daerah yang dianggapnya lebih baik karena pada saat itu daerah Bagan Sinembah masih sangat sepi dan bagi sebagian orang dianggap tidak memungkinkan untuk membawanya ke taraf kehidupan yang lebih baik sehingga mereka menjual lahan mereka dan bahkan meninggalkannya begitu saja. Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu penyebab adanya konflik kepemilikan tanah di daerah ini. Bagi masyarakat yang menetap di daerah tersebut, mereka dengan sabar merawat pertanian mereka, walaupun hasil yang didapatkan belum memadai akibat belum terampilnya mereka dalam berkebun dan bibit yang digunakan pun masih berkualitas rendah. Terbukti, kesabaran mereka membuahkan hasil. Lambat laun perkebunan semakin berkembang sehingga mereka berhasil meningkatkan taraf kehidupan mereka melalui perekonomian pertanian kelapa sawit ini.

29 Ibid.,

  

28

2.2.1 Tingkat Pendidikan

  Rendahnya tingkat pendidikan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan “figur

  

  pengelola” di kalangan petani. Sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit, tingkat pendidikan masyarakat yang mendiami daerah ini masih rendah dan bahkan tidak pernah mengecap pendidikan secara formal di sekolah sama sekali. Hanya beberapa orang yang lulusan SMA, yakni masyarakat dari Sumatera Utara yang bekerja di PTP IV Gunung

31 Pamela. Kebanyakan mereka yang datang ke daerah ini dilatarbelakangi dengan pendidikan

  yang minim. Bahkan, banyak yang masih buta huruf. Jangankan untuk sekolah, untuk memenuhi kebutuhan pangan saja mereka sangat kesulitan terlebih para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa. Mereka datang ke daerah ini dengan maksud ingin mengubah nasib yakni mengubah kehidupan dengan taraf ekonomi yang lebih baik. Walaupun tingkat pendidikan mereka rendah, bagi sebagian orang hal tersebut tidak mengurangi rasa ingin tahu dan semangat mereka untuk membuka perkebunan di daerah ini. Karena mereka menganggap tanpa mengecap pendidikan secara formal pun mereka pasti mampu mengelola perkebunan kelapa sawit walaupun awalnya hasilnya juga belum memuaskan, karena di dalam perkebunan kelapa sawit ini tidak dibutuhan perlombaan tertulis dan yang mengharuskan memiliki ijazah, kuncinya hanyalah kemauan dan kerja keras.

30 Bahtiar Saleh Abbas dan Burhani Syah, Beberapa aspek sosial ekonomi petani kelapa sawit proyek pengembangan perkebunan rakyat Sumatera Utara, Buletin BPP Medan, 1981, 12 (1), hlm 23-25.

  31 Awalnya, yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat di desa Bagan Sinembah adalah PTP IV Gunung Pamela, Sumatera Utara.

  

29