Konsep Islam Tentang Wahyu dan Nabi 2
KONSEP ISLAM TENTANG WAHYU DAN NABI II
oleh, Anita
Telah dijelaskan pada tulisan pertama tema ini mengenai definisi wahyu, Nabi,
dan Rasul. Sebagaimana diketahui secara syar’i wahyu bermakna kalamullah yang
diturunkan kepada seorang Nabi. Wahyu yang diterima seorang Nabi dapat berupa
gemerincing lonceng, mimpi, perubahan psikologis diri Nabi, dan lainnya. Hal ini tidak
menjadi masalah karena yang terjadi sebuah transmisi wahyu yang tidak manipulatif.
Wahyu bukanlah suatu hal yang diharapkan Nabi, melainkan atas kehendak Allah
subhanallahu wa ta’ala. Dalam Islam posisi Nabi sangat unik, karena Nabi merupakan
seorang manusia biasa. Meskipun demikian, Nabi tidaklah memiliki penyakit hati
seperti manusia lainnya. Nabi juga memiliki kekhususan dalam syariat. Berdasarkan hal
ini, seorang Nabi dapat dijadikan contoh (teladan) bagi seluruh manusia.
Al-Qur’an berbeda dengan kitab suci lainnya yang hanya berupa teks. Al-Qur’an
adalah bacaan yang tulisan atau teksnya mengikuti kaidah pembacaannya. Bacaan
dalam al-Qur’an hingga saat ini bersanad sehingga terjaga keasliannya. Setiap generasi
terdapat para penjaga hafalan yang sering disebut hafiz. Ketika Nabi masih hidup,
bacaan al-Qur’an selalu diperiksa setiap tahun pada bulan Ramadhan. Selain itu terdapat
tujuh orang sahabat yang bertugas menghapal dan empat orang sahabat yang
menuliskannya. Setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia, al-Qur’an juga
menyebar sehingga mengakibatkan kesalahan dalam pembacaannya. Dengan alasan
utama inilah pada masa kepemimpinan sahabat akhirnya al-Qur’an dibukukan hingga
menjadi mushaf Utsmani hingga saat ini.
Serangan hermeneutika terdapat pada kamus. Perjanjian lama merupakan teks
(tulisan), demikian halnya dengan perjanjian baru. Penulisan perjanjian lama dan baru
ditulis setelah kematian Musa ‘alayhissalam dan Isa ‘alayhissalam. Injil qiew yang
merupakan sumber asli Yesus telah hilang dari sejarah. Bukan hanya seorang Muslim,
seorang pendeta Kristen juga meragukan keotentikan bible yang merupakan tradisi oral.
Dalam segi proses, perjanjian lama terbentuk melalui proses yang panjang selama 1300
tahun. Perjanjian baru juga ditulis setelah kematian Yesus dan melalui konsili Nicea
pula Yesus yang merupakan seorang manusia ditetapkan menjadi Tuhan dengan suara
mayoritas.
Berbeda dengan al-Qur’an yang ditulis dan dihafalsaat Nabi masih hidup dan
dengan sepengetahuan Nabi. Sumber asli al-Quran (mushaf Utsmani) juga masih ada
dan tersimpan di Rusia. Berdasarkan ajarannya, kitab suci lain juga tercampur oleh
berbagai ajaran. Contohnya perjanjian lama yang tercampur oleh perjanjian Hamurabi.
Perjanjian baru juga tercampur dengan pendapat para muridnya. Al-Qur’an sangat
berbeda karena tidak ada percampuran dengan ajaran manusia termasuk malaikat dan
Nabi itu sendiri. Hal ini terjamin dalam surat al-Haqqoh.
Serangan terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wassallam
Sejak dulu, al-Qur’an telah diserang keotentikannya. Pada masa itu al-Qur’an
sering disebut kitab suci setan, dan lainnya. Hal ini disebabkan karena al-Qur’an
menyerang isi perjanjian lama dan baru. Selain berbagai cercaan tersebut, serangan
terhadap al-Qur’an juga berasal dari Hermeneutika. Hermeneutika merupakan alat atau
ilmu yang berguna untuk menafsirkan.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermenia. Dalam tradisi Yunani
terdapat Dewa Zeus yang memberi perintah bagi manusia. Oleh karena itu perintah
Zeus tersebut harus ditafsirkan agar dimengerti oleh manusia. Dewa Hermes yang
merupakan anak Dewa Zeus yang bertugas menafsirkan perintahnya. Kemudian nama
Dewa Hermes diadopsi menjadi hermeneiya dan selanjutnya menjadi hermeneutika.
Oleh para filosof Yunani selanjutnya hermeneutika digunakan sebagai metode
penafsiran karya sastra. Hermeneiya digunakan untuk menafsirkan isi teks sastra.
Ilmu hermeneutika dapat berbentuk literal. Oleh para pendeta Kristen,
hermeneutika digunakan untuk menafsirkan bible. Hermenutika dapat berbentuk literal,
moral, alegoris, dan mistis. Seperti penafsiran kota Yerussalem bagi pendeta Kristen,
jika bermakna literal berarti kota, moral berarti jiwa, alegoris berarti gereja, dan mistis
berarti gaib.
Seperti pendapat Sly selmaker, pendeta katholik (universal). Konsili
memutuskan bahwa yang berhak menafsirkan bible adalah orang-orang tertentu.
Berbeda dengan Islam, yang dipilih berdasarkan ilmu dan kemampuannya. Oleh karena
itu, kaum protestan yang tidak setuju akan hal itu menyatakan agar kembali kepada teks.
Hermeneutika dapat bersifat teologis dan filosofis.
Untuk menafsirkan kitab suci tidak tergantung pada teks saja, melainkan juga
terpengaruh oleh sisi psikologis penafsir dan keadaan sosial budaya yang ada. Berbeda
dengan Islam yang memiliki kaidah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Ketika
Slysumaker merasa gelisah karena melihat kerusakan pada bible yang sudah tercampur
baur. Padahal tulisan merupakan hal yang penting bagi ajaran Kristen karena merupakan
jembatan kepada Tuhannya.
Penafsiran bible harus dikaitkan dengan sejarah, seperti Yesus yang memperoleh
wahyu, namun penafsirnya merupakan manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan.
Tujuan hermeneutika secara teologis untuk mengetahui atau memisahkan ajaran otentik
Yesus dengan manusia lainnya. Kemudian hermeneutika berkembang menjadi filosofis.
Setiap tulisan kesemuanya merupakan penafsiran. Hidup manusia merupakan
penafsiran, oleh karena itu hidup adalah penafsiran yang tidak pernah final. Penafsiran
merupakan permainan antara si pembuat teks dan penafsirnya.
Hal ini menjadi bermasalah ketika diterapkan dalam al-Qur’an. Karena manusia
biasa tidak lebih tahu dari Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassalam dan Allah
subhanallahu wa ta’ala. Bahasa memang merupakan alam fikiran, tetapi bahasa Arab
terminologinya ditafsirkan oleh Allah subhanallahu wa ta’ala. Al-Qur’an mempunyai
penafir al-Qur’an otoritatif, yaitu Allah subhanallahu wa ta’ala. Al-Qur’an diajarkan
oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassallam.
Hermeneutika masuk dalam Islam oleh para ilmuwan Muslim yang belajar dari
para orientalis. Ketika serangan terhadap al-Qur’an gagal, maka serangan kepada
tekspun dimulai. Contohnya Abu Zayd yang menyatakan al-Qur’an sebagai konteks
budaya pada penafsiran khomr dan jilbab. Hermeneutika hanya ditolak dalam
penafsiran kitab suci yang telah memiliki metode penefsiran tersendiri. Contoh lainnya
adalah Amina Wadud yang mengkritik patriakral dalam budaya Arab yang
mempengaruhi penafsiran al-Qur’an. Pada akhirnya dia membuat penafsiran al-Qur’an
yang dianggap memihak terhadap wanita. Menurutnya pula jenis kelamin merupakan
konstruksi budaya.
Dekonstruksi istilah inilah yang membuat semuanya menjadi berantakan. Ciri
dari masyarakat postmodern adalah dekonstruksi istilah ini yang mendunia. Ciri ini
disebutkan oleh Derrida. Padahal para ulama sangat cerdas dan membuat kamus setiap
seratus tahun sekali demi mengunci sebuah istilah. Ketika makna istilah berubah-ubah,
akan sangat menghancurkan. Oleh karena itu al-Attas mengkritik para ulama Islam yang
secara serampangan mengambil kata dari bahasa lain untuk diserap.
Hal yang paling ditakutkan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassallam ketika
mendekati akhir zaman adalah ketika tergelincirnya para ‘alim yang memelintirkan
makna kunci al-Qur’an.
oleh, Anita
Telah dijelaskan pada tulisan pertama tema ini mengenai definisi wahyu, Nabi,
dan Rasul. Sebagaimana diketahui secara syar’i wahyu bermakna kalamullah yang
diturunkan kepada seorang Nabi. Wahyu yang diterima seorang Nabi dapat berupa
gemerincing lonceng, mimpi, perubahan psikologis diri Nabi, dan lainnya. Hal ini tidak
menjadi masalah karena yang terjadi sebuah transmisi wahyu yang tidak manipulatif.
Wahyu bukanlah suatu hal yang diharapkan Nabi, melainkan atas kehendak Allah
subhanallahu wa ta’ala. Dalam Islam posisi Nabi sangat unik, karena Nabi merupakan
seorang manusia biasa. Meskipun demikian, Nabi tidaklah memiliki penyakit hati
seperti manusia lainnya. Nabi juga memiliki kekhususan dalam syariat. Berdasarkan hal
ini, seorang Nabi dapat dijadikan contoh (teladan) bagi seluruh manusia.
Al-Qur’an berbeda dengan kitab suci lainnya yang hanya berupa teks. Al-Qur’an
adalah bacaan yang tulisan atau teksnya mengikuti kaidah pembacaannya. Bacaan
dalam al-Qur’an hingga saat ini bersanad sehingga terjaga keasliannya. Setiap generasi
terdapat para penjaga hafalan yang sering disebut hafiz. Ketika Nabi masih hidup,
bacaan al-Qur’an selalu diperiksa setiap tahun pada bulan Ramadhan. Selain itu terdapat
tujuh orang sahabat yang bertugas menghapal dan empat orang sahabat yang
menuliskannya. Setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia, al-Qur’an juga
menyebar sehingga mengakibatkan kesalahan dalam pembacaannya. Dengan alasan
utama inilah pada masa kepemimpinan sahabat akhirnya al-Qur’an dibukukan hingga
menjadi mushaf Utsmani hingga saat ini.
Serangan hermeneutika terdapat pada kamus. Perjanjian lama merupakan teks
(tulisan), demikian halnya dengan perjanjian baru. Penulisan perjanjian lama dan baru
ditulis setelah kematian Musa ‘alayhissalam dan Isa ‘alayhissalam. Injil qiew yang
merupakan sumber asli Yesus telah hilang dari sejarah. Bukan hanya seorang Muslim,
seorang pendeta Kristen juga meragukan keotentikan bible yang merupakan tradisi oral.
Dalam segi proses, perjanjian lama terbentuk melalui proses yang panjang selama 1300
tahun. Perjanjian baru juga ditulis setelah kematian Yesus dan melalui konsili Nicea
pula Yesus yang merupakan seorang manusia ditetapkan menjadi Tuhan dengan suara
mayoritas.
Berbeda dengan al-Qur’an yang ditulis dan dihafalsaat Nabi masih hidup dan
dengan sepengetahuan Nabi. Sumber asli al-Quran (mushaf Utsmani) juga masih ada
dan tersimpan di Rusia. Berdasarkan ajarannya, kitab suci lain juga tercampur oleh
berbagai ajaran. Contohnya perjanjian lama yang tercampur oleh perjanjian Hamurabi.
Perjanjian baru juga tercampur dengan pendapat para muridnya. Al-Qur’an sangat
berbeda karena tidak ada percampuran dengan ajaran manusia termasuk malaikat dan
Nabi itu sendiri. Hal ini terjamin dalam surat al-Haqqoh.
Serangan terhadap al-Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wassallam
Sejak dulu, al-Qur’an telah diserang keotentikannya. Pada masa itu al-Qur’an
sering disebut kitab suci setan, dan lainnya. Hal ini disebabkan karena al-Qur’an
menyerang isi perjanjian lama dan baru. Selain berbagai cercaan tersebut, serangan
terhadap al-Qur’an juga berasal dari Hermeneutika. Hermeneutika merupakan alat atau
ilmu yang berguna untuk menafsirkan.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermenia. Dalam tradisi Yunani
terdapat Dewa Zeus yang memberi perintah bagi manusia. Oleh karena itu perintah
Zeus tersebut harus ditafsirkan agar dimengerti oleh manusia. Dewa Hermes yang
merupakan anak Dewa Zeus yang bertugas menafsirkan perintahnya. Kemudian nama
Dewa Hermes diadopsi menjadi hermeneiya dan selanjutnya menjadi hermeneutika.
Oleh para filosof Yunani selanjutnya hermeneutika digunakan sebagai metode
penafsiran karya sastra. Hermeneiya digunakan untuk menafsirkan isi teks sastra.
Ilmu hermeneutika dapat berbentuk literal. Oleh para pendeta Kristen,
hermeneutika digunakan untuk menafsirkan bible. Hermenutika dapat berbentuk literal,
moral, alegoris, dan mistis. Seperti penafsiran kota Yerussalem bagi pendeta Kristen,
jika bermakna literal berarti kota, moral berarti jiwa, alegoris berarti gereja, dan mistis
berarti gaib.
Seperti pendapat Sly selmaker, pendeta katholik (universal). Konsili
memutuskan bahwa yang berhak menafsirkan bible adalah orang-orang tertentu.
Berbeda dengan Islam, yang dipilih berdasarkan ilmu dan kemampuannya. Oleh karena
itu, kaum protestan yang tidak setuju akan hal itu menyatakan agar kembali kepada teks.
Hermeneutika dapat bersifat teologis dan filosofis.
Untuk menafsirkan kitab suci tidak tergantung pada teks saja, melainkan juga
terpengaruh oleh sisi psikologis penafsir dan keadaan sosial budaya yang ada. Berbeda
dengan Islam yang memiliki kaidah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Ketika
Slysumaker merasa gelisah karena melihat kerusakan pada bible yang sudah tercampur
baur. Padahal tulisan merupakan hal yang penting bagi ajaran Kristen karena merupakan
jembatan kepada Tuhannya.
Penafsiran bible harus dikaitkan dengan sejarah, seperti Yesus yang memperoleh
wahyu, namun penafsirnya merupakan manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan.
Tujuan hermeneutika secara teologis untuk mengetahui atau memisahkan ajaran otentik
Yesus dengan manusia lainnya. Kemudian hermeneutika berkembang menjadi filosofis.
Setiap tulisan kesemuanya merupakan penafsiran. Hidup manusia merupakan
penafsiran, oleh karena itu hidup adalah penafsiran yang tidak pernah final. Penafsiran
merupakan permainan antara si pembuat teks dan penafsirnya.
Hal ini menjadi bermasalah ketika diterapkan dalam al-Qur’an. Karena manusia
biasa tidak lebih tahu dari Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassalam dan Allah
subhanallahu wa ta’ala. Bahasa memang merupakan alam fikiran, tetapi bahasa Arab
terminologinya ditafsirkan oleh Allah subhanallahu wa ta’ala. Al-Qur’an mempunyai
penafir al-Qur’an otoritatif, yaitu Allah subhanallahu wa ta’ala. Al-Qur’an diajarkan
oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassallam.
Hermeneutika masuk dalam Islam oleh para ilmuwan Muslim yang belajar dari
para orientalis. Ketika serangan terhadap al-Qur’an gagal, maka serangan kepada
tekspun dimulai. Contohnya Abu Zayd yang menyatakan al-Qur’an sebagai konteks
budaya pada penafsiran khomr dan jilbab. Hermeneutika hanya ditolak dalam
penafsiran kitab suci yang telah memiliki metode penefsiran tersendiri. Contoh lainnya
adalah Amina Wadud yang mengkritik patriakral dalam budaya Arab yang
mempengaruhi penafsiran al-Qur’an. Pada akhirnya dia membuat penafsiran al-Qur’an
yang dianggap memihak terhadap wanita. Menurutnya pula jenis kelamin merupakan
konstruksi budaya.
Dekonstruksi istilah inilah yang membuat semuanya menjadi berantakan. Ciri
dari masyarakat postmodern adalah dekonstruksi istilah ini yang mendunia. Ciri ini
disebutkan oleh Derrida. Padahal para ulama sangat cerdas dan membuat kamus setiap
seratus tahun sekali demi mengunci sebuah istilah. Ketika makna istilah berubah-ubah,
akan sangat menghancurkan. Oleh karena itu al-Attas mengkritik para ulama Islam yang
secara serampangan mengambil kata dari bahasa lain untuk diserap.
Hal yang paling ditakutkan Nabi Muhammad shallahu ‘alayhi wassallam ketika
mendekati akhir zaman adalah ketika tergelincirnya para ‘alim yang memelintirkan
makna kunci al-Qur’an.