MEMBANGUN AKUNTANSI MANAJEMEN SYARIAH: MENDESAKKAH?

MEMBANGUN AKUNTANSI MANAJEMEN SYARIAH:
MENDESAKKAH?
Sonhaji
STIE Malangkuçeçwara
Jalan Terusan Candi Kalasan Malang
Email: sonhaji60@gmail.com

Abstract: Developing Syaria Management Acoounting: Is it Urgent? Accounting Management was born from the root of Western capitalism characterized with
egoistic, materialistic and individualistic values that potentially cause dysfunctional behavior. Management Accounting is related more with behavioral aspect. This
article seeks to identify the basic behavioral assumptions using an Islamic perspective. Islam worldview can be used to develop Sharia Management Accountingby
using the rule: "maintain the good from the past, take the better from today, and if
you can not accept all, do not reject everything". Further improvements need to be
made, both in terms of ideas as well as research concepts. It is not only urgent but
there must also be willingness to develop syaria management accounting.
Abstrak: Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?. Akuntansi manajemen lahir dari “rahim” kapitalisme dalam pola pikir barat yang bercirikan muatan egoistik, materialistik dan individualistik yang potensial menimbulkan perilaku disfungsional. Akuntansi manajemen banyak berkaitan
dengan keperilakuan. Artikel ini berusaha mengidentifikasi asumsi-asumsi dasar
keperilakuan dengan menggunakan worldwiew Islam yang selanjutnya dapat
digunakan untuk membangun akuntansi manajemen syariah. Upaya ini dapat
dilakukan dengan menggunakan kaidah “memelihara yang lama yang baik, dan
mengambil yang baru yang lebih baik serta jika tidak bisa menerima semuanya
jangan tolak semuanya”. Perbaikan lebih lanjut perlu terus dilakukan baik dari

segi pemikiran konsep maupun penelitian. Hal ini bukan saja mendesak namun
juga harus ada kemauan untuk melakukan.
Kata Kunci: akuntansi manajemen, keperilakuan, sudut pandang Islam, syariah.

”Memelihara yang lama yang
baik, dan mengambil yang baru
yang lebih baik” (Nurcholis Madjid)

Jurnal Akuntansi Multiparadigma
JAMAL
Volume 4
Nomor 1
Halaman 1-164
Malang, April 2013
ISSN 2086-7603

worldview di lingkungan dimana
diciptakan dan dikembangkan.
Dari sudut pandang ini, akuntansi
manajemen saat ini yang menurut

istilah Mulawarman (2011: xvii)
lahir dari peradaban barat atau
sebagai by product barat dipengaruhi oleh worldview kapitalis yang
bersifat egoistik, dan materialistik dan individualistik (Triyuwono
2012: 8).
Kenyataan ini sejalan dengan
pandangan
positivisme
dalam keilmuan, yang secara
keilmuan akuntansi manajemen
dikembangkan di dalamnya. Tidak
bisa dipungkiri, bahwa positivisme telah memberikan “jasanya”
pada penyelesaian masalah manusia di dunia dan telah men-

Akuntansi manajemen, seperti “saudaranya”, akuntansi
keuangan, lahir dari “rahim” kapitalisme. Hal ini membawa konsekuensi logis, bahwa akuntansi
manajemen menyandang sifat-sifat kapitalisme di dalamnya yang
mewujud dalam teknik-teknik aplikasinya baik dalam bentuk dipengaruhi maupun memengaruhi
penggunanya. Akuntansi manajemen, sebagai bagian dari akuntansi, dapat dipandang sebagai
ilmu pengetahuan dan praktik

yang dalam pengembangan dan
pemanfaatannya dipengaruhi oleh
112

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...113

dasari perkembangan ilmu di era modern
ini. Suatu era yang membuat lompatan kemajuan duniawi yang sangat luar biasa.
Namun sa-yang karena “watak” dari filsafat
yang mendasarinya, positivisme membuat
manusia tidak terkendali. Peradaban modern, yang lahir dari pandangan positivisme
digambarkan oleh Kuntowojoyo (2006: 115117) telah menimbulkan manusia modern
yang penuh problematik dan menjadi tawanan dari ciptaannya sendiri. Pandangan ini
telah menimbulkan perilaku disfungsional.
Kalau akuntansi manajemen dikembangkan berdasar pada pandangan-pandangan
tersebut bisa dipastikan bahwa akuntansi
manajemen berada dalam pusaran: dilahirkan dan dikembangkan oleh kapitalismepositivistik yang pada gilirannya sebagai alat
yang menyuburkan pandangan tersebut.
Pandangan ini telah menimbulkan perilaku
disfungsional yang dampak negatifnya sudah dirasakan dan sepertinya tidak semakin

menyurut.
Akuntansi manajemen memerlukan
worldviewlain yang lebih humanis dan transenden agar dapat sebagai alat dan sarana
penyedia informasi yang berguna sekaligus
meningkatkan rasa transendetal pemakainya guna peningkatan kesejatian kemanusiaannya. Artikel ini berusaha menggali
dan mengidentifikasi konsep, yang disebut
asumsi-asumsi dasar keperilakuan, berdasar pada worldview Islam yang selanjutnya dapat digunakan untuk membangun
akuntansi manajemen syariah.
Worldview positivistik yang mendasari
pengembangan ilmu modern barat memang
telah berhasil melakukan pembebasan pada
manusia dari belenggu mistik, namun sayang justru masuk pada belenggu baru
berupa pemberhalaan ciptaannya sendiri.
Capra (2002: 3) menggambarkan akibat dari
ilmu pengetahuan modern, yang karena
dominannya, menimbulkan krisis multidimensional yang menyangkut berbagai segi
kehidupan dengan dimensi
intelektual,
moral dan spiritual. Hal ini telah mengimbas ke dalam akuntansi, termasuk akuntansi manajemen.
Akuntansi manajementelah memberikan kemanfaatan pada dunia bisnis dan

organisasi, yang meliputi mulai dari penyediaan informasi untuk mengetahui, sampai
pada pertanggungjawaban, perencanaan,
pengendalian dan pengambilan keputusan.
Namun karena terlahir dan dikembangkan
dari pandangan positivisme, yang dampak-

nya seperti yang disinggung di atas, ternyata
hal tersebut tidak membebaskan pemakai,
atau akuntansi itu sendiri, dari implikasi
yang tidak semestinya yang sebagiannya diakibatkan oleh orang yang membangun dan
menggunakan akuntansi untuk kepentingan pribadi dan egonya serta oleh nilai-nilai
yang mendasari pembangunan dan pengembangannya. Bahkan seolah-olah, akuntansi
diciptakan untuk memenuhi nafsu negatif
manusia.
Pertanyaan yang muncul, mengapa
akuntansi dapat dimanfaatkan seperti itu?
Bukankah akuntansi, sebagai ilmu pengetahuan dan praktik, bebas nilai? Kalau
akuntansi bebas nilai, bukankah semestinya
akuntansi tidak dapat memengaruhi manusia untuk berbuat yang tidak semestinya?
Ternyata, akuntansi tidak bebas nilai. Bahkan Triyuwono (2006)menyatakan dengan

tegas bahwa ”Tidak mungkin! Akuntansi
tidak mungkin bebas nilai, karena dalam
proses penciptaannya melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh
dengan kepentingan”. Pernyataan tersebut
menggambarkan implikasi dari sebuah pandangan. Akuntansi berada pada dua posisi, yang dipengaruhi ketika dibangun dan
memengaruhi saat digunakan. Tidak bebas
nilai, membuat akuntansi dapat mendorong
orang untuk melakukan tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai yang mendasari akuntansi. Dari perspektif ilmu, akuntansi memiliki sifat keilmuan seperti bidang-bidang
yang lain, yang pada dasarnya bahwa ilmu
tidak akan bebas nilai. Sebagai kreasi manusia, ilmu ternyata merupakan hasil dari
pandangan hidup suatu bangsa, agama dan
peradaban tertentu.
Tidak bebas nilai tersebut, karena sebagai kreasi manusia, ilmu ternyata merupakan hasil dari pandangan hidup (worldview) suatu bangsa, agama dan peradaban
tertentu. Dengan demikian ilmu sarat dengan muatan nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai tertentu masyarakat yang mengembangkan (Daud 2005; Islamia 2005; Kartanegara
2005: 86-87). Tentu saja, akuntansi juga
demikian, sebagai suatu ilmu dan praktik
yang dibangun dan dikembangkan di suatu
tempat dan peradaban tertentu, akuntansi
akan dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dimana akuntansi dikembangkan.
Sebetulnya akuntansi yang tidak bebas nilai ini tidaklah jadi persoalan, sebab

begitulah nature dari kehidupan. Yang menjadi masalah justru jika yang memengaruhi

114

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

akuntansi adalah nilai-nilai atau praktik
yang menimbulkan akibat yang tidak sehat.
Sebab dalam perjalanannya, akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, sebagai seperangkat pengetahuan dan praktik ternyata
telah menjadi alat pendukung perilaku disfungsional dari praktik bisnis. Diakui bahwa
kapitalisme telah membawa manusia ke kemajuan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Namun ini tidak menghilangkan
efek sampingnegatifnya yang meresahkan.
Pengaruh tersebut dapat diamati dari
fenomena kejahatan bisnis yang terjadi.
Akuntansi telah digunakan untuk membantu praktik yang tidak sehat yang membuat perusahaan bangkrut dan ekonomi
negara terguncang. Hal ini dapat merujuk
pada kasus Enron, yang mencakup enam
isu akuntansi dan auditing untuk melakukan penyimpangan yang melibatkan direksi, komisi audit, pengacara dan auditor
(Benston dan Hartgraves 2002) dan akuntan
telah jauh meninggalkan kemestian kemampuan dalam melakukan tugasnya (Reinstein

dan McMillan 2004). Dalam konteks Indonesia, kasus Bank Century adalah contoh
nyata penggunaan akuntansi untuk tujuan
yang tidak benar. Disamping itu terdapat
kasus-kasus lainnya yang melibatkan Kantor Akuntan Publik (KAP) terkenal di Indonesia dengan kasus yang beragam dan kasus yang juga terjadi pada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan/BPKP (Ludigdo 2007: 11-12).
Seperti yang sudah disinggung di atas,
bahwa akuntansi adalah hasil dari peradaban barat, berciri kapitalis yang banyak
diwarnai oleh pandangan hidup barat yang
nilai-nilai dominannya adalah egoistik, materialistik dan individualistik. Atas nilai-nilai
itulah akuntansi dibangun dan dikembangkan (Triyuwono 2012: 8). Siapa yang menciptakan nilai-nilai tersebut? Tentu saja,
manusia yang berada di lingkungan itu. Nilai-nilai dimaksud masuk pada sistem apa
pun bentukan manusia, termasuk terhadap
akuntansi. Pada gilirannya, pengguna akuntansi akan terkontaminasi dengan nilai-nilai
yang ada. Manusia yang pada awal menggunakan akuntansi tidak menggunakan nilainilai egoistik, materialistik dan individualistik, dapat terpengaruh walau secara tidak
disadari.
Implikasi dari pandangan hidup atau
nilai-nilai yang dianut oleh manusia yang
membangun akuntansi dapat dilihat dari
dominasi akuntansi konvensional yang ber-


laku saat ini yang menggunakan laba sebagai dasar akuntansi nilai tambah. Konsep ini ternyata berimplikasi pada perilaku
menjajah dan menghegemoni kepentingan
manusia oleh segelintir sangat sedikit manusia “kapitalis” (pemegang saham dan pemilik dana) melalui institusi yang disebut
Korporasi Multinasional. Dengan teknologi
dan bantuan akuntansi lalu lintas aliran
kas perusahaan melalui "dunia maya" yang
semakin tak terkendali. Terdapat hegemoni
politik dan pergeseran kekuatan ekonomi
yang membuat negara hanya sebagai "aktor figuran"(Mulawarman 2010). Dalam kaca
mata Herzt (2011: 12) justru kekuasaan
negara diambil alih oleh perusahaan-perusahaan. Kekuasaan pengusaha lebih kuat
daripada politisi. Dalam situasi seperti ini,
akuntansi telah digunakan segai sarana
akumulasi modal untuk kepentingan pribadi seperti; pemilik, pemegang saham, investor atau kreditor (Mulawarman 2010). Dari
keadaan tersebut dan “keprihatinan”nya,
Mulawarman menawarkan metode alternatif
dengan apa yang disebutnya akuntansi berbasis nilai tambah berdasar kearifan holistik. Berbeda dengan ide Mulawarman, penulis dalam artikel ini menawarkan ide konstruksi konsep dasar yang didasarkan pada
asumsi-asumsi yang digali dari worldview
Islam guna membangun akuntansi manajemen syariah.
Setelah pertama menyajikan latar

belakang ide, artikel ini dilanjutkan sesi
kedua yang menjelaskan asumsi-asumsi
keperilakuan yang mendasari akuntansi
manajemen konvensional. Hasil identifikasi
dan postulat Caplan (1978) tentang asumsi-asumsi dasar keperilakuan akuntansi
manajemen tradisional dan teori organisasi
modern dibahas di sesi ini. Ketiga, artikel
ini memaparkan postulat asumsi dasar keperilakuan berdasar worldview Islam, dan
sesi keempat adalah penutup.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asumsi-asumsi keperilakuan yang
Mendasari akuntansi manajemen Konvensional. Dalam menjalankan fungsinya,
manajemen memerlukan alat bantu yang
dapat menyediakan informasi untuk perencanaan dan pengendalian perusahaan.
Salah satu alat bantu ini adalah Sistem
akuntansi manajemen/SAM yang dirancang oleh akuntan. Dalam situasi lingkungan yang terus berubah dan sulit diprediksi,

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...115

akuntan, sebagai perancang SAM menggunakan pan-dangannya dalam memutuskan

bagaimana SAM dibangun dan informasi
apa saja yang sebaiknya disajikan kepada
manajemen (Caplan 1978). Dengan demikian, sebagai seperangkat pengetahuan yang
mendasari aplikasi SAM, akuntansi manajemen telah mendominasi perannya di aktivitas perencanaan, pengevaluasian dan pengambilan keputusan serta pengendalian.
Sebagai suatu sistem informasi, Akuntansi
Manajemen menghasilkan informasi untuk
pemakai. Akuntansi manajemen dapat dianggap sebagai alat. Laiknya sebuah alat,
tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan
di mana akuntansi manajemen dibangun
dan diterapkan. Salah satu aspek lingkungan dimaksud adalah berkaitan dengan
keperilakuan.
Anggapan dasar atau asumsi berkaitan dengan keperilakuan dimaksud mendasarkan pada asumsi-asumsi dari teori
orga-nisasi tentang keperilakuan yang selanjutnya menentukan konstruksi dan
operasional akuntansi manajemen. Seperti
dimaklumi bahwa pemfungsian akuntansi
manajemen erat dengan keperilakuan, sehingga luas lingkup dan corak SAM sebagai
wujud aplikasi akuntansi manajemen sangat dipengaruhi oleh pandangan akuntan
yang membangun sistem tersebut tentang
perilaku (Caplan 1978). Adapunpandangan tentang perilaku manusia yang dimiliki akuntan dipengaruhi oleh pandangan
mana dari teori organisasi yang dianut oleh
seorang akuntan tersebut.
Berkaitan dengan pandangan tentang
keperilakuan yang mendasari akuntansi
manajemen, dalam tulisan klasiknya, Caplan (1978) telah mengindentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan (Behavioral Assumptions) yang mendasari pengembangan
akuntansi manajemen yang berasal dari
asumsi-asumsi teori organisasi. Pertama,
dia telah mengidentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan dari konsep teknologi perekayasaan Industri, teori organisasi klasik,
dan teori Ekonomi tentang Perusahaan. Hasil identifikasinya disebut “asumsi-asumsi
keperilakuan model akuntansi manajemen
”tradisional” perusahaan” (behavioral assumptions of ”tradisional” management accounting model of the firm). Kedua, dia berusaha mempostulatkan asumsi-asumsi keperilakuan berdasar teori organisasi modern
dan menghubungkan dengan akuntansi
manajemen, yang disebut“ beberapa asum-

si-asumsi keperilakuan dari teori organisasi
modern (some assumptions from modern organizational theory). Usaha Caplan mengidentifikasi asumsi-asumsi keperilakuan
pada akuntansi manajemen dari Teori Organisasi Tradisional/TOT dan usaha membuat postulat dari Teori Organisasi Modern/
TOM memberi wawasan pada kita tentang
apa anggapan dasar atau asumsi yang melandasi pengembangan akuntansi manajemen. Hasil mengidentifikasi dan membuat
postulat asumsi-asumsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 - 4.
Disebut asumsi-asumsi keperilakuan
model akuntansi manajemen ”tradisional”
Perusahaan, karena baik secara filosofi maupun teknik, akuntansi Manajemen tradisional adalah produk dari teori klasik atau TOT.
Sedangkan dari perkembangan teori organisasi yang ada sangat mungkin mempostulatkan asumsi-asumsi alternatif yang diadopsi dari TOM. Caplan (1978) telah mempostulatkan dalam bentuk asumsi-asumsi
keperilakuan dari TOM. Pertanyaan-pertanyaan menariknya menurut Caplan (1978)
adalah bagaimana implikasi pandanganpandangan tersebut? Menurut pengamatannya, bahwa pandangan tradisional tentang
perilaku telah menimbulkan konsekuensi
yang tidak diinginkan bagi organisasi dan
partisipannya. Karenanya dia mengajukan
pandangan alternatif yang diambil dari TOM.
Setelah diidentifikasi asumsi-asumsi
keperilakuan dari TOM, timbul pertanyaan
mendasar di antaranya; apakah benarbenar ada perbedaan pokok tentang asumsi perilaku antara TOT dan TOM? Adakah
konsekuensi yang berbeda bagi perusahaan
dan partisipannya antara pandangan tentang perilaku yang berdasar pada TOT dan
TOM?. Pertanyaan tersebut menimbulkan
pertanyaan yang lebih khusus, yaitu apakah
SAM yang lebih berorientasi ke TOM akan
memberikan hasil yang lebih baik daripada
yang berorientasi ke TOT? Atau apakah TOM
memberikan perspektif yang memberikan
dampak baik pada praktik bisnis dan operasional akuntansi manajemen?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih
mengacu pada hasil dalam bentuk finansial
atau laba perusahaan. Secara makro dapat
dideteksi bahwa dari kejadian akhir-akhir
ini berkenaan dengan skandal perusahaan
besar yang merekayasa informasi untuk kecurangan, ternyata pandangan modern pun
belum menghasilkan hasil yang baik. Justru pandangan modern, yang sejalan den-

116

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

Tabel 1. Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi
Asumsi Keperilakuan Model akuntansi
manajemen “Tradisional” tentang
Perusahaan /teori Organisasi
Tradisional
a.

Tujuan utama aktivitas bisnis adalah
maksimalisasi laba (teori Ekonomi)

b.

Tujuan utama dapat dibagibagikan menjadi sub-subtujuan
yang didistribusikan pada seluruh
organisasi (Prinsip Manajemen)

c.

Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi
Modern

a.

Organisasi merupakan koalisi yang terdiri
atas partisipan organisasi. Organisasi
tidak mempunyai pikiran, sehingga tidak
mempunyai tujuan, hanya individu yang
mempunyai tujuan.

b.

Tujuan yang dipandang sebagai tujuan
organisasi sebenarnya adalah tujuan
anggota-anggota yang dominan dalam
koalisi terebut, tunduk pada kendalakendala yang dipaksakan oleh partisipan
lainnya dan oleh ligkungan eksternal
organisasi.

c.

Tujuan organisasi cenderung berubah
sebagai reaksi terhadap: perubahan
tujuan partisipan yang dominan,
perubahan hubungan di dalam koalisi ,
dan (3) perubahan lingkungan eksternal
organisasi.

d.

Pada perusahaan yang kompleks, tidak
ada tujuan tunggal universal organisasi
seperti maksimalisasi laba. Sampai kepada
hal bahwa setiap tujuan sesungguhnya
secara keseluruhan dapat terindentifikasi,
tujuan itu mungkin kelangsungan hidup
perusahaan.

e.

Menghadapi dunia yang sangat kompleks
dan tidak pasti, dan hanya diperlengkapi
dengan rasional terbatas, maka anggota
organisasi cenderung memusatkan pada
tujuan-tujuan ”lokal” (misalnya; individu
atau departemen). Tujuan lokal ini sering
bertentangan dengan lainnya. Lagi pula,
tampaknya tidak ada dasar yang sah
bagi asumsi bahwa mereka homogen dan
dengan demikian bersifat aditif – apa yang
baik untuk bagian-bagian tertentu tidak
otomatis baik bagi keseluruhan

Tujuan bersifat aditif, apa yang
baik untuk bagian-bagian bisnis
akan juga baik untuk semua bagian
(Prinsip Manajemen)

Sumber: Caplan 1978

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...117

Tabel 2. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan
Asumsi Keperilakuan Model akuntansi
manajemen “Tradisional” tentang
Perusahaan /teori Organisasi
Tradisional
a.

Partisipan organisasi termotivasi
terutama oleh kekuatan ekonomi (teori
Ekonomi)

b.

Pekerjaan pada hakikatnya
merupakan tugas yang tidak
menyenangkan yang dihindari
orang bilamana mungkin (Prinsip
Manajemen)

c.

Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi
Modern

a.

Perilaku manusia dalam organisasi
pada hakekatnya merupakan peroses
penyelesaian masalah, pengambilan
keputusan yang adaptif.

b.

Partisipan organisasi termotivasi oleh
aneka ragam kebutuhan dan dorogan
psikhologis, sosial dan ekonomi.
Kekuatan relatif dari kebutuhan yang
berlainan tersebut berbeda antara
indvidu-individu dan pada individu yang
sama untuk sekali waktu

c.

Keputusan individu untuk bergabung
dengan organisasi, dan keputusan
untuk tidak menyumbangkan usahanya
yang produktif sebagai anggota,
didasarkan pada partisipasi individu
terhadap taraf mana tindakan tersebut
akan memperbaiki pencapaian tujuan
pribadinya.

d.

Efisiensi dan keefektifan perilaku
manusia dan pengambilan
keputusan di dalam organisasi
dibatasi oleh; ketidaksang-gupannya
mengkonsentrasikan lebih dari
beberapa hal saja dalam sekali
waktu, kepekaan yang terbatas pada
lingkungannya, (3) keterbatasan
pengetahuan tentang tindakan alternatif
dan konsekuensi dari alternatif
tersebut, (4) keterbatasan kesanggupan
penalaran, dan (5) ketidaklengkapan
dan ketidakkonsistenan sistem-sistem
pilihan. Sebagai akibat keterbatasan
rasionalitas manusia, perilaku individu
dan organisasi biasanya diarahkan
pada usaha-usaha untuk menemukan
penyelesaian yang cukup memuaskan
daripada untuk menemukan
penyelesaian yang optimal.

Manusia biasanya tidak efisien dan
boros (Manajemen Ilmiah)

Sumber: Caplan 1978

118

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...119

Tabel 4. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Peranan akuntansi manajemen
Asumsi Keperilakuan Model akuntansi
manajemen “Tradisional” tentang
Perusahaan /teori Organisasi
Tradisional
a.

Fungsi utama akuntansi manajemen
adalah untuk membantu manajemen
dalam proses maksimaisasi laba
(Manajemen Ilmiah)

b.

Sistem akuntansi merupakan alat
”alokasi tujuan” yang memunginkan
manajemen menyeleksi tujuan
operasinya serta mendistribusikannya
di seluruh perusahaan, yaitu
menetapkan tanggung jawab suatu
prestasi. Ini umumnya disebut
“perencanaan” (Prinsip Manajemen)

c.

d.

e.

Asumsi Keperilakuan dari teori Organisasi
Modern

a.

Proses akuntansi manajemen adalah
sistem akuntansi yang maksud pokoknya
adalah: memberi berbagai tingkatan
manajemen data yang memudahkan
fungsi pengambilan keputusan untuk
perencanaan dan pengendalian, dan
berfungi sebagai media komunikasi di
dalam organisasi

b.

Sistem akuntansi merupakan alat
pengendalian yang memungkinkan
manajemen untuk mengidentifikasi
dan memperbaiki prestasi yang tidak
dikehendaki (Manajemen Ilmiah)

Pemakaian teknik pengendalian anggaran
dan teknik akuntansi lainnya yang efektif
memerlukan pemahaman interaksi
antara teknik-teknik tersebut dengan
tingkat motivasi dan tingkat aspirasi
individu yang akan dikendalikan

c.

Terdapat kepastian, rasionalitas,
dan pemahaman yang cukup akurat
tanggung jawab untuk suatu prestasi
dengan manfaat dan kos bagi prestasi
tersebut (Prinsip Manajemen)

Objektivitas proses akuntansi manajemen
sebagian merupakan mitos. Akuntansi
memiliki keleluasaan yang luas dalam
penseleksian, pemrosesan dan pelaporan
data.

d.

Dalam melaksanakan fungsinya di
dalam organisasi, para akuntan bisa
diharapkan terpengaruh oleh tujuan
pribadi dan departemennya sendiri
seperti para partisipan lainnya pun dapat
terpengaruh.

Sistem akuntansi bersifat “netral”
dalam evaluasinya prasangka pribadi
diabaikan oleh objektivitas sistem
(Prinsip Manajemen)

120

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

gan pandangan kapitalis, menjadikan “jalan
mulus” bagi akuntansi, termasuk akuntansi
manajemen, bagi fenomena kejahatan ekonomi yang terjadi melalui perekayasaan di
sistem akuntansi. Gambaran mengkhawatirkan kapitalisme telah menjadi sorotan beberapa ahli, yang akuntansi manajemen dijadikan sebagai salah satu alat yang dikembangkan dan digunakan untuk mendukung
kapitalisme.
Hertz (2011: 11-12) telah merasakan
adanya keprihatinan masyarakat dunia terhadap keadaan dunia saat ini. Hal ini semata dikarenakan oleh apa yang disebutnya sebagai pendulum kapitalisme mengayun terlalu jauh. Dengan satu cirinya yang
dominan yaitu kecintaan dan keyakinannya
terhadap pasar bebas telah mengacaukan
kebenaran sejati. Tentu saja ini bukan hanya tidak sempurna namun juga tidak adil.
Bagaimana tidak, negara yang semestinya
memelihara kepentingan rakyatnya sudah
tidak dapat dipercaya, hanya karena kalah dengan perushaan-perusahaan besar,
yang sudah mengambil alih fungsi negara.
Percaturan bisnis telah mengalahkan suara rakyat yang pada gilirannya rakyatlah
yang harus menaggung beban lebih tinggi
dari pertumbuhan terus menerus yang telah
menjadi tujuan kapitalisme.
Hertz (2011: 13-14) memberikan ilustrasi yang baik tentang bagaimana kapitalisme bekerja. Dia menyayangkan sikap
Perdana Menteri Inggris, Thatcher dan Presiden Amerika, Reagan yang pandangan
kapitalismenya telah memberi kekuasaan
yang besar pada perusahaan-perusahaan.
Dia memberi metafora untuk kapitalisme sebagai “gelembung Benetton”. Benetton telah
memasang reklame berupa seorang bayi hitam kelaparan, kurban AID menjelang ajal
dan seragam berdarah tentara Bosnia yang
tewas. Benetton mengejutkan orang yang
melihat reklame tersebut, tetapi hanya berupa kejutan bukan untuk bertindak. Tetap
saja Benetton hanya bertujuan untuk mendongkrak keuntungan melalui keseng-saraan orang lain. Jadi foto yang dipampang di
reklamenya hanya “omong kosong” belaka.
Ini persis yang dilakukan partai besar; Demokrat yang menggembor-gemborkan sisi
baik liberarisme dan Partai Republik dengan konservatismenya, hanya untuk meraih
suara. Hanya menawarkan pilihan yang
supaya diangap berbeda yang tidak ada
dalam realita. Menurut Hertz, politisi hanya
menawarkan satu solusi berupa sistem eko-

nomi Laissez faire, budaya konsumerisme,
kekuatan finansial dan perdagangan bebas.
Kalau tujuan utamanya adalah keuntungan
sebagaimana disebut Caplan (1978) sebagai
aplikasi asumsi dasar ekonomi tradisional
yang diadopsi oleh organisasi tradisional,
yang selanjutnya digunakan oleh akuntansi
manajemen.
Pertumbuhan telah menjadi “agama” kapitalisme, yang diwujudkan dalam
produksi yang terus tumbuh. Untuk ini
masyarakat telah menciptakan dan masih
hidup dalam “Sistem-Uang-harus-Tumbuh”.
Dalam masyarakat kapitalis, manusia terus
mengejar hal yang superlatif dan tidak puas
hanya dengan jumlah. Hal ini juga telah
menciptakan keragaman “dunia buatan”,
yang sudah melampaui dunia bilogis. Padahal pertumbuhan ekonomi abadi adalah sesuatu yang mustahil di bumi yang terbatas.
Masyarakat kapitalis juga pandai menyimpangkan pengertian, salah satunya pembangunan yang berkelanjutan telah diartikan
sebagai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Akibatnya kerusakan alam dari ekploitasi
untuk tujuan ekonomi tidak lagi liner namun eksponensial.
Dampak yang secara tidak sadar menyangkut moral-etis adalah dalam usaha
mempertahankan
“Sistem-Uang-harusTumbuh”, akan ada “penunggang bebas”
dalam berhubungan dengan lingkungan
yang menginternalisasi keuntungan dengan membiarkan beban eksternalisasi yang
merugikan pihak lain (Hoogendijk 1996).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kapitalisme telah menimbulkan perilaku
disfungsional secara menyeluruh. Hoogendijk (1996) menyarankan untuk memotong
sektor “uang-harus-tumbuh” dan memupuk
“ekonomi hijau” dan perubahan mindset. Sejalan dengan pandangan Hertz bahwa negara dikalahkan oleh perusahaan-perusahaan,
Hoogendijk menyatakan bahwa negara besar modern ibarat raksasa yang terhuyunghuyung yang dipaksa berlari terus agar tak
terjatuh.
Fenomena perilaku disfungsional dan
kejahatan ekonomi yang berlingkup akuntansi telah dipaparkan oleh Benston and
Hartgraves (2002) dan Reinstein and McMillan (2004). Sedangkan yang berlingkup pengauditan diungkap oleh Ludigdo (2007: 1112). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik TOT maupun TOM gagal membawa
perusahaan dan partisipannya ke perilaku
bisnis yang lebih baik, etis dan humanis.

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...121

Sebetulnya, hal tersebut secara tidak langsung telah menjawab pertanyaan Caplan
seperti yang diajukan di atas.
Fenomena seperti tersebut di atas
dapat dimengerti sebab manusia akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya dan dianutnya. Sebagai contoh, ada
prinsip ekonomi dan bisnis berlaku dalam
waktu yang lama sekali, yaitu ”memeroleh
pendapatan sebanyak-banyaknya dengan
biaya serendah-rendahnya” atau maksimalisasi laba (Caplan 1978). Selisih pendapatan dan biaya tersebut adalah laba, sebagai
pusat perhatian pelaku ekonomi dan bisnis.
Berkaitan dengan konsep laba ini, Mulawarman (2010) mensinyalir adanya ketidakkonsistenan dalam keseimbangan harmonisasi dalam akuntansi yang nampak dalam
struktur laporan laba rugi. Prinsip ini sangat
besar pengaruhnya pada praktik bisnis. Sehingga prestasi manajer perusahaan dinilai
berdasarkan prinsip tersebut, yang wujudnya berbentuk laba yang selalu meningkat,
aktiva yang terus berkembang dan biaya
yang paling efisien. Hoogendijk (1996: xxix)
meyebut “pertumbuhan berkelanjutan”. Ini
yang oleh Triyuwono (2006) disebut untuk
kepentingan ego.
Hal tersebut menggambarkan pemenuhan keinginan yang mengabaikan akibat
tidak menguntungkan bagi orang lain atau
lingkungan, yang oleh Hoogendijk (1996: xv)
disebut “penunggang bebas” dalam urusan
lingkungan, yaitu dengan menginternalisasi
keuntungan, namun membiarkan beban sebagai eksternalitas yang merugikan kerugian di pihak lain. Sayangnya lagi, hal ini
telah membentuk sifat dan perilaku manajer dalam menjalankan tugasnya. Tentu saja
hal tersebut bisa terjadi, karena manajer
”ditekan” oleh pemegang saham, dan pada
saat yang bersamaan dia berada dalam
situasi yang sarat dengan hubungan dan
persaingan bisnis yang banyak diliputi oleh
perilaku egoistik, materialistik dan individualistik, sehingga wajar jika manajer bereaksi
yang sama dengan nilai-nilai yang berlaku di
lingkungannya.
Jika TOT dan TOM yang “merasuk”
ke akuntansi manajemen telah menimbulkan perilaku disfungsional dan gagal membuat perilaku bisnis yang lebih humanis
dan moral-etis, lalu pertanyaan menariknya
adalah apa yang dapat dilakukan oleh akademisi dan praktisi untuk memperbaiki keadaan ini? Menurut penulis setidaknya ada
tiga alternatif. Pertama, tetap menjalankan

yang lama, akuntansi manajemen konvensional yang berdasar TOM atau TOT, dengan
“menambal” apa yang kurang yang menyebabkan perilaku menyimpang. Langkah ini
mengandung resiko, akan selalu ada pola
berulang antara “kejadian” dan “reaksi” yang
berupa “tambal sulam”. Cara ini sifatnya tidak tuntas dan tidak menyeluruh. Kedua,
mengganti model dan teknik yang konvensional dengan yang lainnya secara total. Ini
juga ada resiko, bahwa karena yang “baru”
belum stabil maka bersifat spekulasi. Ketiga,
dekonstruksi asumsi keperilakuan TOT dan
TOM di akuntansi manajemen konvensional
dengan yang berdasar pada worldview Islam.
Ini perlu dilakukan karena fenomena kejahatan ekonomi dan bisnis banyak dipengaruhi oleh konsep dan prinsip yang tidak lagi
memadahi bagi pembangunan kehidupan
kemanusiaan yang lebih baik dan humanis,
apalagi yang lebih spiritual. Dengan demikian adalah rasional jika tindakan perbaikan
adalah dengan menggali nilai-nilai yang lebih baik dan lebih spiritual sebagai landasan
praktik bisnis dan akuntansi. Nilai-nilai dimaksud, worldview Islam dapat digali dari
nilai-nilai Islami.
Asumsi Dasar Keperilakuan berdasar
Worldview Islam. Akuntansi baik dilihat
dari sudut pengetahuan maupun praktik, tidak lepas dari pandangan yang mendasari.
Seperti telah diiuraikan di atas, bahwa
akuntansi yang selama ini didasarkan dan
dikembangkan dengan basis positivisme
atau keilmuan barat. Pada saat yang sama,
keilmuan barat mengalami kebuntuhan
dalam menjawab pertanyaan mendasar manusia dan terdapat penyimpangan dari pandangan moral-etis. Dalam pengantar tentang
tentang topik epistemologi dalam pemikiran
Islam, majalah Islamia (Islamia 2005) memberikan gambaran tentang ide worldview
(pandangan hidup) yang dianut ilmu. Ada
keyakinan bahwa ilmu adalah by product
dari pandangan hidup suatu bangsa atau
peradaban.
Worldview diartikan sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup atau prinsip
hidup. Dalam Islam worldview dimaksudkan sebagai visi Islam atau prinsip Islam.
Seperti yang dikutip oleh Zarkasyi (2005),
Al-Attas memandang worldview Islam sebagai “pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran yang nampak oleh mata hati kita
dan yang menjelaskan hakekat wujud, oleh
karena yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti

122

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

pandangan Islam tentang wujud”. Worldview
memiliki struktur yang terdiri atas (1) struktur tentang kehidupan, (2) tentang dunia,
(3) tentang manusia, (4) tentang nilai dan
(5) tentang struktur pengetahuan. (Zarkasyi
2005). Berdasarkan struktur tersebut dan
ranah yang ditawarkan oleh Caplan, artikel
ini berusaha mempostulatkan asumsi dasar
keperilakuan berdasarkan worldview Islam
guna membangun akuntansi manajemen
syariah.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kedua teori, TOT dan TOM, walau
telah mewarnai organisasi sangat lama,
telah gagal membawa kehidupan manusia,
lebih-lebih dalam bisnis, ke yang lebih harmonis, humanis dan spiritualis. Padahal
kedua teori tersebut telah lama mendasari
dan melingkupi akuntansi manajemen. Dari
pandangan Triyuwono (2006) dan Caplan
(1978), dapat dikatakan bahwa akuntansi,
baik Akuntansi Keuangan maupun akuntansi manajemen, sebagiannya didasari nilai-nilai atau asumsi keperilakuan seperti,
egoistik, materialistik dan individualistik,
yang merupakan ekspresi dari asumsi keperilakuan TOT dan TOM. Dengan demikian,
akuntansi manajemen memiliki andil dalam
penggunaan asumsi keperilakuan yang tidak
memihak pada keharmonisan, kehumanisan

dan kespiritualitasan. Dapat juga dikatakan
bahwa akuntansi manajemen ikut menyuburkan jalannya kedua teori tersebut yang
mengakibatkan ketidakharmonisan, baik
antara kehidupan individu dengan masyarakat, masyarakat dengan negara, dan negara
dengan negara lain di dunia, maupun antara kehidupan materi, mental dan spiritual
manusia. Ketidakharmonisan ini diperparah
oleh anggapan bahwa nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang ”dipegang” selama ini dianggap benar, walau menimbulkan kehidupan
yang tidak harmonis.
Pendasaran prinsip-prinisp atau asumsi TOT dan TOM tersebut telah lama mendominasi akuntansi manajemen, bahkan sampai sekarang. Dari implikasi di atas, penulis
memandang bahwa diperlukan nilai-nilai
lain untuk mengatasi masalah ini, dalam
bentuk mata ketiga atau sé laén (sing liyan,
the others) yang melakukan dekonstruksi di
pusat kecerdassan intelektual (Triyuwono
2010). The others dimaksud adalah pijakan
yang lebih hakiki. Kalau pijakan dimaksud
adalah asumsi-asumsi keperilakuan, maka
akuntansi manajemen memerlukan asumsi-asumsi keperilakuan yang lebih hakiki.
Pada giliran beriutnya dimungkinkan pula
untuk mempostulatkan asumsi-asumsi keperilakuan alternatif yang diambil dari per-

Gambar 1
Membangun akuntansi manajemen syariah
Melalui Asumsi Dasar Keperilakuan yang Sesuai dengan Worldview Islam

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...123

spektif lain, dalam artikel ini adalah worldview Islam atau perspektif syariah guna
membangun akuntansi manajemen syariah.
Jika digambarkan akan nampak sebagai
berikut.
Pemikiran pembangunan kerangka
konseptual akuntansi manajemen syariah
yang penulis tawarkan meminjam istilah dan
pemikiran Madjid (1992: 542) berupa “Akulturasi Timbal Balik” dalam menjelaskan Islam dan budaya lokal. Tulisan ini tentang
akuntansi manajemen yaitu sebuah sistem
berasal dari budaya barat. Sistem ini masuk
ke Indonesia yang sebelumnya belum mengenal sama sekali. Ini analogi dengan masuknya Islam ke Indonesia. Agama yang masuk ke suatu daerah atau negara tentu akan
ada perbedaan tata cara antara yang ada di
agama yang baru masuk dengan tata cara
yang sudah lama ada di daerah setempat.
Memang akan terjadi beberapa bentuk tanggapan atas masuknya tatacara baru, mulai
dari menolak sampai dengan mengunakan
secara total, dengan variasi penyesuaian
baik tatacara baru ke yang lama maupun sebaliknya. Karenanya ada pandangan bahwa
”suatu agama, termasuk Islam, dalam interaksinya dengan budaya lain, tentu akan
mengalami akulturasi timbal balik” (Madjid
1992: 550).
Akulturasi timbal balik ini telah memunculkan kaidah, etos atau ungkapan yang
terkenal di kalangan ulama, seperti”Adat
adalah syari’at yang dihukumkan”. ”Yang
baik menurut adat-kebiasaan adalah sama
nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi,
dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang
mantap benar dalam nash” dan ”Memelihara
yang lama yang baik, dan mengambil yang
baru yang lebih baik” (Madjid 1992: 554).
Pemikiran ini sejalan dengan kaidah fiqih Islam yang berbunyi: ”Jika tidak bisa menerima semuanya jangan tolak semuanya”. Jadi
menurut penulis, pembangunan akuntansi
manajemen syariah dapat dimulai dari mengidentifikasi dan mempostulatkan asumsi-asumsi dasar berbasis worldview Islam
dengan tidak menafikan seluruh apa yang
ada di akuntansi manajemen konvensional.
Dengan kaidah-kaidah tersebut, akuntansi
manajemenakan semakin kaya dengan konsep yang lama yang baik dengan yang baru
yang lebih baik.
Melalui ranah empat aspek seperti yang diajukan Caplan (1978),
yaitu;
Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan

Organisasi, Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan, Asumsi-Asumsi
Berkaitan dengan Perilaku Manajemen, dan
Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Peran
akuntansi manajemen, penulis berusaha
mempostulatkan asumsi-asumsi sesuai
dengan worldview Islam. Penulis berusaha
mengidentifikasi asumsi yang berbeda dengan yang dahulu dan sekarang berjalan (TOT
dan TOM). Caplan telah berhasil mengidentifikasi asumsi keperilakuan seperti di Tabel
1-4. Dari ranah tersebut penulis mempostulatkan seperti yang nampak di Tabel 5-8.
Hasil di tabel-tabel tersebut masih belum
mendalam karena digali dari referensi yang
terbatas.
Bisa jadi ada yang belum tepat benar,
oleh karena itu penggalian yang bersumber
pada Al Quran Karim, hadist dan khabar
yang benar atau baik dari ulama, yang terkait dengan ekonomi dan penafsiran-penafsirannya, khususnya yang berkaitan dengan
fiqih ekonomi, perlu terus dilakukan dengan
serius. Upaya ini juga harus diteruskan dengan penelitian untuk menggali nilai-nilai Islami dalam aplikasinya. Penelitian dapat dilakukan dengan menggali dari pendapat tokoh-tokoh Islam dan di perusahaan syariah
untuk menggali nilai dan melihat daya terap
konsep di lingkungan praktik. Jika identifikasi ini berhasil dilakukan, maka akandapat
dibangun konsep dasar akuntansi manajemen syariah yang akan memicu penulisan
inovatif dan penelitian di bidang akuntansi
manajemen syariah yang selama ini belum
banyak tersentuh. Bukan itu saja, praktik
akuntansi manajemen syariah yang lebih
hunamis dan transenden bukan lagi mimpi
di siang bolong. Pertanyaan menariknya,
mendesakkah pengembangan akuntansi
manajemen syariah? Mengamati dampak
Akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, konvensional yang disfungsiaonal dan
yang “gelagatnya” belum akan surut, penulis berpendapat hal ini bukan saja sangat
mendesak untuk dilakukan, namun juga
harus mau melakukan.
SIMPULAN
Seperti yang sudah dikaji dalam uraian
terdahulu bahwa akuntansi, termasuk akuntansi manajemen, tidak bebas nilai dan telah
memberi implikasi yang disfungsional pada
pengguna atau pemakai akuntansi manajemen. Dengan berdasar pada keperilakuan
TOT, akuntansi manajemen tidak mampu
memberi solusi pada penggunanya dalam

124

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

Tabel 5. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi
a. Organisasi adalah sarana untuk mencapai tujuan orang-orang di dalamnya. Manusia
adalah ciptaan Allah yang harus tunduk sepenuhnya pada-Nya, sehingga tujuannya
harus sesuai dengan petunjuk-Nya.
b. Di antara banyak petunjuk-Nya, yang menjadi tujuan utama manusia dalam Islam
adalah bertemu Allah (liqo’) melalui amal saleh dan tidak menyekutukan Allah dengan
apa pun jua (QS: Al Kahfi[18]: 110). Ini disebut tujuan hakiki manusia.
c. Kaidah baku dalam Islam, suatu tujuan yang baik harus dijalankan dengan cara dan
sarana yang baik juga. Sebagai sarana mencapai tujuan yang mulia, organisasi harus
memiliki tujuan yang merupakan akspresi dari tujuan yang mulia tersebut.
d. Karena sesuai dengan petunjuk Allah SWT, tujuan utama perusahaan, sebagai
ekspresi tujuan partisipan di dalamnya, sebaikya tidak berubah, karena tujuan ini
melampaui dari sekedar maksimalisasi laba dan kelangsungan hidup perusahaan.
Tujuan ini melampaui kehidupan di dunia itu sendiri.
e. Menghadapi dunia yang sangat kompleks dan tidak pasti serta kuatnya godaan untuk
manyimpang, maka anggota organisasi harus tetap mengacu pada tujuan utama dan
pencapaiannya yang sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
f. Tujuan pribadi masing-masing individu atau tujuan “lokal” dalam organisasi harus
diselaraskan dengan tujuan utama mulia organisasi. Harus ada keyakinan bahwa
setiap upaya baik akan memeroleh imbalan yang setimpal bahkan lebih besar dari
sekedar imbalan materi. Partisipan organisasi tidak boleh terjebak oleh tujuan sesaat
dan lebih rendah dari tujuan utama hidup yang hakiki.
Tabel 6. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan
a.

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

Perilaku manusia untuk mencapai apa yang diinginkan, termasuk pengambilan
keputusan, harus disemangati dan ditujukan untuk memeroleh ridho Allah SWT. Ini
harus menjadi motivasi utama seorang muslim.
Manusia dalam organisasi akan dihadapkan pada masalah dan pengambilan
keputusan. Dalam pengambilan keputusan harus selalu berpihak pada yang benar.
Dalam proses mengambil keputusan harus didahului memohon petunjuk Tuhan,
dimusyahwarakan. Jika sudah diambil keputusan harus tawakal kepada Tuhan dan
dilaksanakan sebaik-baiknya.
Pada hakekatnya manusia muslim termotivasi oleh tujuan tunggal (ridho Allah), dan
ini harus tetap sepanjang waktu. Sedangkan tujuan lainnya, psikhologis, sosial, dan
ekonomi dicapai dalam rangka mencapai tujuan tunggal utama tersebut. Adanya
godaan dan lemahnya penghayatan terhadap ajarannya serta sifat hati yang ”naik
turun”, membuat manusia mudah tergoda untuk menyimpang dari tujuan mulianya.
Pekerjaan adalah aktivitas mulia yang bernilai ibadah. Jika dilaksanakan dengan
niat ibadah akan menerima kemuliaan, sedangkan jika tidak ditunaikan dengan
amanah akan memeroleh murka Allah SWT. Oleh karena itu sengaja tidak melakukan
pekerjaan atau menghindar dari pekerjaan termasuk perbuatan dosa.
Keputusan individu untuk bergabung dengan organisasi didasarkan pada
menjalankan amanah untuk berkarya dan individu harus memberikan yang terbaik,
karena bukan saja akan memeroleh imbalan dari organisasi namun juga akan
memeroleh balasan dari Allah dengan yang lebih baik.
Keputusan individu untuk menyumbangkan dan tidak usahanya yang produktif
harus didasarkan pada apakah organisasi dijalankan sesuai dengan tujuan utama
yang mulia atau tidak.
Dalam Islam ada prinsip, boros adalah teman setan. Pada prinsipnya seorang muslim
harus efisien. Dalam kaitannya dengan membelanjakan rejeki, seorang muslim harus
menganut prinsip seimbang, yaitu antara pelit dan boros.
Pada prinsipnya kinerja manusia muslim tidak dinilai dari yang diperoleh, namun
dari apa yang dipersembahkan atau diberikan pada kehidupan (prinsip memberi).
Karena itu keterbatasan konsentrasi, kepekaan, pengetahuan, penalaran, dan
ketidaklengkapan sistem-sistem pilihan, tidak boleh menghalangi pengarahan
perilaku individu dan organisasi pada pemberian yang terbaik yang dapat
disumbangkan.

Sonhaji, Membangun Akuntansi Manajemen Syariah: Mendesakkah?...125

Tabel 7. Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Manajemen
a.

Peran utama manajer adalah perwujudan dari peran utama sebagai manusia, yang
tugas utamanya adalah menjadikan organisasi sarana untuk mencapai tujuan hakiki
dan mengajak partisipan organisasi memberikan kontribusinya yang terbaik

b.

Untuk menjalankan tugas utama tersebut manajer harus memelihara keseimbangan
antara hak dan kewajiban partisipan yang didasarkan pada pencapaian tujuan
hakiki.

c.

Manajer mengajak partisipan lainnya untuk bersifat adil, yaitu menyumbangkan
tenaganya sesuai dengan kewajibannya, bahkan bersifat ihsan yaitu memberikan
lebih banyak dari kewajibannya.

d.

Peranan manajemen pada hakekatnya merupakan proses pengambilan keputusan
yang tunduk pada nilai-nilai keilahian, yang tidak tergoda untuk kepentingan sesaat
(laba).

e.

Esensi pengendalian manajemen adalah menyatu di diri individu sebagai perwujudan
pelaksanaan kewajiban yang tidak hanya kepada manusia, namun yang lebih penting
kepada Tuhan YME. Arah pengendalian manajemen adalah pada pencapaian tujuan
hakiki.

menghadapi perkembangan lingkungan yang
berkembang sangat pesat. Karenanya akuntansi manajemen bergeser mencari dasar
asumsi keperilakuan yang sesuai, yaitu berdasarkan TOM. Namun kenyataannya, TOM
juga gagal memberikan perspektif yang lebih
baik. Berdasar teknikal penghitungan dan
pencapaian tujuan perusahaan untuk memeroleh laba dan mengendalikan aktivitas
organisasi, memang akuntansi manajemen
kontemporer berhasil, namun dari segi keharmonisan, kehumanisan dan kesepiritualan, akuntansi manajemen telah menimbulkan atau menyokong adanya perilaku yang
tidak semestinya atau disfungsional.
Dengan mengadopsi empat ranah versi
Caplan (1978)yaitu Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan Tujuan Organisasi, Asumsi-

Asumsi Berkaitan dengan Perilaku Partisipan, Asumsi-Asumsi Berkaitan dengan
Perilaku Manajemen, dan Asumsi-Asumsi
Berkaitan dengan Peran akuntansi manajemen penulis berusaha mempostulatkan
asumsi keperilakuan berdasar worldview
Islam yang pengelompokkannya sesuai dengan ranah tersebut. Diharapkan upaya ini
akan memicu penggalian mendalam berikutnya dan mendorong penelitian yang akan
digunakan untuk membangun akuntansi
manajemen syariah.
Dalam perspektif Islam, menarik untuk disimak pandangan Kuntowijoyo. Tanpa
menonjolkan sifat sintementil karena kepercayaan terhadap Islam, ia berusaha memberikan alternatif paradigmatik untuk memberikan wawasan terhadap ilmuan karena

126

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 112-126

kerisauannya terhadap arah ilmplikasi ilmu
modern. Pesannya disampaikan dalam pernyataan sebagai berikut:
“Dalam sebuah dunia di mana
kekuatan dan pengaruh ilmu
pengetahuan menjadi destruktif, mengancam kehidupan umat
manusia dan peradabannya, Islam jelas harus tampil untuk
menawarkan alternatif paradigmatiknya di bidang ilmu” (Kuntowijoyo 1996: 336).
Urgensi identifikasi asumsi-asumsi
keperilakuan berdasar worldview Islam
guna mengkonstruksi Kerangka Konseptual
akuntansi manajemen syariah, sebagai fondasi pembangunan akuntansi manajemenSyariah, sekali lagi penulis tegaskan, tidak
hanya sangat mendesak untuk dilakukan,
tetapi juga harus mau melakukan.
DAFTAR RUJUKAN:
Al-Qur’an, S. 2010. Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference. Sygma Publishing.
Bandung.
Benston, G. J., dan Hartgraves, A. L. 2002.
“Enron: what happened and what we
can learn from it”. Journal of Accounting
and Public Policy Vol. 21, hal 105-127.
Caplan, E. H. 1978. “Behavioral Assumptions of Management Accounting”. In
W. E. Thomas (Ed.), Readings in Cost
Accounting, Budgeting and Control (5
ed.: 95-115). South-Western Publishing
Co. Cincinnati.
Capra, F. 2002. Titik Balik Peradaban: Sains,
Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan (M. Thoyibi, Trans. 5 ed.). Bentang
Budaya. Yogyakarta.
Daud, W. M. N. W. 2005. “Epistemologi Islam
dan Tantangan Pemikiran Umat”. Islamia, Vol. 5 No. 5, hal 51-74.
Hertz, N. 2011. Penjajahan Kapitalisme: Runtuhnya Negara & Virus Jahat Konsumerisme (D. Solahudin, Trans.). Nuansa.
Bandung.
Hoogendijk, W. 1996. Revolusi Ekonomi:
Menuju Masa Depan Berkelanjutan dengan Membebaskan Perekonomian dari
Pengejaran Uang Semata (S. Padmo,
Trans.). Yayasan Obor Indonesia. Ja-

karta.
Islamia. 2005. “Pengantar: Epistemologi
dalam Pemikiran Islam”. Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam
Thn II No. 5, hal 1-119.
Kartanegara, M. 2005. Menembus Batas
Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan.
Bandung.
Kuntowijoyo. 1996. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (7 ed.). Mizan. Bandung.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dam Etika. Tiara
Wacana. Yogyakarta.
Ludigdo, U. 2007. Paradoks Etika Akuntan.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Madjid, N. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemoderenan. Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta.
Mulawarman, A. D. 2010. On Holistic Wisdom Coredatum Accounting: Shifting
from Accounting Income to Value Added Accounting Proceeding at the Third
International Accounting Conference.
Accounting Department FE-UI. Jakarta.
Mulawarman, A. D. 2011. Akuntansi Syariah: teori, Konsep dan Laporan Keuangan. Bani Hasyim Press. Malang.
Reinstein, A., dan McMillan, J. J. 2004. “The
Enron debacle: more than a perfect
storm”. Critical Perspectives on Accounting Vol. 15, hal 955–970.
Triyuwono, I. 2006. Akuntansi Syari’ah:
Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan
Manunggaling Kawulo-Gusti. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Akuntansi
Syari’ah di Gedung PPI Universitas
Brawijaya. Malang.
Triyuwono, I. 2010. “Mata Ketiga”: Sé Laén,
Sang Pembebas Sistem Pendidikan
Tinggi Akuntansi. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, Vol. 1 No. 1, hal 1-23.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan teori (2 ed.). Jakarta. Rajagrafindo Persada.
Zarkasyi, H. F. 2005. “Worldview Sebagai
Asas Epistemologi Islam”. Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam,
hal 9-20.