Konflik Agraria Antara Masyarakat Adat S

ANALISA KASUS
“Konflik Agraria Antara Masyarakat Adat Suku Anak Dalam
Jambi Dengan PT. Asiatic Persada (Wilmar Group)”
Kelas C 1

Nama Kelompok:
1. Ihwanun Mudhofir Hariri (031311133156 ,e-mail: ihw.hariri@gmail.com)
2. Rizki Ariyo Guntoro (031311133195, e-mail: rizkiariyoguntoro@gmail.com)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2014

Konflik Agraria Antara Masyarakat Adat Suku Anak Dalam Jambi Dengan PT. Asiatic
Persada (Wilmar Group)
Jakarta, GATRAnews - Konflik agraria terus memanas hingga seorang Suku Anak Dalam
(SDA) bernama Puji bin Tayat meregang nyawa dengan tangan terborgol dan kaki diikat.
Pelakunya diduga kuat dilakukan oknum militer dan petugas keamanan PT Asiatic Persada di
Jambi.
"Kembalikan lahan yang selama ini diklaim PT Asiatic Persada kepada Suku Anak Dalam,"
tegas Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, di Jakarta,

Senin (10/3).
Iwan mengungkapkan, perampasan tanah, konflik agraria, dan kekerasan terhadap Suku Anak
Dalam (SAD) di Jambi terus berlangsung sejak 7 Desember 2013 hingga Maret 2014 kini dan
sekitar 700 rumah gubuk milik SAD telah dihancurkan oleh aparat keamanan dan perusahaan
sawit PT Asiatik Persada.
Akibatnya, sekitar 3.000 jiwa lebih warga SAD sejak saat itu terusir dari tanah leluhurnya
dan tidak dapat pulang kembali ke rumahnya karena berkonflik dengan PT Asiatik Persada
yang merupakan perusahaan sawit asing milik Malaysia yang menklaim sekitar 27.150 hektar
lahan.
Menurut Iwan, pada 8 Januari 2014, ribuan pengungsi SAD pernah diusir dari kantor
Pemprov Jambi melalui pernyataan, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jambi,
Syahrasadin. Syahrasadin mengultimatum warga SDA 3 x 24 jam segera membubarkan diri
dan

menghentikan

aksi

unjuk


rasa

serta

segera

meninggalkan

Kota

Jambi.

“Selebihnya, kami akan melakukan evakuasi. Ini sudah berlarut-larut. Sudah meresahkan
masyarakat Provinsi Jambi dan aparat penegak hukum secara keseluruhan. Kami meminta
Pemkab Batanghari untuk menjemput warganya ke sini. Apabila tidak ditaati, kami serahkan
kepada aparat TNI Polri untuk mengambil tindakan,” tutur Iwan menirukan pernyataan
pejabat Jambi.
Pada 22 Februari, ribuan SAD yang kembali ke lahan adatnya di desa Bungku, Kecamatan
Bajubang, Batanghari justru dihalangi oleh ratusan pasukan gabungan TNI dan Polri di jalan


masuk menuju lokasi tanah adat. SAD kemudian mendirikan tenda di pinggir jalan dusun
Sosial I, II, dan Bungku.
Berlarut-larutnya penyelesaian konflik agraria itu merenggut satu orang petani SAD pada
Rabu, (5/3), akibat dianiaya aparat keamanan dan preman perusahaan sawit PT Asiatik
Persada. Negara abai, bahkan aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam
melayani rakyat, justru menjadi pelopor menggusur warga SAD.
"Belum usai pengusutan tuntas kasus penggusuran atas 3.000 warga SAD, (7/12/2013), kini
jaminan keamanan dan perlindungan negara terhadap warga nyata-nyata absen dengan
tewasnya

satu

petani

SAD

karena

tindak


kekerasan

atas

konflik

agraria

itu.

Segala cara penyelesaian sengketa antara warga SAD dan PT Asiatic Persada telah ditempuh
tanpa menemui jalan keluar yang memenuhi rasa keadilan agraria. Kini upaya penyelesaian
konflik

agraria runtuh, karena lahirnya

korban

jiwa dari


Suku Anak

Dalam.

"Atas kejadian ini, Konsorsium Pembaruan Agraria menuntut, tangkap dan adili pelaku
kekerasan, penculikan, dan penggusuran terhadap Suku Anak Dalam di Jambi hingga
mengakibatkan jatuhnya korban luka dan tewas," tegas Iwan.
Kemudian, kembalikan lahan yang selama ini diklaim PT Asiatic Persada kepada Suku Anak
Dalam serta pulihkan hak atas tanah Suku Anak Dalam, jamin keselamatan dan keamanan
SAD dari segala ancaman penggusuran, pengusiran, dan kekerasan demi penegakkan Pasal
33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
"Mendesak dilaksanakannya reformasi agraria sejati demi penyelesaian konflik agraria secara
nasional yang telah banyak menimbulkan korban jiwa serta menyengsarakan kaum tani,
buruh, dan nelayan," desaknya. (IS)

Sumber: http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/48505-kpa-kembalikan-tanah-suku-anakdalam-jambi.html diakses tanggal 15 Juni 2014

Kronologi Kejadian
Akibat tindakan kekerasan oleh TNI dan security PT. Asiatic Persada itu: seorang warga SAD
bernama Puji (34 tahun) meninggal dunia dan 5 warga SAD lainnya mengalami luka

parah. Berikut ini adalah kronologis kejadian tersebut:
Pukul 15.12 WIB:
Terjadi aksi penculikan atau pengambilan paksa terhadap Sdr. Titus (26 Tahun) oleh aparat
TNI. Titus ditangkap di rumahnya di dusun Mentilingan, desa Bungku, Batanghari, saat
sedang berkumpul dengan keluarganya. Ia kemudian dibawa dengan menggunakan mobil
patroli kepolisian.
Diduga: penculikan terhadap Titus ini dilakukan karena ia menyaksikan pencabutan
plang/papan pengumuman di lahan sengketa oleh aparat TNI. Pemasangan plang ini
dilakukan sebagai bentuk pemberian informasi bahwa status lahan masih dalam sengketa
antara warga Mentilingan versus PT. Jummer Tulen dan PT. Maju Perkasa Sawit (keduanya
anak perusahaan PT. Asiatic Persada).
Pukul 15.15 WIB:
Sebanyak 6 orang aparat TNI kemudian membawa Titus menuju lokasi pabrik PT. Asiatic
Persada di Sungai Kandang, Desa Bungku [kira-kira 3 kilometer dari rumah korban]. Namun,
di tengah jalan, tepatnya di dusun Padang Salak, Titus diturunkan dari mobil dan kemudian
dianiaya ramai-ramai oleh aparat TNI. Tak hanya dipukuli dan diinjak-injak, Titus juga
dikencingi oleh seorang anggota TNI.
Pukul 15.40 WIB:
Titus akhirnya tiba di lokasi pabrik dalam keadaan penuh luka pukulan. Saat itu, dua orang
anggota TNI kembali menganiaya Titus dengan menggunakan rotan dan memukul bagian

belakang nya. Tak lama kemudian, anggot TNI memerintahkan Titus menjilati darahnya
sendiri yang bercucuran di lantai kantor PT. Asiatic Persada.
Pukul 16.10 WIB:
Keluarga korban dan warga lainnya sebanyak 20 orang yang terdiri dari Petani Mentilingan
dan Suku Anak Dalam (SAD) datang untuk menanyakan keadaan Sdr. Titus di kantor PT.
Asiatic Persada. Warga datang dengan menumpangi kendaraan bermotor dan mobil Carry.
Namun, warga belum sempat menyampaikan maksudnya untuk negosiasi mendesak
pembebasan Titus, aparat TNI langsung melepaskan berondongan tembakan ke arah atas dan
ke bawah yang menyasar warga.
Saat itu, sebagian warga belum sempat turun dari kenderaan motornya, tetapi langsung
dipukuli dan dianiaya oleh anggota TNI dan security PT. Asiatic Persada. Warga yang

mendapat penganiaayaan dan dikeroyok beramai-ramai adalah: Sdr. Puji (34 Tahun), Sdr.
Khori Kuris (71 Tahun), Sdr. Adi (24 Tahun), Sdr. Ismail (38 Tahun), Sdr. Yanto (31 Tahun),
dan Sdr. Dadang (56 Tahun).
Sdr. Puji diseret dan dipukuli beramai-ramai oleh security PT. Asiatic Persada dan anggota
TNI. Saat itu korban masih di atas motornya. Saat diseret dan dipukuli, Sdr. Puji sama sekali
tidak melakukan perlawanan.
Sejumlah warga yang berusaha menyelematkan puji diberondong dengan rentetan tembakan
oleh anggota TNI. Akhirnya, warga berlarian untuk menyelamatkan diri.

Pukul 16.45 WIB:
Saksi mata dari warga melihat mobil ambulance milik PT. Asiatic Persada keluar dari areal
pabrik. Saksi mata melihat Titus dan Puji berada di atas ambulance itu. Saat itu, menurut
pengakuan saksi warga, Titus masih dipukuli dan disiksa di atas ambulance oleh security PT.
Asiatic Persada.
Pukul 19.30 WIB:
Sdr. Puji, yang sudah sekarat, tiba di Rumah SakitBayangkara, Kota Jambi. Dan saat itu,
korban langsung ditinggal pergi/kabur oleh orang-orang PT. Asiatic Persada yang
membawanya. Menurut pihak RS Bayangkara, saat tiba, Sdr. Puji masih dalam keadaan hidup
tapi sudah sangat kritis.
Pukul 20.00 WIB:
Lima warga SAD korban pemukulan lainnya tiba di RSUD Raden Mataher, Kota Jambi.
Untuk diketahui, jarak tempuh dari lokasi Desa Bungku ke Kota Jambi adalah lebih dari 3
Jam perjalanan atau + 150 Kilometer.
Pukul 22.00 WIB:
Warga SAD yang berada di lokasi Tenda-tenda pengungsian warga di Trans-Sosial, Johor,
Desa Bungku, masih mendengar rentetan tembakan dari lokasi PT. Asiatic Persada.
Pukul 22.50 WIB:
Warga SAD dan perwakilannya baru mengetahui keberadaan Sdr. Puji di RS Bayangkara.
Mereka pun berusaha untuk menjenguk dan melihat langsung keadaan Puji.

Pukul 23.03 WIB:
Sdr. Puji Bin Tayat menghembuskan nafas terakhir. Saat itu Sdr. Puji meninggal dalam
keadaan tangan diborgol dan kaki diikat tali tambang. Saksi warga juga melihat kondisi
wajah korban rusak lebam penuh darah.
Untuk diketahui, Sdr. Puji saat berada di RS Bayangkara tidak mendapatkan pertolongan
medis apapun. Menurut pihak rumah sakit, pihaknya hanya melakukan pembersihan luka di

tubuhnya. Saudara Puji bahkan sempat jatuh dari bangsal dan tergeletak di lantai hingga
meninggal.
Untuk diketahui, saat ini sebanyak 700an warga masih bertahan di tenda-tenda darurat di
Tran-sosial 1, Dusun Johor, Desa Bungku, sementara sebagian dari warga yang tergusur
lainnya menumpang di rumah-rumah warga Tranmigrasi lainnya dan di hutan-hutan.
Juni 2014.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20140307/kronologispenculikan-kekerasan-dan-pembunuhan-warga-sad-oleh-aparat-tni.html diakses tanggal 15

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Konflik dalam pandangan Sosiologis?
2. Bagaimanakah mengenai hakekat dari tanah menurut pandangan adat?
3. Bagaimana Analisa kasus diatas menurut pandangan Yuridis Normatif?

4. Bagaimana Analisa kasus diatas menurutpandangan Yuridis Sosiologis?

1. Konflik dalam pandangan sosiologi
Hakekat konflik memang tak terpisahkan dari manusia, ada sebuah kata-kata
klasik yang dituliskan dalam buku karya Prof.Peter Mahmud “Pengantar Ilmu
Hukum” yakni kata “Ubi Societas ibi ius”1 yang dierjemahkan hukum ada sejak
masyarakat ada. Dari situ akan timbul sebuah pertanyaan besar dalam diri kita, yakni
kenapa Hukum ada semenjak manusia ada, dengan adanya kata-kata kelasik tersebut
itu bisa kita buat kesepakatan bahwa sejak dahulu bahwa konflik itu sudah ada, itu
bisa dibuktikan dengan adanya hukum semenjak adanya masyarakat, hukum yang
dimaksutkan adalah hukum mengenai bagaimana masyarakat pada zaman dulu
(Masyarakat Adat) dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau konflik.
Konflik pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam
kehidupan manusia yang bermasyarakat. Konflik merupakan bagian dari interaksi
sosial yang bersifat disosiatif. Konflik ini jika dibiarkan berlarut-larut dan
berkepanjangan serta tidak segera ditangani akan menimbulkan terjadinya disintegrasi
sosial suatu bangsa. Suatu keadaan yang memiliki peluang besar untuk timbulnya
konflik adalah perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan kepentingan.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau

lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Dalam perkembangannya teori konflik dibahas lebih spesifik dengan lahirnya
cabang baru sosiologi yang membahas tentang konflik yaitu sosiologi konflik. Istilah
sosiologi konflik diungkapkan oleh George Simmel tahun 1903 dalam artikelnya The
Sociology of conflict. George simmel kemudian dekenal sebagai bapak dari sosiologi
konflik. Dalam tulisan berikutnya akan dibahas beberapa tokoh dan pandangannya
mengenai teori konflik seperti Max Weber, Emilie Durkheim, Ibnu Khaldun dan
George simmel.

1

Prof.Dr.Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S.,LL.M, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, hlm.41

Ibnu Khaldun menyampaikan bahwa bagaimana dinamika konflik dalam
sejarah manusia sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial
(‘ashobiyah) berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial
dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap
berbagai konflik.2 Dari sini dapat kita lihat bagaimana Ibnu Khaldun yang hidup pada
abad ke-14 juga telah mencatat dinamika dan konflik dalam perebutan kekuas

2

Novri Susan, M.A, Pengantar Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontraporer, Prenada Media, hlm. 34

Max Weber berpendapat konflik timbul dari stratifikasi sosial dalam
masyarakat. Setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia
dan kelompoknya .3

Weber berpendapat bahwa relasi-relasi yang timbul adalah

usaha-usaha untuk memperoleh posisi tinggi dalam masyarakat. Weber menekankan
arti penting power (kekuasaan) dalam setiap tipe hubungan sosial. Power (kekuasaan)
merupakan generator dinamika sosial yang mana individu dan kelompok dimobilisasi
atau memobilisasi. Pada saat bersamaan power (kekuasaan) menjadi sumber dari
konflik, dan dalam kebanyakan kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap
struktur sosial sehingga menciptakan dinamika konflik.
Dari pendapat diatas bisa kita simpulkan bahwa konflik itu ada semenjak
manusia (masyarakat) ada, teori mengenai konflik kini masuk dalam cabang baru ilmu
sosiologis, adapun beberapa pandangan mengenai konflik mengatakan bahwa konflik
itu timbul sebagai bentuk dari dinamika sosial, masyarakat selalu dihadapkan pada
permasalahan dan didalam permasalahan itu identik dengan persaingan dimana
manusia ingin menguasai, manusia ingin yang lebih dan memiliki ambisi. yang
namanya persaingan pasti menimbulkan suatu konflik dan konflik tersebut hendaknya
dimanajemen dengan baik.

3

Novri Susan, M.A, Pengantar Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontraporer, Prenada Media, hlm. 42

2. Hakekat Tanah Adat Secara Yuridis Sosiologis
Mengenai hakekat tanah adat itu sudah ada sejak masyarakat adat lahir, Tanah
bagi masyarakat adat adalah Ibu, dimana tanah digunakan masyarakat adat untuk
bernaung, mencari penghidupan, dan menjalankan aktivitasnya, selain itu tanah bagi
masyarakat adat adalah hak purba, yang mana hak itu sudah melekat dan turun
temurun dari nenek moyang masyarakat adat.
Adapun sifat dari tanah itu sendiri adalah sesuatu yang kekal, meski
dihancurkan, dibakar, di bom, dan kenak bencana alam tanah masih tetap ada dan
tidak berpindah. Mengenai fakta yang terjadi tanah digunakan oleh masyarakat adat
sebagai tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan pada persekutuan,
tempay untuk dikebumikan (masyarakat adat yang meninggal), dan tempat para
leluhur bernaung.4 (hal 197)
Mengenai hak purba, sejatinya hak itu hanya dimiliki oleh suatu suku tertentu
dan pada dasarnya tidak boleh orang luar (asing) memanfaatkan tanah tersebut,
apalagi memiliki. Menurut Sri Endah Kinasih 5 (Fisip 124) mengenai hak purba yang terjadi
diluar jawa itu hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang
berhak dengan bebas menggunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya,
kemudian Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa
persekutuan (kepala suku), semisal tidak ada izin dianggap melakukan pelanggaran.
Selain itu Sri Endah Kinasih dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa warga
persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba untuk
keperluan somah/brayat/keluarganya sendiri, jika dimanfaatkan untuk orang lain maka
dia dipandang sebagai orang asing maka harus mendapatkan izin dari kepala suku.
Dan hal yang paling esensial dari tulisan Sri Endah Kinasih adalah Hak Purba
tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, dan diasingkan untuk selamanya. Bahkan
untuk menjamin keabadian hak purba ini, hak purba juga meliputi tanah yang sudah
digarap dan sudah dimiliki sebagai hak perorangan.

4

Soerojo Wignjodipoero, S.H, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Hlm. 197

5

Sri Endah Kinasih, Buku Ajar Hukum Adat Departemen Antropologi FISIP Unair, PT. Revka Petra Media,

Hlm. 124

3. Analisa Kasus

3.1.

Menurut Pandangan Yuridis Normatif

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Alinea IV
telah jelas disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum. Artinya, seluruh tindakan negara dalam hal ini oleh
pemerintah harus difokuskan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, utamanya yang
berkenaan dengan SDA. Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal
ini mengamanatkan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat
mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tujuan negara yang lain sesuai dengan pembukaan UUD NRI 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari sini jelas bahwa
bangsa Indonesia menghormati seluruh tumpah darahnya yakni segala entitas individu
dan kelompok yang ada dan membentuk bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa tujuan
terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicu,
common good, common weal). Roger H. Soltau mengatakan tujuan negara ialah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas
mungkin. Sedangkan menurut Harold J. Laski, tujuan negara adalah menciptakan
keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara
maksimal, tujuan negara untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya tersebut
tidak terlepas juga dengan tujuan negara yang lain yakni dengan cara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.
Eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah tertuang
di dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” dan dalam pasal 28
I ayat (3) yang menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dalam UndangUndang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pasal
3 jo. pasal 58 masih mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis yang tidak
bertentangan dan selama belum diatur secara khusus. Sedangakan dalam UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutan tidak secara rinci mengatur keberadaan
hak ulayat, UU kehutanan hanya mengatur mengenai keberadaan hutan adat dan
masyarakat hukum adat dan rumusan mengenai hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh
para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya,
kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa,
Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau
keluarga, seperti suku. Hak Ulayat disebut juga sebagai hak purba (Djojodigoeno) atau
hak pertuanan (Soepomo) yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat
(sehingga sifatnya merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh tanah beserta
segala isinya dalam lingkungan wilayah persekutuan tersebut dan merupakan hak atas
tanah yang tertinggi dalam hukum adat.6

6

Joeni Arianto K, “Power Point Hukum Tanah Adat” joeniarianto.wordpress.com diakses 22 Juni 2014

Jika di pandang dari perspektif hukum administrasi PT.Asiatic Persada sudah memilki
berbagai izin dan fakta-fakta mengenai kasus tersebut antara lain: 7

a) Kasus ini berawal dari Pencadangan Tanah sesuai SK Gubernur Jambi No.
188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas 40.000 Ha untuk
perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU).
b) Surat Keputusan Gubernur tersebut di tindak lanjuti dengan Surat Keputusan
Mendagri No.SK.46/HGU/DA/1986 tanggal 1 September 1986 tentang
Pemberian HGU kepada PT. BDU seluas 20.000 Ha yang terletak di Kec.
Muaro Bulian, Kab. Batang Hari. Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31
Desember 2021.
c) Berdasarkan SK Menteri Kehakiman tanggal 6 Juni 1992 No: C.4726
HT.01.04 Tahun 1992, PT. Bangun Desa Utama beralih menjadi PT. Asiatic
Persada.
d) Dalam ijin prinsip PT. Asiatic Persada, terdapat kewajiban hukum untuk
melepaskan area pemukiman, perladangan, dan semak belukar milik
masyarakat, yang kemudian disebut sebagai tanah adat Suku Anak Dalam
(SAD) yang terdapat di tiga perkampungan (dusun tua) yaitu, Padang Salak,
Pinang Tinggi dan Tanah Menang.
e) Keberadaan perkampungan Suku Anak Dalam sudah ada sejak zaman
Belanda. Hal ini diketahui berdasarkan Surat Keterangan tanggal 20 Desember
1940 dari BC Mantri Politic. Surat Keterangan tanggal 20 November 1940
dari Mantri Politic Menara Tembesi di buat di hadapan Gez En Accord Muara
Tembesi, di saksikan Penghulu Dusun Singkawang dan Pasirah Pemayung
Ulu, menerangkan wilayah perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam
Dusun Pinang Tinggi, Padang Salak dan Tanah Menang wilayah Sungai Bahar.
f) Surat ini di kuatkan dengan surat sebelumnya yaitu Surat Resident Palembang
No: 211 Tanggal 4 September 1930 dan No: 233 Tanggal 25 Oktober 1927.

7

http://www.prd.or.id/media/20130125/resume-kasus-konflik-agraria-petani-jambi.html

diakses 24 Juni 2014
g) Selain itu, Kepala Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim Tarab,
pernah mengeluarkan Surat Keterangan Sembilan Batin yang tertanggal 4
Maret 1978. Isi surat menyebutkan keberadaan Suku Anak Dalam di Hutan
Jebak, Jangga, Cerobong Besi, Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke

Burung Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-surat berlogo Garuda tentang
keterangan hak milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh Kepala
Kampung pada tahun 1977.
h) Mulanya Menteri Kehutanan memberi pelepasan kawasan hutan seluas 27.252
Ha dari 40.000 Ha lahan pencadangan Gubernur Jambi, lalu HGU seluas
20.000 Ha direalisasikan menjadi milik PT. BDU yang berganti nama menjadi
PT. Asiatic Persada, dan kemudian perusahaan CDC-Pacrim Inggris di tahun
2000 menjadi pemegang saham mayoritas, lalu pada tahun 2006 pemegang
saham mayoritas berpindah lagi keperusahaan Cargill Amerika Serikat, dan di
tahun 2010 saham mayoritas dibeli Willmar Group Malaysia. Sedangkan
sisanya 7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT.
Jammer Tulen, keduanya anak perusahaan Willmar Group.
i) Dengan mengantongi izin tersebut, pihak perusahaan menggusur tiga dusun,
Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak. Perampasan tanah disertai
dengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan SAD sangat memprihatinkan.
j) Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi Pemda Batanghari, sebanyak 1.900an jiwa, yang tersebar di tiga ka,pung tersebut.
k) Pada tanggal 18 Juli s/d 25 Juli 2007, Kanwil BPN Jambi mengadakan
penelitian di lapangan. Hasilnya, pihak BPN mengakui keberadaan bekas
perkampungan SAD Kelompok 113 tersebut.
l) Semula, pihak perusahaan tidak mengakui hasil penelitian dan fakta hukum
tersebut. PT. Asiatic Persada menawarkan lahan 1000 Ha dengan pola
Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Oleh karena itu, SAD 113
menyatakan bahwa tidak setuju dengan kesepakatan pola 1000 Ha KKPA.
m) Pada bulan Maret 2012, ditemukanlah peta mikro yang menjelaskan
keberadaan wilayah tiga dusun tersebut, sebagaimana tertuang dalam Ijin
Prinsip Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No. 393/VII-4/1987
tanggal 11 Juli 1987, tertera keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150
Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha, belukar 1.400 Ha, perladangan
2.100 Ha, dan pemukiman penduduk 50 Ha.
n) Dengan adanya peta mikro tersebut, setelah di overlay oleh pihak BPN
Porvinsi yang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Porvinsi, maka pihak
perusahaan dan Pemerintah Daerah telah mengakui keberadaan wilayah
tersebut.

o) Pada September 2012, Komnas-HAM memediasi pertemuan warga Pemda
Jambi, SAD 113, dan Perusahaan. Dalam pertemuan tersebut disepekati akan
diadakan proses pengukuran wilayah enclaveing, dan pembuatan batas berupa
parit gajah, yang ditanggung oleh pihak perusahaan. Akan tetapi, hingga saat
ini, kesepakatan tersebut belum dilaksanakan oleh pihak PT. Asiatic persada.
Dari persepektif hukum administrasi PT. Asiatic Persada memang memiliki izin
baik Hak Guna Usaha maupun izin-izin lainnya dan sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku, namun yang jadi persoalan adalah mengenai keluarnya izin
tersebut apakah bertentangan dengan ketentuan atau norma-norma lain, izin hak Guna
Usaha (HGU) merupakan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dimana
KTUN dikeluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara (sesuai pasal 1 Angka
3 UU No. 5 Tahun 1986) adapun dikeluarkanya KTUN menurut Prof. Hadjon harus
memenuhi beberapa ketentuan yakni sesuai dengan peraturan peundang-undangan,
memenuhi ketentuan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), dan tidak
boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika menurut fakta memang
PT. Asiatic Persada memiliki izin baik HGU dan izin-izin lainnya, namun izin tersebut
bertentangan dengan AUPB dan HAM, mengenai AUPB asas yang dilanggar adalah
Asas Kecermatan dimana pemberi izin kurang cermat dalam memberikan izin
tersebut, sebab lokasi yang digunakan usaha PT. Asiatic Persada ditempati oleh
masyarakat adat Suku Anak Dalam Jambi, selain melanggar asas kecermatan KTUN
tersebut (HGU) juga melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM) karena dengan
dikeluarkannya KTUN tersebut masyarakat Suku Anak Dalam yang merupakan
bagian dari bangsa Indonesia harus kehilangan tempat tinggal, tentunya ini melanggar
konstitusi kita yakni pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. Jadi sepatutnya KTUN
(HGU) PT. Asiatic Persada digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, dan oknumoknum yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan kasus penganiayaan harus
diadili jika sipil di Pengadilan Negeri (lingkup peradilan umum), jika militer di
Pengadilan Militer sesuai dengan kompetensi absolutnya masing-masing.
3.2.

Analisa kasus dalam pandangan Yuridis Sosiologis
Keberadaan masyarakat adat itu tak bisa dipisahkan dari Tanah, seperti pada
penjelasan diatas bahwa tanah merupakan faktor yang sangat esensial bagi
masyarakat, tak terkecuali masyarakat adat Suku Anak Dalam Jambi, mereka
tentunya sudah menganggap bahwa Tanah, Air, Tumbuh-tumbuhan, dan binatang

yang hidup liar di wilayah mereka8 adalah hak ulayat (persekutuan) mereka, jadi
secara sosiologis wajar kalau masyarakat Suku Anak Dalam menuntut untuk
dikembalikan hak ulayatnya.
Seperti yang kita ketahui pada kasus tersebut adalah salah satu contoh konflik
Agraria yang masih menyelimuti negeri ini, ketidak konsistennya peraturan yang
ada di negeri ini yang menangani masalah Agraria membuat masalah Agraria
rawan sekali yang namanya konflik, sehingga masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat adat membutuhkan yang namanya suatu peraturan yang dapat
menangani masalah-masalah Agraria ini.
Dari sudut pandang sosial tindakan yang dilakukan oleh PT. Asiatic Persada
sangatlah terlalu berlebihan, karena tidak hanya merampas mata pencaharian dan
tempat tinggal masyarakat Suku Anak Dalam Jambi namun juga sudah melakukan
tindakan yang tidak manusiawi atau bisa dikatakan Melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) karena sudah sangat jelas melanggar ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam Konstitusi Indonesia, terutama dalam pasal 28 UUD NRI 1945 yang
menyebutkan mengenai HAM.

8

Soerojo Wignjodipoero, S.H, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko
Gunung Agung, 1995, hlm. 199

Setelah saya membaca berita tersebut dalam hati sangatlah miris karena itu
merupakan bentuk kegagalan Negeri ini dalam mengayomi dan melindungi
warganya, apalagi yang menganiyaya disebutkan ada oknum Polisi dan Oknum
TNI, tentu itu sangat melukai hati Rakyat, tidak sepatutnya aparat Negara seperti
POLRI yang punya komitmen dan semboyan mengayomi masyarakat justru malah
menindas bahkan menganiyaya masyarakatnya sendiri, kemudian Oknum TNI

yang mengembang tugas menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia justru malah menganiyaya warga sendiri, bahkan yang lebih
mengecewakan bahwa yang di bela sama aparat kita adalah PT. Asiatic Persada
yang jelas-jelas adalah perusahaan asing milik Malaysia.
Dari berita diatas dikatakan bahwa salah satu warga suku anak dalam yang
meninggal, sebelum meninggal dianiyaya dan di ikat tangan dan kakinya, tentu
itu merupakan sebuah kejahatan yang sangat tidak manusiawi, dan sepatutnya itu
harus diadili karena Negara kita adalah negara hukum.
Dengan adanya peristiwa tersebut jelas yang mengalami kerugian adalah
masyarakat Suku Anak Dalam, sebab setelah adanya konflik itu masyarakat Suku
Anak Dalam mengungsi karena kehilangan tempat tinggal, dalam segi psikologis
mereka tentu mereka sangat trauma dengan adanya peristiwa tersebut. Dampak
dari peristiwa tersebuk juga berdampak pada keadaan sosial masyarakat Suku
Anak Dalam, yang dulunya mereka berkebun, bertani, kini harus kehilangan mata
pencaharian mereka, yang dulunya punya hutan tempat mereka mengabdi dan
mencari penghidupan kini harus kehilangan itu semua.
Jika kita kembali menoleh ke masa lalu kita dimana pada masa kejayaan
kerajaan-kerajaan di Nusantara rakyat banyak yang makmur, namun semenjak
adanya Revolusi Industri penjajah mulai berdatangan ke bumi Ibu Pertiwi dan
mengeruk kekayaan yang ada di dalamnya. Keadaan itu diperparah dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 mengenai penanaman modal
asing oleh zaman Orde Baru (rezim Soeharto) dimana Investor (asing) dengan
seluas-luasnya menanamkan modal untuk mengeruk kekayaan yang ada di Bumi
Ibu Pertiwi, alhasil kapitalisme merajalela di negeri ini.
Budaya kapitalisme dan haus akan materi duniawi kian merasuk dalam jiwa
manusia, hal itu yang membuat aparat penegak hukum dan aparatur negara baik
sipil dan militer yang membela PT. Asiatic Persada lupa diri, mereka lebih
mementingkan perutnya daripada mempertahankan kehidupan saudara-saudaranya
yang tertindas.
Dalam analisa yuridis sosiologis ini kami lebih condong kepada unsur-unsur
kemanusiaan, setelah kami paparkan teori-teori yang ada di buku mari kita sejenak
untuk merenungi fenomena yang ada di Negeri kita tercinta ini, ada sebuah kata
yang ditulis dalam buku Prof. Peter Mahmud “Penelitian Hukum” yaitu sebuah
kata yang berbunyi “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar”

9

memang itu

bisa dikatakan sesuai dengan Negeri kita, TNI/POLRI dan oknum-oknum lain
yang turutserta melindungi PT. Asiatic Persada untuk melawan bahkan
menganiaya dan menghabisi nyawa warga Suku Anak Dalam tentunya mereka
melakukan itu karena di bayar. Jadi inilah yang menjadikan negeri ini selalu
terpuruk dalam masalah kemajuan, karena mensegala-galakan uang daripada
“fairness” dan “Honesty”. Selama kami kuliah di Fakultas Hukum Unair selalu
disuguhkan dengan hal-hal yang normatif, Kepastian Hukum yang di junjung
tinggi.
Secara analisa yuridis normatif PT. Asiatic Persada sudah mengantongi ijin
Hak Guna Usaha (HGU) sehingga bisa melakukan kegiatan usaha, namun yang
jadi pertanyaan adalah cara memperoleh ijin HGU-nya, dalam hukum administrasi
sertifikat HGU merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) karena
dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara, namun yang jadi permasalahan
adalah apakah pejabat yang mengeluarkan KTUN sudah melihat aturan
perundang-undangan yang ada, namun jika sudah dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan apakah Pejabat yang mengeluarkan KTUN
tersebut sudah melihat Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), lalu
juga ada Hak Asasi Manusia apakah sudah dilihat oleh Pejabat yang
mengeluarkan KTUN tersebut, jika dalam mengeluarkan izin HGU tersebut tidak
melalui prosedur yang ditetapkan maka sepatutnya KTUN tersebut cacat dan
harus di cabut, maka sudut pandang Yuridis Normatif masyarakat Suku Anak
Dalam bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di
Kota/kabupaten mereka.

9

Prof.Dr.Peter Mahmud Marzuki, S.H, M.S, LL.M, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005, hlm. 7

Namun disini kami tidak terlalu lebar membahas dalam pandangan yuridis
normatif karena sudah kami jelaskan pada pembahasannya tersendiri, disini yang
kami tekankan adalah pandangan yuridis sosiologis, dimana pendekatanpendekatan sosial lebih kami utamakan pada pembahasan bagian ini, namun juga
tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan yuridis sosiologis juga harus didasarkan
pada ketentuan normatif karena itu akan memberikan nilai lebih.

Menurut pandangan socio legal, meskipun PT. Asiatic persada memiliki HGU
namun dengan adanya HGU itu justru bertentangan dengan kepentingan
masyarakat Adat Suku Anak Dalam Jambi, seharusnya itu harus dikembalikan
dalam hukum masyarakat (adat). Karena merekalah yang mendiami tanah itu,
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada mereka dan persekutuannya
sudah ada dan mendiami tanah tersebut, sepatutnya kepentingan mereka (Suku
Anak Dalam) lebih diperhatikan dan dijamin untuk menjaga kelestarian dan
kemakmuran bagi mereka daripada mementingkan kepentingan kapitalis (PT
Asiatic Persada) yang hakekatnya hanya akan memperkaya investor.

Daftar Bacaan:
Kinasih, Sri Endah, Buku Ajar Hukum Adat, Surabaya: PT. Revka Petra Media,
2012.

M.Siahaan, Masyarakat Informasi dan Net Generation di Era Post-Industrial ,
dalam Hotman, Narwoko, J. Dwi & Suyanto, Bagong, Sosiologi Teks Pengantar
Dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT
Toko Gunung Agung, 1995.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008.
Hadjon, M.Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2008.
Susan, Novri, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer,
Jakarta:Prenada Media, 2009.

Dasar Hukum:
UUD NRI 1945
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jis UU No. 51 Tahun 2009

UU No. 5 tahun 1960