MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK USIA

MAKALAH
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
USIA 12 – 14 TAHUN
Dosen pengampuh : Miftahul Khoiri, S.Pd., M.Pd.,

Disusun oleh :

NAMA : Kiranti Dwi Octaviani
NIM
: 16184202022
PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah laporan ini dengan tepat waktu. Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah
untuk memenuhi UTS mata kuliah perkembangan peserta didik dengan judul

“Perkembangan peserta didik usia 12-14 tahun”. Melalui tugas ini, kami diharapkan
mampu untuk lebih memahami perkembangan peserta didik usia 12-14 tahun.
Berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Miftahul Khoiri, S.Pd., M.Pd., selaku dosen pengampu yang telah memberikan arahan
dan bimbingan kepada kami.
2. Orang tua dan keluarga kami yang banyak memberikan motivasi dan dorongan serta
bantuan, baik secara moral maupun spiritual.
3. Serta semua pihak yang ikut membantu dalam pencarian data dan informasi, baik
secara langsung maupun tidak langsung, cetak maupun elektronik, yang tidak dapat
kami sebutkan satu per satu. Terima kasih atas semuanya.
Laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif dan
membangun, guna penulisan laporan ini yang lebih baik lagi dimasa yang akan
datang.
Saya selaku penyusun berharap semoga makalah ini ada guna dan manfaatnya
bagi para pembaca. Amin.

Pasuruan, Mei 2017

Penyusun

Daftar isi

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peserta didik usia 12 – 19 tahun merupakan periode remaja transisi, yaitu
periode transisi antara masa kanak – kanak dan usia dewasa.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diprediksi,
sebagai hasil dari pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari selsel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem yang berkembang sedemikian rupa
perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya. Aspek – aspek perkembangan individu meliputi fisik, intelektual,
sosial, mental, budaya, dan religius. Serta, perbedaan perkembangan individu yang
minum ASI, susu formula dan atau air tajin. Perkembangan fisik meliputi
pertumbuhan sebelum lahir dan pertumbuhan setelah lahir. Intelektual (kecerdasan)
atau daya pikir merupakan kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan
situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Sosial, setiap individu selalu berinteraksi
dengan lingkungan dan selalu memerlukan manusia lainnya. Mental, merupakan suatu

kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, dan tentram, dan
upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui
penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada tuhan). Budaya
dan religius, tidak pernah lepas dari kepribadian seseorang karena dari budaya dan
religius ini kita dapat mengetahui kebiasaan dari seseorang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan fisik pada anak usia 12-14 tahun?
2. Bagaimana perkembangan intelektual pada anak usia 12-14 tahun?
3. Bagaimana perkembangan sosial pada anak usia 12-14 tahun?
4. Bagaimana perkembangan mental pada anak usia 12-14 tahun?
5. Bagaimana perkembangan budaya dan religius pada anak usia 12-14 tahun?
6. Bagaimana perkembangan individu yang minum ASI, susu formula dan atau air
tajin ?

C. TUJUAN
1. Agar pembaca memahami tentang perkembangan fisik pada anak usia 12-14
tahun.
2. Agar pembaca memahami tentang perkembangan intelektual pada anak usia
12-14 tahun.
3. Agar pembaca memahami tentang perkembangan sosial pada anak usia 12-14

tahun.
4. Agar pembaca memahami tentang perkembangan mental pada anak usia 12-14
tahun.
5. Agar pembaca memahami tentang perkembangan budaya dan religius pada
anak usia 12-14 tahun.
6. Agar pembaca memahami tentang perkembangan perbedaan anak yang minum
ASI dan atau susu formula.

BAB II
TEORI PERKEMBANGAN MENURUT PARA AHLI
A. PERKEMBANGAN FISIK
Fase remaja adalah periode kehidupan manusia yang sangat strategis, penting dan
berdampak luas bagi perkembangan berikutnya. Pada remaja awal, pertumbuhan
fisiknya sangat pesat tetapi tidak proporsional, misalnya pada hidung, tangan, dan
kaki. Pada remaja akhir, proporsi tubuh mencapai ukuran tubuh orang dewasa dalam
semua bagiannya (Syamsu Yusuf :2005). Tinggi badan anak laki-laki bertambah kirakira 10cm per tahun, sedangakan pada perempuan kurang lebih 9cm per tahun.
Pertumbuhan tinggi badan terjadi 2 tahun lebih awal pada anak perempuan dibanding
anak laki-laki. Pada anak perempuan, pertumbuhan akan berakhir pada usia 16 tahun,
sedangkan pada anak laki-laki pada usia 18 tahun (Sari Pediatri 2010;12(1):24-9).
Pada akhir pubertas lempeng epifisis akan menutup dan pertumbuhan tinggi badan

akan berhenti.
Pertambahan berat badan terutama terjadi karena perubahan komposisi tubuh, pada
anak laki–laki terjadi akibat meningkatnya masa otot, sedangkan pada anak
perempuan terjadi karena meningkatnya massa lemak.
Berkaitan dengan perkembangan fisik ini, perkembangan terpenting adalah aspek
seksualitas ini dapat dipilah menjadi dua bagian, yakni :
1) Ciri-ciri Seks Primer
Perkembangan psikologi remaja pria mengalami pertumbuhan pesat pada organ testis,
pembuluh yang memproduksi sperma dan kelenjar prostat. Kematangan organ-organ
seksualitas ini memungkinkan remaja pria, sekitar usia 14 – 15 tahun, mengalami
“mimpi basah”, keluar sperma. Pada remaja wanita, terjadi pertumbuhan cepat pada
organ rahim dan ovarium yang memproduksi ovum (sel telur) dan hormon untuk
kehamilan. Akibatnya terjadilah siklus “menarche” (menstruasi pertama). Siklus awal
menstruasi sering diiringi dengan sakit kepala, sakit pinggang, kelelahan, depresi, dan
mudah tersinggung. Psikologi remaja
2) Ciri-ciri Seks Sekunder
Perkembangan psikologi remaja pada seksualitas sekunder adalah pertumbuhan yang
melengkapi kematangan individu sehingga tampak sebagai lelaki atau perempuan.
Remaja pria mengalami pertumbuhan bulu-bulu pada kumis, jambang, janggut,


tangan, kaki, ketiak, dan kelaminnya. Pada pria telah tumbuh jakun dan suara remaja
pria berubah menjadi parau dan rendah. Kulit berubah menjadi kasar. Pada remaja
wanita juga mengalami pertumbuhan bulu-bulu secara lebih terbatas, yakni pada
ketiak dan kelamin. Pertumbuhan juga terjadi pada kelenjar yang bakal memproduksi
air susu di buah dada, serta pertumbuhan pada pinggul sehingga menjadi wanita
dewasa secara proporsional.
B. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Arajoo T.V (1986) menyatakan bahwa aspek kognitif meliputi fungsi
intelektual seperti pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Untuk siswa
SMP, perkembangan kognitif utama yang dialami adalah formal operasional, yang
mampu berpikir abstrak dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau
mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek
yang bersifat konkrit, seperti peningkatan kemampuan analisis, kemampuan
mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang
ada, kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori objek
yang beragam. Selain itu, ada peningkatan fungsi intelektual, kapabilitas memori
dalam bahasa dan perkembangan konseptual. Dengan kata lain, bahasa merupakan
salah satu alat vital untuk kegiatan kognitif.
Menurut Jean Piaget, perkembangan intelektual anak pada saat berada di
Sekolah Menengah Pertama(SMP), berada pada tahap “Formal operation stage”, yaitu

tahap ke empat atau terakhir dari tahapan kognitif. Tahapan berpikir formal ini terdiri
atas dua subperiode (Broughton dalam John W.Santrock, 2010:97), yaitu:
a.

Early formal operation thought, yaitu kemampuan remaja untuk berpikir dengan
cara-cara hipotetik yang menghasilkan pikiran-pikiran sukarela (bebas) tentang
berbagai kemungkinan yang tidak terbatas. Dalam periode awal ini, remaja

b.

mempersepsi dunia sangat bersifat subjektif dan idealistik.
Late formal operational thought, yaitu remaja mulai menguji pikirannya berlawanan
dengan pengalamannya, dan mengembalikan keseimbangan intelektualnya. Melalui
akomodasi (penyesuaian terhadap informasi/hal baru), remaja mulai dapat
mentesuaikan terhadap bencana atau kondisi pancaroba yang telah dialalminya.

Keating merumuskan lima pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir
operasi formal, yaitu sebagai berikut :
1.


Berlainan dengan cara berpikir anak-anak yang tekanannya kepada
kesadarannya sendiri disini dan sekarang, cara berpikir remaja berkaitan erat dengan
dunia kemungkinan. Remaja mampu menggunakan abstraksi dan dapat membedakan
yang nyata dan konkret dengan abstrak dan mungkin.

2.

Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar
secara ilmiah.

3.

Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan
dan mengekplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.

4.

Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat
proses kognitif itu efisien dan tidak efisien. Dengan demikian, introspeksi (pengujian
diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari.


5.

Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru dan
ekspansi berpikir.

C. PERKEMBANGAN SOSIAL
Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai
memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma
yang berlaku sebelumnya didalam keluarganya. Dengan demikian, remaja mulai
memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak,
kelompok dewasa dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan
jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena disamping harus
memperhatikan norma pergaulan sesama remaja (teman sebaya), juga terselip
pemikiran pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi
intelektual emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang
bersifat tertutup sehubungan dengan masalah yang dialami oleh remaja. Keadaan atau
peristiwa ini oleh Erik Erickson (dalam lefton, 1982:281) dinyatakan bahwa anak
telah mengalami krisi identitas. Proses pembentukan identitas diri dan konsep diri

seseorang adalah sesuatu yang kompleks. Banyak remaja yang amat percaya pada
kelompok mereka dalam menemukan jati dirinya. Dalam hal ini Erik Erickson
berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh
sosiaokultural. Semua perilaku sosial didorong oleh kepentingan sosial. Pergaulan

remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok baik kelompok kecil maupun
besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai
penimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan
kemampuan. Baik didalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang
umum dihadapi oleh ramaja dan yang paling rumit adalah faktor penyesuaian diri.
Didalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu
bersaing tampil menonjol, memperlihatkan akunya. Oleh karena itu, sering terjadi
perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan
pribadi setiap orang. Teteapi sebaliknya dalam kelompok ini terbentuk suatu persatuan
yang kokoh, yang diikati oleh norma kelompok yang telah disepakati.
Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar
berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi kelompok. Penyesuaian dalam
kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis sekalipun,
tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses penyesuaian diri,
kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat. Saling

pengertian akan kekuarngan masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolakn
diri atau tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan tindakan intelektual
yang tepat dan kemapuan menyeimbangkan pengendalian emosional. Dalam
hubungan sosial yang lebih khusus, yang mengarah kepemilihan pasangan hidup,
pertimbangan faktor agama dan suku ini bukan saja menjadi kepentingan masingmasing individu yang bersangkutan, tetapi dapat menyangkut kepentingan keluarga
dan kelompok yang besar (sesama agama atau sesama suku).
Remaja pada tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang
menjelang dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks,
cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan mengenal
berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di
dalam keluarganya. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan
dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok
orang tua.

D. PERKEMBANGAN MENTAL
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan topan”, suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Ciri perkembangan psikologis remaja adalah adanya emosi yang meledakledak, sulit dikendalikan, cepat depresi (sedih, putus asa) dan kemudian melawan dan
memberontak. Emosi tidak terkendali ini disebabkan oleh konflik peran yang senang
dialami remaja. Oleh karena itu, perkembangan psikologis ini ditekankan pada
keadaan emosi remaja.
Keadaan emosi pada masa remaja masih labil karena erat dengan keadaan hormon.
Suatu saat remaja dapat sedih sekali, dilain waktu dapat marah sekali. Emosi remaja
lebih kuat dan lebih menguasai diri sendiri daripada pikiran yang realistis. Kestabilan
emosi remaja dikarenakan tuntutan orang tua dan masyarakat yang akhirnya
mendorong remaja untuk menyesuaikan diri dengan situasi dirinnya yang baru. Hal
tersebut hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1990), yang
mengatakan bahwa kecerdasan emosi akan mempengaruhi cara penyesuaian pribadi
dan sosial remaja. Bertambahnya ketegangan emosional yang disebabkan remaja
harus membuat penyesuaian terhadap harapan masyarakat yang berlainan dengan
dirinya.
Ada dua faktor yang mempengaruhi mental remaja, yaitu :
A. Faktor Internal
Internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang seperti sifat,
bakat, keturunan dan sebagainya. Contoh sifat yaitu seperti sifat jahat, baik, pemarah,
dengki, iri, pemalu,pemberani, dan lain sebagainya. Contoh bakat yakni misalnya
bakat melukis, bermain musik, menciptakan lagu, akting, dan lain-lain. Sedangkan
aspek keturunan seperti turunan emosi, intelektualitas, potensi diri, dan sebagainya.
B. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri seseorang yang
dapat mempengaruhi mental seseorang. Lingkungan eksternal yang paling dekat
dengan seorang manusia adalah keluarga seperti orang tua, anak, istri, kakak, adik,
kakek-nenek, dan masih banyak lagi lainnya.
Faktor luar lain yang berpengaruh yaitu seperti hukum, politik, sosial budaya, agama,
pemerintah, pendidikan, pekerjaan, masyarakat, dan sebagainya. Faktor eksternal
yang baik dapat menjaga mental seseorang, namun faktor external yang buruk / tidak
baik dapat berpotensi menimbulkan mental tidak sehat.

Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan
tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja
menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarag, remaja tidak
mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan
psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir,
kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam
mengemukakan pendapat.
Manusia pada masa remaja yang sedang mencari jati dirinya membuat
emosinya menjadi sangat labil dan mudah terganggu kesehatan mentalnya.
Kriteria remaja yang bermental sehat adalah sebagai berikut :
1. Dapat menerima perubahan – perubahan yang terjadi pada dirinya dengan lapang
dada
2. Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya (teman sebayanya)
3. Dapat mengatasi gejolak-gejolak seksualitasnya
4. Mampu menemukan jati dirinya dan berprilaku sesuai jati dirinya tersebut
5. Dapat menyeimbangkan pengaruh orang tua dan pengaruh teman sebayanya
6. Dapat mengaktualisasikan kemampuannya baik dalam sekolah maupun lingkungan
sosialnya
7. Tidak mudah goyah apabila terjadi konflik-konflik yang membutuhkan
penyelesaian dengan pikiran yang jernih
8. Memiliki cita-cita atau tujuan hidup yang dapat di kejar dan di wujudkan untuk
memotivasi diri menjadi seorang yang berguna
9. Memiliki integrasi kepribadian
10. Memiliki perasaan aman dan perasaan menjadi anggota kelompoknya.

E. PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN DAN RELIGIUS
I. PEKEMBANGAN KEBUDAYAAN


Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,

organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.



Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia
atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia
yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak
memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal
mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal
yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia
tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang
mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau
sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang
diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia
ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan
seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan
dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang
itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah
produk dari budaya dan Agama.
Kebudayaan saling berkaitan dengan moral, misalnya budaya berjabat
tangan kepada orang tua sebelum berangkat sekolah, dia bisa dikatakan baik
jika dia berjabat tangan tapi jika tidak ada budaya berjabat tangan sebelum
berangkat sekolah, bukan berarti individu tersebut tidak bermoral atau tidak
baik.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan
tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap
untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar
memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan
tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958,
sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of

Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam
buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan
moral dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan
tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan
perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini
dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai
tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena
rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh
hukuman dan otoritas
Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli).
Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik)
dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis.
Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk
punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan
baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri,
tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya
konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga

loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan
membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta
mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di
dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta
yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas
terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau
“alamiah”.
Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk
pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan
menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata
tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang
ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri
3. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan
terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada
dua tahap pada tingkat ini:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang
baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum
yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat.
Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi
sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional
dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya

adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada
kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan
tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang
disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “
moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di
setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis
yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis,
universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis
(kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan
moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsipprinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta
rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
II. PERKEMBANGAN RELIGIUS (AGAMA)
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral.
Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan
sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan
tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan
penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan
perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi
dirinya.Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama
berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan
dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah
dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara
agama.

Masa awal remaja (12-18 tahun) sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan)
disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama
secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan
perbuatannya.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak
cocok atau bertentangan satu sama lain. Penghayatan rohaniahnya cenderung
skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.

Hubungan

antara

Perkembangan

Moral

dan

Agama

Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi harus
diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan bermoral.
Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit
pula orang yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya cukup baik.
Untuk lebih jelas, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral
remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :
1. Tuhan sebagai Penolong Moral
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan
lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadangkadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah,
atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan dengan
Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
2. Pengertian Surga dan Neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang
atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran pembalasan
atau lambing kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari kegoncangan
remaja yang tidak menyenangkan itu.
3. Pengertian tentang Malaikat dan Setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan dirinya,mereka
menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada
dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan keindahannya yang
ideal, demikian pula hubungan surga deengan ketentraman batin dan kekuasaan yang
baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa.

F. PERKEMBANGAN PERBEDAAN ANAK YANG MINUM ASI, SUSU FORMULA
DAN ATAU AIR TAJIN
ASI merupakan salah satu makanan sekaligus minuman yang memberikan
sumber gizi yang sempurna dalam kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan bayi.
Selain itu, penelitian menemukan manfaat ASI bagi perkembangan kecerdasan anak.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan kandungan gizi dari ASI
memberikan manfaat dalam mempercepat pertumbuhan otak hingga 30% pada anak.
Dari penelitian tersebut ditemukan perbedaan yang sangat terlihat jelas adalah struktur
otak bayi yang di usia 2 tahun, pertumbuhan bayi yang diberikan ASI akan
membentuk pertumbuhan 20 – 30% pada area putih di otak sedangkan, yang diberi
susu formula hanya berkembang di bawah 20%. Struktur otak bayi disebut juga
dengan serabut saraf yang bewarna putih panjang, yang menghubungkan berbagai
area ke otak sehingga akan membantu dalam proses belajar pada anak.
Susu formula adalah susu yang di buat dari susu sapi atau susu buatan yang
diubah komposisinya hingga dapat dipakai sebagai pengganti ASI. Alasan dipakainya
susu sapi sebagai bahan dasar mungkin oleh banyaknya susu yang dapat dihasilkan
oleh peternak (Pudjiadi, 2002).
Menurut Roesli (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian susu formula
yaitu :
1. ASI tidak cukup
2. Ibu bekerja dengan cuti hamil 3 bulan
3. Bayi akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja
4. Susu formula lebih praktis
5. Takut badan si ibu gemuk
 Dampak pemberian susu formula :
1. Gangguan saluran pencernaan (muntah, diare)
Jurdawanto (2007) menjelaskan bahwa anak yang sering mendapat susu formula
lebih sering muntah atau gumoh, kembung, “cegukan” , sering buang angin,
sering rewel, gelisah terutama pada malam hari.
2. Infeksi saluran pernafasan
3. Meningkatkan resiko serangan asrma
4. Menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif
5. Meningkatkan resiko kegemukan

6. Meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah
7. Meningkatkan resiko infeksi yang berasal dari susu formula yang tercemar
8. Meningkatkan kurang gizi
9. Meningkatkan resiko kematian
10. Meningkatkan kejadian karies gigi susu.
Air tajin adalah air rebusan beras. Air tajin mengandung partikel beras,
dan mengandung karbohidrat. Beberapa sumber mengatakan, bahwa air tajin
tidak dapat menggantikan fungsi susu. Karena air tajin hanya mengandung
karbohidrat, sehingga fungsinya tidak selengkap susu. Sementara kandungan
protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi. Protein itu bisa
diperoleh dari susu, sementara karbohidrat hanya memberikan tenaga pada
bayi, dan membuat pertumbuhan pada otak bayi tidak optimal.

BAB III
PEMBAHASAN


Penelitian pertama
Nama : M.NAZRIL ILHAM
Tempat, tanggal lahir : Pasuruan, 1 April 2005 (12 tahun)
Alamat : Perum. Pesona Candi III blok w2

Perkembangan fisik
Perkembangan intelektual
Perkembangan sosial
Perkembangan mental
Perkembangan kebudayaan dan religius
Susu yang di berikan si ibu pada waktu kecil




ASI diberikan hanya 2 hari
Susu formula dengan merk DCW
dicampur dengan kuning telur ayam
kampung mulai usia 0 – 3 tahun.