BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Definisi Pajak - Analisis Yuridis Mengenai Kewajiban Pajak Terhadap Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Elektronik Di Jejaring Sosial

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Definisi Pajak Hukum pajak, yang juga disebut hukum fiskal, adalah keseluruhan dari

  peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan- badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak, yang kemudian disebut

  

  sebagai wajib pajak. Tugas hukum pajak ini adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan- peraturan hukum ini; bahwa penting sekali untuk tidak mengabaikan latar

   belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat tersebut.

  Hukum pajak mengatur mengenai kewenangan pemerintah untuk memungut pajak dari masyarakat, sehingga pengertian pajak itu menjadi tidak jelas. Menurut Adriani, pajak itu adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

   berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

  Pengertian tersebut menyatakan bahwa bahwa pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu species dalam genus pungutan, yang berarti bahwa pungutan bermakna lebih luas dibanding pajak. Dalam definisi ini lebih ditekankan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak sendiri juga

   mempunyai satu fungsi lagi, yaitu fungsi mengatur (regulerend).

  Rochmat Soemitro mengemukakan pengertian pajak dalam bukunya

  

  “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan” adalah sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

  Definisi ini kemudian dipertahankan dan disimpulkan kembali dalam bukunya

  

  yang berjudul “Pajak dan Pembangunan”, definisi tersebut berupa: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus-nya” digunakan untuk

  public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.”

  Definisi tersebut kurang lengkap, bahkan seperti halnya pula dengan Adriani, yang kemudian di dalam bukunya termaksud mengupas panjang lebar 23 24 Ibid., hlm.2.

  Ibid. tentang fungsi mengatur. Padahal, communis opinion doctorum menyatakan bahwa sebaik-baiknya suatu definisi adalah bila ia memuat semua ciri yang melekat pada pengertian yang akan dibuatkan pembatasannya; setidak-tidaknya

  

  definisi tersebut sudah mendekati kesempurnaan. Definisi pajak menurut UU KUP pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

  Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan

   kebutuhan masyarakat.

  Pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar

   pajak.

  Hasil kajian dari pengertian diatas, penerimaan pajak merupakan pemasukan dana yang paling potensial bagi negara, karena besarnya pajak seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, perekonomian, dan stabilitas politik.

   Sedangkan penerimaan di luar pajak adalah seperti dari sektor migas.

   Ciri-ciri pajak yang tersimpul dalam berbagai definisi itu adalah: 1.

  Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.

  2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.

  3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.

  4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

  5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi publik.

  6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.

  7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.

  29 30 Ibid.

  Rimsky K. Judisseno, Pajak & Strategi Bisnis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

B. Asas-Asas Pemungutan Pajak

  Hukum pada umumnya bertugas membuat adanya keadilan, sesuai dengan hukum itu bahwa tujuan hukum pajak sendiri adalah membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya

   sehari-hari.

  Hal inilah yang menjadi sendi pokok yang harus diperhatikan oleh negara selaku pemungut pajak. Maka dari hal itu, pertimbangan dan perbuatan yang adil adalah syarat mutlak bagi pembuat undang-undang khususnya undang-undang perpajakan dan juga selaku aparatur pemerintah yang berkewajiban

   melaksanakannya.

  Konsep keadilan itu bersifat relatif. Hal yang dulunya dianggap adil, di zaman modern sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai keadilan. Sebagai contohnya bahwa zaman dahulu suatu negara yang kalah perang harus membayar setiap tahun sejumlah uang atau memberikan hasil bumi kepada negara yang

   menaklukkannya.

  Kebijakan yang dianggap adil oleh suatu negara, belum tentu adil di mata negara lainnya, misalkan di Jepang, pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena telah secara langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah. Di Indonesia sendiri juga berlaku sejak 1 Januari 1964 dengan pengertian bahwa pajak pendapatannya dipikul oleh pemerintah. Namun di negara-negara lain tidak dibahas mengenai pengecualian pajak pendapatan bagi 32 R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.26. pegawai negeri. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata.

35 Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and Causes of

  

The Wealth of Nations” pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas

  pemungutan pajak yang dikenal dengan nama The Four Cannons atau The Four

  Maxims dengan uraian sebagai berikut:

   1.

  Equality Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah perlindungan pemerintah (asas pembangunan/asas kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminalisasi di antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

  2. Certainty Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

  3. Convenience of payment

  “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most

  likely to be convenient for the contributor to pay it” . Teknik pemungutan

  pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan waktu diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4. Efficiency

  “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the

  pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the state”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa

  pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.

  Hostra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, di samping kenyataan bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas. Misalnya: oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting, yaitu apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur “equality” tersebut.

   Ungkapan Adam Smith tersebut merupakan sesuatu yang merumuskan

  suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para pengikutnya sepanjang masa. Jauh di kemudian hari ditemukan formulasi yang lebih konkret yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, melainkan yang terkenal

   dengan nama “gaya pikul”.

  Perbedaan dengan maxim-maxim berikutnya dijelaskan bahwa persyaratan keadilan dalam maxim kedua sesungguhnya berlaku penuh untuk bidang hukum seluruhnya, jadi tidak merupakan monopoli hukum pajak. Namun demikian, daripadanya tercermin betapa pentingnya adanya pembatasan-pembatasan yang tepat, pasti, dan tegas sehingga tidak memungkinkan ditemukannya peluang oleh siapapun untuk mengelakkan diri dari pajak dalam bentuk penyelundupan dan sebagainya. Selanjutnya maxim ke-3 dan ke-4 dianggapnya hanya bersifat

  

memberi petunjuk dalam pelaksanaannya.

  Zaman modern sekarang ini pun Adriani sangat menyetujui syarat umum dan merata itu walaupun dalam arti yang agak berlainan daripada tafsiran yang dianut dalam abad ke-18. Menurut guru besar itu, yang dimaksudkan dengan umum dan merata ialah bahwa pemungutan pajak itu harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Adapun bagaimana jelasnya, barulah dapat diuraikan dalam membicarakan

   tentang hal tarif.

1. Teori-teori pembenaran pemungutan pajak

  Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran (justification) untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada di kalangan para sarjana dan pemikir 38 Ibid. masalah pemungut pajak, mengenai apakah negara dibenarkan memungut pajak

   dari rakyat.

  a.

  Teori asuransi Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara disamakan dengan perusahaan asuransi, warga negara membayar pajak sebagai premi untuk mendapat perlindungan.

  Adapun beberapa hal yang membedakan antara pemungutan pajak

  

  dengan premi asuransi adalah: 1)

  Pemungutan pajak untuk kepentingan seluruh masyarakat, sedangkan asuransi untuk kepentingan individual.

  2) Besarnya beban pajak disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan wajib pajak, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

  3) Dalam pajak tidak ada klaim langsung atas terjadinya keadaan yang memberatkan individu, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

  Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika seseorang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dengan asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindugannya terhadap pembayar pajak.

  b.

  Teori kepentingan Teori ini menyatakan bahwa pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu yang menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.

  Permasalahan dalam teori ini adalah bagaimana dan kriteria apa yang diambil sebagai ukuran tingkat kepentingan seseorang dan/atau badan terhadap negara. Misalnya, seorang yang miskin, yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar, harus membayar pajak yang lebih besar, sementara mereka yang hidup cukup mapan, yang tidak membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial, justru memberikan pajak yang sedikit. Namun demikian teori ini cukup penting untuk diperhatikan, karena semua orang, kaya dan miskin, mempunyai kepentingan terhadap negara yang jelas-jelas membutuhkan pembiayaan

   yang tidak sedikit.

  c.

  Teori daya pikul/teori gaya pikul Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari wajib pajak, jadi tekanan semua pajak- pajak harus sesuai dengan daya pikul wajib pajak dengan memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.

  Teori ini menekankan pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang dengan daya pikulnya masing-masing. Dalam teori ini muncul masalah, yaitu: bagaimana mungkin si miskin yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar dapat memberikan pajak yang besar, maka dalam teori ini, keadilan dan keabsahan pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan masing-masing anggota

   masyarakatnya, bukan berdasarkan besar kecilnya kepentingannya.

  Teori ini masih dipertahankan hingga kini oleh kebanyakan sarjana terkemuka dalam lapangan hukum pajak. Asas ini sangat terkenal, tetapi mengenai seluk-beluknya sering kali timbul salah paham, bahkan di antara

   para sarjana hukum dan para cerdik-pandai lainnya.

  De Langen mengemukakan bahwa asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama pula, seperti asas

  

  perolehan utama dan asas kenikmatan. Pengertian asas kenikmatan ialah asas bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh orang masing-masing seperti tercantum dalam 44 teori kepentingan. Dengan kata lain, asas ini adalah asas umum yang Ibid., hlm.9. terdapat dalam jual-beli yaitu membayar sesuatu seimbang dengan apa

   yang diperolehnya.

  De Langen menyatakan bahwa asas gaya pikul ini menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Dalam pemuasan kebutuhan itu yang dibutuhkan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan

  

  gaya pikul seseorang. Asas gaya pikul ini hingga kini tetap merupakan suatu pengertian yang hidup dan yang seadil-adilnya, tetapi uraian secara ilmiah mengenai isinya sering terbentur kepada kesulitan-kesulitan terhadap uraian mengenai luasnya, terlebih mengenai pelaksanaan untuk menetapkan imbalan antara luasnya dengan jumlah-jumlah pajak yang

   harus dipungutnya.

  d.

  Teori bakti Teori ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu, maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya.

  Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat 47 dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat Ibid., hlm.33. berkewajiban membayar pajak. Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak. Teori ini merupakan hubungan antara “bapak” dengan “anak” tercermin dengan baik, yaitu: sudah menjadi tugas “bapak” untuk memperhatikan segala keperluan anaknya, dan untuk itu “anak” menunjukkan bakti terhadap bapaknya dengan turut merawat dan

   memelihara pemberian tersebut berupa pembayaran pajak.

  e.

  Teori daya beli Teori ini adalah teori modern, yang tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada

  “efeknya” dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

  Adriani mengemukakan bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak terluput

  

  dari adanya variasi dalam coraknya. Perlu dicatat bahwa dalam zaman modern ini, banyaklah terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori- teori untuk memberi dasar keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak. Mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis, seperti kita lihat pada teori asas gaya beli dan yang seharusnya tidak menyimipang dari asas keadilan pula. Hanya bilamana sangat diperlukan, barulah mereka itu menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar

   keadilan untuk pemungutan suatu pajak tertentu.

C. Jenis Pajak di Indonesia

  Pembagian pajak yang berlaku di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan

   golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya.

   Pembagian pajak berdasarkan golongan terbagi 2 yaitu: 1.

  Pajak langsung Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contohnya: pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap

  51 52 R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.36.

  Ibid. penghasilan, dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.

2. Pajak tidak langsung

  Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contohnya: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Dalam pajak ini, beban pajak digeserkan dari produsen/penjual ke pembeli/konsumen, karena pergeseran ini searah dengan arus barang yaitu dari produse ke konsumen maka pergeserannya disebut pergeseran ke depan (forward shifting). Di samping itu ada juga yang disebut dengan pergeseran ke belakang (backward shifting) yaitu pergeseran pajak yang berlawanan dengan arus barang.

  Pembagian pajak berdasarkan wewenang pemungut pajak dapat dibagi

  

  menjadi dua, yaitu: 1.

  Pajak pusat/pajak negara Pajak pusat/pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh departemen keuangan melalui Dirjen pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN). Pajak pusat yang berlaku saat ini adalah: a.

  Pajak penghasilan.

  b.

  Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. c.

  Pajak bumi dan bangunan.

  d.

  Bea materai.

  e.

  Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

2. Pajak daerah

  Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas pendapatan daerah. Jenis pajak daerah yang berlaku adalah sebagai berikut: a.

  Pajak daerah tingkat I 1) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. 2) Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. 3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. 4)

  Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

  b.

  Pajak daerah tingkat II 1) Pajak hotel. 2) Pajak restoran. 3) Pajak hiburan. 4) Pajak reklame. 5) Pajak penerangan jalan. 6) Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C. 7) Pajak parkir. Pembagian pajak berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

   1.

  Pajak subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan wajib pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu gaya pikul.

2. Pajak objektif

  Pajak objektif adalah pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain, pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya saja.

  Pemaparan mengenai pengaturan atas Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PPN), karena kedua jenis pajak ini yang menjadi fokus dalam topik ini, yaitu jenis pajak yang berlaku di dalam dunia usaha, meskipun masih banyak pajak yang berlaku di dalam dunia usaha, namun kedua jenis pajak ini lebih difokuskan karena kedua pajak ini yang biasanya dikenakan terhadap badan usaha. Adapun uraian mengenai hal tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1.

  Pajak penghasilan (PPh) PPh merupakan singkatan dari “pajak penghasilan” adalah salah satu jenis pajak langsung yang ada di Indonesia dan dikelola oleh Dirjen pajak dan

  

  departemen keuangan. PPh termasuk dalam kategori sebagai pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan sehingga terdapat ketegasan bahwa apabila tidak ada subjek pajaknya, maka jelas tidak dapat dikenakan

58 PPh.

  Pengertian penghasilan dalam UU PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan wajib pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah

   untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

  Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk

   konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak.

  UU PPh menganut pengertian penghasilan yang luas sehingga semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya

   (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.

  57 Liberti Pandiangan, Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm.1. 58 59 Erly Suandy, Op.Cit., hlm.45.

  Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia : Konsep, Aplikasi, dan Kasus Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru (Bogor: Esiamedia, 2009), hlm.125.

  Suatu jenis penghasilan apabila dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif

   umum.

   Subjek pajak dalam pajak penghasilan adalah: a.

  Orang pribadi Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan umur dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondiscrimination).

  b.

  Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan selanjutnya.

  c.

  Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi

   kolektif dan bentuk usaha tetap.

  Dari uraian di atas, terlihat bahwa yang dimaksud dengan badan sebagai subjek pajak tidaklah semata-mata yang bergerak dalam bidang usaha (komersial), namun juga yang bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan, dan sebagainya, sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang, sehingga tidak ada alasan bagi badan (khususnya organisasi) selain yang bergerak di bidang usaha untuk menyatakan bahwa mereka tidak termasuk sebagai subjek pajak.

  d.

  Bentuk usaha tetap Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi atau menanggung resiko di Indonesia. Objek pajak dari pajak penghasilan ditegaskan kembali berdasarkan

  Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh bahwa objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dapat dikategorikan atas empat

  

  sumber yakni: a.

  Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas; b. penghasilan dari usaha dan kegiatan; c. penghasilan dari modal; d. penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya.

  Sesuai dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut

  

  oleh UU PPh, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a.

  Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadian undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

2. Pajak pertambahan nilai (PPN)

  PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau impor barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP), dan dapat dikenakan berkali-kali

  

  setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Subjek PPN adalah PKP. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak.

   Objek PPN diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU

  PPN, sebagai berikut:

   a.

  Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh PKP; b. impor barang kena pajak; c. penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh PKP; d. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; e. pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean; f. ekspor barang kena pajak oleh PKP; g. kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain;dan h. penyerahan aset oleh PKP yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang pajak pertambahan nilai yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

  Adapun kelompok barang yang tidak dikenakan PPN adalah:

   a.

  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti minyak tanah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara, dan bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

  b.

  Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

  c.

  Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya.

  d.

  Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

  Kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN adalah jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, keagamaan, pendidikan, kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan, penyiaran yang bukan bersifat iklan, angkutan umum di darat dan di air, tenaga kerja, perhotelan, dan jasa yang disediakan oleh

   pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

D. Pengawasan dalam Pemungutan Pajak

  Persoalan penerimaan pajak yang menjadi titik sentral sumber penerimaan dalam APBN memunculkan suatu gagasan untuk membentuk suatu komisi pengawas perpajakan untuk mengawasi penerimaan pajak menjadi ide cukup menarik. Begitu pentingnya peranan APBN menjadikan semua pihak berkepentingan melakukan pengawasan karena semua pihak juga mempunyai

   kewajiban yang sama untuk membayar pajak.

  Menteri Keuangan mengemukakan bahwa aparat pajak diawasi oleh atasannya secara berjenjang, adapun pengawasan secara internal oleh inspektorat jenderal. Selain itu juga ada pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengawasan yang ketat diharapkan untuk

   tidak mengakibatkan penerimaan menjadi terhambat.

  Kesimpulan terhadap pernyataan di atas ada beberapa hal, pertama, pengawasan terhadap pajak adalah penting dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Kedua, semua orang punya kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, juga mempunyai hak turut mengawasi apakah pajak yang telah disetorkannya benar-benar masuk dalam kas APBN ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, terlalu banyaknya lembaga pengawasan terhadap pajak 71 Ibid., hlm.58-59. bisa menjadi kontraproduktif terhadap kinerja pelaksanaan undang-undang pajak

   itu sendiri.

  Kecenderungan masyarakat memandang pajak dari sisi negatif wajar saja karena memang dalam sejarahnya tidak pernah ada orang yang mau membayar pajak. Bahkan kalaupun mau bayar pajak, sebaiknya kecil saja. Selain hasilnya tidak bisa dirasakan langsung, juga pelayanan yang diberikan pemerintah tidak

  

pernah dirasakan baik dan menyenangkan.

  Pandangan masyarakat seperti demikian tentu bisa menimbulkan pola berpikir lain agar terhadap aparatur pajak dilakukan pengawasan melalui suatu komisi khusus. Gagasan ini wajar, namun perlu dikaji lebih lanjut efektivitasnya,

   terlebih dengan sudah adanya lembaga pengawas yang cukup banyak.

  Masyarakat menginginkan adanya suatu lembaga pengawasan lain berupa Komisi Pengawas Perpajakan (selanjutnya disebut Komwas perpajakan), adalah hal wajar. Kecenderungan yang terjadi pada berbagai institusi lain juga dibentuk suatu komisi, contohnya komisi kejaksaan, komisi kepolisian, komisi yudisial, komisi pemilihan umum, dan lainnya. Bahkan komisi juga dibentuk untuk pekerjaan yang lebih luas sifatnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Hukum Nasional (KHN), dan Komisi Nasional Hak Asasi Nasional (Komnas HAM). Tujuan pembentukan komisi-komisi tersebut

74 Ibid.

  menunjukkan bahwa tidak berjalannya dengan baik sistem pengawasan yang ada

   baik secara internal maupun eksternal terhadap suatu organisasi pemerintah.

  Ketidakpuasan masyarakat untuk mengawasi pajak, saat ini telah tertampung dalam Pasal 36C UU KUP yang menyebutkan bahwa menteri keuangan membentuk Komwas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan

  

  peraturan menteri keuangan. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36C UU KUP tersebut, menteri keuangan telah menetapkan peraturan menteri keuangan tentang Komite Pengawas Perpajakan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.09/2008 Tentang Komite Pengawas Perpajakan (selanjutnya disebut PMK No.54/PMK.09/2008), yang di dalamnya mencakup

   mengenai tugas, keanggotaan, dan kewenangan Komwas perpajakan.

  Implementasi terhadap amanat UU KUP, secara eksplisit Komwas perpajakan juga dibentuk untuk mewujudkan kultur baru, nilai baru, dan tata kelola yang baik di lingkungan perpajakan, sehingga diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparat perpajakan dalam melaksanakan tugasnya, yang pada akhirnya dapat mewujudkan tujuan reformasi bidang

  

  perpajakan. Berdasarkan Pasal 1 PMK No.54/PMK.09/2008, Komwas perpajakan adalah komite non struktural yang bertugas membantu menteri keuangan dan bersifat mandiri dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas instansi perpajakan. Komwas perpajakan dibentuk untuk menampung pengaduan dari masyarakat pada umumnya dan wajib pajak 77 78 Ibid. 79 Ibid.

  Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/index.php?r khususnya yang merasa diperlakukan tidak adil dalam pengenaan pajaknya, baik terdapat unsur kerugian negara atau tidak, dan membantu menteri keuangan dalam mengawasi instansi perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak sesuai

   undang-undang.

  Komwas perpajakan bersifat mandiri artinya dalam melaksanakan tugas dilakukan secara professional, tidak terpengaruh pihak-pihak lain dan bertindak imparsial (tidak memihak) sekalipun mendapatkan penugasan dari menteri keuangan. Komwas perpajakan tetap bersifat independen dalam hal melaksanakan tugas walaupun tetap bertanggung jawab kepada menteri keuangan, namun menteri keuangan tidak dapat mengintervensi Komwas perpajakan dalam melaksanakan tugas menganalisa dan membuat kajian atas temuan yang ada. Sesuai penugasannya, komite melakukan kajian dan menyampaikan saran/masukan kepada menteri keuangan. Keberadaan Komwas perpajakan dibawah menteri keuangan, tidak dapat menjadi ukuran ketidak-indipendenan Komwas perpajakan. Sebagai contoh, pengadilan dan hakim sebelum revisi ke-3 UUD 1945 tahun 2001 berada dibawah menteri/departemen, tetapi hakimnya tetap

   independen dalam memutus perkara.

  Komwas perpajakan bertugas untuk melakukan pengawasan dan melakukan kajian serta memberikan masukan dan/atau saran yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas instansi perpajakan agar melakukan pemungutan pajak

81 Komisi Pengawas Perpajakan, http://komwasperpajakan.depkeu.go.id/index.php?r

  sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melakukan pengawasan, Komwas perpajakan bertugas:

   1.

  Menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil dalam pemungutan pajak.

  2. Menerima dan mendapatkan informasi baik dari pihak ketiga maupun mass media.

  3. Melakukan pengamatan terkait kendala dan dampak pelaksanaan peraturan perpajakan oleh instansi perpajakan.

  4. Melakukan kajian-kajian atas tugas pada butir 1, 2, dan 3, untuk diberikan saran atau masukan kepada menteri keuangan sepanjang terkait untuk meningkatkan pelaksanaan peraturan perpajakan oleh instansi perpajakan.

  Adapun kewenangan Komwas Perpajakan dalam melaksanakan tugas pengawasan adalah:

  1. Menampung masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas instansi perpajakan serta menetapkan prioritas yang memerlukan proses lebih lanjut.

  2. Meminta informasi secara tertulis kepada pihak-pihak terkait selain instansi perpajakan dalam rangka klarifikasi mengenai masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada angka 1.

  3. Meminta keterangan kepada petugas instansi perpajakan sehubungan dengan masukan dan/atau pengaduan masyarakat atau pihak lain dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Memberi rekomendasi dan/atau saran kepada menteri keuangan untuk perbaikan pelaksanaan tugas instansi perpajakan.

  Pengawas struktural seperti Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) dan Inspektorat Jenderal (Itjen) menerima dan mempertanggungjawabkan tugas kepada atasan struktural langsung, dan pejabat/petugasnya berasal dari intern struktural tersebut. Komwas perpajakan seperti halnya dewan pengawas/komisaris pada perusahaan, dimana Komwas perpajakan mewakili pemegang saham (menteri keuangan) dalam melakukan pengawasan terhadap direksi (dirjen pajak) dalam mengelola dan mengendalikan perusahaan (instansi perpajakan). Dalam pelaksanaannya, dewan pengawas (komisaris) dengan direksi harus bersinergi dengan pelaksanaan pengelolaan perusahaan. Begitu pula dengan Komwas perpajakan harus bersinergi dengan instansi perpajakan dalam mengawasi pelaksanaan peraturan perpajakan sehingga

   dapat menimbulkan rasa keadilan bagi wajib pajak.

  Komwas perpajakan sendiri memiliki rencana jangka pendek, jangka

  

  menengah, dan jangka panjang, yaitu: 1.

  Rencana jangka pendek: menangani/menyelesaikan pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh wajib pajak yang merasa diperlakukan tidak adil, sehingga sengketa pajak dapat berkurang.

  2. Rencana jangka menengah: melakukan pengamatan dan kajian untuk usul penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai prosedur atau yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya agar penyimpangan peraturan-peraturan tersebut dapat di eliminir sehingga lebih memberikan keadilan kepada wajib pajak sebagai pemikul beban pajak.

  3. Rencana jangka panjang: berdasarkan masukan dan pengamatan tersebut, diberikan saran dan/atau masukan agar sistem hukum pajak yang terdiri dari legal substance (peraturan perpajakan), legal structure (institusi perpajakan) dan legal culture (sikap hukum wajib pajak/kepatuhan wajib pajak) berjalan dan terpenuhi dengan baik.

E. Hambatan dalam Pemungutan Pajak

  Terlepas dari kewajiban rakyat untuk membayar pajak kepada negara, sebagian besar masyarakat tidak akan pernah mengerti kewajibannya untuk membayarkan pajak, bahkan bila ada sedikit kemungkinan, maka pada umumnya mereka cenderung meloloskan diri dari setiap pengenaan pajak. Hal ini ternyata telah ada sejak dulu. Masyarakat cenderung melakukan perlawanan terhadap pemungutan pajak, yang menjadi hambatan bagi negara dalam hal pemungutan pajak. Perlawanan ini terbagi atas dua jenis, yaitu perlawanan pasif dan

   perlawanan aktif.

1. Perlawanan pasif

  Perlawanan pajak secara pasif ini berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang

   berlaku dalam masyarakat.

  Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan

  

teknik pemungutan pajak itu sendiri.

   Penjelasan atas hambatan tersebut berupa: a.

  Struktur ekonomi Contoh: pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris. Padahal pajak ini diperuntukkan untuk masyarakat di negara industri. Dalam pajak ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung sendiri pendapatan nettonya. Untuk itu diperlukan adanya pembukuan.

  Namun, menghitung pendapatan netto akan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Selain karena pencatatan pendapatan yang akurat sulit dilakukan, mereka juga tidak mampu melakukan pembukuan. Karena itu, timbullah perlawanan pasif terhadap pajak. Untuk menghindari hal ini, pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah bulat atas dasar pendapatan kadastral/nilai sewa, ataupun atas dasar luasnya tanah yang dikerjakan.

  Negara berkembang biasanya negara agraris menghubungkan 87 besarnya penghasilan netto dengan luas kepemilikan atas tanah dan 88 Erly Suandy, Op.Cit., hlm.21.

  R.Santoso Brotodihardjo, Loc.Cit. dihubungkan dengan tingkat kesuburan tanah. Indonesia mengambil jalan keluar untuk masyarakat kecil yang tidak bisa melakukan pembukuan dengan menggunakan norma perhitungan. Norma perhitungan dibuat oleh Dirjen pajak. Wajib pajak tinggal menghitung berapa omsetnya dikalikan dengan norma perhitungannya.

  b.

  Perkembangan intelektual dan moral penduduk Perlawanan pasif yang timbul dari lemahnya sistem kontrol yang dilakukan oleh fiskus ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk dikontrol. Contoh: pajak kepemilikan permata yang diterapkan di Belgia. Permata adalah benda yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya sehingga bisa saja pemilik permata menyembunyikan permata ini agar terhindar dari pengenaan pajak.

  c.

  Cara hidup masyarakat di suatu negara Contoh: masyarakat yang hidup di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim sehingga memungkinkan mereka bekerja sepanjang tahun. Hal ini bisa mengakibatkan mereka bekerja lebih santai dan hasilnya tidak optimal. Pendapatan mereka lebih sedikit sehingga penerimaan negara pun kurang. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis yang memiliki empat musim. Sebelum teknologi berkembang, mereka tidak bisa bekerja di musim dingin. Karena itu, mereka harus bekerja keras di musim yang lainnya agar kebutuhan di musim dingin bisa terpenuhi. Hasilnya, mereka bisa menghasilkan pendapatan yang lebih banyak sehingga uang yang masuk ke kas negara pun lebih banyak.

  d.

  Teknik pemungutan pajak itu sendiri Contoh: untuk pajak yang cara perhitungannya rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit pula, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak. Jadi, setiap tahun, petugas pajak melakukan penyuluhan dari kantor perpajakan mulai dari pusat sampai ke daerah. Perlawanan pasif sangat kuat dirasakan oleh pajak langsung daripada pajak tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh karena cara perhitungan pajak tidak langsung lebih sederhana dari pajak langsung. Di negara berkembang, pajak tidak langsung lebih besar dari pajak langsung. Sedangkan di negara maju, pemasukan negara dari pajak langsung lebih besar daripada pemasukan negara dari pajak tidak langsung. Namun, dari pajak tidak langsung ada masalah ketidakadilan. Sebagai contoh, cukai tembakau yang dikenakan kepada orang yang merokok. Jika ada konglomerat dan tukang becak yang merokok, mereka dikenakan cukai tembakau yang sama besarnya walaupun

   mereka memiliki kemampuan ekonomi yang jauh berbeda.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen

0 0 7

II. Pemutaran Film KB - Pengaruh Pemutaran Film Kb Terhadap Perilaku Partisipasi Masyarakat Ber-Kb Di Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2014

0 1 70

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Pengertian Film - Pengaruh Pemutaran Film Kb Terhadap Perilaku Partisipasi Masyarakat Ber-Kb Di Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2014

0 6 36

PENGARUH PEMUTARAN FILM KB TERHADAP PERILAKU PARTISIPASI MASYARAKAT BER-KB DI KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2014 SKRIPSI

0 0 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPABEANAN - Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Terhadap Kelancaran Lalu Lintas Barang Ekspor Dan Impor (Studi Pada Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai Tipe Madya Pabea

0 1 42

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Terhadap Kelancaran Lalu Lintas Barang Ekspor Dan Impor (Studi Pada Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai Tipe Madya Pabean Belawan)

0 3 19

Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Terhadap Kelancaran Lalu Lintas Barang Ekspor Dan Impor (Studi Pada Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Direktorat Jenderal Bea Cukai Tipe Madya Pabean Belawan)

0 1 10

BAB II ASPEK HISTORIS, JURIDIS, DAN KAPASITAS ASSOCIATION - Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 2 32

BAB I PENDAHULUAN - Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 0 21

Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia Dengan Asean Dalam Pendirian Sekretariat Asean Di Jakarta Terkait Dengan Host Country Agreement (Hca)

0 9 11