Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

TINJAUAN PUSTAKA

  II.1 Kebijakan Publik

  II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

  Dimulai dari pengertian kata publik menurut Wayne Parsons (2008:2) mengartikan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang pelu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dianggap suatu ruang dengan domain dalam kehidupan bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama atau milik umum. Dari pengertian yang digagaskan oleh ahli tersebut dapat kita lihat bahwa publik itu adalah sesuatu yang kompleks dan luas dan menyangkut kepentingan masyarakat yang tidak terbatas. Tetapi dengan dengan adanya pengertian perlu ada intervensi terhadap aktivitas manusia ini berarti bahwa publik memiliki cirri masyarakat yang mau diintervensi dari orang yang punya wewenang terhadap masyarakat atau aturan yang disepakati. Oleh karena itu dapat kita lihat bisa kita simpulkan bahwa publik itu adalah sejumlah individu yang mempunyai kesepahaman untuk membentuk kelompok dengan sistem tersendiri. Sistem dalam hal ini menyangkut apakah masyarakat itu bergerak dengan diintervensi pemerintah, aturan social yang berlaku atau hal lain. Dalam hal ini pemakalah menekankan bahwa publik itu adalah daerah kekuasaan yang diintervensi dari pemerintah

  Sedangkan kebijakan itu sendiri menurut pandangan Waine Parsons (2008:3) adalah sesuatu yang lebih besar dari keputusan tetapi lebih kecil dari gerakan sosial.

  Dari segi analisis kebijakan kebijakan itu berada ditengah-tengah. Sedangkan pengertian dari keputusan adalah adalah sesuatu yang disepakati secara rasional oleh itu gerakan sosial adalah suatu pola tertentu yang sudah tumbuh dibenak masyarakat dalam suatu batasan wilayah tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan segala kegiatan. Melihat tadi, bahwa kebijakan itu ada ditengah antara keputusan dan gerkan sosial maka secara sederhana dapat kita defenisikan bahwa kebijakan itu adalah sesuatu yang dapat mengikat masyarakat yang berada lebih dari satu golongan tetapi tidak untuk semua masyarakat.

  Jika kita melihat pengertian asal kata dari kebijakan publik diatas dapatlah kita simpulkan bahwa kebijakan publik itu adalah apa yang dilakukan pemerintah untuk mengikat daerah yang diintervensinya. Ini sama artinya dengan pendapat Thomas Dye (dalam Tangkilisan, 2003:1) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

  Disisi lain, terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (publik policy). Masing- masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda- beda. Perbedaan itu timbul karena masing

  • – masing ahli
mempunyai latar belakang yang beragam. Berikut kita dapat melihat pandangan ahli sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (dalam Abidin, 2004:21). Tidak jauh berbeda, menurut Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003:30) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataaannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus

  • – menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan yang luas.

  Jika berpatokan pada pendapat Chandler dan Plano ini maka kita dapat menyatakan bahwa pembentukan badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan produk kebijakan publik yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2010 mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah ketahanan pangan di serdang bedagai. Badan ini diberikan wewenang untuk mengintervensi persoalan pangan demi kepentingan kelompok yang kurang mampu.

  Lebih lengkap lagi Solichin Abdul Wahab (2008:4) merincikan konsep mengenai kebijakan publik dalam beberapa poin antara lain, pertama kebijaksanaan Negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebuah perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina akan mencakup beberapatindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negative berupa keputusan pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

  Dari penjelasan para ahli diatas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh. Dan berkaitan dengan penelitian ini, adanya kebijakan pembentukan Badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai, tentu merupakan hasil dari kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah. Dimana pemerintah pusat telah menetapkan bahwa urusan ketahanan pangan merupakan urusan pemerintah daerah melalui sebuah produk kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007.

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

  Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa timbulnya kebijakan publik disebabkan karena adanya gejala yang muncul atau dirasakan didalam masyarakat.

  Jadi kebijakan menurut tangkilisan (2003:19) tidak hanya bertumpu pada keadaan- keadaan dalam organisasai saja yang bersifat enthrophi akan tetapi lebih dinamis kebijakan publik menekannkan pada keinginana rakyat banyak yang hidup dalam masyarakat banyak yang hidup dalam masyarakat luas publik, dan tidak hanya berdasarkan kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan dipihak menurut pendapat yang sama lain bentuk organisasi tidak menekankan pada sistem enthrophi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus.

  Sistem birokrasi yang menekankan pada formalitas saja, tanpa mengindahkan dan menghargai unsure manusia secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik relatif tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat hal yang paling esensial dalam kebijakan publik adalah usaha melaksanakan kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan

  Pejabat politik harus memikirkan bagaiman memilih dan membuat kebijakan publik. Sekarang timbul pertanyaan bagaiman kebijakan itu dilakasanakan. Usaha untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan ketrampilan, menguasai persoalan yang hendak dikerjakan, didalam hal ini kedudukan birokrasi menempati kedudukan yang strategis karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantias dituntut untuk mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi.

  Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kegiatan dirumuskan. Menururt Robert Nakamura dan Frank Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003:19) hal-hal yang berhubungan dengan implementasi adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam menghubungkan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya.

  Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi (dalam Tangkilisan, 2003:20). Hal ini didasarkan pada pendapat Jones yang menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Beliau mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menetukan implementasi, juga membahas actor-akto yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

  Menurut jones (dalam Tangkilisan, 2003:18) tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah

  1. penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahakan makna program kedalam pengaturan yang dapat diteriman da dapat dijalankan

  2. organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam 3. penerapan yang berhubungan denga perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lainnya

  Dengan penjelasan tersebut implementasi kebijakan dapat dipandang sebagi suatu proses melaksankan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Pemerintah Eksekutif,atau Instruksi Presiden

  Menurut wibawa implementasi kebijakan merupakan pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundang- undangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menetukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

  Dari uraian daiatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan yang dimaksud kan dalam penelitian ini adalah pengimplementasian Peraturan Pemerintah (PP) 38 tahun 2007 dan Peraturan daerah Kabupaten Serdang Bedagai No. 3 tahun 2010 yang mengatur tentang kebijakan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai.

  Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan

  Penggunaan model analisis kebijakan untuk kepentingan analisis maupun penelitian sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permaslahan kebijakan yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. pedoman awal yang dikemukakan oleh Solichin (2004: 70) adalah semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan semakin model yang relatif operasional, model yang mampu menghubungkan kausalitas antar variable yang menjadi fokus masalah. Ada bermacam-macam model implemntasi yang dikemukakan oleh para ahli dan salah satunya adalah model Van Meter dan Van Horn. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat melihat dari sudut pandang Van Meter dan Van Horn.

  Model Van Meter dan Van Horn (dalam Solichin, 2004:78) menyatakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.

  Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut 1.

  Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan 2. Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi

  Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relative tinggi.

  Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi oleh enam faktor yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

  Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik 2.

  Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

  3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

  4. Karakteristik agen pelaksana Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

  5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

  6. Disposisi implementor

  Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut

  Gambar 2. Model Van meter Horn

  Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa varibel-variabel kebijaksanaan bersangkutpaut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat pehatian pada badan-badan pelaksana maliputi baik organisai formal maupun informal ; sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan- kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dengan kelompok-kelompok sasaran. Van meter dan Horn ini mampu menjelaskan sukses atau tidaknya suatu kebijakan melalui variable-variabel yang dikemukannya. Dalam menganalisis implementasi suatu kebijakan model ini dapat Dengan model ini, akan menolong dan menuntun peneliti dalam mengupas masalah penelitian yang akan diteliti.

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi

  Suatu kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pembuat Kebijakan (Decision

  

Making ) menuntut agar segera dieksekusi. Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut

  maka perlu adanya organisasi pelaksana yang menjadi aktor kesuksesan suatu kebijakan. Secara tradisonal, aktor implementasi kebijakan adalah birokrat sebagai tangan pemerintah. Nugroho (2014:236) mengatakan kita mengenal istilah “ birokrat jalanan” yang menganggap pemerintah punya segalanya untuk mengelola kehidupan publik. Hal ini yang membuat peranan publik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting dan selalu mengharapankan pemerintah yang turun tangan. Dampaknya adalah orang

  • –orang sangat tergantung kepada pemerintah dan setiap masalah publik harus segera dibawa kepada pemerintah untuk diselesaikan.

  Berbeda dengan Nugroho, Winarno (2014:221-224) menyebutkan ada 5 pelaksana/implementor suatu kebijakan yaitu a.

  Birokrasi Pada saat kongres penetapan sebuah undang-undang publik dan presiden telah menandatangani, langkah berikutnya adalah badan-badan administrasi harus segera memulai proses implementasi. Badan-badan administrasi ini melakukan tugas pemerintah sehari-hari dan berhadapan dengan warga

  Negara secara langsung dalam tindakan-tindakan mereka dibandingkan 2014:221-222) menambahkan bahwa badan-badan (birokrasi) ini mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang berda dalam yuridiksinya karena mereka seringkali bekerja berdasarkan mandat perundang-undangan yang luas dan ambigu.

  b.

  Lembaga Legislatif Secara tradisional asumsi dalam banyak literature administrasi publik menyatakan bahwa ilmu politik dan administrasi merupakan kegiatan- kegiatan yang tak terpisahkan. Asumsi ini dipersoalkan karena cabang- cabang administrative seringkali dalam perumusan maupun dalam imlemntasi kebijakan. Dan sebaliknya badan-badan legislatif sering terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.

  c.

  Lembaga Peradilan Keterlibatan lembaga peradilan dalam implementasi kebijakan publik adalah dalam konteks memengaruhi tata kelola /administrasi melalui interpretasi nyata terhadap perundang-undangan, peraturan-peraturan administrasi, regulasi dan pengkajian ulang terhadap keputusan administratif dalam kasus yang dibawa ke pengadilan.

  d.

  Kelompok-kelompok penekan Oleh karena diskresi seringkali diberikan kepada badan-badan administrasi publik, maka membuka kesempatan kepada badan administrasi untuk melakukan distorsi. Berdasarkan diskresi yang berlaku dalam banyak badan administrasi, sebuah kelompok yang berhasil memengaruhi tindakan suatu dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan antara suatu kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bias begitu dekat, sehingga disimpulkan bahwa suatu kelompok kepentingan telah “menguasai” suatu badan administrasi.

  e.

  Organisasi-organisasi masyarakat Organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi program-program publik. Kebijakan publik yang dikeluarkan sering mengharapkan keterlibatan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.

  Dalam penelitian ini yang akan menjadi aktor dari kebijakan publik ini adalah badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan serta organisasi perangkat daerah dan organisasi-organisasi lainnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan di kabupaten Serdang Bedagai. Yang dimaksud berkaitan dengan bidang ini adalah setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta yang menjalin koordinasi dengan badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan. Selain itu, turut juga organisasi pemerintah pusat dan setiap organisasi lainnya yang memiliki tujuan yang sama yang telah ditetap.

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi

  Fokus utama dari studi implementasi adalah persoalan tentang bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam organisasi. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, pertanyaaannya adalah bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini (Parson,2008:484). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan dari setiap organisasi-organisasi pelaksana dalam mensukseskan suatu kebijakan yang telah dirumuskan. Interaksi antar organisasi pelaksana dilapangan menjadi keharusan untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Ada dua pendekatan yang muncul untuk mengungkap hal ini, yaitu:

1. Kekuasaan dan ketergantungan sumberdaya

  Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari hubungan kekuasaan dimana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan mereka. Pada gilirannya, organisasiorganisasi yang tergantung pada organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerjasama dengan organisasi yang lebih kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka untuk beroperasi (Aldrich dalam parson, 2008:484). Dalam hal ini, Aldrich ingin mengungkapkan bahwa setiap organisasi pelaksana yang lemah akan selalu bergantung pada organisasi pelaksana yang lebih kuat. Namun keadaan itu akan terus berlanjut jika organisasi pelaksana yang lemah tersebut berinteraksi dengan organisasi pelaksana yang lebih lemah lagi.

  Maka organisasi yang lebih lemah itu akan sangat bergantung pada organisasi yang lemah tersebut.

  2. Pertukaran Organisasional organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan white (1961) dalam parson (2008:485) mengatakan bahwa ciri utama dari pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Hal ini didukung oleh pernyataan Scharpf (dalam Parson, 2008:485) bahwa “ Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan…ringkasnya hubungan dependensi-unilateral yang stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarki dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar organisasi.

II.1.6 Kegagalan Kebijakan

  Gordon chase (dalam parson, 2008:483) memberikan kerangka untuk memeriksa rintangan yang menghadang implementasi kebijakan publik. Melalui kerangka tersebut dapat digunakan oleh pihak pengimplementasi sebagai peta agar mereka bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan utama dalam program mereka.

  Yang signifikan dalam analisisnya adalah dia meninjukkan bahwa dalam mengimplementasikan kebijakan pelayanan manusia, konteksnya lebih kompleks dan tak pasti, bahkan dalam soal-soal seperti ruang dan sumber perlengkapan sekalipun.

  Dari tiga bagian kerangka yang disusun oleh Gordon chase tersebut, peneliti hanya mengidentifikasi persoalan implementasi. Seperti yang kita ketahui Badan lebih bersifat koordinatif bukan bersifat teknis, oleh sebab itu kesulitan yang berasal dari tuntutan operasional pada badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan tidak dapat dilihat. Adapun kerangka yang dikemukan oleh Gordon tersebut adalah sebagai berikut:

  

Kesulitan yang berasal dari sifat dan ketersediaan sumber daya yang

diperlukan untuk menjalankan program.

  1. Uang: berapa batas dana, dan adakah kemungkinan untuk dilebihkan? 2.

  Personel: apakah mereka siap, dan punya kualifikasi yang tepat? Apakah programnya sudah punya cukup personel?

  3. Ruang: apakah program punya ruang yang cukup? Apakah perlu ditambah? 4.

  Suplai dan perlengkapan teknis: apakah tersedia dan dapat digunakan? Apakah teknologi berperan penting?

  

Kesulitan yang berasal dari kebutuhan manajer program untuk berbagi

otoritas atau mempertahankan dukungan dari aktor politik dan birokratik

lain.

  1. Agen Overhead: berapa banyak agen yang harus ditangai manajer, dan apakah mereka akan bersifat suportif?

  2. Agen lini: berapa banyak yang terlibat dan dapatkah orang-orang itu bekerja sama? Apakah tanggung jawab masing-masing lini sudah jelas?

  3. Politisi terpilih: apakah mereka bias membantu atau malah menghalangi?

  4. Mana level pemerintah lebih tinggi yang terlibat? Penyedia sector-privat: seberapa banyakkah manajer program membutuhkan penyedia sector privat? Seberapa baikkah manajer program mampu mengontrol kontraktor privat? 6. Kelompok kepentingan khusus: apa kepentingan politik mereka dan apa pengaruhnya?

  7. Media massa: akankah program bias terlihat? Apakah media bias membantu atau justru mengganggu? Khusus bagi negara-negara berkembang, sebaiknya tidak gagal dalam perumusan kebijakan atau dalam membuat keputusan, karena apabila gagal maka akan memperlemah kredibilitas pembuat kebijakan, pemerintah yang berkuasa. Menurut Nugroho (2014:251), perumusan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan; oleh karena itu perumusan kebijakan di negara-negara berkembang dianggap gagal jika: 1.

  Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi kebjakan tidak mampu untuk diimplementasikan. Hal ini dinamakan sebagai kegagalan manajemen, karena kebijakan kemudian undermanage atau tidak mampu di-manage.

  2. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasi nya juga berhasil, tetapi implementasinya mahal. Hal ini dinamakan kegagalan administratif.

  3. Kebijakan berhasil dirumuskan dan implementasinya juga berhasil, tetapi hasilnya tidak seperti yang didesain. Kegagalan ini dinamakan kegagalan desain.

4. Kebijakan berhasil dirumuskan, implementasinya sama berhasilnya seperti diharapkan. Kegagalan ini dinamakan kegagalan teori.

  5. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasinya diambil alih oleh kepentingan politik lain atau administrasi lain, hingga akhirnya menciptakan hasil yang berbeda total. Kegagalan ini dinamakan kegagalan yang keluar rel. Para pembuat kebijakan telah memahami bahwa daerahlah yang mengerti keadaannya dan seharusnyalah daerah yang menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kondisi daerahnya tersebut. Pemahaman inilah yang mendorong pembagian kewenangan daerah dan pemerintah pusat. Dan salah satunya ialah kewenangan untuk mengatasi masalah pangan. Kebijakan yang telah dibuat tersebut akan berjalan dilapangan dan tentukan akan memiliki hasil yang dapat dilihat.

  II.2 Koordinasi

  II.2.1. Pengertian Koordinasi

  Menurut Stoner (dalam Sugandha 1991:12) Koordinasi adalah Proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang berpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Senada dengan itu Sugandha juga menyebutkan bahwa koordinasi merupakan penyatupaduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaiannya dengan efisien (1991:12). Fayol (dalam Arsyad, 2002) menjelaskan bahwa koordinasi adalah suatu usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Fayol (dalam manajemen yang diartikan sebagai penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

  Adapun Brech (dalam Hasibuan, 2011) memberikan pengertian koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.

  Hal di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan koordinasi harus ada kesesuaian antara peraturan dan tindakan serta kerja sama antar anggota yang pada akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih dan semua usaha atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

  Hasibuan (2011) menyatakan bahwa koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan.

  Dari beberapa pengertian koordinasi di atas dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah kerjasama antar bagian atau sektor yang menciptakan keharmonisan kerja dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan Adapun unsur-unsur koordinasi adalah sebagai berikut:

  a) Unit-unit adalah kelompok-kelompok kerja didalam suatu organisasi yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kita akan melihat bagaimana setiap unit-unit yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah pangan.

  b) Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit suatu organisasi atau pada organisasi- organisasi adalah tenaga kerja’ keterampilan dan pengetahuan personilnya, teknologi, anggaran, serta fasilitas kerja lainnya.

  c) Gerak kegiatan adalah segala daya upaya, segala sesuatu tindakan yang dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya.

  d) Kesatupasuan artinya terdapat pertautan atau hubungan di antara sesamanya sehingga mewujudkan suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak.

  e) Keserasian, berarti adanya urutan-urutan pengerjaan sesuatu yang tersusun secara logis, sistematis, atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan), perjumbuhan maupun pertentangan.

  f) Arah yang sama, dalam hal ini sebagai pedoman ialah sasaran yang sudah ditetapkan. Segala potensi itu diarahkan ke sasaran yang satu itu juga, sehingga tak terjadi penyimpangan.

  Fungsi koordinasi ini demikian penting, apalagi bila administrasi harus yang saling berhubungan, saling menunjang dan saling bergantung agar administrasi mencapai tujuan.

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi

  Menurut Sugandha (1991:25), jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik.

  Sugandha (1991:26) juga menambahkan pembagian jenis koordinasi yang dibedakan menurut arahnya, terdapat 4 jenis koordinasi ini yaitu sebagai berikut : a.

  Koordinasi Vertikal Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoordinasikan semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi kepada aparat yang sulit diatur.

  b.

  Koordinasi Horizontal Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit-unit yang sama tugasnya.

  Interrelated adalah koordinasi antarbadan (instansi); unit-unit yang fungsinya

  berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau mempunyai kaitan, baik secara intern maupun secara ekstern yang levelnya setaraf.

  Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan karena koordinator tidak dapat memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya yang setingkat.

  c.

  Koordinasi diagonal Koordinasi diagonal adalah kooordinasi antar pejabat atau unit atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkhinya.

  d.

  Koodinasi fungsional Koodinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat , antar unit antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi

  Sugandha (1991:16) menyatakan ada beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi antara lain adanya kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama, masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan.

  Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu.

  Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah suatu usaha dalam menyatukan informasi yang disertai dengan kepatuhan terhadap pemimpin dan peraturan.

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi

  Mekanisme koordinasi yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi untuk kerjasama antarinstansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya, dan peranan dari tiap pihak yang terlibat, harus dapat menciptakan organisasinya sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memipin organisasi-organisasi terciptanya koordinasi di dalam suatu organnisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu sistem, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong (dalam Sugandha, 1991:27-28).

  Siagian (1991) berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi.

  Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan antara pimpinan dan bawahannya pada kegiatan koordinasi.

II.2.5. Hambatan Koordinasi

  Menurut Sugandha (1991:24-25) hambatan-hambatan yang terjadi dalam koordinasi akan menimbulkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan seseorang dalam melakukan usaha pengkoordinasian, yaitu

  1. kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri, yang lebih tinggi sehingga sukar bagi mereka untuk merendahjan diri dan berada dibawah koordinasi instansi yang sederajat.

  2. kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya,

  Suatu instansi vertical sering menganggap bahwa organisasi induk atau markas besarnya adalah sumber segala-galanya. Hanya organisasi induklah yang berwewenag meminta loyalitasnya. Dengan demikian timbul keengganan bila instansi yang sederajat meminta loyalitasnya untuk melakukan kerja sama.

  3. kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan

  Masih banyak orang yang menganggap bahwa kewenangan koordinasi identik dengan kewenangan komando. Karena itu, pada satu pihak yaitu instansi yang mempunyai fungsi tertentu yang berwenang mengkoordinasikan nasa permintaan bantuannya akan lebih bersifat perintah. Pihak yang lain menganggap bahwa pemerintah seharusnya hanya datang dari atasan (induk) sehingga selalu akan bersikap apatis terhadap ajakan-ajakan berkoordinasi.

  4. kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di pusat.

  Pandangan ini bertitik tolak dari fungsi dan tugas pokoknya yang skhusus sehingga merasa tidak ada kaitan dengan fungsi dan tugas pokok lainnya.

  Dengan anggapan bahwa kotak mereka sendiri sudah jelas maka hanya fungis dan tugas pokoknya sendirilah yang menjadi perhatiannya yang penuh.

  II.3 Ketahanan Pangan

  II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan

  Defenisi ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam setiap konteks, waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sendiri sebagai sebuah konsep kebijakan baru muncul pertama kali tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan pengertian dengan sikap saling melengkapi defenisi yang satu dengan yang lainnya. Pertama, menurut

  

First world food conference 1974, united Nations 1975, ketahanan pangan adalah

  “Ketersediaan pangan dunia yang mcukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” Kedua, menurut FAO (Food And Agricultural Organization

  ) 1992, Ketahanan pangan adalah “Situasi semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi kehipuan yang sehat dan aktif. Ketiga, menurut world bank (1996), ketahanan pangan adalah “akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”

  Keempat , menurut OXFAM (2001), ketahanan pangan ad

  alah kondisi dimana “ setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas baik demi hidup sehat dan aktif. Dua kandunagn makna yang tercantum disini yakni: ketersediaandalam arti kualitas, kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).” Kelima, menurut FIVIMS (2005), ketahanan pangan adalah kondisi dimana “semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses atas pangan yang cukup. Aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary need) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat. Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang (UU) No.7 tahun 1996 mendefenisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli. ”Undang-undang ini juga mempertegas defenisi ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.

  Lebih spesifik lagi, Maxwell dan Selter (dalam winarno, 2014:302-303) melakukan pelacakan atas berbagai defenisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari focus pada ketersediaan-penyediaan ke perspektif hak dan akses (entitlements) menurut Maxwell, setidaknya terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food

  security ) di level keluarga sebagai berikut: 1.

  Kecukupan pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang efektif dan sehat.

  2. Akses atas pangan, yang didefenisikan sebagai hak (entitlements) untuk produksi, membeli atau menukarkan (ex change) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer).

  3. Ketahanan yang didefenisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, reseiko, dan jaminan pengaman social.

  4. Fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis/kritis, transisi, dan atau siklus.

  Senada dengan yang diungkap oleh Maxwell dan Slater, Pribadi mendefenisikan ketahanan pangan sebagai keadaan dimana semua penduduk memiliki akses fisik ekonomi terhadap pangan untuk mendapatkan gizi yang cukup Amartya Sen (dalam winarno, 2014:288), mendefenisikan ketahanan pangan tidak sekedar ketersediaan, tetapi juga akses. Melalui Studinya di India dan di Afrika, sen berada pada suatu kesimpulan bahwa ketidaktahanan pangan dan kelaparan terjadi bukan karena tersedia atau tidaknya kebutuhan pangan di suatu Negara atau wilayah tetapi lebih pada ada atau tidaknya akses atas pangan.

  Lebih lanjut lagi, Bustanul Arifin (dalam winarno, 2014:302) meyebutkan bahwa tonggak ketahanan pangan terdiri atas ketesediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Aksesibilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan system pasar serta mekanisme yang efektif dan efisien, yang juga dapat di sempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat.

II.3.2. Aksesibilitas Pangan

  Tercukupinya pasokan pangan tidak berarti akses terhadap pangan menjadi mudah bagi semua penduduk atau rumah tangga. Akses pangan menurut khaeron (2012:131) menyangkut 2 hal yaitu distribusi dan daya kemampuan membeli. Ketika pasokan cukup tidak berarti proses distribusinya lancar sehingga tidak menimbulkan persoalan. Selain itu, persoalan akses juga menjadi sesuatu yang penting berkaitan dengan beragamnya kemampuan daya beli masyarakat.

  Meskipun pasokan pangan tersedia, bagi golongan masyarakat yang dengan golongan masyarakat berpenghasilan tinggi, pos belanja pangan (pokok) adalah sebagian kecil dari total pengeluarannya. Kondisinya menjadi semakin sulit ketika pasokan pangan seringkali menghadapi kendala, baik pasokan maupun distribusinya. Persoalan akses pangan menjadi suatu yang krusial dan berdimensi luas, apalagi jika dikaitkan dengan aspek keadilan.

II.3.3. Daerah Rawan Pangan

  Istilah “rawan pangan” (food insecurity) merupakan kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan” (food security). Istilah ini sering diperhalus dengan istilah “terjadi penurunan ketahanan pangan”, meskipun pada dasarnya pengertiannya sama.

  Terdapat 2 (dua) jenis kondisi rawan pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical food insecurity) dan yang bersifat sementara (transitory food insecurity). Rawan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit dari pada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu. Sedangkan pengertian rawan pangan akut atau transitory mencakup rawan pangan musiman (seasonal). Rawan pangan ini dapat terjadi karena adanya kejutan (shock) yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan oleh rumah tangga, terutama mereka yang berada di pedesaan. Bagi rumah tangga di perkotaan rawan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan pengangguran.

  Rawan pangan adalah kondisi yang didalamnya tidak hanya mengandung sumber daya alam, kekurangan modal, miskin motivasi, dan sifat malas yang menyebabkan ketidakmampuan mereka mencukupi konsumsi pangan. Namun juga mengandung unsur yang bersifat dinamis yang berkaitan dengan proses bagaimana pangan yang diperlukan didistribusikan dan dapat diperoleh setiap individu / rumah tangga melalui proses pertukaran guna memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Dokumen yang terkait

Usulan Perbaikan Fasilitas Kerja untuk Mengurangi Keluhan Musculoskeletal Pada Bagian Pengayakan di UD. Pusaka Bakti

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pengemudi Bus di CV. Makmur Medan Tahun 2014

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Pemilik Anjing Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kota Binjai Tahun 2016

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karat dan Akibatnya - Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 1 7

Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik - Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provins

0 0 20

Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara)

0 0 13

Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat (Gerbang Swara) di Desa Melati II Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

1 2 10

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat (Gerbang Swara) di Desa Melati II Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

1 1 36