BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karat dan Akibatnya - Pengaruh Konsentrasi Inhibitor Ekstrak Metanol Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala L) Terhadap Laju Korosi Baja Karbon Schedule 40 Grade B Serta Jumlah Fe Dan C Yang Terkorosi Dalam Natrium Klorida 3 %

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karat dan Akibatnya

  Oleh sebagian orang, korosi diartikan sebagai karat, yakni sesuatu yang hampir dianggap musuh umum masyarakat. Karat (rust), tentu saja, adalah sebutan yang belakangan ini hanya dikhususkan bagi korosi pada besi, sedangkan korosi adalah gejala destruktif yang mempengaruhi hampir semua logam. Korosi terbukti membebani peradaban dalam tiga cara disertai fakta sebagai berikut:

  a. Dari segi biaya korosi itu sangat mahal Kasus nyata: Dalam tahun 1980 di Amerika Serikat, Institut Battelle menaksir bahwa setiap tahun perekonomian Amerika rugi 70 milyar dolar akibat korosi.

  b. Korosi sangat memboroskan sumber daya alam Kasus nyata: telah dihitung bahwa di Inggris, 1 ton baja diubah seluruhnya menjadi karat setiap 90 detik. Disamping tersia-sianya logam itu, energi yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 ton baja dari bijih besi cukup

  c. Korosi sangat tidak nyaman bagi manusia, dan kadang-kadang bahkan mendatangkan maut Kasus nyata: Dalam tahun 1985, atap sebuah kolam renang berusia 13 tahun di Swiss telah rubuh, menewaskan 12 orang dan melukai banyak yang lainnya. Diperkirakan penyebabnya adalah korosi pada baja nirkarat terbuka yang mendukung 200 ton atap beton bertulang. Korosi ittu mungkin ditimbulkan oleh serangan klorin dalam atmosfer (Tretheway, 1991).

2.2 Teori Korosi

2.2.1 Energi Dan Hukum Yang Mendasarinya

  Korosi adalah gejala yang timbul secara alami: pengaruhnya dialami oleh hampir semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi. Pengkajian tentang perubahan energi disebut termodinamika, suatu bidang yang kaya sekali dengan definisi, besaran-besaran variabel (juga disebut parameter) dan persamaan- persamaan. Sistem didefinisikan sebagai suatu massa tertentu zat yang kita minati. Di sekeliling sistem itu kita membayangkan suatu dinding pembatas khayal yang memisahkannya dari lingkungan sekitar.

  Hukum: Energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Kaidah: Semua perubahan spontan terjadi disertai pelepasan energi bebas dari sistem ke lingkungan sekitar pada temperatur dan tekanan spontan.

  Pernyataan pertama adalah Hukum Pertama Termodinamika yang penting sekali dalam pengkajian perubahan-perubahan yang terjadi ketika logam mengalami korosi. Pernyataan kedua adalah salah satu bentuk Hukum Kedua Termodinamika. Ketika korosi berlangsung secara alami proses yang terjadi bersifat spontan sehingga karena itu disertai pelepasan energi bebas. Hukum termodinamika mengungkapkan kepada kita tentang kuatnya kecenderungan keadaan energi tinggi untuk berubah ke keadaan energi rendah. Kecenderungan ada di lingkungan, yang akhirnya membentuk gejala yang disebut korosi. Karena itu definisi yang baik untuk korosi adalah: Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya.

  Sebuah konsep penting yang membantu menjelaskan laju reaksi korosi adalah Teori Keadaan Peralihan (Transition State Theory). Perhatikan persamaan berikut:

  A + B C + D (2.1) Dimana dua zat A dan B, yang dikenal sebagai reaktan, saling berinteraksi sedemikian rupa untuk membentuk dua zat baru, C dan D, yang disebut hasil reaksi. Agar dapat menghasilkan zat – zat baru, A dan B bukan hanya harus saling sentuh melainkan juga harus berpadu secara fisik guna membentuk suatu zat antara AB. AB disebut keadaan peralihan, dan reorganisasi keadaan peralihan inilah yang kemudian langsung menghasilkan C + D.

  Dalam bentuk paling sederhana, laju reaksi korosi dapat diekspresikan demikian:

  

Laju = tetapan laju x[reaktan – reaktan] (2.2)

  Besaran dalam kurung persegi menunjukkan ukuran banyaknya zat. Tetapan laju ∆

  • dapat dinyatakan dalam hubungan dengan ukuran penghalang energi bebas ( ):
  • +

    /RT) (2.3) Dengan C dan R adalah tetapan-tetapan, dan T adalah temperatur mutlak. Persamaan tersebut merupakan bentuk modifikasi dari sebuah persamaan penting

  Tetapan laju = C eksp (-

  ΔG

2.2.2 Pengertian Korosi

  Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Penurunan mutu logam tidak hanya melibatkan reaksi kimia namun juga reaksi elektrokimia, yaitu antara bahan-bahan bersangkutan terjadi perpindahan elektron. Karena elektron adalah sesuatu yang bermuatan negatif, maka pengangkutannya menimbulkan arus listrik. Dalam banyak hal korosi dari logam seperti peralatan pabrik, peralatan kimia, pembuatan jembatan dan sebagainya. Peristiwa korosi tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan ada factor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya peristiwa korosi. Faktor tersebut dapat menimbulkan terjadinya peristiwa korosi apabila komponen- komponen tersebut terjadi hubungan satu sama lain yang menimbulkan terjadinya aliran elektron. Korosi juga dapat mengakibatkan suatu material mengalami suatu reaksi oksidasi yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan material terdegradasi. Degradasi tersebut menyebabkan logam menipis, berlubang, terjadi perambatan reaktan, sifat mekanik berubah sehingga terjadi kegagalan tiba – tiba pada struktur, sifat fisik dan penampilan logam berubah (Fachri, 2011).

  Korosi diartikan sebagai penurunan mutu logam akibat reaksi elektriokimia dengan lingkungannya. Korosi dapat digambarkan sebagai sel galvani yang mempunyai “hubungan pendek” dimana beberapa daerah permukaan logam bertindak sebagai katoda dan lainnya sebagai anoda, dan “rangkaian listrik” dilengkapi oleh rangkaian electron menuju besi itu sendiri seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.1berikut:

Gambar 2.1. Pembentukan Karat (Haryono, 2010)

  Kinetika korosi dapat memprediksi bagaimana suatu korosi berjalan dalam waktu dan jarak. Berbeda dari termodinamika, kinetika korosi digunakan untuk mengetahui laju atau kecepatan korosi itu terjadi. Laju korosi ditentukan dengan menggunakan arus untuk menghasilkan suatu kurva polarisasi (tingkat perubahan yang laju korosinya sedang ditentukan. Ketika potensial pada permukaan logam terpolarisasi menggunakan arus pada arah positif, bisa dikatakan sebagai terpolarisasi secara anodik. Bila menggunakan arus pada arah negatif disebut terpolarisasi secara katodik. Tingkat polarisasi adalah ukuran bagaimana laju dari reaksi pada anoda dan katoda dihambat oleh bermacam lingkungan (konsentrasi dari ion logam, oksigen terlarut) dan/atau faktor proses permukaan (adsorbsi, pembentukan lapisan, kemudahan dalam melepaskan elektron). Variasi dari potensial sebagai fungsi dari arus (kurva polarisasi memungkinkan untuk mengetahui pengaruh dari proses konsentrasi dan aktivasi pada tingkat dimana reaksi anoda maupun katoda dapat memberi ataupun menerima elektron. Karenanya, pengukuran polarisasi dapat menentukan laju reaksi yang terlibat dalam proses korosi (Trethewey, 1991). Proses korosi berkembang dengan cepat setelah mengalami gangguan dari luar dan bersamaan dengan beberapa reaksi yang merubah komposisi dan sifat dari permukaan logam dan lingkungan sekitarnya, contohnya pembentukan oksida logam, difusi dari kation logam terhadap matriks, berubahnya pH, dan berubahnya potensial elektrokimia (Rani, 2012).

2.3 Jenis Korosi

  Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai korosi, dibawah ini dijelaskan mengenai beberapa jenis korosi, yaitu: permukaan logam atau paduan yang bersentuhan dengan elektrolit pada intensitas sama sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2. Korosi Merata (Wisdatika, 2009)

  2. Korosi Galvanik (galvanic corrosion), yaitu korosi terjadi bila dua logam yang berbeda berada dalam satu elektrolit, dalam keadaan ini logam yang kurang mulia (anodic) akan terkorosi, bahkan lebih hebat bila paduan tersebut tidak bersenyawa dengan logam lain.

  3. Korosi Celah (crevice corrosion), yaitu korosi lokal yang biasanya terjadi pada sela – sela sambungan logam yang sejenis atau pada retakan di permukaan logam seperti Gambar 2.3. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi ion logam atau konsentrasi oksigen antara celah dan lingkungannya.

Gambar 2.3. Korosi Celah (Kopeliovich, 2012)

  4. Korosi Sumuran (pitting corrosion). Korosi ini terjadi akibat adanya sistem

  • anoda pada logam, dimana daerah tersebut terdapat konsentrasi ion Cl yang tinggi. Korosi jenis ini sangat berbahaya karena pada bagian permukaan hanya lubang kecil, sedangkan pada bagian dalamnya terjadi proses korosi membentuk “sumur” yang tidak tampak.

  5. Korosi batas butir (intergranular corrosion), yaitu korosi yang terjadi pada batas butir, dimana batas butir sering kali merupakan tempat mengumpulnya impurity atau suatu presipitat dan lebih tegang seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. Jika suatu logam terkorosi secara merata akan terlihat jelas lebih reaktif dibandingkan pada butir material tersebut. Pada beberapa kondisi, pertemuan butir sangat reaktif dan menyababkan terjadinya korosi pada butir lebih cepat dibandingkan dengan korosi pada butir. Intergranular corrosion akan mengurangi atau menghilangkan

Gambar 2.4. Korosi Batas Butir (Green, 1997)

  6. Selective leaching corrosion yaitu larutnya salah satu komponen dari suatu paduan, dan ini mengakibatkan paduan yang tersisa akan menjadi berpori sehingga ketahanan korosinya akan berkurang, seperti di ilustrasikan pada

Gambar 2.5 berikut:Gambar 2.5. Selective Leaching Corrosion (Green, 1997)

  7. Korosi Erosi, yaitu korosi yang terjadi akibat pergerakan relatif antara fluida korosif dengan permuakaan logam. Pada umumnya, pergerakan yang terjadi cukup cepat, sehingga terjadi efek keausan mekanis atau abrasi. Pergerakan yang cepat dari fluida korosif mengkorosi secara fisik dan menghilangkan lapisan pasif. Pasir dan padatan lumpur mempercepat korosi erosi.

  8. Korosi Tegangan (stress corrosion), yaitu korosi yang terjadi sebagai akibat bekerjanya tegangan pada suatu benda yang berada pada media korosif

Gambar 2.6. Korosi Tegangan (Kopeliovich, 2012)

2.4 Prinsip Dasar Pengendalian Korosi

  Korosi telah didefinisikan sebagai penurunan mutu logam oleh reaksi elektrokimia dengan lingkungannya. Pada kebanyakan situasi praktis serangan ini tidak dapat dicegah, kita hanya dapat berupaya mengendalikannya sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih panjang. Adapun pengendalian korosi bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang paling penting adalah: a. Modifikasi rancangan

  b. Modifikasi lingkungan

  c. Pemberian lapisan pelindung

  d. Pemilihan bahan

  e. Proteksi katodik dan anodik

2.4.1 Pengendalian Korosi melalui Perancangan

  Komponen-komponen akan menghadapi berbagai macam lingkungan baik selama tahapan-tahapan pembuatan, pemindahan dan penyimpanan, maupun ketika kelak harus menjalankan tugas sehari-hari. Laju korosi atau perusakan lapisan pelindung yang diberikan kepada logam akan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan faktor diantaranya kelembaban relatif, temperatur, pH, konsentrasi oksigen, bahan pengotor padat atau terlarut, konsentrasi, dan kecepatan elektrolit. Variasi-variasi kondisi lingkungan ini sedapat mungkin harus sudah diidentifikasi sejak tahapan

2.4.2 Pengendalian Korosi Melalui Pengubahan Lingkungan

  Menurut Haryono, (2010), terdapat beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi antara lain, yaitu:

  1. Suhu Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi.

  Hal ini terjadi karena semakin tingginya energi kinetik dari partikel-partikel yang bereaksi sehingga melampaui besarnya harga energi aktivasi dan akibatnya laju korosi juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.

  2. Kecepatan alir fluida atau kecepatan pengadukan Laju korosi cenderung bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena kontak antara zat perekasi dan logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami kerapuhan (korosi).

  3. Konsentrasi bahan korosif Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan kebasaan suatu larutan.

  Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap logam dimana logam yang berada di dalam media larutan asam akan lebih cepat terkorosi karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada katodanya karena reaksi katoda selalu serentak dengan reaksi anoda.

  4. Oksigen permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi lebih besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan korosi cepat terjadi.

  5. Waktu kontak Aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam terhadap korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor ke dalam larutan, maka akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga waktu kerja inhibitor untuk melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu tertentu. Hal itu dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan semakin habis terserang oleh larutan.

  Baik proses korosi di udara maupun proses korosi basah dapat dikendalikan menggunakan bahan kimia khusus yang disebut inhibitor. Apabila bahan ini ditambahkan ke dalam lingkungan, laju serangan korosi akan berkurang (Trethewey, 1991). Korosi dapat dikurangi dengan berbagai macam cara, dan cara yang paling mudah dan paling murah adalah dengan menambahkan inhibitor ke dalam media. Inhibitor berasal dari kata inhibisi: menghambat, jadi inhibitor ditambahkan untuk menghambat reaksi antarmuka antara material dengan lingkungan. Inhibitor terdiri dari dua jenis yaitu inhibitor organik dan anorganik. Inhibitor dapat dianggap sebagai katalisator yang memperlambat (retarding ) (Haryono, 2010).

  catalyst

  Rina, (2012) menyebutkan bahwa inhibitor akan mereduksi kecepatan korosi dengan cara:

  1. Adsorpsi ion/molekul inhibitor ke permukaan logam

  3. Menurunkan kecepatan difusi reaktan ke permukaan logam

  4. Menurunkan hambatan listrik dari permukaan logam

  5. Inhibitor mudah membentuk lapisan in situ pada permukaan logam Inhibitor organik umumnya bersifat heteroatom. Atom O, N, dan S ditemukan dalam kepadatan tinggi dan atom-atom tersebut bertindak sebagai inhibitor korosi. Atom O, N, dan S merupakan pusat aktif untuk proses adsorpsi pada permukaan logam. Efisiensi inhibisi dari logam ini adalah O<N<S<P. nitrogen sangat baik untuk mereduksi serangan korosi pada baja. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja inhibitor adalah panjang rantai, berat molekul, ikatan (aromatis atau konjugasi), kemungkinan ikat silang, serta kelarutannya dalam lingkungan yang digunakan. Inhibitor bahan alam (green inhibitor) bersifat

  

biodegradable (mudah terurai) dan tidak mengandung logam berat atau senyawa

  racun lainnya. Beberapa penelitian telah melaporkan keberhasilan penggunaan senyawa bahan alam untuk menghambat korosi dari logam dalam lingkungan asam dan basa. Green inhibitor yang cocok untuk baja karbon adalah inhibitor yang mengandung asam amino alami seperti alanin, glisin dan leusin (Rina, 2012).

  Inhibitor organik bekerja dengan membentuk senyawa kompleks yang mengendap pada permukaan logam sebagai lapisan pelindung yang bersifat hidrofobik yang dapat menghambat reaksi logam dengan lingkungannya. Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi katodik, anodik, atau keduanya. Hal ini bergantung dari reaksi pada permukaan logam dan potensial logam tersebut. Selain itu juga dapat berfungsi untuk menetralisir konstituen korosif dan mengabsorbsi konstituen korosif tersebut. Penggunaan dengan konsentrasi yang tepat dapat mengoptimalkan perlindungan pada seluruh logam. Inhibitor organik akan teradsorbsi pada permukaan tergantung dari muatan inhibitor dan muatan logam untuk membentuk ikatan dari senyawa kompleks tersebut sebagi contoh kation inhibitor seperti amin atau anion inhibitor seperti sulfonat akan teradsorbsi tergantung muatan logam tersebut apakah negatif atau positif. Efektifitas dari fungsi, ukuran dan berat molekul, serta afinitas inhibitor terhadap logamnya.

  Mekanisme proteksi ekstrak bahan alam terhadap besi/baja dari serangan korosi diperkirakan hampir sama dengan mekanisme proteksi oleh inhibitor

  2+

  organik. Reaksi yang terjadi antara logam Fe degan medium korosif yang mengandung ion-ion klorida seperti NaCl, MgCl , KCl akan bereaksi dengan Fe

  2

  dan diperkirakan menghasilkan FeCl

  2 . Jika ion klorida yang bereaksi semakin

  besar, maka FeCl

  2 yang terbentuk juga akan semakin besar, seperti tertulis dalam

  NaCl Na + Cl (2.4)

  • 2+

  MgCl

2 Mg + 2Cl (2.5)

  KCl K + Cl (2.6) Ion klorida pada reaksi diatas akan menyerang logam besi (Fe) sehingga besi akan terkorosi menjadi:

  2+ -

  2Cl + Fe FeCl

  2 (2.7) 2+

  Dan reaksi antara Fe dengan inhibitor ekstrak bahan alam menghasilkan senyawa kompleks. Inhibitor ekstrak bahan alam yang mengandung nitrogen mendonorkan sepasang elektronnya pada permukaan logam mild steel ketika ion

  2+

  Fe terdifusi ke dalam larutan elektrolit, reaksinya adalah:

  • 2+

  Fe Fe + 2e (melepaskan elektron) (2.8)

  2+ -

  Fe + 2e Fe (menerima elektron) (2.9) Mekanisme inhibisi ekstrak bahan alam ditunjukkan pada Gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7. Mekanisme Inhibisi Ekstrak Bahan Alam (Ilim, 2008)

  Produk yang terbentuk diatas mempunyai kestabilan yang tinggi dibanding dengan Fe saja, sehingga sampel besi/baja yang diberikan inhibitor ekstrak bahan alam akan lebih tahan (terproteksi) terhadap korosi (Haryono, 2010).

  Inhibitor akan membentuk lapisan pelindung in situ karena reaksi antara larutan dengan permukaan logam. Proses penginhibisiannya disebabkan adanya adsorpsi molekul pada permukaan logam. Inhibitor teradsorpsi pada permukaan korosi lebih lanjut. Adsorpsi inhibitor ke permukaan logam disebabkan oleh gaya tarik elektrostatik antara muatan ion dengan muatan listrik antarmuka logam. Secara keseluruhan, senyawa inhibitor adalah netral. Tetapi, gugus nitrogen pada senyawa tersebut memiliki pasangan elektron bebas yang menyebabkan inhibitor cenderung bermuatan negatif sehingga inhibitor akan tertarik ke permukaan logam dan membentuk lapisan (Purwanto, 2013).

2.4.3 Pengendalian Korosi dengan Lapisan Pelindung

  Salah satu cara pengendalian korosi dengan cara memberi lapisan perlindungan (coating protection). Pelapisan biasanya dimaksudkan untuk memberikan suatu lapisan padat dan merata sebagai bahan isolator atau penghambat aliran listrik diseluruh permukaan logam yang dilindungi, fungsi dari lapisan tersebut adalah untuk mencegah logam dari kontak langsung dengan elektrolit dan lingkungan sehingga reaksi logam dan lingkungan terhambat (Fachri, 2011).

  Lapisan penghalang yang dikenakan ke permukaan logam dimaksudkan baik untuk memisahkan lingkungan dari logam, maupun untuk mengendalikan lingkungan mikro pada permukaan logam. Banyak cara pelapisan yang digunakan untuk maksud ini termasuk cat, selaput organik, vernis, lapisan logam, dan enamel. Sejauh ini yang paling umum adalah cat (Trethewey, 1991).

   Pengendalian Korosi dengan Pemilihan Bahan

  Banyak faktor yang dapat membatasi pemakaian bahan pilihan kita. Di luar industri minyak dan kimia, kebanyakan struktur besar dibuat dari baja lunak atau baja paduan rendah, aluminium, atau beton dengan penguat baja, atas dasar pertimbangan murah, mudah tersedia, dan kuatnya bahan-bahan tersebut. Pemilihan bahan-bahan tersebut terutama didasarkan pada pola tegangan dalam struktur, teknik fabrikasi dan penyambungan yang hendak digunakan, dan tersedianya tenaga kerja yang memiliki keahlian untuk menangani konstruksinya.

  Sifat menghambat korosi yang sudah ada dengan sendirinya pada suatu bahan, umumnya hampir tidak berperan dalam proses pemilihan. Seorang perekayasa akan mencari lapisan penghalang atau cara lain unttuk menghambat rusak atau hilangnya logam. Paduan-paduan canggih yang memiliki sifat tahan korosi hanya akan digunakan dalam situasi-situasi khusus yang selalu dihantui bencana, misalnya industri minyak serta kimia, atau bila keandalan merupakan faktor pertimbangan yang luar biasa penting (Trethewey, 1991).

2.4.5 Proteksi Katodik dan Anodik

  Proteksi katodik adalah suatu perlindungan permukaan logam dengan cara melakukan arus searah yang memadai ke permukaan logam dan mengkonversikan semua daerah anoda di permukaan logam menjadi daerah katodik. Sistem ini hanya efektif untuk system-sistem yang terbenam dalam air atau di dalam tanah. Sedangkan pada perlindungan secara anodik, tegangan sistem yang dilindungi dinaikkan sehingga memasuki daerah anodiknya. Pada kondisi ini sistem terlindungi karena terbentuknya lapisan pasif. Syarat yang harus dipenuhi agar sistem ini berjalan dengan baik adalah bahwa karakteristik lingkungannya harus stabil. Pada jenis lingkungan yang tidak stabil (berfluktuasi) penerapan sistem proteksi anodik tidak dianjurkan (Fachri, 2011).

   Baja Karbon

  Baja dapat didefinisikan sebagai suatu campuran besi dan karbon, dimana unsur karbon menjadi dasar campurannya. Disamping itu, mengandung unsur campuran lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), dan mangan (Mn) yang jumlahnya dibatasi (Azmi, 2013).

  Baja karbon sangat penting dalam berbagai pabrikasi industri karena sifat mekaniknya yang unik dan tidak mahal (Oluwole, 2013). Baja karbon murni akan melebihi 60 persen. Begitu lapisan butir – butir air terbentuk pada permukaannya, laju korosi ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan; tetapi yang paling penting adalah pasokan oksigen, pH, dan hadirnya ion-ion agresif, terutama oksida-oksida belerang dan klorida.

  Baja paduan rendah mengandung berbagai unsur pembentuk paduan, misalnya Cr, Ni, Cu, Mn, V, dan Mo, hingga 2 atau 3 persen. Penambahan unsur pemadu ini memperbaiki sifat – sifat mekanik; tetapi efeknya kecil terhadap laju korosi komponen-komponen yang terendam atau terkubur, karena disitu baja lunak, baja paduan rendah, atau baja tempa akan terkorosi dengan laju yang kurang lebih sama. Penambahan krom yang sedikit lebih banyak, diketahui mendatangkan perbaikan yang cukup mencolok dalam perilaku korosi; sedangkan tembaga dalam jumlah kecil, diketahui mengurangi korosi sumuran pada ketel- ketel baja, walaupun korosi biasa agak meningkat (Trethewey, 1991).

2.6 Natrium Klorida

  Menurut Kurlansky (2002), Natrium Klorida, yang juga dikenal sebagai garam meja, atau garam karang, merupakan senyawa ion dengan rumus NaCl. Natrium klorida adalah garam yang berbentuk kristal atau bubuk berwarna putih yang tidak berbau. NaCl dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol. Adapun beberapa sifat fisis dari Natrium Klorida antara lain: Berat molekul : 58,45 g/mol

  o

  Titik didih : 1413 C pada 1 atm

  o

  Titik beku : 800,4 C pada 1 atm Bentuk : Kristal kubik padat Warna : putih Densitas : 2,163 g/ml

2.7 Lamtoro

  Lamtoro dalam istilah ilmiah bernama Leucaena Leucocephala L. Lamtoro umumnya berasal dari Filipina dengan nama Giant ipil-ipil yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti “Giant” adalah raksasa sedangkan “ipil-ipil” berasal dari bahasa Filipina yang berarti lamtoro. Jadi Giant ipil-ipil berarti lamtoro raksasa, tetapi lamtoro di Indonesia menjadi lamtoro gung. Adapun sistematika tanaman lamtoro adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophytea Kelas : Magnoleopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Leucaena Spesies : Leucaena leucocephala L.

  Lamtoro mudah beradaptasi diberbagai daerah tropis di Asia dan Afrika termasuk pula di Indonesia. Tanaman semak atau pohon tinggi sampai 2-10 meter, bercabang banyak, dan kuat, dengan kulit batang abu-abu. Daun bersirip dua dengan 3-10 pasang sirip, bervariasi dalam panjang hingga 35 cm, dengan

  

glandula besar (sampai 5 mm) pada dasar petiole, helai daun 11-22 pasang per

  sirip, 8-16 mm x 1-2 mm. Memiliki bunga sangat banyak dengan diameter kepala polong 14-26 cm x 1,5-2 cm, berwarna coklat pada saat tua. Jumlah biji 15-30 per buah polong, berwarna coklat.

  Petai cina oleh para petani di pedesaan sering ditanam sebagai tanaman pagar, pupuk hijau dan lain-lain. Petai cina cocok hidup di dataran rendah sampai ketinggian 1500 m diatas permukaan laut. Petai cina di Indonesia hampir musnah setelah terserang hama wereng. Pengembangbiakannya selain dengan penyebaran biji yang sudah tua juga dapat dilakukan dengan cara stek batang.

  Daun lamtoro berbentuk simetris kecil-kecil berpasangan tapi tidak pernah gugur. Warna daun hijau pupus dan berfungsi untuk memasak makanan sekaligus penyerap nitrogen (N

  2 ) dan karbondioksida (CO 2 ) dari udara bebas. Nitrogen dan

  karbondioksida ini berasal dari sisa-sisa pembakaran yang kemudian mengotori udara (polusi). Daun-daun lamtoro juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun lamtoro cepat mengalami dekomposisi (Simanjuntak, 2012). Bentuk daun lamtoro dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.8. Lamtoro (Leucaena leucocephala L) (De Wit, 1961)

  Lamtoro merupakan leguminosa pohon yang mempunyai perakaran yang dalam dan mampu beradaptasi pada tanah yang berdrainase baik di daerah beriklim sedang dengan curah hujan tahunan diatas 760 mm. Daun lamtoro mengandung protein kasar yang cukup tinggi yakni 27 – 34 % dari bahan kering dan telah umum digunakan sebagai makanan ternak. Komposisi kimianya dalam bahan kering terdiri atas 25,90 % protein kasar, 20,40 % serat kasar dan 11 % abu (2,30 % Ca dan 0,23 % P), karoten 530,00 mg/kg dan tannin 10,15 mg/kg (Haris, 2012).

  Daun lamtoro (petai cina) mengandung zat aktif berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, dan vitamin B. Berbagai kandungan yang terdapat dalam tanaman petai cina yang diperkirakan sebagai antiinflamasi adalah flavonoid. Daun lamtoro mempunyai kandungan unsur-unsur kimia seperti yang terdapat dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1. Kandungan daun lamtoro (Laucaena leucocepala L.)

  Zat Komposisi Abu (%) 11,00 Nitrogen (%) 4,20 Protein (%) 25,90 Serat kasar (%) 20,40 Kalsium (%) 2,36 Kalium (%) 1,3-4,0 Fosfor (%) 0,23 Beta karoten (mg/kg) 536,00 Energi kotor (KJ/g) 20,10 Tannin (mg/g) 10,15

  (Simanjuntak, 2012)

2.8 Metode Pengukuran Laju Korosi dan Efisiensi Inhibitor

2.8.1 Pengukuran Laju Korosi dengan Metode Weight Loss coupons

  

Weight Loss coupons adalah metode monitoring korosi yang paling banyak

  digunakan. Coupons merupakan lempengan logam yang ditempatkan di dalam sistem dan dibiarkan untuk terkorosi. Coupons digunakan untuk mengetahui laju korosi melalui weight loss.

  Corrosion coupons kemungkinan paling banyak digunakan untuk material konstruksi untuk mendeteksi serangan permanen dari perubahan korosifitas.

Coupons menggambarkan kerusakan korosi selama periode waktu dan hanya

  digunakan pada kondisi dimana peningkatan laju korosi dapat diukur. Bentuk dan dimensi coupons dapat bervariasi sesuai persyaratan pengujian. Sebelum coupons

  

test diletakkan pada lingkungan pegujian selama periode tertentu, maka produk

  korosi yang terbentuk sebelumnya harus dihilangkan. Metode penghilangan kerusakan pada spesimen. Dengan menggunakan rumus berikut maka akan diketahui laju korosi pada lingkungan tersebut:

  .

  Laju korosi = (2.10) . . Keterangan:

6 K = konstanta (mpy = 3,45 x 10 )

  W = kehilangan berat (gram)

3 D = densitas (gram/cm )

  2 A = luas permukaan yang terendam (cm )

  T = waktu (jam) Beberapa keuntungan dari Metode Weight Loss adalah biayanya murah, mudah dilakukan, coupons terbuat dari material yang sama dengan struktur, pemeriksaan visual dapat mengidentifikasi jenis serangan, coupons tersebut dapat dianalisa scale, dan kerugiannya antara lain laju korosi yang diperoleh merupakan laju korosi rata – rata, kalkulasi laju korosi diasumsikan sebagai korosi seragam, pengambilan data berlangsung lama dan memerlukan pemasangan dan pengambilan yang dapat mempengaruhi proses keselamatan (Fachri, 2011).

2.8.2 Efisiensi inhibitor

  Dalam penggunaan inhibitor dapat ditentukan efisiensi dari penggunaan inhibitor tersebut. Semakin besar efisiensi inhibitor tersebut maka semakin baik inhibitor tersebut untuk diaplikasikan di lapangan. Penghitungan efisiensi didapatkan melalui persentase penurunan laju korosi dengan adanya penambahan dibandingkan dengan laju korosi tanpa ditambahkan inhibitor. Perhitungan itu dapat dijabarkan sebagai berikut:

  −

  (2.11) (Fachri, 2011) ℎ = 100%

  Keterangan X a = laju korosi tanpa inhibitor (mpy) X = laju korosi dengan inhibitor (mpy)

  b

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kesawan

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Kajian Persepsi Pemangku Kepentingan Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012 Terhadap Upaya Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kesawan

0 0 14

KAJIAN PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PERDA NOMOR 2 TAHUN 2012 TERHADAP UPAYA PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH DI KESAWAN TESIS

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Hubungan Kelelahan Kerja Dengan Produktivitas Kerja Pada Pemetik Teh di PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Butong Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 11 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecelakaan Kerja 2.1.1 Pengertian Kecelakaan Kerja - Penerapan Manajemen Risiko Pada Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PTPN IV Unit Usaha Pabatu Tebing Tinggi Tahun 2015

0 0 29

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pengemudi Bus di CV. Makmur Medan Tahun 2014

0 0 8

Jumlah anjing yang dimiliki responden

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Pemilik Anjing Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kota Binjai Tahun 2016

0 0 7

A. Kondisi Umum Lokasi Luas dan Status Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung - Korelasi Fenologi Pohon Dengan Jumlah Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Pada Hutan Pimer Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 9