BAB 4 QANAAH DAN TOLERANSI - 04 qanaah dan toleransi

BAB 4 QANAAH DAN TOLERANSI STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR

4.1. M enjelaskan pengertian qana’ah dan tasamuh

4. Membiasakan perilaku terpuji

  4.2. Menampilkan contoh perilaku qana’ah dan tasamuh

  4.3. Membiasakan perilaku qana’ah dan tasamuh dalam kehidupan sehari- hari.

  Semasa hidupnya, Rasulullah selalu memberi contoh secar alangsung dalam menerapkan Akhlaqul karimah (akhlaq mulia). Diantara akhlak mulia tersebut adalah sikap qanaah dan Tasamuh. Agar sifat mulia ini bisa menjadi ciri khas maupun karakter pada diri kita, maka langkah awalnya harus dipahami, diyakini bahwa sifat ini akan membawa manfaat

ketentraman dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Tidak cukup itu, apabila kita

menerapkan akhlak mulia tersebut, maka akan mendapatkan balasan sebagai amal yang baik kelak di akhirat.

A. Qana’ah

  Qanaah menurut arti bahasanya adalah merasa cukup. Dan secara istilah qanaah berarti merasa cukup atas apa yang dimilikinya. Misalnya, orang sudah diberi karunia rizqi oleh Allah SWT berupa gaji setiap bulan, maka dia merasa cukup dan bersyukur kepada-Nya.

  Lawan kata dari qanaah ini adalah tamak. Jadi, orang yang tamak adalah orang yang selalu merasa kurang, kurang, dan terus merasa kurang, walaupun dia sudah mendapatkan karunia dan rizqi berlimpah. Dengan demikian, orang yang tamak ini identik dengan rakus, semuanya ingin dimiliki. Sudah punya satu, ingin dua; sudah punya dua, ingin tiga; sudah punya tiga, ingin empat, dan seterusnya. Sudah mempunyai ini, ingin juga yang itu; sudah punya itu, masih ingin yang lain. Akan semakin berbahaya apabila orang yang tamak ini tidak lagi menghiraukan mana yang halal dan mana yang haram.

  Bersikap qona’ah paling tidak meliputi 5 hal yaitu :

  D menerima dengan rela apa yang ada

D memohon kepada Allah suatu tambahan rezeki yang layak dan diiringi dengan ikhtiyar

D menerima dengan sabar akan semua ketentuan Allah D bertawakkal kepada Allah D tidak tertarik oleh segala tipu daya yang bersifat duniawi

  Komponen-komponen qona’ah di atas merupakan suatu kekayaan bagi umat Islam yang sangat hakiki.

  ﹺﺲﹾ ﻔ ﻨ ﻟ ﺍ ﻰ ﻨ ﻏ ﲎﻐ ﻟ ﹾ ﺍ ﻦﻜﻟ ﻭ ﹺﺽ  ﺮ  ﻌ ﻟ ﹾ ﺍ ﺓ ﺮ  ﹾ ﺜ ﻛ  ﹶ ﻦ ﻋ ﲎﻐ ﻟ ﹾ ﺍ  ﺲ ﻴ ﻟ ﹶ

  ( ) ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻖﻔ ﺘ ﻣ .

  Artinya : “Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan

  jiwa .” (HR. Bukhari-Muslim) Manfaat Qanaah

  Orang yang qona’ah akan senantiasa merasa tenteram dan merasa berkecukupan terhadap apa yang dimilikinya selama ini. Karena meyakini bahwa pada hakikatnya kekayaan ataupun kemiskinan tidak diukur dari banyak dan sedikitnya harta. Akan tetapi, terletak kepada kelapangan hatinya untuk menerima dan mensyukuri segala karunia yang diberikan Allah SWT.

  Hadis Rasulullah saw.

  

I

:

ﺎﹰ ﻓ ﺎﹶ ﻔ ﹶ ﻛ  ﻕﹺﺯ ﺭ  ﻭ   ﻢﹶ ﻠ  ﺳﹶ ﺍ ﻦ  ﻣ ﺢﹶ  ﻠ ﹾ ﻓ ﺃ ﹶ ﺪﹶ  ﻗ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﷲﺍ ِ ﻝ ﹶ ﻮ ﺳ ﺭ ﱠﻥﹶ ﺃ ﻭﹴ ﺮ  ﻤ ﻋ ﹺﻦ ﺑ ﷲﺍ ِ ﺪ ﺒ ﻋ   ﻦ ﻋ

  ( ) ﻢﻠ ﺴﻣ ﻩ ﺍ ﻭﺭ  ﻩ ﺎ ﺗ ﺍ ﹶ ﺎ ﻤﹺﺑ ُ ﷲﺍ  ﻪ ﻌ   ﻨ ﹶ ﻗ  ﻭ

  Artinya : “Dari Abdillah bin Amr, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Sungguh beruntung

  

orang yang beragama Islam dan dicukupkan rizqinya, kemudian merasa cukup dengan apa yang

diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim)

  Tidak sedikit orang yang secara materi melimpah, tetapi tetap merasa miskin, tamak, serakah, dan rakus. Sifat qona’ah merupakan mesin penggerak batin yang senantiasa mendorong manusia untuk meraih suatu kemajuan hidup yang disesuaikan dengan kemampuan diri. Begitu pula segala gerak langkah dan orientasi hidupnya selalu tergantung kepada Allah SWT. Rasulullah saw bersabda :

  

ﻰﹺﻧ ﺎﹶ ﻄ ﻋﹶ ﺎﹶ ﻓ ﻢﱠﻠ  ﺳ  ﻭ ﻪ ﻴ  ﻠ ﹶ ﻋ ُ  ﷲﺍ ﻰﱠﻠ  ﺻ ِ ﷲﺍ ﻝ ﹶ ﻮ ﺳ ﺭ  ﺖ ﹾ ﻟ ﺄ ﹶ ﺳ ﹶ  ﻝﺎﹶ ﻗ ﻪ  ﻨ  ﻋ ُ  ﷲﺍ ﹺﺽ ﺭ ﻡ ﹴ ﺍ ﺰ  ﺣ ﹺﻦ ﺑ ﹺﻢ ﻴ ﻜ ﺣ  ﻦ ﻋ

. : ﹴ ﺲﹾ ﻔ  ﻧ ﺓ ﻭﺎ  ﺨ ﺴﹺﺑ  ﻩ ﹶ ﺬ ﺧﹶ ﺍ ﻦ  ﻤﹶ ﻓ ﻮﹾ  ﻠ ﺧ   ﺮ ﻀ ﺧ ﹶ ﻝﺎ ﻤﹾ ﻟ ﺍ ﺍ ﺬﻫ ﱠﻥﺍ ﹶ ﻢ  ﻴ ﻜ ﺣﺎ ﻳ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﻢﹸﺛ ﻰﹺﻧ ﺎﹶ ﻄ ﻋﹶ ﺎﹶ ﻓ  ﻪ  ﺘ ﹾ ﻟ ﹶ ﺄ ﺳ ﻢﹸﺛ  .

  

ﻊ  ﺒ  ﺴ ﻳ ﹶ ﻻ ﻭ ﹸﻞﹸﻛﹾ ﺄ ﻳ  ﻱﺬﱠﻟ  ﺎﹶ ﻛ ﹶ ﻥﺎﹶ ﻛ ﻭ ﻪ ﻴ  ﻓ ﻪ  ﻟ ﹶ ﻙ  ﺭ ﺎ ﺒ ﻳ  ﻢﹶ  ﻟ ﹴ ﺲﹾ ﻔ  ﻧ ﻑﺍ ﺮ  ﺷﺎﹺﺑ   ﻩ ﹶ ﺬ ﺧﹶ ﺍ ﻦ  ﻣ ﻭ ﻪ  ﻴ  ﻓ ﻪ  ﹶ ﻟ  ﻙﹺﺭ  ﻮ ﺑ

( ) ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻖﻔ ﺘ ﻣ

  Artinya: “Dari Hakim bin Hizam RA. Ia berkata : “Saya minta kepada nabi, maka beliau memberi

  

kepadaku. Kemudian saya meminta lagi dan diberinya lagi, kemudian beliau bersabda : “Hai Hakim!

Harta ini memang indah dan manis, maka siapa yang mengambilnya dengan kelapangan hati, pasti

diberikan keberkatan baginya. Sebaliknya siapa yang menerima dengan kerakusan pasti tidak berkah

baginya, bagaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. ” (HR. Bukhari Muslim)

  Untuk menumbuhkan sifat qona’ah tentunya tidak langsung jadi dengan sendirinya. Agar bisa mempunyai sifat itu, memerlukan latihan dan pembiasaan-pembiasaan sejak dini yang pada akhirnya sifat tersebut akan mendarah daging dalam diri seseorang sebagai bagian dari hidupnya. Dengan demikian, hatinya akan senantiasa merasa tenteram dan stabil selama di dunia serta senantiasa siap menyongsong kehidupan di akhirat.

  Qona’ah bukan berarti menerima apa adanya disertai dengan sikap malas, tetapi harus diiringi dengan usaha keras. Jika usaha tersebut hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka harus diterima dengan sikap sabar. Sebaliknya jika usaha tersebut memperoleh hasil yang memuaskan, maka yang menyertai adalah sikap syukur kepada Allah SWT.

  Dengan sikap qona’ah ini berarti kita menanamkan pola hidup sederhana yang sehat, karena pada dasarnya orang yang selalu mengejar-ngejar harta kekayaan hatinya tidak akan tenteram.

B. Toleransi (Tasamuh)

  Toleransi menurut arti bahasa adalah tenggang rasa sedangkan menurut istilah saling menghargai antara sesama manusia. Manusia adalah makhluk sosial, artinya ia tidak bisa hidup sendiri. Mereka masing-masing saling membutuhkan. Misalnya kita membutuhkan baju, maka proses pembuatannya mulai dari menanam kapas, memintal benang sampai akhirnya menjadi kain itupun kita masih butuh tukang jahit.

  Begitu juga masalah pangan. Dari pak tani menanam padi dimulai dari membajak dengan sapi atau traktor untuk menggemburkan tanah, baru bercocok tanam, kemudian tua dipanen, dijemur, dan digiling menjadi beras.

  Dari proses menanam sampai menjadi beras itu jelas banyak tangan yang bekerja. Tidak mungkin kita bekerja sendiri. Dari hal tersebut kita menjadi tahu ternyata kita saling membutuhkan. Maka dari itu kita harus saling menghormati satu dengan yang lain.

1. Penerapan Toleransi Sudah menjadi kehendak Allah SWT kalau bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk.

  Kemajemukan (keragaman) bangsa kita meliputi keragaman suku, ras, dan agama. Keragaman ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Sebaliknya, keragaman ini juga bisa berdampak kepada konflik antarkelompok bernuansa SARA (suku, agama, ras, an antargolongan) yang sangat merugikan.

  Keragaman bangsa Indonesia bisa menjadi potensi yang besar untuk membangun manakala segala perbedaan yang ada, diambil nilai positifnya. Karena adanya keragaman, maka orang Jawa bisa dengan mudah merasakan masakan Padang, orang Irian bisa merasakan enaknya lumpia Semarang, orang Aceh bisa merasakan sate Madura, orang Dayak bisa belajar membuat empek-empek Palembang. Karena keragaman itu pula, bangsa Indonesia kaya akan budaya, baik berupa seni tari, arsitektur rumah, upacara adat, dan keragaman lain.

  Sebaliknya, kalau perbedaan yang ada dijadikan sumber konflik antarkelompok, maka tidak akan ada habisnya. Jangankan berbeda sukunya, beda kampung pun kalau mau dijadikan konflik, terjadilah tawuran antarkampung. Jangankan beda agama, sama-sama Islam namun beda tempat pengajiannya pun bisa menjadi ajang konflik. Masing-masing merasa paling benar. Oleh karenanya diperluan rasa saling memahami, saling mengerti, dan tenggang rasa. Sikap seperti ini disebut dengan toleransi. Dalam ajaran Islam toleransi ini disebut dengan istilah tasamuh.

  Tasamauh atau toleransi ini sendiri merupakan salah satu pilar dalam ajaran Islam. Agama Islam adalah agama yang cinta damai dan mengajarkan kedamaian. Bangsa Arab yang dulunya merupakan bangsa yang suka bertikai antarkelompok, antarkabilah, dan antarsuku, dengan kedatangan Islam mereka menjadi bangsa yang damai. Dan kunci dari perdamaian itu adalah adanya kesadaran bertoleransi antarkelompok dan antarindividu. Dengan demikian, umat Islam yang benar-benar memahami ajarannya, tentu harus bersikap toleran, baik kepada saudara-saudaranya sesama Islam maupun kepada orang yang beragama selain Islam. Firman Allah SWT :

  

ﱠﻥﹺﺇ ﺍ ﻮﹸﻓ  ﺭ  ﺎ ﻌ ﺘ  ﻟ ﻞﺋ ﹶ ﺎ ﺒ ﻗ ﹶ ﻭ ﺎﺑ   ﻮ ﻌ ﺷ  ﻢﹸﻛﺎ  ﻨ ﹾ ﻠ ﻌ  ﺟ  ﻭ ﻰﺜ ﻧ  ﹸﺃ  ﻭ ﹴ ﺮ ﻛﹶ ﹶ ﺫ  ﻦﻣ  ﻢﹸﻛﺎ ﻨ ﹾ ﻘ ﹶ ﻠ  ﺧ ﺎﻧ ﹺﺇ  ﺱﺎﻨ ﻟ ﺍ ﺎ ﻬﻳ ﹶ ﺃ ﺎ ﻳ

( ۱۱ : ﺕﺍ ﺮ ﺠﳊﺍ )

   ﺮ  ﻴ ﹺﺒ ﺧ   ﻢ ﻴ ﻠ ﻋ َﷲﺍ  ﱠﻥﹺﺇ ﻢﹸﻛﺎﹶ  ﻘ ﺗ  ﹶ ﺃ ﷲﺍ ِ ﺪ  ﻨ ﻋ  ﻢﹸﻜ ﻣ  ﺮ ﹾ ﻛﹶ ﺃ

  Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan

  seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang lebih dicintai oleh Allah adalah yang lebih bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al Hujurat : 11) a.

   Persaudaraan Sesama Muslim Banyak sekali hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap muslim itu bersaudara.

  Persaudaraan antarmuslim ini tidak dibatasi oleh ruang dan lingkup tertentu saja. Di manapun muslim itu berada, maka mereka semua adalah saudara-saudara kita. Persaudaraan antarmuslim ini tidak dibatasi oleh tempat pengajian, organisasi, wilayah, negara, maupun bangsa. Jadi, ironis sekali manakala antara muslim satu dengan yang lain menjadi bertikai hanya karena perbedaan pendapat mengenai jumlah rekaat salat tarawih, qunut, maupun perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Syawal ketika hari raya Idul Fitri. Mengenai perbedaan pendapat dalam Islam, sudah pernah diingatkan oleh Rasulullah SAW

  ( ) ﺚﻳ ﺪﳊﺍ ﹲ ﺔ  ﻤ ﺣ ﺭ ﻲﺘ  ﻣ ﹸﺃ ﻑﹶ  ﻼﺘ ﺧﹺﺇ 

  Artinya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.” (Al Hadis)

  ﻰﻜ ﺘ ﺷ ﺍ  ﺫ ﹶ ﹺﺇ ﺪ ﺴ ﺠﹾ ﻟ ﺍ ﹺﻞﹶ ﺜ ﻤﹶ  ﻛ  ﻢﹺﻬﻔ ﹸﻃﺎ ﻌ ﺗ  ﻭ   ﻢﻫّﺩﺍ ﻮ  ﺗ ﻭ   ﻢﹺﻬﻤ ﺣﺍ ﺮ  ﺗ  ﻲﻓ  ﻦ  ﻴ ﹺﻨ ﻣ ﺆ  ﻤﹾ ﻟ ﺍ ﻯ ﺮ ﺗ  ( ) ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ ﻖﻔ ﺘ ﻣ ﻰﻤ ﺤﹾ ﻟ ﺍ  ﻭ ﹺﺮ  ﻬﺴﻟ ﺎﹺﺑ ﺪ ﺴ  ﺠﹾ ﻟ ﺍ ﺮ  ﺋ ﺎ ﺳ  ﻪ ﹶ ﻟ ﻰﻋﺍ ﺪ  ﺗ ﻮ  ﻀ ﻋ

  Artinya :”Kamu akan melihat orang-orang yang beriman dalam saling menyayangi, saling

  

mencintai, saling mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka

bagian yang lain pun ikut merasakannya dengan tidak dapat tidur dan badan panas “. (HR.

Kesepakatan ahli hadis) b. Toleran kepada Non Muslim

  Walaupun Allah menyatakan bahwa agama yang diridhai di sisi-Nya adalah agama Islam, hal ini bukan berarti semua orang harus dipaksa memeluk agama Islam. Umat Islam boleh berbuat semena-mena kepada umat yang bukan muslim. Nabi Muhammad saja, sebagai manusia yang paling taat dan dekat kepada Allah SWT. beliau selalu diingatkan oleh Allah SWT bahwa tugas beliau hanya menyampaikan berita (al balagh) dari Allah SWT. Rasulullah SAW tidak berhak dan tidak bisa memaksa orang lain untuk percaya dan mengikuti beliau, betapapun benar dan mulianya ajaran yang dibawanya. Pada suatu ketika Rasulullah terbersit keinginannya untuk memaksakan ajarannya kepada para Quraisy yang belum beragama Islam, maka turun peingatan dari Allah dalam surat Yunus ayat 99 :

  ,  ﺱﺎﻨ ﻟ ﺍ  ﻩ ﹺﺮ ﹾ ﻜ ﺗ  ﺖ  ﻧ ﺄ ﹶ ﻓ ﺃ ﺎﻌ ﹰ ﻴ  ﻤ ﺟ  ﻢ ﻬﱡﻠ ﹸﻛ ﹺﺽ ﺭ َﻷﺍ ﻲﻓ ﻦ  ﻣ ﻦ  ﻣ َﻷ  ﻚﺑ ﺭ  َﺀ ﺎ ﺷ  ﻮﹶ ﻟ  ﻭ ( : ) ٩٩ ﺲﻧ ﻮﻳ

  ﻦ  ﻴ ﹺﻨ ﻣ ﺆ  ﻣ ﺍ  ﻮ ﻧ  ﻮﹸﻜ ﻳ ﻰﺘ  ﺣ

  Artinya : “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki : tentulah beriman semua orang yang ada di

  muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman seluruhnya?” (QS 10:99)

  Oleh karena itu, sikap toleran, menghargai, dan menghormati bahkan bisa bekerja sama dengan orang yang bukan Islam juga merupakan bagian dari ajaran Allah SWT yang harus dilaksanakan oleh umat muslim.

  Ayat di atas juga menjelaskan bahwa sikap toleransi tidak memandang suku, bangsa, dan ras. Karena mereka terpaut dalam satu keyakinan sebagai makhluk Allah di muka bumi. Di hadapan Allah semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Adapun yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah prestasi taqwa.

2. Fungsi Toleransi

  Sikap toleran dan baik hati terhadap sesama terlebih lagi dia seorang muslim pada akhirnya akan membias kembali kepada kita. Misalnya kita akan banyak memperoleh kemudahan dan peluang hidup karena adanya relasi (hubungan) baik. Di samping itu Allah akan membalas semua kebaikan kita di akhirat kelak.

  .

  ﺔ ﻣ  ﺎ ﻴ ﻘ ﻟ ﹾ ﺍ ﹺﻡ ﻮ  ﻳ ﹺﺏ  ﺮ ﹸﻛ  ﻦﻣ ﺔ ﹰ  ﺑ  ﺮ ﹸﻛ  ﻪ ﻨ  ﻋ ُ  ﷲﺍ ﺲﱠﻔ   ﻧ ﺎ ﻨ ﻳ  ﺪﻟ ﺍ ﹺﺏ  ﺮ ﹸﻛ  ﻦﻣ ﹰ ﺔ ﺑ  ﺮ  ﹸﻛ ﹴ ﻦﻣ ﺆ  ﻣ ﻦ  ﻋ  ﺲﱠﻔ ﻧ  ﻦ  ﻣ ( ) ﻢﻠ ﺴﻣ ﻩ ﺍ ﻭﺭ

  ﺓ  ﺮ ﺧ ﻵﹾ ﺍ  ﻭ ﺎ ﻴ ﻧ  ﺪﻟ ﺍ ﻰﻓ ﻪ  ﻴ ﻠ ﹶ ﻋ ُ  ﷲﺍ ﺮ  ﺴ ﻳ ﺮ ﹴ ِ ﺴ ﻌ  ﻣ ﻰﻠ ﻋ   ﺮ ﺴ ﻳ ﻦﻣ  ﻭ  Artinya: “Siapa yang membantu menghilangkan kesulitan orang mukmin satu kesulitan di dunia,

  niscaya Allah akan menghilangkan kesulitan dia dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang menghadapi kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat. ” (HR. Muslim).

  Adapun toleransi terhadap nonmuslim mempunyai batasan-batasan tertentu. Selama mereka mau menghargai kita, tidak menyerang, dan tidak mengusir kita dari kampung halaman, mereka pun harus kita hargai. Karena pada dasarnya sama sebagai makhluk Allah SWT. Begitu indahnya ajaran Islam sehingga digambarkan dengan kalimat :

  ( ) ﻢﻠ ﺴﻣ ﻩ ﺍ ﻭﺭ ﺎﻧ ﺍ  ﻮ ﺧﺍ ِ ﷲﺍ ﺩﺎ  ﺒ ﻋﺍ ﻮ  ﻧ  ﻮﹸﻛ ﻭ

  Artinya: “ Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim) Bersikap tasamuh bukan berarti kita toleran terhadap sesuatu secara membabi buta tanpa memiliki pendirian. Sikap tersebut harus dibarengi dengan suatu prinsip yang adil dan membela kebenaran. Kita tetap harus tegas dan adil jika dihadapkan pada suatu masalah baik menyangkut diri sendiri, keluarga, ataupun orang lain. Walaupun keputusan tersebut akan berakibat pahit pada diri sendiri.

  ( ) ﻯﺭ ﺎﻔ ﻐ ﻟ ﺍ ﺭ ﺫ ﻮﺑ ﺍ ﻩ ﺍ ﻭﺭ ﺮ ﻣ  ﹶ ﻥﺎﹶ ﻛ  ﻮﹶ ﻟ  ﻭ ﻖ ﺤﹾ ﻟ ﺍ ﹺﻞﹸﻗ Artinya: “Katakanlah yang haq sekalipun pahit rasanya.” (HR. Abu Dzar Al Ghifari).

  

ﺍ ﻮ ﹸﻟ ﺪ ﻌ  ﺗ ﱠﻻﹶ ﺃ ﻰﹶ ﻠ ﻋ ﹴ  ﻡ  ﻮ ﹶ ﻗ ﹸﻥﺂ  ﻨ  ﺷ  ﻢﹸﻜﻨ ﻣ  ﹺﺮ ﺠ  ﻳ ﻻ ﹶ ﻭ ﻂ ﺴﻘ ﹾ ﻟ ﺎﹺﺑ َﺀ ﺍ  ﺪ ﻬ  ﺷ ِ ﷲِ ﲔﻣ  ﺍ ﻮ ﻗ ﹶ ﺍ ﻮ ﻧ  ﻮ ﹸﻛ ﺍ ﻮ  ﻨ  ﻣ ﺍ َﺀ  ﻦﻳ ﺬﱠﻟ ﺍ ﺎ ﻬ ﻳ ﹶ ﺃ ﺎ ﻳ

( : ) 8 ﺓ ﺪﺋ ﺎﳌ ﺍ ﺓ ﺭ ﻮ ﺳ

  ﻥﻮ ﹶ ﹸﻠ ﻤ  ﻌ ﺗ  ﺎ ﻤﹺﺑ  ﲑﹺﺒ  ﺧ َﷲﺍ ﱠﻥﹺﺇ َﷲﺍ ﺍ ﻮ ﹸﻘ ﺗ ﺍ ﻭ  ﻯ ﻮ ﻘ ﹾ ﺘ ﻠ ﻟ  ﺏ  ﺮ ﻗ ﹾ ﺃ ﹶ  ﻮ  ﻫ ﺍ ﻮ ﹸﻟ ﺪ ﻋﺍ

  Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang benar-benar

  

berdiri menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi untuk adil. Dan janganlah kamu

didorong oleh permusuhan terhadap suatu kaum, sampai kamu tidak berlaku adil. Berbuat adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan .” (QS. Al Maidah : 8)