Awang Munawar 2013 (WARISAN POLITIK DAN DINAMIKA POLITIK INDONESIA KEKINIAN)

WARISAN POLITIK DAN DINAMIKA POLITIK INDONESIA KEKINIAN

Oleh Awang Munawar

Abstrak

Satu gejala yang menarik dari sejarah perkembangan politik Indonesia modern, terutama dalam zaman pergerakan nasional, ialah keberhasilannya melahirkan sejumlah pemikir-pemikir politik yang berbobot. Lebih menarik lagi karena sebagian besar dari mereka telah mampu mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang relatif matang semenjak usia muda. Apakah dari seorang gadis remaja berbudi halus bernama Kartini ataukah seorang pemuda dinamis bernama Sukarno. Apakah dia seorang Mohammad Natsir yang alim ataukah Tan Malaka yang penuh misteri. Tidak diragukan lagi, semua mereka telah menyumbangkan perbendaharaan pemikiran yang amat berharga dan sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual masyarakat mereka.

Kata Kunci: Warisan Politik, Dinamika Politik

Pendahuluan

Sebagai salah satu founding fathers Indonesia, pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah mempersatukannya ke dalam suatu “common denominator”, apakah namanya Marhaenisme, Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari

masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada.

Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan

Dalam mempelajari Soekarno, diperlukan sebuah kunci yang tepat untuk dapat mengetahui dengan jelas bagaimana pola pemikirannya terbentuk. Seorang peneliti Barat, Bernhard Dahm, menjelaskan panjang lebar bagaimana budaya Jawa telah membentuk alur pemikirannya dimasa kanak-kanak. Menurut Dahm, untuk mempelajari Soekarno, adalah dengan memahami ”Mitologi Jawa”, yaitu Konsep kepercayaan masyarakat Jawa sebagaimana tercermin didalam cerita-cerita wayang, ide Ratu Adil, dan Jayabaya.

Frustasi, harapan, dan juru selamat merupakan intisari dari konsep kepercayaan ini. Frustasi yang dalam sebagai akibat penindasan, penjajahan, kezaliman, dan ketidakadilan pada waktu yang sama menyuburkan tumbuhnya harapan dan angan-angan yang tinggi tentang suatu perubahan zaman yang diidam- idamkan. Perubahan zaman itu akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat mereka dari segala macam bentuk kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan.

Pertemuannya dengan seorang petani miskin di Bandung telah ikut menciptakan konsep ”Marhaenisme” yang kemudian menjadi alat perjuangannya dalam melawan kolonialisme. Ia melihat perbedaan mendasar antara proletar dengan kaum marhaen di Indonesia. Sehingga istilah proletar kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Marhaenisme akhirnya menjadi dasar perjuangan dari PNI dan Partindo yang didirikan Soekarno kemudian. Konsep marhaen telah memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Tahun 1921, dalam suatu kongres Jong Java di Bandung, ia membahas tentang tidak terelakkannya perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah merasa sesuai dengan pandangan ini, dan konsep marhaen memungkinkan ia lebih menempatkan perjuangan itu kedalam pengertian kelas. Pandangan ini juga menampilkan konsep teoritis bagi situasi Indonesia.

Soekarno meyakini bahwa sistem multipartai telah menyebabkan negara menjadi lemah karena pada waktu itu telah terjadi konflik ideologis antar partai, sehingga pemerintahan tidak stabil. Dalam keadaan dan krisis-krisis yang melanda kabinet disusul dengan pergolakan-pergolakan di daerah-daerah, Soekarno tampil dengan “konsepsinya” yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap kesulitan- kesulitan politik yang dihadapi pada masa itu. Konsep Demokrasi Terpimpin yang

diajukan Soekarno pada Tanggal 21 Februari 1957 dihadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada pokoknya berisi: 1. Sistem Demokrasi Parlementer secara barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. 2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet Gotong royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masjumi, NU, dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan kegotong-royongan nasional. 3 Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.

Soekarno merupakan orang yang sangat lekat dengan budaya jawa karena ayahnya sendiri adalah orang jawa yang sangat mengagumi dan memahami budaya-budaya jawa terutama cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana. Pemahaman ayahnya atas budaya jawa tersebut diturunkan kepada Soekarno semenjak kecil. Karena pemahamannya yang kuat terhadap cerita-cerita wayang, maka ayah Soekarno memberinya nama Karno. Karno adalah nama tokoh dalam cerita Mahabharata yang berasal dari Kurawa. Dengan memberikan nama Soekarno ini, ayahnya mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi seorang patriot, seorang pejuang dan pahlawan besar bagi rakyatnya. Ayahnya juga mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi “Karno yang kedua”.

Pembahasan

Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sangat menggemari tokoh Pandawa yang bernama Bima. Bima adalah seorang ksatria yang mempunyai sifat-sifat tidak mengenal kompromi dengan mereka yang datang diluar golongannya disatu pihak dan pada waktu yang sama bersedia berkompromi dengan mereka yang segolongan dengannya. Soekarno menyerap segi-segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani miskin yang tinggal didekat Mojokerto. Dalam pidato-pidatonya kemudian, apabila ia ingin menyampaikan pikiran yang lebih pelik kepada khalayak Jawa, ia akan menggunakan kisah dan tokoh-tokoh pewayangan. Selain wayang, orang yang turut Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sangat menggemari tokoh Pandawa yang bernama Bima. Bima adalah seorang ksatria yang mempunyai sifat-sifat tidak mengenal kompromi dengan mereka yang datang diluar golongannya disatu pihak dan pada waktu yang sama bersedia berkompromi dengan mereka yang segolongan dengannya. Soekarno menyerap segi-segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani miskin yang tinggal didekat Mojokerto. Dalam pidato-pidatonya kemudian, apabila ia ingin menyampaikan pikiran yang lebih pelik kepada khalayak Jawa, ia akan menggunakan kisah dan tokoh-tokoh pewayangan. Selain wayang, orang yang turut

Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka. Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia merdeka.

Soekarno-Megawati

Pemikiran politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926 dengan judul ”Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah Indonesia Muda dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan kepada tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal dari suku Jawa yang telah dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam Pemikiran politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926 dengan judul ”Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah Indonesia Muda dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan kepada tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu yaitu Nasionalisme, Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal dari suku Jawa yang telah dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam

Menyoal nasionalisme, sejarawan Taufik Abdullah dalam sebuah seminar (Kompas, 18 Agustus 2007, hal. 33) berkomentar bahwa nasionalisme yang berintikan patriotisme itu, memang perwujudannya mengalami dialektika yang dinamis di mana tiap generasi mempunyai tantangan (challenge) dan jawaban (response) yang berbeda, namun esensi nasionalisme tetaplah sama yaitu rasa cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Nasionalisme itu menjadi daya dorong atau e’lan vital bangsa dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Ernest Gellner (Kompas, 21 Mei 2008) dalam bukunya Nations and Nationalism (1983) antara lain menulis bahwa ” nasionalisme melahirkan bangsa, sementara demokrasi melahirkan negara dan pemerintahan”, maka nasionalisme bersama demokrasi melahirkan negara bangsa (nation state) . Namun demokrasi bukan hanya sebagai alat tetapi sekaligus merupakan tujuan dari negara bangsa itu sendiri, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur material – spiritual bagi seluruh warga bangsa.

Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai “sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people born ini the same place) (Ritter, 1986: 286) . Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295). Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.

Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam. Antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan

lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut. Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja. Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu. Sementara itu Carlton Hayes, seperti dikutip Snyder (1964: 24) membedakan empat arti nasionalisme: (1) Sebagai proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern; (2) Sebagai suatu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual; (3) Nasionalisme menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegitan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu, penggabungan proses historis dan satu teori politik; (4) Sebagai satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.

Sementara itu Benedict Anderson (1996: 6, dlm, Baskara Wardaya, 2002:

16) mendefinisikan nation (bangsa) sebagai “suatu komunitas politis yang dibayangkan-dan dibayangkan sekaligus sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat” (“an imagined political community and imagined as both inherently limited and sovereign”). Istilah dibayangkan (imagined) ini penting, menurut Anderson, mengingat bahwa anggotaanggota dari nasion itu kebanyakan belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada saat yang sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada dalam suatu kesatuan komuniter tertentu. Karena terutama hidup dalam bayangan (dalam arti positif) manusia yang juga hidup dan berdinamika, nasionalisme di sini dimengerti sebagai sesuatu yang hidup, yang terus secara dinamis mengalami proses pasang surut, naik turun. Pandangan yang demikian ini mengandaikan bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang secara dinamis berkembang serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.

Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini nasionalisme sama dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang- kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu sendiri. (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak agresif. Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9) menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu “a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada negara bangsa).

Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang). Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.

Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politi bagaimanapun jauh lebih kompleks dari

transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.

Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme

harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan nasionalisme. Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di sekelilingnya.

Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie

Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.

Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.

Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.

Sebagai sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.

Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.

Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000). Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).

Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, walaupun Plamenatz cukup layak didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas. Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat.

Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam

Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah

statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari Barat.

Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan

Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur. Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.

Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang

Tentu saja tidak bisa tertutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk "alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986). Indikasi lain dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang "autentik" untuk mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.

Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya

Di sinilah titik kritis karena nasionalisme, sebagai sebuah ideologi, memiliki kapasitas mentransformasikan energi sosial ke dalam aksi-aksi politik otoriterianisme. Dalam konteks ini, kacamata Anderson yang melihat nasionalisme sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak lagi memadai untuk mengamati bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam relasi kekuasaan. Dalam perspektif ini, nasionalisme berada dalam sebuah relasi antara negara dan masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam mengendalikan negara (John Breuilly, 1994). Dalam kondisi demikian, nasionalisme tidak lagi menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum elite nasionalis yang dengan otoritas pengetahuan mendominasi wacana nasionalisme. Dengan kata lain, nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis.

Senada dengan paparan sebelumnya perihal nasionalisme, adalah Iskandar dan Uep Tatang Sontani yang menelaah nasionalisme dari sisi epistemologinya dalam sebuah jurnal sejarah, kesimpulannya adalah untuk menghindari jebakan ideologis, wacana nasionalisme harus dilepaskan dari dominasi institusi negara, baik sipil maupun militer, dalam mendefinisikan nasionalisme. Wacana nasionalisme harus diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat dengan leluasa mengaji secara kritis dan memberi kontribusi kreatif terhadap wacana nasionalisme. Dengan demikian, nasionalisme menjadi arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.

Dalam konteks yang sama, Sutardjo Adisusilo mengangkat juga ikhwal nasionalisme. Simpulannya adalah Pertama, nasionalisme perlu dipahami dalam kerangka ideologi yang di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) strategic, (4) affective. Sebagai ideologi, nasionalisme dapat Dalam konteks yang sama, Sutardjo Adisusilo mengangkat juga ikhwal nasionalisme. Simpulannya adalah Pertama, nasionalisme perlu dipahami dalam kerangka ideologi yang di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value orientation; (3) strategic, (4) affective. Sebagai ideologi, nasionalisme dapat

Dalam kerangka ini pemaknaan, perwujudan dan tujuan nasionalisme selalu relevan dan dapat disesuaikan dengan tuntutan jamannya sebagai mana dikatakan Sartono Kartodirdjo (1999: 13) bahwa nasionalisme masih relevan jika disertai dengan prinsip utamanya, yakni: menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa, menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin adanya kesamaan (equality) bagi setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian (personality), dan prestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa. Selama kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan nasionalisme akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang bersangkutan. Jika semua prasarat di atas terpenuhi maka nasionalisme akan merupakan ideologi yang mengusung terwujudnya masyarakat madani (civil society)

Kedua, negara bangsa yang demokratis harus menjamin terwujudnya: (1) pembagian kekuasaan trias politika (legislatif, eksekutif dan yudikatif); (2) diwujudkannya negara hukum, di mana negara menjamin equality / l’egalite’: (3) persamaan hak setiap orang di hadapan hukum; yang menjamin freedom / liberte’: (4) dijaminnya solidarity / fraternite’ dan (5) akhirnya negara harus mewujudkan bonum publicum: negara wajib menjamin terwujudnya welfare state. Selanjutnya John Schwarmantel menandaskan bahwa ciri utama negara yang demokratis adalah adanya jaminan: 1. participation: negara menjamin setiap warga negara untuk ikut serta dalam mengelola negara; 2. equality: negara menjamin perlakuan yang sama bagi setiap warga negara; 3. accuntability: pemerintah wajib memberi pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Dalam welfare state ynag demokratis inilah masyarakat madani atau civil society akan terwujud.

Ketiga, masyarakat madani (Civil Society) adalah masyarakat di mana setiap warga memiliki kebebasan yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, bebas dari rasa takut, senantiasa mengembangkan kerjasama yang didasarkan atas kepercayaan, sehingga muncul inisiatif dan partisipasi warga masyarakat dalam Ketiga, masyarakat madani (Civil Society) adalah masyarakat di mana setiap warga memiliki kebebasan yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, bebas dari rasa takut, senantiasa mengembangkan kerjasama yang didasarkan atas kepercayaan, sehingga muncul inisiatif dan partisipasi warga masyarakat dalam

Relevan dengan nasionalisme acuan spiritualitas timur, ada beberapa segi khas yang dapat ditandai dari pemikiran Soekarno. Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional seperti yang telah diuraikan. Ia menempatkan kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok diantara berbagai aliran pendirian dalam pemikiran kaum nasionalis. Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap nonkooperasi bukan hanya sebagai taktik, tetapi sebagai hal yang prinsip. Ia menekankan tentang sia-sianya sikap lunak yang moderat, tentang ketidakmungkinan suatu kompromi dengan imperialisme yang menjadi musuh itu, dan menjelaskan tentang dua kubu yang saling berlawanan antara “sini” dan “sana”, antara “pihak kita” dan “pihak mereka”. Ketiga adalah mengenai konsep Marhaenismenya. Gagasan tentang “rakyat kecil”, si Marhaen mungkin tidak merupakan suatu sumbangan besar yang khas dalam dunia pemikiran politik, tetapi sesungguhnya konsep itu telah menampilkan suatu penilaian yang jujur tentang sifat masyarakat Indonesia.

Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan Soekarno. Asas Mahaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada

Oleh karena itu supaya tidak terjadi penindasan dan ada kebebasan di bidang ekonomi maka sistem kapitalisme didalam masyarakat itu harus dihapus, karena selama sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya supaya segala sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan orang yang lainnya. Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi social yaitu terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ia mempunyai prinsip utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan demokrasinyapun harus breperikemanusiaan pula seperti yang dikatakan Gandhi.

Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio- nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang menindas dan memelaratkan rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya sebagai filsafat dan dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai Pancasila.

Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat

Prinsip pertama yang menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan. Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chu I” atau “The Three People’s Prinsiples”. Kebangsaan Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa kebudayaan ataupun Agama tertentu.

Nation yang dimaksud juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.

Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam era sekarang lebih tepat Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam era sekarang lebih tepat

Kemudian pada prinsip yang ketiga Soekarno menguraikan dasar Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Dalam penjelasannya, Soekarno mengatakan bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, melainkan negara ”satu buat semua, semua buat satu”. Soekarno yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara mufakat, membicarakan semua permasalahan termasuk agama didalam Badan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya Soekarno menguraikan prinsip yang keempat yaitu Kesejahteraan. Dengan prinsip ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Soekarno menjelaskan bahwa Badan Perwakilan belum cukup untuk menjamin kesejahteraan rakyat, karena yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno mengusulkan politik economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Prinsip kelima yang diuraikan Soekarno adalah ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Prinsip sila keTuhanan YME tersebut dimaksudkan oleh Soekarno supaya bukan saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia berTuhan Tuhannya sendiri. Negara memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan agama dan keyakinannya. Soekarno telah berpikir kedepan bahwa negara harus memberi kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya, sebagaimana tuntutan hak-hak asasi manusia.

Meskipun Soekarno menawarkan lima prinsip dasar yang diberinya nama Pancasila, tapi saat itu Soekarno juga menawarkan alternatif dari lima sila ini. Sifat perdamaian dan kebersamaan hasil penggaliannya diungkapkan dalam kesimpulan akhir bahwa kelima prinsip dasar Pancasila tersebut dapat diperas menjadi tiga dan tiga ini dapat diperas menjadi satu prinsip kehidupan rakyat Indonesia, Gotong Royong. Soekarno memeras lima sila tersebut menjadi tiga sila saja yang meliputi: (1) Socio-Nationalisme (Kebangsaan dan Perikemanusiaan); (2) Socio-Demokrasi (Demokrasi dan Kesejahteraan); (3) Ke-Tuhanan

Dari sini tampak jelas terlihat bahwa Soekarno menghidupkan kembali pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana rumusan pemikiran Soekarno dipakai sebagai asas dalam partai politik yang didirikannya. Menurut Soekarno Dari sini tampak jelas terlihat bahwa Soekarno menghidupkan kembali pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana rumusan pemikiran Soekarno dipakai sebagai asas dalam partai politik yang didirikannya. Menurut Soekarno

Pancasila merupakan puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya dan dapat diterima oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of Independence tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pancasila mengandung keduanya sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai nilai yang lebih tinggi dari Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis.

Pancasila Soekarno versi pra kemerdekaan tersebut berkembang “definisinya” ketika Soekarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of Our Revolution). Isi pidato tersebut kemudian dianggap sebagai Manifesto Politik atau dikenal sebagai Manipol yang kemudian berkembang menjadi Manipol USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional). Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.

Tidak hanya itu, dalam rangka menyatukan seluruh kekuatan nasional yang ada pada waktu itu, pada awal tahun 1960 Soekarno memperkenalkan pemikiran baru untuk melengkapi doktrin revolusinya. Doktrin tersebut bernama NASAKOM yang merupakan akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis. Nasakom adalah lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang meliputi golongan nasionalis, agama, dan komunis.

Menurut John D. Legge, sebenarnya ia menghidupkan kembali pemikirannya pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum nasionalis, islam, dan marxis dapat sama dan cocok satu sama lain. Dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu persatuan nasional. Di masa mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an cita-cita persatuan nasional Menurut John D. Legge, sebenarnya ia menghidupkan kembali pemikirannya pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum nasionalis, islam, dan marxis dapat sama dan cocok satu sama lain. Dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu persatuan nasional. Di masa mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an cita-cita persatuan nasional

Bernhard Dahm, seorang penulis biografi Soekarno pun mendapat kesan yang sama, bahwa pada pekan-pekan terakhir menjelang turunnya dari dunia politik Indonesia, Soekarno tetap konsisten dengan apa yang diperjuangkannya pada era 1920-an. Dia tetap mengharapkan bahwa di tengah pluralitas yang ada, bangsa Indonesia mampu membina persatuan, dan ia tetap teguh dalam perlawanannya terhadap musuh lamanya, yakni “kolonialisme” dan “imperialisme”. Oleh karena itu pesan pokok Soekarno tetap sama, yaitu disatu pihak melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan jalan menyatukan berbagai ideologi yang berbeda kedalam suatu kesatuan yang harmonis.

Menurut Soekarno, Pancasila selain menjadi Dasar Falsafah Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai landasan perjuangan bangsa. PKI hanya menerima Pancasila sebagai kenyataan obyektif yang harus dipakai sebagai landasan dan alat memperkuat diri, selama PKI belum merasa kuat untuk memaksakan ideologi dan konsepsi politiknya. Dalam pengamalan Dasar Falsafah Negara Pancasila untuk mencapai cita-cita revolusi Indonesia ialah masyarakat adil makmur, Soekarno menggunakan konsepsi Nasakom secara mental ideologi yang diharapkan dapat mempersatukan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan paham politik termasuk PKI, tetapi bagi PKI, konsep Nasakom diterima sebagai pengertian fisik yang akan dimanfaatkan sebagai legalitas dalam usaha menuju tujuan revolusi menurut konsepsinya.