Potensi Karbon Serasah dan Nekromassa di Hutan Diklat Pondok Buluh Kabupaten Simalungun

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan
Hutan merupakan sumber utama penyerap gas karbondioksida di atmosfer
selain fitoplankton, ganggang, padang lamun, dan rumput laut di lautan. Peranan
hutan sebagai penyerap karbondioksida diawali dari proses fotosintesis. Jumlah
karbondioksida yang diserap dari proses fotosintesis ini setiap tahunnya
diperkirakan sebesar 70-120 trilyun ton dan diperkirakan dua pertiganya berasal
dari daratan (Salisbury dan Cleon, 1995).
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan nasional dan konservasi pada iklim yang ada di dunia.
Hal ini disebabkan hutan sangat bermanfaat bagi kehidupan yang saling terkait
didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai
nilai tinggi, serta hasil hutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu dan yang
lainnya. Hutan juga bermanfaat terhadap pengaturan tata air, mencegah erosi,
memberikan efek kesehatan terhadap lingkungan, memberikan rasa keindahan,
sektor pariwisata, mengurangi pengangguran, dan menambah devisa negara
(Salim, 2004).
Hutan alami merupakan penyimpanan karbon tertinggi bila dibandingkan
dengan penggunaan lahan pertanian, karena tumbuhan di hutan memiliki tajuk yang
lebar dan tegakan yang tinggi, tegakan tersebut memerlukan sinar matahari, air, hara
dan karbon untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis ini, karbon (C)

di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat yang disebarkan ke
seluruh tubuh tanaman yang ditimbun dalam batang, daun, ranting, akar, bunga, dan
buah (Hairiah dan Subekti, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama
baik di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan
rakyat tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Oleh karena itu,
informasi dan data mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis
pohon, jenis tanah dan topografi di Indonesia sangat penting. Cadangan karbon
pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 ā€“ 264,70
ton C/ha (Masripatin dkk, 2010).
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selain itu, hutan
merupakan suatu kesatuan ekosistem yang erat kaitannya dengan proses alam
yang saling berhubungan antar komponen penyusun ekosistem. Komponen
ekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik merupakan
komponen makhluk hidup, misalnya binatang, tetumbuhan, dan mikroba.

Sedangkan komponen abiotik merupakan komponen benda mati atau fisik dan
kimia yang terdiri atas tanah, air, udara, sinar matahari, dan lain sebagainya yang
berupa medium atau substrat untuk berlangsungnya kehidupan. Dari komponen
ekosistem ini, hutan tersebut memiliki peranan dan fungsi. Peranan hutan
diantaranya yaitu menjaga stabilitas iklim global. Hutan mempunyai peranan
penting sebagai sumber emisi karbon (source) dan juga dapat menjadi penyerap
karbon dan menyimpannya (sink) (Kemenhut,1999).
Peranan dan fungsi hutan adalah sebagai proteksi atau menjaga stabilitas
lapisan tanah hutan. Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi
yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan

Universitas Sumatera Utara

organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman. Tanah
memiliki karakteristik atau sifat tanah yang terdiri atas sifat fisika, kimia, dan
biologi tanah. Karakteristik tanah ini dapat dijadikan parameter kesuburan tanah
dan pertumbuhan vegetasi. Semakin besar kesuburan tanah maka semakin besar
pertumbuhan vegetasi sehingga diduga akan semakin besar karbon yang akan
tersimpanpada tegakan maupun tumbuhan bawah atau serasah. Oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan untuk mengetahui karakteristik tanah dominan yang

mempengaruhi tinggi rendahnya karbon yang diserap dari atmosfer dan tersimpan
di dalam vegetasi hutan (Hardjowigeno,2007).
Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup (2003), sekitar 24 milyar
ton karbon (MC) tersimpan pada tanaman dalam tanah dan 80% dari jumlah
tersebut berada di hutan, atau sekitar 19 miliar ton karbon. Diantara 108 juta
hektar luas hutan di Indonesia, hampir setengahnya berada pada kondisi yang
rusak dan terdegradasi (Departemen Kehutanan 2006).
Perubahan tata guna lahan dan deforestrasi diperkirakan mencapai 2 juta
hektar yang dapat menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam
jumlah yang besar. Emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor
kehutanan. Sekitar 75% berasal dari deforestrasi dan konversi lahan, diikuti 23%
dari penggunaan energi di sektor kehutanan dan 2% dari proses industri di sekitar
kehutanan. Kebakaran hutan adalah kontributor utama deforestrasi dan konversi
lahan dengan jumlah mencapai 57% dari total deforestrasi dan konversi lahan
(Peace, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Biomassa
Biomassa merupakan material tanaman, tumbuh-tumbuhan atau sisa hasil

pertanian yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber bahan bakar.
Biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume
tertentu. Biomassa juga didefenisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas
permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per
satuan-luas (Sutaryo, 2009).
Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam
siklus karbon. Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh
organisme (tumbuhan) per satuan unit area. Biomassa bisa dinyatakan dalam
ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh
karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur
berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah g / m2 atau ton/ ha.
Biomassa juga didefenisikan sebagai total berat kering dari bahan oganik
dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton (Krisnawati dkk, 2012).
Biomasa tumbuhan merupakan material kering dari suatu organisme hidup
(tumbuhan) pada waktu, tempat dan luasan tertentu, sehingga satuan biomasa
tumbuhan biasanya dinyatakan dalam kg/m 2 atau ton/ha. Biomasa pohon dalam
penelitian ini dinyatakan dalam berat kering yang merupakan gabungan dari organ
tanaman hidup yang berada di atas tanah ( total aboveground biomass) yang
komponen utamanya terdiri dari organ batang, cabang/ranting dan daun
(Whittaker et al, 1975).

Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses
fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya

Universitas Sumatera Utara

karbon tersebut mengalami siklus kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan
menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun
vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas
permukaan. Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan
penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan
karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada
diatas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan
produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih
dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat
tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar.
Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili
jumlah carbon yang terserap dari atmosfer (Sutaryo, 2009).
Dalam suatu ekosistem hutan, masyarakat tumbuh-tumbuhan berhubungan
erat satu sama lain dengan lingkungannya. Hubungan ini terlihat dengan adanya
variasi dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan dan terbentuknya struktur

masyarakat tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola keanekaragaman dan
struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis, erat hubungannya
dengan kondisi lingkungan (Soerianegara dan Indrawan 2008).
Pengukuran biomassa total tanaman akan merupakan parameter yang
paling baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman, alasan pokok lain
dalam penggunaan biomassa total tanaman adalah bahwa bahan kering tanaman
dipandang sebagai manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam
pertumbuhan tanaman. Karena itu parameter ini dapat digunakan sebagai ukuran

Universitas Sumatera Utara

global pertumbuhan tanaman dengan segala peristiwa yang dialaminya
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Biomassa tumbuhan bawah, serasah kasar, dan serasah halus memberikan
sumbangan biomasa yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Secara umum
dapat dikatakan bahwa biomasa tumbuhan bawah di ketiga kondisi hutan relatif
tidak jauh berbeda, sedangkan jumlah biomasa serasah kasar dan serasah halus
terdapat perbedaan

yang cukup besar antara hutan primer dan hutan bekas


tebangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan dan
intensitas tebangan. Kerusakan hutan alam lebih banyak disebabkan oleh
fenomena alam seperti pohon tua mati, pohon tumbang oleh angin dan hujan
lebat, sedangkan kerusakan hutan bekas tebangan sangat besar akibat dari
intensitas tebangan yang cukup tinggi ditambah oleh kegiatan pencurian dan
perambahan hutan (Hamdan dan Tresnawan, 2002).
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama
dalam siklus karbon. Tanaman atau pohon di hutan dianggap berfungsi sebagai
tempat penimbunan atau pengendapan karbon (rosot karbon atau carbon sink).
Besarnya kandungan karbon dan biomasa pohon bervariasi berdasarkan bagian
tumbuhan yang diukur, growth stage, tingkatan tumbuhan dan kondisi
lingkungannya. Kandungan karbon dan biomasa tumbuhan bawah dipengaruhi
oleh jenis-jenis tumbuhan penyusun. Lapisan serasah atau lantai hutan merupakan
seluruh bahan organik mati yang berada di atas permukaan tanah. Beberapa
material organik ini masih dapat dikenali atau masih sedikit terdekomposisi.
Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah
dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2. Oleh karena itu

Universitas Sumatera Utara


mengukur jumlah karbon dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan
banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman, dan pengukuran karbon
dalam bagian tanaman yang telah mati (nekromassa) dapat menggambarkan CO2
yang tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran (Yuanita dkk, 2012).
Terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu sampling dengan
pemanenan (destructive sampling ) secara in situ;(ii) sampling tanpa pemanenan
(non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ; (iii)
Pendugaan melalui penginderaan jauh; dan (iv) pembuatan model. Untuk masing
masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi
cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard
yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan
allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan
standard ini dapat mengakibatkan galat yang signifikan dalam mengestimasikan
biomassa suatu vegetasi (Australian, 1999).
Menurut Sutaryo (2009) biomassa dapat dihitung dengan 4 cara, yaitu :
1. Sampling dengan pemanenan (destructive sampling ) secara in situ.
Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan
termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya.
2. Sampling tanpa pemanenan (non destructive sampling ) dengan data pendataan


hutan secara in situ
Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa
melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi
atau

diameter

pohon

dan

menggunakan

persamaan

alometrik

untuk


mengekstrapolasi biomassa.

Universitas Sumatera Utara

3. Pendugaan melalui penginderaan jauh
Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan
terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Untuk mendapatkan estimasi
biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil penginderaan
jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif
dengan biaya yang besar.
4. Pembuatan model.
Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi
dan intensitas pengamatan in situ atau penginderaan jauh yang terbatas.
Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sampel plot yang
diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau
melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa.
Karbon (C)
Pengurangan CO2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses
sekuentrasi


(C-sequentration).

Proses

sekuentrasi

C

ini

terjadi

untuk

kelangsungan hidup tumbuhan, dimana diperlukan sinar matahari, gas asam arang
(CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah.
Melalui proses fotosintesis, CO2 diudara diserap oleh tanaman dan diubah
menjadi karbohidrat, selajutnya disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan
akhirnya ditimbun diseluruh bagian tubuh tanaman. Dengan demikian mengukur
jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan
dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman.
Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang
telah mati (nekromasSa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak

Universitas Sumatera Utara

dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Oleh karena itu untuk mengetahui peran
lahan dalam mengurangi gas CO2 di atmosfir, dapat dilakukan dengan jalan
mengukur jumlah C yang tersimpan dalam biomassa pohon dan tumbuhan bawah,
C dalam lapisan organik dan C di dalam tanah, karena pengukuran tersebut relatif
lebih sederhana dan mudah dilakukan (Hairiah et al., 2001b).
Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur dalam
ekosistem. Di dalam atmosfer, karbon terikat dan membentuk senyawa CO 2 juga
dapat membentuk persediaan karbon organik dalam proses fotosintesis. Karbon
organik ini akan tetap berada di dalam tubuh produsen (tumbuhan) atau pun
konsumen (manusia dan hewan) sampai mati. Setelah produsen/konsumen mati,
karbon organik akan terurai melalui proses dekomposisi dan CO 2 akan terlepas
kembali ke atmosfer. Penguraian bahan organik ini ada yang berlangsung cepat
adapula yang berlangsung sangat lama.(Killham 1996; Vickery 1984; Gopal dan
Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2010).
Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang ā€œCā€
dengan nilai atom sebesar 12. Karbon juga merupakan salah satu unsur utama
pembentuk bahan organik termasuk makhluk hidup. Hampir setengah dari
organisme hidup merupakan karbon. Karenanya secara alami karbon banyak
tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di atmosfer. Karbon tersimpan dalam
daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan organik
mati ataupun sediment seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian besar jumlah
karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan. Seiring terjadinya
kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat
kerusakan hutan yang terjadi (Manuri dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Potensi massa karbon dapat dilihat dari biomassanya tegakan yang ada.
Besarnya massa karbon tiap bagian pohon dipengaruhi oleh massa biomassa
vegetasi. Oleh karena itu setiap peningkatan terhadap biomassa akan diikuti oleh
peningkatan massa karbon. Hal ini menunjukkan besarnya biomassa berpengaruh
terhadap massa karbon. Besarnya potensi massa karbon sangat dipengaruhi
diameter pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Kontribusi gas karbon dioksida di atmosfer bumi adalah yang paling
dominan sebagai akibat peningkatan aktivitas manusia terhadap hutan yang pada
akhirnya dapat menyebabkan pengaruh rumah kaca ( greenhouse effect) yang bisa
mempengaruhi bahkan mengubah pola dan jumlah curah hujan, naiknya air laut
dan timbulnya berbagai pengaruh aspek ekologi lainnya yang bisa membahayakan
kehidupan manusia di muka bumi. Freedman et al. (1992) melaporkan bahwa
perubahan kadar gas CO2 di atmosfer diyakini sebagai akibat akitivitas manusia
dalam hal emisi gas CO2 melalui: (i) pembakaran material yang mengandung
karbon (C) untuk menghasilkan energi dan (ii) konversi ekosistem alamiah yang
mengandung material karbon tinggi yaitu hutan menjadi ekosistem dengan
kandungan/kadar karbon yang lebih rendah yaitu ekosistem pertanian. Perubahan
ekosistem dari lahan hutan menjadi lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap
kadar CO2 di atmosfer bumi karena sebagaian besar material organik C dari hutan
pada akhirnya akan dioksidasi menjadi CO2 di saat kegiatan pembersihan lahan
(land clearing) dan penebangan hutan ( Freedman, 1989).
Salah satu faktor yang dapat menurunkan akumulasi karbondioksida
(CO2) di atmosfer adalah penyerapan oleh vegetasi. CO 2 di atmosfer dapat diserap
oleh pohon melalui proses fotosintesis. Tanaman atau pohon di hutan berfungsi

Universitas Sumatera Utara

sebagai tempat penimbunan dan pengendapan karbon dan istilah ini disebut rosot
karbon. Proses penyimpanan karbon di dalam tanaman yang sedang tumbuh
disebut sebagai sekuestrasi karbon (carbon sequestration). Jumlah karbon yang
ditimbun dalam tanaman sangat bergantung pada jenis dan sifat tanaman itu
sendiri (Pamudji, 2011).
Cadangan karbon adalah kandungan karbon tersimpan baik itu pada
permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati
(nekromassa), maupun dalam tanah sebagai bahan organik tanah. Perubahan
wujud karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana
sebagian besar unsur karbon (C) yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2
(oksigen) dan menjadi CO2 (karbon dioksida). Itulah sebabnya ketika satu hektar
hutan menghilang (pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut
cepat atau lambat akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi
emisi. Dan ketika satu lahan kosong ditanami tumbuhan, maka akan terjadi proses
pengikatan unsur C dari udara kembali menjadi biomasa tanaman secara bertahap
ketika tanaman tersebut tumbuh besar (sekuestrasi). Ukuran volume tanaman
penyusun lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan
sebagai biomasa (cadangan karbon). Sehingga efek rumah kaca karena pengaruh
unsur CO2 dapat dikurangi, karena kandungan CO2 di udara otomatis menjadi
berkurang. Namun sebaliknya, efek rumah kaca akan bertambah jika tanamantanaman tersebut mati (Kauffman dan Donato, 2012).
Nekromassa dan Serasah
Serasah adalah kumpulan bahan organik di lantai hutan yang belum atau
sedikit terdekomposisi. Bentuk asalnya masih bisa dikenali atau masih bisa

Universitas Sumatera Utara

mempertahankan bentuk aslinya (belum hancur). Serasah memiliki peran penting
karena merupakan sumber humus, yaitu lapisan tanah teratas yang subur. Serasah
merupakan bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-rantingnya
yang terletak dipermukaan tanah serta tumbuhan yang telah mati. Serasah juga
menjadi rumah dari serangga dan berbagai mikroorganisme lain. Uniknya, para
penghuni justru memakan serasah, rumah mereka itu menghancurkannya dengan
bantuan air dan suhu udara sehingga tanah humus terbentuk. Di bawah lantai
hutan, kita dapat melihat akar semua tetumbuhan, baik besar maupun kecil, dalam
berbagai bentuk. Sampai kedalaman tertentu, kita juga dapat menemukan tempat
tinggal beberapa jenis binatang, seperti serangga, ular, kelinci, dan binatang
pengerat lain (Sutaryo, 2009).
NekromasSa dibagi menjadi nekromassa berkayu dan nekromassa tidak
berkayu. Nekromasa bekayu : pohon mati yang masih berdiri maupun yang roboh,
tunggul-tunggul tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter
lebih besar 5 cm. Nekromasa tidak berkayu : serasah daun yang masih utuh
(serasah kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian
dan berukuran >2 mm (serasah halus) (Hairiah dan Rahayu 2007).

Penelitian Terkait
Beberapa penelitian mengenai Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon
Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar di
Sumatera Selatan (Widyasari dkk, 2010). Salah satu penelitian ini bertujuan untuk
membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan
gambut merang bekas terbakar berdasarkan bagian-bagian pohon (batang.cabang,

Universitas Sumatera Utara

ranting dan daun), membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon
terikat pada setiap bagian pohon serta menghitung potensi biomassa dan karbon
terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar.
Total nekromasa di lokasi penelitian sebesar 64.366,98 kg/ha yang terdiri
atas nekromasa bagian batang sebesar 58.862,07 kg/ha (91,45%), diikuti oleh
nekromasa cabang sebesar 3.844,68 kg/ha (5,97%) dan terendah pada nekromasa
ranting sebesar 1.660,23 kg/ha (2,58%). Besarnya kandungan nekromasa tersebut,
mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pada jumlah biomassa tersimpan pada
tegakan di areal tersebut. Semakin menurunnya jumlah biomassa tersebut akan
membawa dampak negatif terhadap kelangsungan ekosistem hutan dan
berpengaruh terhadap siklus karbon di atmosfer karena hampir 50% biomassa
tumbuhan terdiri dari unsur karbon dan unsur tersebut dapat lepas ke atmosfer
(Brown, 1997).
Penelitian mengenai Estimasi Biomassa Karbon Serasah dan Tanah pada
Basal Area Tegakan Meranti merah (Shorea macrophylla ) di Areal Arboretum
Universitas Tanjungpura Pontianak (Budiman dkk, 2015). Hasil kadar air serasah
memiliki nilai yang bervariasi antara 41,86-43,72 %. Rata-rata kadar air serasah
dari 4 plot mencapai 42,85% yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik kadar air serasah

Universitas Sumatera Utara

Hasil Kadar air serasah Shorea macrophylla pada areal Arboretum relatif
lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Siarudin (2008). Berdasarkan
penelitian Siarudin (2008) diperoleh hasil kadar air serasah berkisar antara 60,50 84,49 %. Kondisi fisik seperti kadar air pada serasah cenderung berbeda tiap
tahunnya hal ini juga disebabkan karena pada serasah potensi air yang ada telah
menguap karena dipengaruhi faktor suhu dan sinar matahari. Kondisi ini
meyebabkan kandungan air yang tersimpan pada serasah menjadi lebih sedikit.
Penelitian Muhdi (2015) yang berjudul Pendugaan Cadangan Biomassa di
Atas Permukaan Tanah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara bahwa
serasah dan nekromassa di perkebunan sawit masing-masing petak sebesar 10,53
ton/ha, 4,89 ton/ha dan 7,38 ton/ha, seperti yang tercantum pada tabel berikut :
Tabel 1. Hasil Perhitungan serasah dan nekromassa
Petak
Biomassa (ton/ha)
Serasah
Nekromassa
I
6,00
4,53
II
3,11
1,77
III
3,38
4,01

Total
10,53
4,89
7,38

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada petak I memiliki serasah dan
nekromassa paling tinggi dibandingkan di petak lainnya, yakni sebesar
10,53ton/ha yang terdiri dari serasah 6,00 ton/ha dan nekromassa sebesar 4,53
ton/ha. Tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata biomassa serasah dan nekromassa
pada petak I dan petak II sebagian besar berasal dari serasah sebesar 6,00 ton/ha
dan 3,11 ton/ha 55,83 ton/ha atau sebesar 56,97 % dan 63,71%. Sedangkan pada
petak III sebagian besar biomassa berasal dari nekromassa yakni sebesar 4,01
ton/ha (54,27 %) dari total serasah dan nekromassa. Hal ini memperlihatkan

Universitas Sumatera Utara

bahwa komposisi biomassa serasah dan nekromassa ada petak perkebunan
sawit berbeda.

Universitas Sumatera Utara