Keanekaragaman Ikan di Bagian Hulu Sungai Horas Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai
Sungai merupakan perairan mengalir yang dicirikan oleh arus yang searah dan
relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat
dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis
batuan dasar dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar
ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin
kuat dan kecepatan arus semakin cepat. Sungai bagian hulu dicirikan dengan
badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan
mengalir cepat. Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam
atau landai badan air dalam, keruh dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).
Sungai secara spesifik terbagi dalam dua ekosistem yaitu perairan yang
berarus cepat dan perairan yang berarus lambat. Sungai yang mengalir cepat
dikarakteristikkan oleh tipe substrat berbatu dan berkerikil, sedangkan sungai
yang mengalir lambat dikarakteristikkan dengan tipe substrat berpasir dan
berlumpur. Faktor pengontrol utama produktivitas pada ekosistem tersebut adalah
arus yang merupakan pembatas bagi jumlah dan tipe organisme ototrof (Clapham,

1983, dalam Wijaya, 2009).
Ekosistem sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona mata
air (krenal) yang umunya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebingtebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air
yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata
air yang membentuk rawa-rawa. Berdasarkan keberadaan air, sungai dapat disebut
sebagai sungai permanen yaitu sungai yang berair sepanjang tahun, sungai
intermiten, yaitu sunagai yang berair di musim hujan dan kering di musim
kemarau serta sungai episodik yaitu sungai yang hanya berair pada saat terjadi
hujan saja (Barus, 2004).

Universitas Sumatera Utara

5

2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan

suatu satuan wilayah


pembangunan yang perlu ditata agar pemanfaatannya dapat digunakan untuk
berbagai kepentingan. Kegiatan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan,
perikanan, peternakan, industri, pertambangan, pariwisata dan pemukiman
membutuhkan air, lahan dan mineral yang berada dalam suatu wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS) (Bappedal, 2002).
Perubahan pola pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, tegalan dan
permukiman serta meningkatnya aktivitas industri akan memberikan dampak
terhadap kondisi hidrologis dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Perubahan pola
pemanfaatan lahan berarti telah terjadi perubahan jumlah dan jenis vegetasi
penutup tanah (Asdak, 2010).

2.3 Keanekaragaman Ikan
Berdasarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2010), diperkirakan
terdapat 4000-6000 jenis ikan di seluruh perairan Indonesia. Di Asia Tenggara
terdapat 2917 jenis ikan air tawar yang teridentifikasi. Menurut Kottelat et al.,
(1993), jumlah setiap jenis ikan pada pulau-pulau besar di Indonesia berbeda. Di
Sumatera ada 272 jenis dengan 30 jenis endemik (11%), jenis ikan di Kalimantan
berjumlah sekitar 394 jenis dengan 149 jenis endemik (38%), di Jawa berjumlah
132 jenis dengan 52 jenis endemik (9%) dan di Sulawesi berjumlah 68 jenis
dengan 52 jenis endemik (76%).

Menurut Eschmeyer (1998), ikan dikelompokkan dalam 6 kelas, yaitu:
a. Kelas Myxini memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, tidak mempunyai tulang
belakang (vertebrata), tidak mempunyai rahang mata rudimenter, tidak ada
sirip berpasangan, tidak ada sirip dorsal, bertulang rawan, lubang hidung pada
bagian kepala, nostril di bagian depan kepala, terdapat 5-15 kantung insang
pada setiap sisi, sistem garis sisi mengalami degenerasi. Semua anggota kelas
Myxini hidup di laut yaitu sebagian besar di zona intertidal pada dasar
berlumpur lunak dan berpasir.
b. Kelas Cephalaspidomorphi memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, vertebrae
terdiri atas tulang rawan, tidak mempunyai rahang, mata berkembang baik,

Universitas Sumatera Utara

6

nostril di bagian atas kepala, tidak ada lengkung insang sejati untuk
menyokong dan melindungi insang sebagai gantinya terdapat suatu kantung
yang terletak di luar insang, arteri insang dan saraf terletak di dalamnya, satu
lubang hidung, sirip berpasangan tidak ada, sirip dorsal satu atau dua, usus
bersilia, telur kecil dengan kait. Salah satu spesies ikan anggota kelas ini adalah

ikan lamprey (Lampreta planeri, Petromyzon marinus)
c. Kelas Holocephali umum disebut sebagai ratfish karena ekornya yang ramping
dan memanjang serta kepala yang meruncing memberikan gambaran seperti
tikus, rahang atas menyatu dengan kranium, jumlah insang ada empat pasang
dan celah insang satu pasang, ikan dewasa tidak bersisik, tidak punya spirakel
dan tidak ada kloaka, ikan jantan mempunyai alat penyalur sperma disebut
tenakulum yang terletak di kepala bagian depan.
d. Kelas Elasmobranchii mempunyai rahang, jumlah insang dan celah insang
berkisar antara 5-7 pasang yang setiap pasangnya mempunyai sekat pelat
insang, spirakel terletak di depan celah insang, sirip berpasangan, terdapat
sepasang nostril (dirhinous), bersisik plakoid atau tidak bersisik, ikan jantan
biasanya mempunyai alat penyalur sperma yang dinamakan klasper
(miksopterigium), bentuk sirip ekor tidak simetris (heteroserkal).
e. Kelas Sarcopterygii merupakan sebagian kelas yang sudah punah dan tinggal
fosil. Salah satu anggota kelas ini adalah coelacanth yang berupa fosil dan
diperhitungkan hidup pada kurun waktu antara masa pertengahan Devonian
(350 juta tahun yang lalu) sampai akhir Cretaceous (66 juta tahun yang lalu).
f. Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Kelas ini
mempunyai ciri-ciri lengkung insang merupakan tulang sejati yang terletak di
bagian tengah insang mengandung arteri dan saraf, notokorda seperti rangkaian

manik atau seperti manik-manik yang terpisah mempunyai rahang (maksila dan
premaksila) rangka terdiri atas tulang sejati, mempunyai sirip yang
berpasangan (sirip dada dan sirip perut), mempunyai sepasang lubang hidung,
mempunyai sisik yang umumnya bertipe sikloid dan stenoid tetapi ada juga
yang bersisik tipe ganoid dan beberapa kelompok tanpa sisik biasanya
mempunyai gelembung gas tidak ada kloaka.

Universitas Sumatera Utara

7

Kelimpahan ikan dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor
pembatas: fekunditas, ruang gerak, penyakit dan batas waktu bertahan hidup
(Samuel, 1982, dalam Kristina, 2001).
Kekayaan jenis memiliki hubungan positif dengan suatu area yang
ditempati tergantung pada dua faktor. Pertama peningkatan jumlah mikro habitat
akan meningkatkan keragaman. Kedua, area yang lebih luas sering memiliki
variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang sempit (Wooton
1975). Sehingga semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula
jumlah jenis ikan yang menempati (Kottelat et al., 1993).

Komposissi komunitas ikan dapat menunjukkan spesies yang mempunyai
dominansi ekologis. Spesies yang dominan merupakan spesies yang mempunyai
peran yang jauh lebih besar terhadap komunitas dan lingkungannya (Restu, 1990,
dalam Kristina, 2001).

2.4 Ekologi Ikan
Menurut Myers (1951) dalam Rahardjo et al., (2011) ikan yang ditemukan
di perairan air tawar secara garis besar dipisahkan dalam enam kelompok yaitu:
a. Ikan primer adalah kelompok ikan yang tidak atau sedikit bertoleransi terhadap
air laut misalnya Cyprinidae dan Clariidae. Air asin bertindak sebagai
pembatas distribusi ikan.
b. Ikan sekunder adalah kelompok ikan yang sebarannya terbatas pada perairan air
tawar tetapi cukup bertoleransi terhadap salinitas, sehingga mereka dapat
masuk ke laut dan kadang kala melintasi hambatan air asin misalnya Cichlidae.
c. Ikan diadromus adalah kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara
perairan tawar dan perairan laut, misalnya Sidat dan Salmon.
d. Ikan vicarious adalah kelompok ikan laut yang bukan peruaya yang hidup di
perairan tawar misalnya Burbot (Lota).
e. Ikan komplementer adalah kelompok ikan laut peruaya yang mendominasi
habitat tawar bila itidak ada ikan primer dan sekunder misalnya Belanak dan

Obi.
f. Ikan sporadik adalah kelompok ikan yang kadangkala masuk perairan atau
yang dapat hidup dan memijah di antara salah satu perairan misalnya Belanak.

Universitas Sumatera Utara

8

Penyebaran suatu organisme tergantung pada tanggapannya terhadap
faktor lingkungan. Organisme yang dapat hidup pada selang faktor lingkungan
yang lebar (euri) cenderung akan tersebar luas pula di permukaan bumi ini,
sebaliknya jenis organisme yang hanya dapat hidup pada selang faktor lingkungan
yang sempit (steno) penyebarannya sangat terbatas. Penyebaran organisme
ditentukan oleh pola penyebarannya. Organisme yang tersebar sangat luas
umumnya pola penyebarannya berkelompok atau beraturan (Suin, 2002).

2.5 Karakteristik Ikan Sungai dan Pola Adaptasinya
Ikan merupakan organisme akuatik dan bernafas dengan insang. Tubuh ikan
terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus
disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut

anus. Kulit ikan terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan
pengikat dilapisi oleh epithelium. Di antara sel-sel epithelium terdapat kelenjar
uniseluler yang mengeluarkan lender yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin
(Radiopoetro, 1990, dalam Siagian 2009). Tubuh ikan mempunyai suatu pola
dasar yang sama yakni kepala, badan dan ekor. Selain memiliki pola dasar yang
sama, umumnya ikan mempunyai bentuk tubuh yang simetris bilateral (Rahardjo
et al., 2011).
Sebagian besar ikan yang hidup di perairan sungai membentuk komunitas
yang berbeda-beda. Setiap jenis ikan memiliki spesialisasi dan mampu
memanfaatkan pakan dengan seefisien mungkin karena persaingan antar jenis ikan
sangat tinggi dalam hal memperoleh pakan alami. Jenis-jenis ikan tersebut sangat
peka terhadap lingkungan (Kottelat et al., 1993).
Proses adaptasi terhadap lingkungan baru bisa terjadi dalam kurun waktu
yang singkat (aklimatisasi) dan bisa juga dalam kurun waktu yang lama
(adaptasi/evolusi). Respon dalam waktu singkat misalnya eksresi urin yang
berlebihan bagi ikan yang akan masuk ke perairan dengan konsentrasi garam (ion)
lebih tinggi. Sedangkan ikan akan menghindari kekurangan cahaya dengan
bergerak arah permukaan (avoidence). Perubahan tersebut bisa terjadi dalam
waktu yang lama seperti proses endemisitas ikan air tawar (Willmer, 2000).


Universitas Sumatera Utara

9

2.6. Faktor Fisik-Kimia dan Biologis Perairan Sungai
2.6.1 Suhu Air Sungai
Suhu merupakan faktor lingkungan yang sering sekali beroperasi sebagai faktor
pembatas. Suhu juga mempengaruhi termoregulasi tubuh ikan dalam lingkungan
yang berbeda. Suhu juga mempengaruhi aktivitas reproduksi ikan dalam
pembentukan gonad. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu
hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di
atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh
menurunnya daya cerna (Ardiyana, 2010).
Kenaikan suhu air akan mengakibatkan : 1) jumlah 15 oksigen terlarut
dalam air menurun, 2) kecepatan reaksi kimia meningkat, 3) kehidupan ikan dan
biota air lainnya terganggu, 4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui maka
akan menyebabkan ikan dan biota air mati (Fardiaz, 1992). Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air
sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.

(Effendi, 2003).

2.6.2 Arus Sungai
Perpindahan air sangat penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas terlarut
dan garam-garam juga mempengaruhi perilaku organisme kecil. Kecepatan aliran
air yang mengalir beragam dari permukaan ke dasar, meskipun berada dalam
saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apa pun. Arus akan semakin
lambat bila makin dekat ke dasar. Perubahan kecepatan air itu tercermin dalam
modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup dalam air mengalir
yang kedalamannya berbeda (Michael, 1995).

2.6.3 Kekeruhan Air Sungai
Kekeruhan pada sungai lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi
yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa
oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme

Universitas Sumatera Utara

10


akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya dan kedalaman air (Odum,
1996).
Nilai kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting
untuk mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari oleh sebab itu dapat membatasi proses fotosintesis
sehingga produktivitas primer perairan cenderung akan berkurang (Wardoyo,
1975, dalam Supartiwi, 2000).

2.6.4 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut atau kebutuhan oksigen merupakan salah satu parameter dalam
menentukan kualitas air. Nilai DO yang semakin besar pada air mengindikasikan
air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah dapat
diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan
melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan
mikroorganisme. Oksigen terlarut pada air yang ideal pada ikan adalah 5-7 ppm,
jika kurang dari itu maka resiko kematian akan semakin tinggi. Menurut Salmin
(2005), kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan rendahnya suhu dan
semakin tingginya salinitas.
Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi
bergantung pada jenis ikan. Toleransi umumnya adalah 4-12 ppm yang dapat
diterima oleh ikan. Ikan yang biasa memijah di air mengalir dan dingin biasanya
memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang biasanya memijah di
air tergenang (stagnan) atau berarus lambat. Tekanan oksigen dapat
mempengaruhi jumlah elemen meristik (Rahardjo et al., 2011).

2.6.5 Kejenuhan Oksigen
Disamping

pengukuran

konsentrasi

oksigen,

biasanya

dilakukan

pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan
untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau
tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air maka
disamping mengukur konsentrasi oksigen terlarut dalam mg/l, diperlukan juga
pengukuran temperatur dari air (Barus, 2004).

Universitas Sumatera Utara

11

2.6.6 Nilai pH
Potensial Hidrogen (pH) merupakan derajat keasaman yang menyatakan
keasaman atau kebasaan dalam suatu larutan. pH juga merupakan suatu ukuran
keasaman air yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan perairan
(Odum, 1993). pH didaerah hulu sungai umumnya cenderung lebih rendah
(Samuel, 2008). Hal ini dikarenakan sungai bagian hulu masih belum tercemar.
Adanya pengaruh pembuangan limbah dari penduduk dapat menurunkan pH air di
Sungai. Maka pH air sangatlah penting dari faktor lingkungan di sungai dan
berpengaruh terhadap keanekaragam jenis ikan pada sungai.
Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu,
oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan
perairan alami memiliki pH berkisar antara 6-9. Sebagian besar biota perairan
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi,
2003). Kondisi bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi (Barus, 1996 dalam Siagian, 2009).

2.6.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air lingkungan
untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada didalam air
lingkungannya tersebut. Pembuangan bahan organik melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila
air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Salmin, 2005).
Nilai

BOD

menyatakan

jumlah

oksigen

yang dibutuhkan

oleh

mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur
pada temperature 20oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja
dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi
secara kimia. Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme
untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang
mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam
limbah rumah tangga. Untuk produk-produk kimia seperti senyawa minyak dan

Universitas Sumatera Utara

12

buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh
mikroorganisme (Barus, 2004). BOD dalam suatu perairan dapat digunakan
sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Menurut Lee et al., (1978), dalam
Supartiwi (2000), mengklasifikasikan besarnya tingkat pencemaran perairan untuk
kehidupan organisme akuatik berdasarkan BOD.

2.6.8 Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O 2/l. Dengan
mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang
mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa
diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

2.6.9 Kandungan Nitrat dan Posfat
Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Nitrat juga merupakan zat
hara penting bagi organisme ototrof dan diketahui sebagai faktor pembatas
pertumbuhan (Eaton et al., 1995).
Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal dari sedimen
yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam
sistem perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari atmosfter bersama
air hujan (Barus, 2004). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit
dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di
perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil
dibandingkan nitrogen (Effendi 2003). Umumnya kandungan fosfor total di
perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter kecuali pada perairan penerima limbah
rumah tangga dan dari daerah pertanian yang mengalami pemupukan fosfor
(Eaton et al., 1995).

Universitas Sumatera Utara