Gambaran Resiliensi Pada Siswa Smp Korban Bullying

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan,
suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas
dan ambang dewasa. Banyak remaja mengalami kesulitan dengan diri sendiri dan
juga dengan orang lain, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya, sering
melakukan perbuatan dengan tidak memikirkan akibatnya sampai pelanggaran
yang lebih berat seperti mencuri, membunuh, dan pelanggaran hukum lainnya
(Papalia, 2001). Haryadi (2003) menambahkan indikasi perilaku remaja
bermasalah tersebut telah mengalami percepatan yaitu sudah muncul pada masa
remaja awal sekitar usia 11-14 tahun.
Salah satu permasalahan yang sering dihadapi para remaja berhubungan
dengan penolakan teman sebaya adalah munculnya perilaku bullying yang
merupakan bentuk khusus agresi di kalangan teman sebaya. Bullying adalah
masalah sosial yang terutama ditemukan di kalangan anak-anak sekolah. Hampir
setiap anak mungkin pernah mengalami suatu bentuk perlakuan tidak
menyenangkan dari anak lain yang lebih tua atau lebih kuat (Krahe, 2005).
Kebanyakan perilaku bullying terjadi secara tersembunyi dan sering tidak
dilaporkan sehingga kurang disadari oleh kebanyakan orang (Glew, R. &

Feudtner, M., 2000). Bullying di kalangan anak-anak sekolah bisa terjadi di luar
atau di dalam sekolah. Bullying bisa terjadi di sekitar bangunan sekolah seperti di

kamar mandi, kantin, lorong, ruangan kelas, maupun saat siswa menunggu bus
sekolah atau angkutan umum (Wikipedia, 2011).
Menurut Sampson (2002) perilaku bullying yang dialami oleh siswa
biasanya tidak diadukan karena adanya rasa takut pelaku akan balas dendam,
merasa malu karena tidak dapat mempertahankan diri sendiri, takut mereka tidak
akan dipercayai, tidak mau meresahkan orangtua, tidak punya kepercayaan bahwa
pengaduan itu akan membawa perubahan, adanya pikiran bahwa saran dari
orangtua atau guru akan membuat masalah menjadi lebih buruk, rasa takut guru
akan memberitahukan korban pada pelaku, takut disebut pegadu.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan di Amerika oleh National Institute
of Child Health and Human Development menunjukkan bahwa 16% siswa
Amerika akhir-akhir ini mengalami perilaku bullying. Nansel dkk pada tahun
2001 melakukan penelitian terhadap 15.600 siswa grade 6 sampai 10 di Amerika.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 17% dari mereka yang melaporkan
menjadi korban bullying dengan frekuensi kadang-kadang dan sering selama masa
sekolah, 19% mengaku melakukan bullying pada orang lain dengan frekuensi
kadang-kadang dan sering, dan 6% dari seluruh sampel menjadi pelaku dan

korban bullying (dalam American Medical Association, 2002).
Penelitian yang sama dilakukan oleh Wang, I. & Nansel, R.T (2009)
terhadap 7.508 remaja Amerika. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menguji
bentuk-bentuk perilaku school bullying pada remaja Amerika dan hubungannya
dengan karakterisitik demografik, dukungan orang tua dan teman. Pada hasil
penelitian ditemukan bahwa remaja yang menjadi korban bullying 20,8% paling
tidak sekali dalam dua bulan terakhir mengalami bullying secara fisik, 53,6%

mengalami bullying verbal, 51,4% secara sosial, dan 13,6% mengalami bullying
melalui elektronik.
Fenomena terjadinya bullying di sekolah-sekolah menengah pertama di
Medan dapat diketahui melalui penelitian yang dilakukan Sonia (2009) mengenai
perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa dari 214 remaja yang merupakan subjek penelitian,
83 orang dapat dikategorikan sebagai pelaku bullying (bully), 63 orang sebagai
korban (victim), 68 orang sebagai bully-victim (pelaku dan korban). Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Tampubolon (2010) pada sebuah sekolah menengah
pertama mengenai hubungan persepsi terhadap budaya sekolah dengan perilaku
bullying pada siswa Sekolah Menengah Pertama di Medan menunjukkan bahwa
dari 79 subjek siswa-siswi tersebut dimana sekitar 13,9% (11 siswa) dikategorikan

terlibat perilaku bullying tinggi, 67,1% (53 siswa) dikategorikan terlibat perilaku
bullying sedang, dan 19% (15 siswa) dikategorikan terlibat perilaku bullying
rendah. Bentuk perilaku bullying yang paling sering dilakukan siswa adalah
physical bullying (41,44%), verbal bullying (31,19%), dan relational bullying
(28,47%).
Pada wawancara prapenelitan pada guru SMP Methodist 1 Medan, dapat
dilihat perilaku bullying apa saja yang biasanya siswa alami.
“...Ada siswa yang miskin dan tidak mampu, oleh karena itu dia diejek
miskin dan dikucilkan oleh teman-teman kelompoknya. Agar siswa
tersebut dapat bergaul dengan temannya kembali maka ia mencuri uang
SPP dan memalsukan stempel sekolah. Sehingga ia punya uang untuk
bergaul dengan teman-temannya....”
(Bapak J, Komunikasi Personal, 25 Februari 2012)
“...Ada siswa yang memang memiliki prestasi yang jelek dikelasnya,
selalu diejek bodoh dan dihina dengan sebutan “orang kampung”,akhirnya
ia menjadi kesal dan efek sampingnya ia membuat kerusuhan dalam

kelasnya.. tidak hanya itu ada juga beberapa siswa kami yang diejek,
dikatai dan dihina oleh teman-temannya dalam jejaring situs sosial
Facebook. Karena dia merasa gerah diejek terus, akhirnya dia menjadi

anarkis dengan mengejek balik orang-orang yang telah mengejeknya di
Facebook tersebut dengan kata-kata yang jauh lebih kasar”
(Bapak J, Komunikasi Personal, 25 Februari 2012)
“...Ada juga seorang siswa laki-laki yang sering diejek bencong oleh
teman-temannya. Karena dia memiliki sifat yang feminin maka temantemannya suka mengejek dan mengatai dia dengan sebutan “bencong”.
Mereka juga suka memukul siswa tersebut, jadi ada banyak kasus bullying
yang pernah terjadi di sekolah ini dek... Bahkan sampai ada yang harus
pindah sekolah karena tidak tahan dengan tindakan teman-temannya...”
(Bapak J, Komunikasi Personal, 25 Februari 2012)

Coloroso (2006) mengatakan bahwa bullying adalah tindakan bermusuhan
yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti,
seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror. Bullying adalah
suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan
atau menyakitkan oleh orang lain oleh satu atau beberapa orang secara langsung
terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Termasuk
juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau
hampir tidak kentara, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah
untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang
anak atau kelompok anak. Bullying terdiri atas serangan psikis, fisik, dan verbal

yang berulang atau intimidasi secara langsung pada korban yang tidak dapat
mempertahankan dirinya karena perbedaan ukuran tubuh atau kekuatan, atau
karena korban melebihi atau kurang resilien secara psikologis (Sampson, 2002).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu tindakan negatif
berulang yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bermaksud untuk
menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan orang lain.

Coloroso (2006) mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga
elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti,
ancaman akan dilakukannya agresi. Dengan demikian seseorang dianggap
menjadi korban bullying bila dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau
lebih yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu,
bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga
korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara
efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe,
2005). Olweus juga merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu bersifat
menyerang

dan


negatif,

dilakukan

secara

berulang

kali,

dan

adanya

ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat (dalam American Medical
Association, 2002).
Perilaku bullying dapat berbentuk verbal bullying (seperti mengejek,
membuat nama panggilan, menghina), physical bullying (seperti memukul,
meninju,


menendang),

serta

relational

bullying

(seperti

pengabaian,

pengisolasian) (Coloroso, 2006). Korban bullying dapat mengalami satu atau
beberapa bentuk perilaku bullying tersebut.
Siswa yang mengalami bullying akan sulit menyesuaikan diri secara sosial
dan psikologis, sulit bergaul dengan teman sekolah, dan bahkan merasakan
kesepian (dalam American Medical Association, 2002). Bagi korban bullying,
sekolah dapat menjadi tempat yang tidak menyenangkan dan berbahaya.
Ketakutan yang mereka alami dapat menimbulkan depresi, harga diri rendah, dan
sering absen (Glew, R., & Feudtner, M., 2000). Sejalan dengan itu Fleming, M.

dan Towey, K. J (2002) juga menyatakan bahwa bullying dapat menyebabkan

siswa merasa kesepian, cemas, dan kesulitan mengerjakan tugas sekolah. Hal ini
tentu saja dapat menimbulkan kegagalan akademik. Kegagalan akademik dapat
memperburuk perilaku antisosial dan meningkatkan resiko masalah sosial dan
emosional (Caspi, dkk dalam Obradovic, 2009). Korban bullying ini dapat bangkit
dan mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi atau kesulitan yang
dialaminya. Salah satunya dengan berusaha untuk terus mempunyai pikiran yang
positif dan sikap percaya diri untuk berhubungan dengan orang lain. Hal ini
ditunjukkan dengan kemampuan daya tahannya dalam menghadapi cobaan hidup
yang tidak menyenangkan, dalam istilah psikologi disebut dengan resiliensi.
Hal ini dapat terlihat dalam wawancara prapenelitian yang dilakukan pada
siswa SMP Methodist 1 Medan.
“... Aku seringnya ka diejekin kawan, misalnya pas upacara, „pendekpendek sini ku diri di depan‟, ah seringkali pun ka. Kadang uda berdiri pun
awak tapi masih dikirain juga jongkok. Sakit hati iya juga lah ka, tapi ku
pikir terserah mreka lah itu yang penting senang orang itu. Lagian jadi
terkenal aku gara-gara itu, he..hee..”
(AP, Komunikasi Personal, 03 Maret 2012)
“... Gak mungkin lah kak dah. Kalo semua orang yang ngejekin kita, kita
jauhi, siapa lagi lah kawan kita. Tetap nya kita kawani semua dah, karna

aku pun gitu juga nya. Masa awak boleh ngejek tapi teman ga boleh. Jadi
terserah orang mau bilang apa, awak enjoy aja..”
(ES, Komunikasi Personal,03 Maret 2012)
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan
meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan
dalam hidup (Grotberg dalam Schoon, 2006). Menurut Reivich & Shatte (2002)
resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan
menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk

merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Adanya resiliensi dapat menyebabkan sikap positif untuk menjadi seorang
yang percaya diri berinteraksi dengan orang lain. Resiliensi dapat merubah
penderitaan menjadi tantangan, kegagalan menjadi keberhasilan dan keputusasaan
menjadi kekuatan. Dengan resiliensi dapat merubah seorang korban menjadi lebih
kuat dan mendorong orang berkembang dan menjadi lebih baik (Reivich dan
Shatte, 2002). Terdapat tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu
regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab
masalah, efikasi diri, dan pencapaian (Reivich dan Shatte, 2002). Regulasi emosi
adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Optimisme adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di
masa

depan.

Causal

Analysis

adalah

kemampuan

individu

untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi.

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap
orang lain. Self-Efficacy adalah sebuah keyakinan bahwa kita mampu
memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan dan reaching out
adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Resiliensi dapat membantu seseorang menghadapi masalah-masalah yang
terjadi. Orang yang resilien adalah jika karakteristik resiliensi telah berkembang
di dalam diri orang tersebut. Dalam penelusuran literatur yang dilakukan oleh

Cole, E., Eiseman, M., dan Popkin, J.S. (2005) ditemukan bahwa karakteristik
individu membantu anak menghadapi stres yang dialaminya. Anak yang resilien
memiliki self-efficacy yang tinggi dan memiliki hubungan yang positif dengan
orangtua, guru, serta teman-temannya. Anak yang resilien juga menyadari bahaya
yang ada disekitarnya dan merancang cara untuk menghadapinya, seperti
menjauhi daerah-daerah tertentu yang menurutnya bahaya.
Studi literatur lain mengenai kompetensi pada remaja yang dilakukan oleh
Hair, C. E., Jager, J., and Garrett, S. (2001) menemukan bahwa anak yang
memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya memiliki hasil
akademik yang lebih baik dan kebahagiaan psikologis. Ia menemukan bahwa
karakteristik keluarga, karakteristik tetangga, kedekatan dengan orang dewasa
yang bukan keluarga, gender, dan karakteristik individu mempengaruhi kualitas
hubungan sosial. Pada dua studi di atas dapat dilihat pentingnya karakteristik
individu dalam menghadapi masalah. Karakteristik individu dapat membantu anak
menghadapi stres yang dialaminya dan mempengaruhi kualitas hubungan
sosialnya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa korban bullying bisa saja
menjadi individu yang bangkit dari masalah yang dialaminya bahkan mungkin
melampaui prediksi kegagalan jika siswa korban bullying itu adalah orang yang
resilien, yaitu jika karakteristik resiliensi telah berkembang di dalam dirinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada siswa SMP
korban bullying. Penelitian dilakukan di SMP Methodist 1 Medan karena dari
wawancara prapenelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa di sekolah ini sering
terjadi bullying.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran resiliensi pada
siswa SMP korban bullying.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada
siswa SMP korban bullying.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari Penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu
psikologi terutama di bidang pendidikan, khususnya mengenai resiliensi
pada siswa korban bullying. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Pendidikan, sehingga hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih
lanjut.
2. Secara praktis, diharapkan dapat membantu para siswa korban bullying
agar dapat melihat manfaat resiliensi dalam diri siswa tersebut untuk
bangkit dari masalah-masalah bullying yang dialaminya. Bagi guru, agar
dapat membantu siswa untuk resiliensi dalam masalah yang dialaminya.
Bagi sekolah, khususnya di SMP Methodist 1 Medan, dapat memberi
informasi mengenai gambaran resiliensi pada siswa korban bullying.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah:
BAB I

: Pendahuluan
Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya.

Bab II

: Landasan Teori
Berisikan teori – teori yang menjelaskan data penelitian yaitu
teori tentang resiliensi dan bullying.

Bab III

: Metode Penelitian
Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode
kuantitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden,
alat bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur
penelitian dan pengolahan data.

Bab IV

: Analisis Data Dan Pembahasan
Terdiri dari analisis data dan pembahasan yang berisi tentang
gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.

Bab V

: Kesimpulan Dan Saran
Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.