Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Studi pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan) Chapter III V
39
BAB III
TINJAUAN UMUM BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
1.
Pengertian
Pengertian arbitrase dalam literatur sejarah hukum Islam, arbitrase lebih
identik dengan istilah tahkim atau hakam. Istilah ini secara literal berarti mengangkat
sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologi definisi yang
dikemukakan Salam Madzkur. Menurutnya, tahkim atau hakam adalah pengangkatan
seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang
bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.35
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian
hakim partikiler yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam
memberikan keputusan, karena dalam instansi terakir serta mengikat, yang mudah
untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.36
Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan
swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia
perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara
sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa, penyelesaian sengketa di
35
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT.
Radjagrafindo, Jakarta, 2002, hal. 154-155.
36
Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1979. hal. 5
Universitas Sumatera Utara
40
luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak, kehendak bebas ini
dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis.37
R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan
bahwa mereka akan tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau
para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut38.
Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa”.
Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja hakkama 39.
Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang menjadi pencegah suatu
sengketa.
Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang
dikenal dewasa ini, yaitu: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua
orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara
damai. Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter
digunakan istilah hakam, yaitu: Who States A Dispute (yang menyelesaikan
perselisihan.40
37
Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992. hal. 276.
38
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, PT. Bina Cipta, Bandung, 1979. hal 1
39
Luis Ma’luf, Al Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut Dar al-Masyria, 1994. hal 146
40
Bernard Lewis, Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Briil, 1987. Vol. VII, hal 72
Universitas Sumatera Utara
41
Dalam istilah fiqih, pengertian tahkim seperti yang didefinisikan oleh Abu AlAinain Abdul Fatah Muhammad, diartikan sebagai bersandarnya dua orang yang
bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan
pertikaian mereka para pihak.41
Bahwa menurut para pakar hukum Islam, terutama dari kalangan mazhab
Hanafiyah dan Syafi’iyah memberikan pengertian sebagai berikut:
Menurut kelompok Hanafiyah hakam adalah memisahkan persengketaan dan
memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang haq dan
dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan menurut kelompok
Syafi’iyah hakam adalah memisahkan pertikaian antara dua pihak yang bertikai atau
lebih dengan hukum Allah SWT, atau menyatakan hukum syara’ terhadap suatu
peristiwa bagi yang wajib melaksanakannya.42
Bahwa dari pengertian di atas, apabila diperhatikan dalam setiap perselisihan
atau sengketa di dalam membuat perjanjian (aqad) terdapat tiga komponen penting
yang menimbulkan persengketaan. Ketiga komponen yang menjadi persengketaan
dalam hal ini adalah: Pertama, mushalih yaitu para pihak yang mengadakan
perjanjian atau aqad yang berkaitan dengan klausula perjanjian yang telah ditetapkan
sebelum atau sesudah terjadinya sengketa. Kedua, mushalih ‘anhu yaitu persoalan
para pihak yang dipersengketakan berkaitan dengan isi atau materi perjajian yang
menjadi sumber sengketa. Ketiga, mushalihi ‘alaini atau badalush sulh yaitu arbitor
41
Abu al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, Al-Qadha Wa al-Istbat Fi al-Fiqh al-Islami, Dar
al-Fikr, Mesir, 1976. hal 84.
42
Said Agil Husain al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase Islam dalam Arbitrase Islam di
Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.
Universitas Sumatera Utara
42
yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa terhadap seseorang yang melakukan
wanprestasi atau pelanggaran yang dilakukan pihak lain atau pihak yang bermasalah
dalam permasalahn hukum.
Pada hakikatnya arbitrase dalam perspektif Islam atau arbitrase syariah
mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian arbitrase secara umum di
Indonesia. Dalam dunia hukum sekarang ini, kata arbitrase berasal dari bahasa latin,
yaitu arbitrate yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut
kebijaksanaan.43
Bahwa dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut arbitration sehingga dari
kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa arbitrase mengandung pengertian
sebagai cara penyelesaian suatu persengketaan melalui arbiter yang berusaha
menghilangkan sikap permusuhan di antara dua pihak yang bersengketa. Inilah yang
merupakan salah satu ciri khas dari sistem pengadilan arbitrase dibandingkan dengan
sistem pengadilan yang lain.
Bahwa dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa arbitrase
syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit
(hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau
sesudah terjadinya sengketa secara syariah.44
Kewenangan absolut Pengadilan Agama telah dimuat dalam Pasal 49 Undangundang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adapun pembatasan dari
43
M. Husyein Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995. hal 2
Universitas Sumatera Utara
43
kewenangan Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah adalah tidak menjangkau
sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
pengadilan negeri. Sebaliknya, badan-badan peradilan negara pun tidak berwenang
untuk mengadili perkara-perkara yang timbul dari suatu perjanjian yang di dalamnya
terdapat klausul arbitrase. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa pengadilan negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.
Dalam hal ini, dengan adanya klausul arbitrase tersebut, maka kewenangan
untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian tersebut menjadi jatuh
ke dalam kewenangan absolut arbitrase. Sehingga kalaupun para pihak tetap
mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke lembaga peradilan negara, pengadilan
bersangkutan wajib menolaknya dengan menyatakan tidak berwenang mengadilinya.
Pasal 11 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri
wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang ini.
44
Mardani, 2009, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Sinar Grafika,
Universitas Sumatera Utara
44
2.
Sejarah
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang dahulu bernama
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), didirikan oleh Majelis Ulama
Indonesia tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober
1993 M. didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan
dalam Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993
tersebut.45
HS. Prodjokusumo Sekum MUI, menyebutkan bahwa gagasan pembentukan
badan ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat
Islam. Kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat dan
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prisip syariat Islam (BPRS) yang lebih dulu
lahir, bersesuaian dengan diberlakukannya perangkat hukum yang mendukung
beroperasinya perbankan dengan sistem yang berprinsip Islam yaitu UU No. 7/1992
dan PP No. 71 dan 72 tahun 1992. Selain bank, telah diketahui pula adanya rencana
pengoperasian asuransi berdasarkan prinsip Islam. Perkembangan baru Lembaga
Keuangan Islam tersebut menjadi nyata dengan diresmikannya asuransi Takaful pada
Agustus 1994.
Beberapa tahun kemudian, atas keputusan MUI melalui hasil Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) pada tanggal 23 Desember 2003 nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase
Jakarta, hlm. 69.
45
Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994,
hal, 191.
Universitas Sumatera Utara
45
Syariah Nasional) dengan suatu alasan bahwa banyaknya sistem bank yang
menggunakan prinsip dan nama syariah. Sehingga timbul kesan di kalangan
masyarakat luas bahwa BAMUI adalah lembaga penyelesaian sengketa yang
dikhususkan untuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) saja mengingat pada saat itu
bank yang pertama kali memberlakukan prinsip syariah adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI) karena dilihat dari penggunaan kata muamalatnya. Dari banyaknya
nama syariah inilah akhirnya MUI merubah BAMUI menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS). Di samping itu juga karena banyaknya anggota
pembina dan pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
meninggal dunia. Juga ada yang beranggapan bahwa yang mendirikan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah Bank Muamalat itu sendiri, padahal
kenyataannya yang meresmikan BAMUI adalah MUI itu artinya Majlis Ulama
Indonesia yang mendirikan BAMUI dengan segala keputusan yang menyangkut
BAMUI diputuskan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Setiap lembaga atau badan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut lembaga atau badan
dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau lembaga tersebut. Seperti halnya
Badan Arbitrase Syariah Nasional memiliki fungsi dan tujuan.
Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani oleh
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara damai (islah).
Menurut Islam mendamaikan persengketaan itu merupakan pekerjaan baik dan terpuji
seagaimana terkandung dalam surah Annisa ayat 128. Dalam surat Al Hujurat ayat 9
Universitas Sumatera Utara
46
justru mendamaikan orang yang bersengketa itu menjadi suatu perintah sebagaimana
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang
(bersengketa) maka damaikanlah keduanya secara adil”.46
Bahwa dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Auli terdapat nilai-nilai
positif dan juga konstuktif yaitu:
1.
Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian sengketa yang
terhormat dan bertanggung jawab.
2.
Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang
atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.
3.
Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari arbiter sebagai
konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter. Kesepakatan
mengandung janji dan janji itu harus ditepati.
4.
Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu adalah lawannya.
5.
Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang
mungkin ada pada orang lain.
6.
Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau
bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main sendiri.
7.
Sesungguhnya
pelaksanaan
tahkim
atau
arbitrase
mengandung
makna
musyawarah dan perdamaian.
Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) sebagai berikut:
46
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Grafindo Persana, Jakarta, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
47
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa perdata/muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk memberikan suatu
pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai Lembaga Arbitrase
Islam, merupakan badan yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mempunyai
kewenangan dalam upaya penyelesaian sengketa bisnis para pihak sesuai dengan
Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Dalam setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengenai kegiatan ekonomi syariah, maka sebagian
besar fatwa tersebut mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Secara prinsip, dimasukkannya ketentuan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Fatwa merupakan suatu
pemikiran yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum
dari para arbiter yang sangat memahami ekonomi Syariah. Dengan demikian
kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) semakin kuat dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya anjuran dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) tersebut.47
48
C.
Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional Dalam Menyelesaikan
Sengketa Perbankan
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
lembaga arbitrase Islam tidak bisa dilepaskan dengan adanya bank syariah, terutama
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang pada saat itu satu-satunya bank yang
menggunakan prinsip syariah. Kemudian disambut dengan dioperasikannya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai lembaga keuangan
yang juga berdasarkan prinsip syariah.
Bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berdasarkan
prinsip syariah perkembangan muamalah (hukum perdata Islam) telah berkembang
mulai dari masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat,
dan perceraian ditambah lagi dengan hukum bisnis, seperti perekonomian dan usaha
lainnya. Apabila dikemudian hari timbul sengketa dari para pihak, apabila sengketa
itu timbul dari masalah bisnis syariah maka penyelesaiannya diserahkan kepada
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan klausula yang
dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan.
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) secara yuridis
formal mempunyai legitimasi yang sangat kuat di negara Indonesia. Terdapat dasar
hukum negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan suatu
47
Ibid, hal 144.
Universitas Sumatera Utara
lembaga di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
49
pada dasarnya diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi linvgkungan peradilan umum, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam undangundang tersendiri.48
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan
arbitrase Islam, maka landasan hukumnya pun tidak lepas dari pedoman Islam yang
bersumber dari Al Quran dan Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui seorang
juru damai merupakan kebiasaan dari masyarakat sejak masa Arab pra Islam. Nabi
Muhammad SAW seringkali diangkat menjadi juru damai oleh masyarakat arab pada
saat itu, saat beliau belum menjadi Rasul. Suatu contoh, pada kasus siapa yang berhak
meletakan Hajar Aswad pada tempatnya kembali, mereka mempercayai Nabi untuk
menyelesaikannya serta merasa puas akan keputusan yang adil dari Nabi Muhammad
SAW, sejak itu akhirnya Nabi Muhammad SAW diberi gelar Al Amin.
Adapun dasar hukum arbitrase syariah dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang menganjurkan tentang perlunya perdamaian, antara lain sebagai berikut:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka
kirimilah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
48
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah
Syariah”, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2009).
Universitas Sumatera Utara
memberikan taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
50 49
lagi Maha Mengenal”.
Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung pengertian hakam dalam
masalah keluarga, menyelesaikan perselisihan antara suami isrtri. Namun jika dilihat
dari semangat yang terkandung di dalamnya, maka terdapat hakam untuk
menyelesaikan perkara secara ishlah, bukan tidak mungkin untuk diterapkannya pada
masalah lain.
Dasar hukum arbitrase syariah selanjutnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh An-Nasa’i yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan Abu Syureikh, di
kalangan rakyat jika terjadi perselisihan dalam berbagai hal, Abu Syureikh seringkali
diangkat sebagai wasit untuk menyelesaikan masalah di antara mereka: “Qutaibah
menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid, dia
adalah putera Miqdam bin Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari bapaknya yaitu
Hani, bahwa dia (Hani) tatkala datang kepada Rasul maka Rasul berkata kepadanya:
“Sesungguhnya Allah itulah Hakim dan kepadanyalah dikembalikan segala
permasalahan hukum namun mengapa engkau digelari “Abu Al Hakim”? maka Hani
berkata: “Sesungguhnya kaumku manakala terjadi perselisihan di antara mereka
tentang sesuatu maka mereka mendatangiku dan aku memberikan putusan hukum
bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisih itu menerima (keputusan)
dengan rela hati”. Rasul berkata: “Alangkah baiknya hal demikian”.
Selain Al Quran dan Hadits yang menjadi dasar hukum arbitrase syariah
adalah ijma (kesepakatan) para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah atas
49
Surat An-nisa ayat 35
Universitas Sumatera Utara
keabsahan praktik tahkim. Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui
51
arbitrase di kalangan sahabat. Ini menunjukan bahwa arbitarse sesungguhnya sudah
menjadi keharusan bagi para pihak yang bersengketa untuk mengedepankan rasa
perdamaian dan persaudaraan diantara sesama.
Dari segi tata hukum Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sebagai lembaga arbitrase Islam mempunyai kedudukan yang kuat
karena hukum positif yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur kemungkinan
suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menyelesaikan suatu
sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan
bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Kewenangan Badan Arbitrase diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal
tersebut ditentukan mengenai sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yakni meliputi sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
52
Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa:
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.”
Pencantuman klausul arbitrase ini mempunyai arti penting berkaitan dengan
kewenangan pengadilan, sebab berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa
Pengadilan Negeri, dalam hal ini termasuk dengan Pengadilan Agama, tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian arbitrase timbul karena adanya
suatu klausul kesepakatan yang terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni :50
1. Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau
sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase tersebut menjadi satu dengan
perjanjian pokoknya atau dalam perjanjian tersendiri di luar perjanjian pokok.
2. Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak setelah timbul sengketa (acta compromitendo/akta kompromis),
sehingga klausul atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam
perjanjian pokok atau pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri
Universitas Sumatera Utara
setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa
53
kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Terkait dengan sengketa Perbankan Syariah, Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) memiliki kedudukan yang semakin kuat dengan lahirnya
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut terlihat
dalam Pasal 55 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menyatakan sebagai berikut :
1.
Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.
2.
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad.
3.
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya melalui:
1.
Musyawarah,
2. Mediasi perbankan,
3. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain,
dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
50
Budhy Budiman, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, jika dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka
ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas kebebasan berkontrak.
54
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para pihak yang menyepakatinya dan
harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut.
Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh
dilaksanakan.51
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasional memiliki
keunggulan-keunggulan,
diantaranya:52
1. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara
terhormat dan bertanggung jawab
2. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani
oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
3. Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang
berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4. Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela
kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara
sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas
51
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 31.
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 167-168.
52
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu
mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;
55
5. Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan
musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan
nurani setiap orang;
6. Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank
Muamalat Indonesia maupun Bank Perkreditan Rakyat Islam, Badan Arbitrase
Syariah Nasional akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam
sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak
terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional.
Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa
kelemahan, antara lain :
1. Perkembangan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang belum maksimal untuk
mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia
dalam hal manajemen dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Apabila
dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relatif baru berdiri, maka Badan
Arbitrase Syariah Nasional masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi
lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang
baik, mempunyai gedung yang representatif, mampu membantu penyelesaian
persengketaan mereka secara baik dan memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
2. Sosialisasi keberadaan lembaga yang masih terbatas, terkait penyebarluasan
informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah.53
56
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MELALUI BADAN
ARBITRASE SYARIAH NASIONAL PT. BPRS PUDUARTA INSANI MEDAN
A.
Sengketa Yang Diselesaikan Oleh PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
Konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan berkembang
menjadi sengketa apabila pihak yang mengalami kerugian menyatakan rasa tidak
puas hati atau prihatin, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak
yang dianggap sebagai penyebab kerugian. Secara prinsip dalam hal penegakan
hukum di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power)
yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif sesuai
dengan Pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung Republik Indonesia.54
Undang-Undang Kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa yang ber
wenang dan yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung
53
Budiman, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya
yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang
57
bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
meresahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika mengandalkan pengadilan
sebagai satu-satunya penyelesaian sengketa, tentu dapat mengganggu kinerja
pembisnis dalam menggerakan perekonomian, serta memerlukan biaya yang relatif
besar. Untuk itu dibutuhkan instruksi yang lebih efesien dan efektif dalam
menyelesaikan sengketa bisnis.
Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan ketika ada suatu permasalahan
proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan, yang dianggap
dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan litimigasi dan memberikan jalan keluar
yang lebih baik dari pengadilan. Proses pengadilan menghasilkan kesepakatan yang
bersifat win-win solution. Menjamin persengketaan para pihak, menghindari
keterlambatan
yang
diakibatkan
karena
hal
prosedural
dan
administratif,
menyelesaikan masalah karena komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga
hubungan baik.
Bahwa adapun dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, yaitu pada dasarnya dapat
didasarkan pada ketentuan Pasal 55 UU 21/2008 yang menegaskan bahwa Basyarnas
juga dapat menghasilkan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada
banding dan kasasi terhadap putusan tersebut. Kemudian berkaitan dengan
54
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Fajar Media Press, Yokyakarta, 2012,
hal, 286.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah, pada dasarnya juga dapat didasarkan pada
ketentuan Pasal 60 UU 30/1999, yang menyatakan bahwa putusan arbitrase58bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Kedudukan
keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012, maka kekuatan hukum untuk pelaksanaan surat keputusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional adalah sah dan mengikat para pihak serta bersifat final, hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan tertib hukum berkaitan dengan penyelesaian
sengketa di bidang ekonomi dan perbankan syariah yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama.
Pelaksanaan surat Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah lahirnya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sangat memiliki keterkaitan dengan kewenangan
Pengadilan Agama dalam pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
yang didasari dengan Pasal 59-64 UU 30/1999 dan ketentuan Pasal 55 UU 21/2008
serta Pasal 54 UU 50/2009 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan Basyarnas
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah memerlukan kewenangan Pengadilan
Agama agar pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, hal tersebut dimaksudkan untuk mencapai
keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan
lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam,
Universitas Sumatera Utara
dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah
59
menguasai hukum Islam.
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah lahirnya Surat Edaran MA
(SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur eksekusi putusan badan arbitrase
syariah nasional yang menghendaki pelaksanaan eksekusi sengketa perbankan syariah
Setelah Lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kewenangan pengadilan agama
dalam pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional mengenai
sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012, adalah selaras dengan ketentuan Pasal 49 UU 50/2009, yang telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama, yaitu
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syari’ah. Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah reksadana syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian
syari’ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro
syari’ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga permanen yang didirikan
oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadi
Universitas Sumatera Utara
sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan,
jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat
60
Indonesia dan Bank perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga Arbitrase Syariah
merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua belah pihak di jalur
pengendalian untuk mencapai kesepakatan masalah ketika upaya mufakat tidak
tercapai. Di samping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau
pendapat hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tetentu yang
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk deselesaikan. Apabila jalur
arbitrase tidak dapat
menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai
pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatian rujukan yang berasal dari
arbiter
yang
sebelumnya telah
menangani kasus
tersebut sebagai bahan
pertimbanganuntuk meng hindari lamanya proses penyelesaian.
Dalam ketentuan badan arbitrase, keputusan pendamaian harus dijalankan
dengan cara sukarela. Namun, sekiranya tidak dijalankan menurut ketentuan hukum
yang ada di Indoensia, maka eksekusi akan dijalankan melalui Pengadilan Negeri
setempat. Kewenangan Pengadilan Negeri tentunya sebatas dalam pelaksanaan
eksekusi saja, tanpa harus mengolah atau memeriksa ulang kembali kasus yang sudah
diselesaikan arbiter. Sistem hukum seperti ini sering menjadi perdebatan di kalangan
pemerhati hukum, baik hukum konvensional maupun syariah dan cenderung
dipandang sebagai salah satu kelemahan penyelesaian
hukum melalui lembaga
Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan merupakan sektor perbankan
dengan
posisi
strategis
sebagai
lembaga intermediasi dan penunjang sistem
perbankan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembangunan nasional.
61
Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan
nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual
melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan
perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank
dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat
membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan
secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Bank sebagai lembaga perantara dana (financial intermediary) memiliki tugas
pokok menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk kredit. Bank mempunyai peranan strategis dalam
pembangunan nasional yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat sehingga
dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Kepercayaan dari masyarakat
terhadap bank hanya dapat timbul apabila bank dalam kegiatan usahanya mampu
melindungi keamanan dana nasabah yang disimpan di bank.
Saat ini layanan jasa perbankan berperan aktif dalam lalu lintas pembayaran
transaksi bisnis. Ekspansi dunia usaha perbankan telah sampai ke pusat-pusat bisnis
di berbagai pelosok tanah air, dengan kata lain lembaga perbankan telah
memasyarakat. Oleh karena itu, calon nasabah menyadari banyak keuntungan yang
dapat diperoleh jika menyimpan dana di bank. Namun sengketa dalam pelaksanaan
hubungan hukum antara nasabah dan bank masih sering ditemui.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
62
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa
pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak telah
menyepakati secara tertulis bahwa jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah
mereka buat maka mereka akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian yang
dilakukan adalah memutuskan pilihan forum, yaitu yuridiksi dimana suatu sengketa
akan diperiksa dan bukan pilihan hukum.
Konsekuensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah bagi para
pihak yang kalah harus secara sukarela melaksanakan isi putusan arbitrase tersebut,
akan tetapi apabila ternyata putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase dilaksanakan
dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak.
Untuk itu pula, maka salinan asli dari putusan arbitrase dan lembar asli
pengangkatan atau penunjukkan arbiter harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri setempat. Dengan demikian berarti Ketua Pengadilan Negeri yang
melaksanakan putusan arbitrase sebagaimana halnya melaksanakan isi putusan
pengadilan biasa yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karenanya, setiap putusan arbitrase salinan lembar aslinya harus
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat baik oleh arbiter atau salah
seorang dari mereka ataupun oleh kuasa arbiter dalam waktu paling lambat 3063hari
sejak putusan diucapkan. Jika tidak didaftarkan, maka putusan arbitrase tersebut tidak
dapat dilaksanakan.
B.
Prosedur Penyelesaian Sengketa PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi yang mengalami perselisihan untuk
saling berdamai, bermusyawarah untuk mufakat, apabila tidak disepakati
maka diambillah salah seorang ataupun pihak lain untuk menjadi pendamai kedua
belah pihak yang bersengketa, apabila belum juga terdapat jalan keluar Islam
mengajarkan untuk bertahkim ataupun membawa perkara kepada pengadilan yang
adil, pertama yaitu menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahan
penyelesaian kepada badan arbitrase syariah nasional sesuai dengan prosedur yang
berlaku, yang kedua, memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para
pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu
perjanjian.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
Universitas Sumatera Utara
pihak yang bersengketa. Syariah (syari’at) adalah norma hukum dasar yang
diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik berhubungan dengan
Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda 64
dalam
masyarakat. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu lembaga arbitrase yang
berprinsip syariah.
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 35 Tahun
1999, dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaa Kehakiman
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh badan peradilan
yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian dalam penjelasannya
memperbolehkan adanya penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, adapun
bunyi ketentuan tersebut antara lain : “Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping
peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan”.
Dan “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesai an perkara dilakukan di
luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”.
Setelah tanggal 29 Oktober 2009, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lembaga arbitrase semakin diakui
eksistensinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 58
Undang-undang
No.
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
menyebutkan : “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Pasal 59 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, bahwa :
65
1. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.
3. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sesuai dengan Pedoman Dasar yang
ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ialah lembaga hakam yang bebas,
otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak
manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah perangkat organisasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga
Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (LP-POM), Yayasan Dana
Dakwah Pembangunan(YDDP).
Saat ini Badan Arbitrase Syariah Nasional belum memiliki ketentuan
peraturan perundang-undangan yang khusus terkait dengan tata cara pelaksanaannya,
sehingga dalam menyelesaikan sengketa masih berdasarkan pada ketentuan yang
tercantum dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Universitas Sumatera Utara
66
Bahwa dari hasil wawancara penulis kepada salah satu orang sub bagian Legal
pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan adalah sebagai berikut:55
1. Bagaimana proses pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak
Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS
Puduarta Insani Medan melalui beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tahapan
agunan berupa benda tidak bergerak dalam bentuk tanah bersertifikat Hak Hilik
(SHM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai diatas
tanah negara, semua hal tersebut pengikatannya dilakukan menggunakan Hak
Tanggungan (HT).
Bahwa dalam melaksanakan pengikatan agunan agar memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Meminta kepada calon debitur untuk menyiapkan terlabih dahulu tanda bukti
pelunasan pajak kepada instansi terkait.
2. Khusus barang agunan berupa tanah dan bangunan, selama masih dibebani hak
tanggungan, debitur berkewajiban menyerahkan bukti pelunasan pajak bumi dan
bangunan (PBB) tahunan.
3. Dalam hal barang agunan milik pribadi/perorangan, maka kepada pihak suami
dan istri diwajibkan untuk menandatangani akta pemberian hak tanggungan/
pengikatan agunan.
55
Hasil Wawancara Kepada Bapak Hamzah Ali ,Bagian Legal Bank PT. BPRS Puduarta
Insani Medan , Pada Tanggal 09 Januari 2017
Universitas Sumatera Utara
67
Bagaimana jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah?
Jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah seperti sertifikat hak
milik, maka langkah selanjutnya harus dipasang Hak Tanggungan. Pengikatan Hak
Tanggungan terhadap tanah selain dapat dilakukan sesuai ketentuan-ketentuan dapat
juga dilakukan dengan alternative lain yaitu apabila debitur menyerahkan agunan
beberapa objek tanah, maka objek tanah tersebut dapat diikat/dipasang pada satu
sertifikat Hak Tanggungan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Hak atas tanah dan kepemilikan yang sama.
2. Lokasi/objek tanah berada pada satu hamparan atau tempat yang tidak
terpisahkan dan berada pada satu wilayah kantor pertanahan yang sama.
3. Jangka waktu masing-masing hak tanah khususnya hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai tidak lebih pendek dari jangka waktu
kreditnya.
Bahwa jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang
dipasang Hak Tanggungan, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak
kreditur yaitu PT. BPRS Puduarta Insani Medan dengan pihak debitur harus
disebutkan jumlah hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur
dan disesuaikan oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.
2. Apakah jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang dipasang
Hak Tanggungan?
Ya, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak kreditur yaitu PT. BNI
(Persero) Tbk SKC Polonia Medan dengan pihak debitur harus disebutkan jumlah
Universitas Sumatera Utara
68
hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur dan disesuaikan
oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.
3.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan bahwa pada
waktu pembebanan Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan ada beberapa
janji-janji debitur yang dapat dicantumkan pada akta pemberian Hak
Tanggungan. Mengenai janji-janji yang wajib dicantumkan dalam akta
pemberian Hak Tanggungan, tidak semua janji yang memberikan perlindungan
kepada kreditur tetapi hanya sebagaian besar saja, seperti:
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
meyewakan objek hak tanggungan dana atau menentukan atau mengubah
jangka waktu sewa dana atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Tak Tanggungan untuk mengubah
bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak
tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji.
Universitas Sumatera Utara
69
4. Janji yang memberikan kewenangan pemegang Hak Tanggungan untuk
meyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi
atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera
janji.
6. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas
objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang
hak tanggungan.
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagain dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.
9. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
4. Bagaimana tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap
debitur yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Universitas Sumatera Utara
70
Tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur
yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan, yaitu:
1. Mendata barang agunan yang akan dieksekusi.
2. Pihak kreditur membantu memasarkan agunan yang berada di daerah
kerjanya.
3. Mengantar calon pembeli yang akan meninjau, melakukan penilaian 6 bulan
sekali dan menginformasikan harga penawaran.
4. Penjualan agunan selain dilakukan melalui penawaran tertulis dapat juga
dilakukan melalui penawaran terbuka yang disaksikan oleh pejabat bank dan
debitu (pemilik agunan).
5. Melakukan negosiasi terhadap debitur secara persuasif.
6. Negosiasi antara calon pembeli dengan pemilik agunan diketahui oleh bank,
dalam hal ini bank berkepentingan dalam penetapan harga jual, syarat-syarat
penjualan dan hasil penjualan.
7. Melakukan monitoring atas hasil penerimaan penjualan.
8. Hasil penjualan harus digunakan untuk menurunkan out standing kreditnya.
9. Melakukan monitoring penyerahan dokumen atas agunan tersebut.
10. Seluruh biaya biaya yang timbul dari transaksi penjualan agunan menjadi
beban debitur.
Hal-hal dalam keadaan ketika terjadi permasalahan yang timbul dalam
penyelesaian akan kredit, seorang Legal PT. BPRS Puduarta Insani Medan siap
menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah di tugaskan oleh pimpinan PT. BPRS
Puduarta Insani Medan.
Universitas Sumatera Utara
71
C.
Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Terkait Sengketa
Perbankan Pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Bahwa putusan arbitrase yang pelaksanaan eksekusinya melalui atau dengan
fiat eksekusi yang disertai dengan tanda tangan dari Ketua Pengadilan Negeri, maka
pelaksanaan putusannya sesuai dengan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan eksekusi atas putusan
arbitrase akan berbeda dengan permohonan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri. Secara jelas
BAB III
TINJAUAN UMUM BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
1.
Pengertian
Pengertian arbitrase dalam literatur sejarah hukum Islam, arbitrase lebih
identik dengan istilah tahkim atau hakam. Istilah ini secara literal berarti mengangkat
sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologi definisi yang
dikemukakan Salam Madzkur. Menurutnya, tahkim atau hakam adalah pengangkatan
seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang
bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.35
Sudargo Gautama, menyatakan bahwa arbitrase adalah cara-cara penyelesaian
hakim partikiler yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam
memberikan keputusan, karena dalam instansi terakir serta mengikat, yang mudah
untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.36
Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan
swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia
perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara
sukarela oleh para pihak-pihak pengusaha yang bersengketa, penyelesaian sengketa di
35
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT.
Radjagrafindo, Jakarta, 2002, hal. 154-155.
36
Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1979. hal. 5
Universitas Sumatera Utara
40
luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak, kehendak bebas ini
dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis.37
R. Subekti, mengatakan bahwa arbitrase adalah suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan
bahwa mereka akan tunduk atau mentaati keputusan yang akan diberikan wasit atau
para wasit yang mereka pilih atau tunjuk tersebut38.
Menurut Undang-Undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang berdasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa”.
Sedangkan arbitrase dalam perspektif Islam (arbitrase syariah) dapat
disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja hakkama 39.
Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang menjadi pencegah suatu
sengketa.
Secara teknis tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang
dikenal dewasa ini, yaitu: pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit oleh dua
orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara
damai. Kata sinonim yang digunakan adalah muhakkam, sedang wasit atau arbiter
digunakan istilah hakam, yaitu: Who States A Dispute (yang menyelesaikan
perselisihan.40
37
Abdul kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992. hal. 276.
38
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, PT. Bina Cipta, Bandung, 1979. hal 1
39
Luis Ma’luf, Al Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut Dar al-Masyria, 1994. hal 146
40
Bernard Lewis, Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Briil, 1987. Vol. VII, hal 72
Universitas Sumatera Utara
41
Dalam istilah fiqih, pengertian tahkim seperti yang didefinisikan oleh Abu AlAinain Abdul Fatah Muhammad, diartikan sebagai bersandarnya dua orang yang
bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan
pertikaian mereka para pihak.41
Bahwa menurut para pakar hukum Islam, terutama dari kalangan mazhab
Hanafiyah dan Syafi’iyah memberikan pengertian sebagai berikut:
Menurut kelompok Hanafiyah hakam adalah memisahkan persengketaan dan
memutuskan pertikaian atau menetapkan hukum antara manusia dengan yang haq dan
dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan menurut kelompok
Syafi’iyah hakam adalah memisahkan pertikaian antara dua pihak yang bertikai atau
lebih dengan hukum Allah SWT, atau menyatakan hukum syara’ terhadap suatu
peristiwa bagi yang wajib melaksanakannya.42
Bahwa dari pengertian di atas, apabila diperhatikan dalam setiap perselisihan
atau sengketa di dalam membuat perjanjian (aqad) terdapat tiga komponen penting
yang menimbulkan persengketaan. Ketiga komponen yang menjadi persengketaan
dalam hal ini adalah: Pertama, mushalih yaitu para pihak yang mengadakan
perjanjian atau aqad yang berkaitan dengan klausula perjanjian yang telah ditetapkan
sebelum atau sesudah terjadinya sengketa. Kedua, mushalih ‘anhu yaitu persoalan
para pihak yang dipersengketakan berkaitan dengan isi atau materi perjajian yang
menjadi sumber sengketa. Ketiga, mushalihi ‘alaini atau badalush sulh yaitu arbitor
41
Abu al-Ainain Abdul Fatah Muhammad, Al-Qadha Wa al-Istbat Fi al-Fiqh al-Islami, Dar
al-Fikr, Mesir, 1976. hal 84.
42
Said Agil Husain al-Munawar, Pelaksanaan Arbitrase Islam dalam Arbitrase Islam di
Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.
Universitas Sumatera Utara
42
yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa terhadap seseorang yang melakukan
wanprestasi atau pelanggaran yang dilakukan pihak lain atau pihak yang bermasalah
dalam permasalahn hukum.
Pada hakikatnya arbitrase dalam perspektif Islam atau arbitrase syariah
mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian arbitrase secara umum di
Indonesia. Dalam dunia hukum sekarang ini, kata arbitrase berasal dari bahasa latin,
yaitu arbitrate yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut
kebijaksanaan.43
Bahwa dalam istilah bahasa Inggris arbitrase disebut arbitration sehingga dari
kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa arbitrase mengandung pengertian
sebagai cara penyelesaian suatu persengketaan melalui arbiter yang berusaha
menghilangkan sikap permusuhan di antara dua pihak yang bersengketa. Inilah yang
merupakan salah satu ciri khas dari sistem pengadilan arbitrase dibandingkan dengan
sistem pengadilan yang lain.
Bahwa dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa arbitrase
syariah adalah suatu cara penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan oleh wasit
(hakam) di luar lembaga peradilan berdasarkan kesepakatan baik sebelum atau
sesudah terjadinya sengketa secara syariah.44
Kewenangan absolut Pengadilan Agama telah dimuat dalam Pasal 49 Undangundang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama adapun pembatasan dari
43
M. Husyein Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995. hal 2
Universitas Sumatera Utara
43
kewenangan Pengadilan Agama di bidang ekonomi syariah adalah tidak menjangkau
sengketa perjanjian yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
pengadilan negeri. Sebaliknya, badan-badan peradilan negara pun tidak berwenang
untuk mengadili perkara-perkara yang timbul dari suatu perjanjian yang di dalamnya
terdapat klausul arbitrase. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa pengadilan negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.
Dalam hal ini, dengan adanya klausul arbitrase tersebut, maka kewenangan
untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian tersebut menjadi jatuh
ke dalam kewenangan absolut arbitrase. Sehingga kalaupun para pihak tetap
mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke lembaga peradilan negara, pengadilan
bersangkutan wajib menolaknya dengan menyatakan tidak berwenang mengadilinya.
Pasal 11 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri
wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
undang-undang ini.
44
Mardani, 2009, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Sinar Grafika,
Universitas Sumatera Utara
44
2.
Sejarah
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang dahulu bernama
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), didirikan oleh Majelis Ulama
Indonesia tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober
1993 M. didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan
dalam Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993
tersebut.45
HS. Prodjokusumo Sekum MUI, menyebutkan bahwa gagasan pembentukan
badan ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat
Islam. Kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat dan
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prisip syariat Islam (BPRS) yang lebih dulu
lahir, bersesuaian dengan diberlakukannya perangkat hukum yang mendukung
beroperasinya perbankan dengan sistem yang berprinsip Islam yaitu UU No. 7/1992
dan PP No. 71 dan 72 tahun 1992. Selain bank, telah diketahui pula adanya rencana
pengoperasian asuransi berdasarkan prinsip Islam. Perkembangan baru Lembaga
Keuangan Islam tersebut menjadi nyata dengan diresmikannya asuransi Takaful pada
Agustus 1994.
Beberapa tahun kemudian, atas keputusan MUI melalui hasil Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) pada tanggal 23 Desember 2003 nama Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase
Jakarta, hlm. 69.
45
Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994,
hal, 191.
Universitas Sumatera Utara
45
Syariah Nasional) dengan suatu alasan bahwa banyaknya sistem bank yang
menggunakan prinsip dan nama syariah. Sehingga timbul kesan di kalangan
masyarakat luas bahwa BAMUI adalah lembaga penyelesaian sengketa yang
dikhususkan untuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) saja mengingat pada saat itu
bank yang pertama kali memberlakukan prinsip syariah adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI) karena dilihat dari penggunaan kata muamalatnya. Dari banyaknya
nama syariah inilah akhirnya MUI merubah BAMUI menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS). Di samping itu juga karena banyaknya anggota
pembina dan pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
meninggal dunia. Juga ada yang beranggapan bahwa yang mendirikan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah Bank Muamalat itu sendiri, padahal
kenyataannya yang meresmikan BAMUI adalah MUI itu artinya Majlis Ulama
Indonesia yang mendirikan BAMUI dengan segala keputusan yang menyangkut
BAMUI diputuskan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Setiap lembaga atau badan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dengan tujuan tersebut lembaga atau badan
dapat memperkirakan mutu didirikannya badan atau lembaga tersebut. Seperti halnya
Badan Arbitrase Syariah Nasional memiliki fungsi dan tujuan.
Penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan (khususnya) yang ditangani oleh
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) diputuskan secara damai (islah).
Menurut Islam mendamaikan persengketaan itu merupakan pekerjaan baik dan terpuji
seagaimana terkandung dalam surah Annisa ayat 128. Dalam surat Al Hujurat ayat 9
Universitas Sumatera Utara
46
justru mendamaikan orang yang bersengketa itu menjadi suatu perintah sebagaimana
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang
(bersengketa) maka damaikanlah keduanya secara adil”.46
Bahwa dengan prinsip perdamaian, menurut A. Wasil Auli terdapat nilai-nilai
positif dan juga konstuktif yaitu:
1.
Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian sengketa yang
terhormat dan bertanggung jawab.
2.
Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang
atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.
3.
Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari arbiter sebagai
konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter. Kesepakatan
mengandung janji dan janji itu harus ditepati.
4.
Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu adalah lawannya.
5.
Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang
mungkin ada pada orang lain.
6.
Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara atau
bermasyarakat sehingga dapat dihindari tindakan main sendiri.
7.
Sesungguhnya
pelaksanaan
tahkim
atau
arbitrase
mengandung
makna
musyawarah dan perdamaian.
Di samping itu tujuan utama pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) sebagai berikut:
46
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Grafindo Persana, Jakarta, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
47
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketasengketa perdata/muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk memberikan suatu
pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai Lembaga Arbitrase
Islam, merupakan badan yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mempunyai
kewenangan dalam upaya penyelesaian sengketa bisnis para pihak sesuai dengan
Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Dalam setiap Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengenai kegiatan ekonomi syariah, maka sebagian
besar fatwa tersebut mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Secara prinsip, dimasukkannya ketentuan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Fatwa merupakan suatu
pemikiran yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum
dari para arbiter yang sangat memahami ekonomi Syariah. Dengan demikian
kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) semakin kuat dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya anjuran dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) tersebut.47
48
C.
Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional Dalam Menyelesaikan
Sengketa Perbankan
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
lembaga arbitrase Islam tidak bisa dilepaskan dengan adanya bank syariah, terutama
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang pada saat itu satu-satunya bank yang
menggunakan prinsip syariah. Kemudian disambut dengan dioperasikannya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful sebagai lembaga keuangan
yang juga berdasarkan prinsip syariah.
Bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berdasarkan
prinsip syariah perkembangan muamalah (hukum perdata Islam) telah berkembang
mulai dari masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat,
dan perceraian ditambah lagi dengan hukum bisnis, seperti perekonomian dan usaha
lainnya. Apabila dikemudian hari timbul sengketa dari para pihak, apabila sengketa
itu timbul dari masalah bisnis syariah maka penyelesaiannya diserahkan kepada
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sesuai dengan klausula yang
dibuat para pihak sebelum perjanjian dilakukan.
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) secara yuridis
formal mempunyai legitimasi yang sangat kuat di negara Indonesia. Terdapat dasar
hukum negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan suatu
47
Ibid, hal 144.
Universitas Sumatera Utara
lembaga di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
49
pada dasarnya diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi linvgkungan peradilan umum, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam undangundang tersendiri.48
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan
arbitrase Islam, maka landasan hukumnya pun tidak lepas dari pedoman Islam yang
bersumber dari Al Quran dan Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui seorang
juru damai merupakan kebiasaan dari masyarakat sejak masa Arab pra Islam. Nabi
Muhammad SAW seringkali diangkat menjadi juru damai oleh masyarakat arab pada
saat itu, saat beliau belum menjadi Rasul. Suatu contoh, pada kasus siapa yang berhak
meletakan Hajar Aswad pada tempatnya kembali, mereka mempercayai Nabi untuk
menyelesaikannya serta merasa puas akan keputusan yang adil dari Nabi Muhammad
SAW, sejak itu akhirnya Nabi Muhammad SAW diberi gelar Al Amin.
Adapun dasar hukum arbitrase syariah dapat dilihat dari ayat-ayat Al-Qur’an
yang menganjurkan tentang perlunya perdamaian, antara lain sebagai berikut:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka
kirimilah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
48
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah
Syariah”, cet. Ke-1 (Jakarta: Kencana, 2009).
Universitas Sumatera Utara
memberikan taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
50 49
lagi Maha Mengenal”.
Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung pengertian hakam dalam
masalah keluarga, menyelesaikan perselisihan antara suami isrtri. Namun jika dilihat
dari semangat yang terkandung di dalamnya, maka terdapat hakam untuk
menyelesaikan perkara secara ishlah, bukan tidak mungkin untuk diterapkannya pada
masalah lain.
Dasar hukum arbitrase syariah selanjutnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh An-Nasa’i yang menceritakan tentang dialog Nabi dengan Abu Syureikh, di
kalangan rakyat jika terjadi perselisihan dalam berbagai hal, Abu Syureikh seringkali
diangkat sebagai wasit untuk menyelesaikan masalah di antara mereka: “Qutaibah
menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid, dia
adalah putera Miqdam bin Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari bapaknya yaitu
Hani, bahwa dia (Hani) tatkala datang kepada Rasul maka Rasul berkata kepadanya:
“Sesungguhnya Allah itulah Hakim dan kepadanyalah dikembalikan segala
permasalahan hukum namun mengapa engkau digelari “Abu Al Hakim”? maka Hani
berkata: “Sesungguhnya kaumku manakala terjadi perselisihan di antara mereka
tentang sesuatu maka mereka mendatangiku dan aku memberikan putusan hukum
bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisih itu menerima (keputusan)
dengan rela hati”. Rasul berkata: “Alangkah baiknya hal demikian”.
Selain Al Quran dan Hadits yang menjadi dasar hukum arbitrase syariah
adalah ijma (kesepakatan) para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah atas
49
Surat An-nisa ayat 35
Universitas Sumatera Utara
keabsahan praktik tahkim. Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui
51
arbitrase di kalangan sahabat. Ini menunjukan bahwa arbitarse sesungguhnya sudah
menjadi keharusan bagi para pihak yang bersengketa untuk mengedepankan rasa
perdamaian dan persaudaraan diantara sesama.
Dari segi tata hukum Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sebagai lembaga arbitrase Islam mempunyai kedudukan yang kuat
karena hukum positif yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur kemungkinan
suatu lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menyelesaikan suatu
sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan
bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Kewenangan Badan Arbitrase diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal
tersebut ditentukan mengenai sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase dan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yakni meliputi sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sedangkan
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
52
Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyebutkan bahwa:
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.”
Pencantuman klausul arbitrase ini mempunyai arti penting berkaitan dengan
kewenangan pengadilan, sebab berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa
Pengadilan Negeri, dalam hal ini termasuk dengan Pengadilan Agama, tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian arbitrase timbul karena adanya
suatu klausul kesepakatan yang terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni :50
1. Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau
sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase tersebut menjadi satu dengan
perjanjian pokoknya atau dalam perjanjian tersendiri di luar perjanjian pokok.
2. Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak setelah timbul sengketa (acta compromitendo/akta kompromis),
sehingga klausul atau perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam
perjanjian pokok atau pendahuluannya atau dalam suatu perjanjian tersendiri
Universitas Sumatera Utara
setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa
53
kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Terkait dengan sengketa Perbankan Syariah, Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) memiliki kedudukan yang semakin kuat dengan lahirnya
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal tersebut terlihat
dalam Pasal 55 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
menyatakan sebagai berikut :
1.
Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.
2.
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad.
3.
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya melalui:
1.
Musyawarah,
2. Mediasi perbankan,
3. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain,
dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
50
Budhy Budiman, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, jika dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka
ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas kebebasan berkontrak.
54
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para pihak yang menyepakatinya dan
harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut.
Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh
dilaksanakan.51
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasional memiliki
keunggulan-keunggulan,
diantaranya:52
1. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara
terhormat dan bertanggung jawab
2. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani
oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
3. Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang
berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4. Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela
kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara
sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas
51
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 31.
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI,
Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 167-168.
52
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu
mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati;
55
5. Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan
musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan
nurani setiap orang;
6. Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank
Muamalat Indonesia maupun Bank Perkreditan Rakyat Islam, Badan Arbitrase
Syariah Nasional akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam
sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak
terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional.
Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa
kelemahan, antara lain :
1. Perkembangan Badan Arbitrase Syariah Nasional yang belum maksimal untuk
mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia
dalam hal manajemen dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Apabila
dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relatif baru berdiri, maka Badan
Arbitrase Syariah Nasional masih harus berbenah diri. Untuk dapat menjadi
lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang
baik, mempunyai gedung yang representatif, mampu membantu penyelesaian
persengketaan mereka secara baik dan memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
2. Sosialisasi keberadaan lembaga yang masih terbatas, terkait penyebarluasan
informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah.53
56
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MELALUI BADAN
ARBITRASE SYARIAH NASIONAL PT. BPRS PUDUARTA INSANI MEDAN
A.
Sengketa Yang Diselesaikan Oleh PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
Konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan berkembang
menjadi sengketa apabila pihak yang mengalami kerugian menyatakan rasa tidak
puas hati atau prihatin, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak
yang dianggap sebagai penyebab kerugian. Secara prinsip dalam hal penegakan
hukum di Indonesia hanyalah dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power)
yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut badan yudikatif sesuai
dengan Pasal 24 UUD 1945. Dengan demikian yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa hanyalah badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung Republik Indonesia.54
Undang-Undang Kehakiman dengan tegas menyatakan bahwa yang ber
wenang dan yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung
53
Budiman, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya
yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang
57
bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
meresahkan masyarakat dan dunia bisnis, sebab jika mengandalkan pengadilan
sebagai satu-satunya penyelesaian sengketa, tentu dapat mengganggu kinerja
pembisnis dalam menggerakan perekonomian, serta memerlukan biaya yang relatif
besar. Untuk itu dibutuhkan instruksi yang lebih efesien dan efektif dalam
menyelesaikan sengketa bisnis.
Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan ketika ada suatu permasalahan
proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama di luar pengadilan, yang dianggap
dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan litimigasi dan memberikan jalan keluar
yang lebih baik dari pengadilan. Proses pengadilan menghasilkan kesepakatan yang
bersifat win-win solution. Menjamin persengketaan para pihak, menghindari
keterlambatan
yang
diakibatkan
karena
hal
prosedural
dan
administratif,
menyelesaikan masalah karena komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga
hubungan baik.
Bahwa adapun dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah, yaitu pada dasarnya dapat
didasarkan pada ketentuan Pasal 55 UU 21/2008 yang menegaskan bahwa Basyarnas
juga dapat menghasilkan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada
banding dan kasasi terhadap putusan tersebut. Kemudian berkaitan dengan
54
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, Fajar Media Press, Yokyakarta, 2012,
hal, 286.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan dasar hukum keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah, pada dasarnya juga dapat didasarkan pada
ketentuan Pasal 60 UU 30/1999, yang menyatakan bahwa putusan arbitrase58bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Kedudukan
keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012, maka kekuatan hukum untuk pelaksanaan surat keputusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional adalah sah dan mengikat para pihak serta bersifat final, hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan tertib hukum berkaitan dengan penyelesaian
sengketa di bidang ekonomi dan perbankan syariah yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama.
Pelaksanaan surat Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah setelah lahirnya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, sangat memiliki keterkaitan dengan kewenangan
Pengadilan Agama dalam pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
yang didasari dengan Pasal 59-64 UU 30/1999 dan ketentuan Pasal 55 UU 21/2008
serta Pasal 54 UU 50/2009 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan putusan Basyarnas
dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah memerlukan kewenangan Pengadilan
Agama agar pelaksanaan Keputusan Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, hal tersebut dimaksudkan untuk mencapai
keselarasan antara hukum materil yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan
lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam,
Universitas Sumatera Utara
dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah
59
menguasai hukum Islam.
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah lahirnya Surat Edaran MA
(SEMA) Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur eksekusi putusan badan arbitrase
syariah nasional yang menghendaki pelaksanaan eksekusi sengketa perbankan syariah
Setelah Lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kewenangan pengadilan agama
dalam pelaksanaan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional mengenai
sengketa perbankan syariah setelah lahirnya Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012, adalah selaras dengan ketentuan Pasal 49 UU 50/2009, yang telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama, yaitu
memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syari’ah. Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah reksadana syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian
syari’ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari’ah, dan lembaga keuangan mikro
syari’ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai lembaga permanen yang didirikan
oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadi
Universitas Sumatera Utara
sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan,
jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat
60
Indonesia dan Bank perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga Arbitrase Syariah
merupakan penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua belah pihak di jalur
pengendalian untuk mencapai kesepakatan masalah ketika upaya mufakat tidak
tercapai. Di samping itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau
pendapat hukum, yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tetentu yang
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk deselesaikan. Apabila jalur
arbitrase tidak dapat
menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai
pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatian rujukan yang berasal dari
arbiter
yang
sebelumnya telah
menangani kasus
tersebut sebagai bahan
pertimbanganuntuk meng hindari lamanya proses penyelesaian.
Dalam ketentuan badan arbitrase, keputusan pendamaian harus dijalankan
dengan cara sukarela. Namun, sekiranya tidak dijalankan menurut ketentuan hukum
yang ada di Indoensia, maka eksekusi akan dijalankan melalui Pengadilan Negeri
setempat. Kewenangan Pengadilan Negeri tentunya sebatas dalam pelaksanaan
eksekusi saja, tanpa harus mengolah atau memeriksa ulang kembali kasus yang sudah
diselesaikan arbiter. Sistem hukum seperti ini sering menjadi perdebatan di kalangan
pemerhati hukum, baik hukum konvensional maupun syariah dan cenderung
dipandang sebagai salah satu kelemahan penyelesaian
hukum melalui lembaga
Badan Arbitrase Syariah Nasional.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa PT. BPRS Puduarta Insani Medan merupakan sektor perbankan
dengan
posisi
strategis
sebagai
lembaga intermediasi dan penunjang sistem
perbankan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembangunan nasional.
61
Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan
nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual
melainkan juga penyehatan sistem perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan
perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank
dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat
membantu memelihara tingkat kesehatan perbankan nasional sehingga dapat berperan
secara maksimal dalam perekonomian nasional.
Bank sebagai lembaga perantara dana (financial intermediary) memiliki tugas
pokok menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk kredit. Bank mempunyai peranan strategis dalam
pembangunan nasional yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat sehingga
dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. Kepercayaan dari masyarakat
terhadap bank hanya dapat timbul apabila bank dalam kegiatan usahanya mampu
melindungi keamanan dana nasabah yang disimpan di bank.
Saat ini layanan jasa perbankan berperan aktif dalam lalu lintas pembayaran
transaksi bisnis. Ekspansi dunia usaha perbankan telah sampai ke pusat-pusat bisnis
di berbagai pelosok tanah air, dengan kata lain lembaga perbankan telah
memasyarakat. Oleh karena itu, calon nasabah menyadari banyak keuntungan yang
dapat diperoleh jika menyimpan dana di bank. Namun sengketa dalam pelaksanaan
hubungan hukum antara nasabah dan bank masih sering ditemui.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
62
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa
pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak telah
menyepakati secara tertulis bahwa jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah
mereka buat maka mereka akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian yang
dilakukan adalah memutuskan pilihan forum, yaitu yuridiksi dimana suatu sengketa
akan diperiksa dan bukan pilihan hukum.
Konsekuensi dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah bagi para
pihak yang kalah harus secara sukarela melaksanakan isi putusan arbitrase tersebut,
akan tetapi apabila ternyata putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase dilaksanakan
dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak.
Untuk itu pula, maka salinan asli dari putusan arbitrase dan lembar asli
pengangkatan atau penunjukkan arbiter harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri setempat. Dengan demikian berarti Ketua Pengadilan Negeri yang
melaksanakan putusan arbitrase sebagaimana halnya melaksanakan isi putusan
pengadilan biasa yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karenanya, setiap putusan arbitrase salinan lembar aslinya harus
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat baik oleh arbiter atau salah
seorang dari mereka ataupun oleh kuasa arbiter dalam waktu paling lambat 3063hari
sejak putusan diucapkan. Jika tidak didaftarkan, maka putusan arbitrase tersebut tidak
dapat dilaksanakan.
B.
Prosedur Penyelesaian Sengketa PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi yang mengalami perselisihan untuk
saling berdamai, bermusyawarah untuk mufakat, apabila tidak disepakati
maka diambillah salah seorang ataupun pihak lain untuk menjadi pendamai kedua
belah pihak yang bersengketa, apabila belum juga terdapat jalan keluar Islam
mengajarkan untuk bertahkim ataupun membawa perkara kepada pengadilan yang
adil, pertama yaitu menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahan
penyelesaian kepada badan arbitrase syariah nasional sesuai dengan prosedur yang
berlaku, yang kedua, memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para
pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu
perjanjian.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
Universitas Sumatera Utara
pihak yang bersengketa. Syariah (syari’at) adalah norma hukum dasar yang
diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik berhubungan dengan
Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda 64
dalam
masyarakat. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu lembaga arbitrase yang
berprinsip syariah.
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 35 Tahun
1999, dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaa Kehakiman
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh badan peradilan
yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian dalam penjelasannya
memperbolehkan adanya penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, adapun
bunyi ketentuan tersebut antara lain : “Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping
peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Penyelesaian perkara di luar
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan”.
Dan “Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesai an perkara dilakukan di
luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”.
Setelah tanggal 29 Oktober 2009, dengan dikeluarkannya Undang-undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lembaga arbitrase semakin diakui
eksistensinya sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 58
Undang-undang
No.
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
menyebutkan : “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa”.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Pasal 59 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, bahwa :
65
1. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.
3. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,
putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sesuai dengan Pedoman Dasar yang
ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ialah lembaga hakam yang bebas,
otonom dan independen, tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak
manapun. Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah perangkat organisasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga
Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (LP-POM), Yayasan Dana
Dakwah Pembangunan(YDDP).
Saat ini Badan Arbitrase Syariah Nasional belum memiliki ketentuan
peraturan perundang-undangan yang khusus terkait dengan tata cara pelaksanaannya,
sehingga dalam menyelesaikan sengketa masih berdasarkan pada ketentuan yang
tercantum dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Universitas Sumatera Utara
66
Bahwa dari hasil wawancara penulis kepada salah satu orang sub bagian Legal
pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan adalah sebagai berikut:55
1. Bagaimana proses pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak
Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Pelaksanaan pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS
Puduarta Insani Medan melalui beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tahapan
agunan berupa benda tidak bergerak dalam bentuk tanah bersertifikat Hak Hilik
(SHM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai diatas
tanah negara, semua hal tersebut pengikatannya dilakukan menggunakan Hak
Tanggungan (HT).
Bahwa dalam melaksanakan pengikatan agunan agar memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Meminta kepada calon debitur untuk menyiapkan terlabih dahulu tanda bukti
pelunasan pajak kepada instansi terkait.
2. Khusus barang agunan berupa tanah dan bangunan, selama masih dibebani hak
tanggungan, debitur berkewajiban menyerahkan bukti pelunasan pajak bumi dan
bangunan (PBB) tahunan.
3. Dalam hal barang agunan milik pribadi/perorangan, maka kepada pihak suami
dan istri diwajibkan untuk menandatangani akta pemberian hak tanggungan/
pengikatan agunan.
55
Hasil Wawancara Kepada Bapak Hamzah Ali ,Bagian Legal Bank PT. BPRS Puduarta
Insani Medan , Pada Tanggal 09 Januari 2017
Universitas Sumatera Utara
67
Bagaimana jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah?
Jika debitur menyerahkan agunan berupa beberapa bidang tanah seperti sertifikat hak
milik, maka langkah selanjutnya harus dipasang Hak Tanggungan. Pengikatan Hak
Tanggungan terhadap tanah selain dapat dilakukan sesuai ketentuan-ketentuan dapat
juga dilakukan dengan alternative lain yaitu apabila debitur menyerahkan agunan
beberapa objek tanah, maka objek tanah tersebut dapat diikat/dipasang pada satu
sertifikat Hak Tanggungan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Hak atas tanah dan kepemilikan yang sama.
2. Lokasi/objek tanah berada pada satu hamparan atau tempat yang tidak
terpisahkan dan berada pada satu wilayah kantor pertanahan yang sama.
3. Jangka waktu masing-masing hak tanah khususnya hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai tidak lebih pendek dari jangka waktu
kreditnya.
Bahwa jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang
dipasang Hak Tanggungan, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak
kreditur yaitu PT. BPRS Puduarta Insani Medan dengan pihak debitur harus
disebutkan jumlah hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur
dan disesuaikan oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.
2. Apakah jumlah hutang debitur harus disesuaikan dengan jaminan yang dipasang
Hak Tanggungan?
Ya, sebelum melakukan penandatanganan antara pihak kreditur yaitu PT. BNI
(Persero) Tbk SKC Polonia Medan dengan pihak debitur harus disebutkan jumlah
Universitas Sumatera Utara
68
hutang atau pinjaman yang akan diberikan oleh pihak debitur dan disesuaikan
oleh jaminan yang akan dipasang Hak Tanggungan.
3.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Bentuk perlindungan hukum kepada kreditur dalam perjanjian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan di PT. BPRS Puduarta Insani Medan bahwa pada
waktu pembebanan Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan ada beberapa
janji-janji debitur yang dapat dicantumkan pada akta pemberian Hak
Tanggungan. Mengenai janji-janji yang wajib dicantumkan dalam akta
pemberian Hak Tanggungan, tidak semua janji yang memberikan perlindungan
kepada kreditur tetapi hanya sebagaian besar saja, seperti:
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
meyewakan objek hak tanggungan dana atau menentukan atau mengubah
jangka waktu sewa dana atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Tak Tanggungan untuk mengubah
bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak
tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji.
Universitas Sumatera Utara
69
4. Janji yang memberikan kewenangan pemegang Hak Tanggungan untuk
meyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi
atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera
janji.
6. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas
objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang
hak tanggungan.
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagain dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.
9. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
4. Bagaimana tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap
debitur yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan?
Universitas Sumatera Utara
70
Tata cara eksekusi Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur
yang wanprestasi di PT. BPRS Puduarta Insani Medan, yaitu:
1. Mendata barang agunan yang akan dieksekusi.
2. Pihak kreditur membantu memasarkan agunan yang berada di daerah
kerjanya.
3. Mengantar calon pembeli yang akan meninjau, melakukan penilaian 6 bulan
sekali dan menginformasikan harga penawaran.
4. Penjualan agunan selain dilakukan melalui penawaran tertulis dapat juga
dilakukan melalui penawaran terbuka yang disaksikan oleh pejabat bank dan
debitu (pemilik agunan).
5. Melakukan negosiasi terhadap debitur secara persuasif.
6. Negosiasi antara calon pembeli dengan pemilik agunan diketahui oleh bank,
dalam hal ini bank berkepentingan dalam penetapan harga jual, syarat-syarat
penjualan dan hasil penjualan.
7. Melakukan monitoring atas hasil penerimaan penjualan.
8. Hasil penjualan harus digunakan untuk menurunkan out standing kreditnya.
9. Melakukan monitoring penyerahan dokumen atas agunan tersebut.
10. Seluruh biaya biaya yang timbul dari transaksi penjualan agunan menjadi
beban debitur.
Hal-hal dalam keadaan ketika terjadi permasalahan yang timbul dalam
penyelesaian akan kredit, seorang Legal PT. BPRS Puduarta Insani Medan siap
menjalankan tugasnya sebagaimana yang telah di tugaskan oleh pimpinan PT. BPRS
Puduarta Insani Medan.
Universitas Sumatera Utara
71
C.
Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Terkait Sengketa
Perbankan Pada PT. BPRS Puduarta Insani Medan
Bahwa putusan arbitrase yang pelaksanaan eksekusinya melalui atau dengan
fiat eksekusi yang disertai dengan tanda tangan dari Ketua Pengadilan Negeri, maka
pelaksanaan putusannya sesuai dengan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan eksekusi atas putusan
arbitrase akan berbeda dengan permohonan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri. Secara jelas