Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

  

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH MELALUI

BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

   (BASYARNAS)

   Prof.Dr. H. Bismar Nasution, SH.,MH

   Dr. Mahmul Siregar,SH.,M.Hum

A. Sekilas tentang BASYARNAS dan Perwakilan Propinsi Sumatera Utara

  Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Badan ini berdiri atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M dan merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. BAMUI semula didirikan dalam bentuk Yayasan yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selanjutnya dalam rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI tanggal 23-26 Desember 2002 ditegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu- satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003, serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No.

  82/BAMUI/07/X/2003, tanggal. 07 Oktober 2003, maka MUI dengan SK nya No. Kep- 09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawwal 1424 / 24 Desember 2003, menetapkan bahwa:

  1 Disampaikan Seminar Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah di Indonesia, diselenggarakan atas

  kerjasama Universitas Sumatera Utara dan Pengadilan Tinggi Agama Medan, Auditorium Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, 24 Desember 2010.

  2 Ketua dan Arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) – Majelis Ulama Indonesia,

  Perwakilan Propinsi Sumatera Utara, Guru Besar Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas

  1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

  2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat organisasi MUI.

  3. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat otonom dan independen.

   4. Mengangkat Pengurus BASYARNAS dengan susunan pengurus yang baru.

  Kelahiran BASYARNAS dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya sistem ekonomi syari’ah/lembaga-lembaga keuangan syari’ah/perbankan syari’ah di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan terjadinya persengketaan yang harus diselesaikan secara syari’ah menjadi semakin besar. Berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada masa itu belum mengatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi :

  ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional. Perkembangan tersebut mendorong pengurus BASYARNAS untuk mendirikan perwakilan BASYARNAS di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Propinsi Sumatera Utara.Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara didirikan pada tanggal 24 Sya’ban 1429 H bertepatan dengan 26 Agustus 2008 M berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional Nomor : SKep 14 Tahun 2008 tentang Pengesahan Susunan Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara.

B. Landasan Filosofi Arbitrase Syariah

  Tradisi penyelesaian sengketa atau konflik melalui upaya perdamaian telah dikembangkan Islam sejak lama, bahkan sebelum Muhammad SAW mengemban tugas kerasulannya. Beliau pernah ditunjuk sebagai wasit dalam perselisihan internal suku Quraisy tentang siapa yang berhak membeli kembali : Hajar Aswad pada posisinya semula.

  Dalam Al Quran banyak diajarkan ayat-ayat suci yang hakikatnya menekankan prinsip penyelesaian sengketa atau konflik melalui upaya perdamaian seperti antara lain tercantum dalam surat Al Hujurat ayat 9 :

  “ … dan jika ada dua golongan dan orang-orang yang mukmin berperang, maka damaikankanlah antara keduanya jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang telah berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada perintah Allah dan jika mereka telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”

  Kemudian dalam Surat An Nissa ayat 35, dan ayat 114 disebutkan : “… Jika kamu lihat ada persengketaan antara keduanya maka utus seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan (untuk mendamaikan) Jika kedua hakam tersebut sungguh-sungguh memperbaiki niscaya Allah memberi taufik kepada mereka (QS. An Nisa’: 35) “… tiada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian antara manusia.dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala yang besar” (An Nissa ayat 114)

  Dalam sejarah Hukum Islam nama Abu Sjureich yang populer juga dengan sebutan Abul Hakam, adalah karena kepiawaiannya dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dilingkungan kaumnya (atas permintaan para pihak) dengan prinsip islah dan putusannya diterima dengan baik oleh para pihak. Perbuatan yang demikian tadi kemudian ditaqrirkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan penegasan bahwa perbuatan Abu Sjureich tersebut merupakan perbuatan yang sangat baik (An Nasa’i).

  Ketika Umar Ibn Khottob membeli seekor kuda dan ketika kuda tersebut dicoba oleh Umar kemudian kakinya patah dan mereka kemudian ribut. Umar akhirnya mempersilahkan penjual kuda untuk menunjuk seseorang yang bisa menyelesaikan perselisihan mereka dan ditunjuklah seseorang Abu Sjureich. Umar sepakat yang akhirnya diputuskan oleh Abu Sjureich bahwa Umar harus membayar harga kuda yang telah disepakati. Umar pun dengan rela hati

  Pada era pemerintahan Khulalaur Al-Rasyidin, terutama ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah. Tradisi perwasitan dalam penyelesaian sengketa ini semakin dibudayakan dalam praktek kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak hanya diterapkan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum keluarga dan perniagaan saja, tetapi juga sudah merambah dalam pertikaian dibidang sosial dan politik. Berdasarkan hal tersebut dapat disebutkan bahwa landasan filosofis dari system penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah adalah untuk menegakkan syariat dan hukum Islam, mewujudkan keadilan dan memelihara silaturrahmi.

C. Landasan Yuridis Arbitrase Syariah

  Secara konstitusional UUD 1945 mengakui dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Islam sebagai sebuah system peradaban terkandung di dalamnya seperangkan system hukum yang mengikat bagi pemeluknya. Hukum Islam adalah salah satu sub sistem dalam system hukum nasional di Indonesia yang bersifat plural. Selanjutnya, keberadaan Basyarnas secara yuridis formal mempunyai legitimasi yang kuat di Indonesia. Terdapat dasar hukum yang memungkinkan lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan pada badan peradilan yang (saat itu) berpedoman pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman. Meskipun dalam Pasal 3 ayat (2) UU tersebut dinyatakan bahwa hanya badan peradilan negara yang menetapkan dan menegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal itu membolehkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada kalimat berikutnya, penjelasan Pasal 3 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Hanyasaja, putusan arbitrase akan mempunyai kekuatan eksekutorial (executoir) setelah didaftarkan di lembaga

   peradilan.

  Ketentuan Arbitrase sebagaimana dalam pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatblaad 1847: 52), Pasal 377 Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941: 44), dan Reglement Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement Buitengsewesten, staatsblad 1927: 227), dinyatakan sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

  Prinsip penyelesaian model arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 inilah yang kemudian secara mutatis mutandis diadopsir dengan spesifikasi khusus dalam penyelesaian sengketa secara syariah oleh Basyarnas.

D. UU No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase Syariah Nasional

  Dengan diubahnya UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, Pengadilan Agama yang sebelumnya hanya mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa/ mengadili perkara-perkara perkawinan, waris, wakaf, wasiat, hibah dan shodaqoh, maka kini ditambah satu lagi masalah sengketa ekonomi syari’ah (pasal 49). Sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, berarti Pengadilan Agama telah mendapatkan kepercayaan / amanah dari rakyat (melalui DPR) untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang cukup kompleks.

  Dengan mencermati pertumbuhan sistem ekonomi syari’ah yang demikian pesat, maka dengan penambahan kewenangan (absolutnya) Pengadilan Agama diharapkan dapat mengayomi masyarakat pencari keadilan guna memberikan keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah dibidang perekonomian.

  Dengan demikian berarti pula beban dan tugas nasional BASYARNAS menjadi lebih ringan karena dapat berbagi tugas dengan Pengadilan Agama dan sekaligus sebagai ajang untuk

  berfastabiqul khoirot menegakkan syari’at Allah (khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah).

  Bagi pelaku bisnis – tentunya akan selalu berpegang teguh pada prinsip ekonomis yakni dengan memperhitungkan-faktor efisiensi baik dari segi waktu berperkara, tenaga dan biaya. Oleh karenanya mereka dapat leluasa menentukan cara - melalui sistem (penyelesaian sengketa) yang mana yang akan dipilihnya.

  Penggunaan/pemberlakuan/eksistensi ”sistem arbitrase” - baik secara ad hoc/ permanen (seperti BASYARNAS, BANI,BAPMI, dll) – ditentukan oleh adanya perjanjian/klausula arbitrase secara tertulis yang dibuat oleh para pihak. Dengan kata lain – tanpa adanya perjanjian/klausula arbitrase secara tertulis berarti tidak ada arbitrase. Hal ini berbeda dengan berperkara melalui Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama (sebagai pengadilan yang disediakan oleh negara) yang tidak memerlukan adanya kesepakatan/perjanjian para pihak.

  Adanya Badan-Badan Peradilan resmi milik negara (PN-PA-PTUN-PM,dll) dengan kompetensi absolutnya masing-masing dan peradilan swasta/partikulir ”ARBITRASE” yang dijamin eksistensinya oleh UU.No.30/1999 dan putusannya mempunyai kekuatan eksekutorial – adalah – merupakan suatu keharusan / konsekuensi logis bagi suatu negara-hukum. Sedangkan bagi para pencari keadilan (masyarakat) hal yang demikian sangat menguntungkan karena diberikan kebebasan/kemerdekaan menentukan pilihannya sendiri dengan sistem peradilan yang mana mereka akan menyelesaikan persengketaannya. Kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ternyata tidak mudah direalisasikan. UU No. 30 Tahun 1999 membatasi kompetensi pengadilan agama. Terdapat pendapat yang merespon kehadiran UU nomor 3 tahun 2006 tersebut, bahwa pengadilan agama (PA) tidak berwenang sebagai lembaga eksekutorial terhadap putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal ini sesuai dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa, yang

  

  berwenang menjadi lembaga eksekutorial adalah Pengadilan Negeri. Selanjutnya dalam Pasal

  61 UU No. 30/1999 dinyatakan, “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Ketentuan ini berlaku bagi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Basyarnas dan lembaga arbitrase lainnya. Baik yang

   kelembagaan maupun arbiter individual.

  Selain langsung memanfaatkan PA, masyarakat memang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui jalur non-litigasi melalui Basyarnas. Praktiknya, putusan Basyarnas itu selanjutnya harus mendapat penetapan dan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri, bukan Ketua PA.

E. Keutamaan dan Kelemahan Sistem Arbitrase

  Sistem arbitrase (termasuk arbitrase syariah) merupakan suatu bentuk alternatif bagi penyelesaian sengketa keperdataan. Arbitrase sebagai suatu sistem sudah barang tentu tidak lepas dari berbagai kendala atau kelemahan-kelemahan. Diantara kelemahan tersebut adalah :

  a) apabila pihak yang kalah tidak secara sukarela (legowo) melaksanakan isi putusan. Hal ini berarti harus diajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Negeri setempat .

  b) apabila isi putusan arbitrase kurang sempurna maka putusan akan sulit dilaksanakan. Hal ini sangat terkait dengan sempurna-tidaknya isi permohonan (gugatan) beserta dukungan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon ;

  c) kemungkinan diajukannya permohonan pembatalan putusan arbitrase (sebagaimana diatur dl. Pasal 70 UU. 30/1999) :

  6 UU No.30 Tahun 1999, Bab VI tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Pasal 59ayat (1) “ Dalam

  waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera i. jika ternyata dokumen yang diajukannya, dikemudian hari diketahui palsu/dinyatakan palsu ; ii. setelah perkara diputus–ternyata diketemukan dokumen yang bersifat menentukan disembunyikan oleh lawan ; iii. ternyata putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perkara ;

  Adapun keutamaan sistem arbitrase , adalah :

  a. semua proses persidangan dilaksanakan secara tertutup untuk umum. Dengan demikian kelemahan dan aib-aib para pihak tidak diketahui umum / tidak terpublikasikan. Hal ini sangat sesuai dengan tuntunan Islam agar tidak membuka (saling membuka) aib dimuka umum bahkan sangat dianjurkan untuk menutupinya. Prinsip ini berbeda dengan di PN/PA. yang justru prinsip persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum.

  b. proses persidangan dilaksanakan secara sederhana, tidak terlalu formalistis dan penuh dengan rasa kekeluargaan untuk memotifasi adanya perdamaian. Hal ini berbeda dengan di PN/PA yang harus mengutamakan pendekatan formal-prosedural.

  c. putusan arbitrase harus sudah selesai paling lama 180 hari sejak penunjukkan arbiter/arbiter majelis, sehingga akan lebih ekonomis; d. dalam sistem arbitrase pemeriksaan/penyelesaian perkaranya sangat dimungkinkan ditangani oleh/ditunjuk para arbiter yang memang ahli dalam bidang yang disengketakan

  (baik arbiter tetap muapun mungkin dengan arbiter tidak tetap). Sedangkan dalam persidangan di PN/PA. hakim majelis nya hanya ahli hukum/syari’ah, meskipun para pihak dimungkinkan untuk mengajukan saksi ahli. Tentunya kedudukan hakim ahli dengan saksi ahli akan sangat berbeda dampaknya dalam kesempurnaan memberikan putusan selain faktor penambahan biaya;

  e. Putusan arbitrase (Putusan Basyarnas) bersifat final (putusan-akhir) dan mengikat. Hal ini berbeda dengan putusan PN/PA yang masih terbuka adanya upaya-upaya hukum f. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan-eksekutorial, sehingga apabila pihak yang kalah tidak legowo melaksanakan isi putusan, maka pihak yang menang hanya tinggal mohon eksekusi saja ke Pengadilan Negeri. Sedangkan terhadap putusan PN/PA untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap agar dapat dieksekusi masih harus berproses melalui beberapa langkah-langkah upaya hukum.

F. Proses Penyelesaian Sengketa di BASYARNAS

  Mengenai prosedur berperkara di BASYARNAS telah diatur dengan sistematis sejak masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi setelah hanya bersifat tehnis untuk menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berikut ini akan diuraikan garis besar proses penyelesaian sengketa di Basyarnas 1.

   Yurisdiksi BASYARNAS Sebagai lembaga arbitrase, yurisdiksi BASYARNAS terbatas pada yurissdiksi arbitrase.

  Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sengketa yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya olehpihak yang bersengketa.

  Dengan demkian yurisdiksi BASYARNAS meliputi : 1. menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa mu’amalah / perdata dalam bidang : perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lainyang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh phak yang bersengketa ;

  3. BASYARNAS dapat juga memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak mengenai persoalan dalam suatu perjanjian.

  Sengketa mu’amalah yang dapat diselesaikan BASYARNAS tidak saja meliputi sengketa dalam bidang perbankan seperti yang banyak dipahami oleh masyarakat luas, tetapi juga meliputi sengketa ekonomi syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, pembiayaan syariah, pembiayaan mikro berdasarkan syariah, dll.

2. Adanya Klausula Arbitrase atau Perjanjian Arbitrase

  Penyelesaian sengketa dengan sistem arbitrase/melalui Badan Arbitrase harus atas dasar kesepakatan para pihak yang dibuatnya secara tertulis (vide Pasal 1 ayat 1. UU.No. 30/1999). Dengan perjanjian tertulis tersebut berarti pula para pihak secara sadar sepakat meniadakan haknya untuk tidak menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan resmi milik negara (baik PN maupun PA). Selanjutnya dipertegas oleh Pasal 3 UU No. 30/1999, bahwa Pengadilan

  Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase .

  Dengan demikian apabila para pihak telah sepakat (baik sejak awal perjanjian yakni sebelum terjadi sengketa maupun setelah terjadinya sengketa) mereka akan menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase - maka secara absolut dan otomatis Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang memeriksa/mengadili perkara tersebut. Tentunya setelah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan memeriksa /mengadili sengketa keperdataan (ekonomi syari’ah) – jika ternyata dalam perkara tersebut telah ada klausula arbitrase – maka PA. secara absolut dan otomatis juga menjadi tidak berwenang memeriksa/mengadili perkara tersebut.

  Bentuk klausula arbitrase :

  Dalam praktek penggunaan sistem arbitrase, selama ini dikenal dengan dua cara penunjukan arbitrase/pembuatan klausula arbitrase :

  1. Pactum de Compromittendo : yakni kesepakatan penunjukkan arbitrase secara tertulis oleh arbitrase secara tertulis ini dapat disatukan dengan naskah pokok perjanjian dan dapat pula dipisahkan namun tetap menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pokok.

  2. Acta compromis : kesepakatan penunjukkan arbitrase secara tertulis oleh kedua belah pihak – setelah mereka bersengketa. Jadi kedua belah pihak dalam keadaan sedang sengketa – kemudian sepakat menyelesaikan sengketanya melalui arbitrse.

  3. Pendaftaran Perkara

  Posedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan para pihak yang bersengketa oleh sekretaris BASYARNAS. Berkas permohonan tersebut mesti mencantumkan alamat kantor atau tempat tinggal terakhir atau kantor dagang yang dinyatakan dengan tegas dalam klausula arbitrase.

  Berkas permohonan itu sedikit-dikitnya berisikan :

  a. identitas lengkap para pihak yang bersengketa b. tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.

  c. uraian singkat tentang adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase

  d. uraian singkat tentang duduknya sengketa

  e. apa yang dituntut dan dituntut dan dasar tuntutan Permohonan harus melampirkan copy perjanjian yang memuat klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.

  Surat permohonan akan didaftar oleh Sekretariat BASYARNAS apabila Pemohon telah membayar : (a). biaya pendaftaran (b). biaya pemeriksaan perkara (c). honorarium arbiter

  4. Penetapan Arbiter/Arbiter Majelis

  Setelah berkas pendaftaran lengkap, selanjut Ketua BASYARNAS menetapkan arbiter/ Majelis Arbiter yang akan memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan. Arbiter atau Majelis arbiter ahli dari luar arbiter tetap BASYARNAS. Arbiter yang telah ditunjuk pada dasarnya tidak dapat mengundurkan diri, kecuali terdapat alas an yang kuat.

  Para pihak boleh mengajukan tuntutan ingkar jika terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter yang ditunjuk akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan. Keberatan terhadap penunjukan arbiter diajukan secara tertulis paling lambat pada siding pertama. Ketua Majelis Arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak menerima keberatan, harus mengajukan keberatan tersebut kepada Ketua BASYARNAS dan dalam waktu selambat- lambatnya 7 hari sejak menerima surat tersebut, Ketua BASYARNAS harus sudah memutuskan menolak atau menerima keberatan dan menunjuk penggantinya.

  Dalam hal keberatan diajukan terhadap diri arbiter, maka arbiter yang bersangkutan dapat mengundurkan diri. Ketua BASYARNAS harus sudah menunjuk pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak terjadinya penguduran diri. Apabla anggota arbiter majelis ada yang berhalangan tetap atau meninggal dunia, maka Ketua BASYARNAS menetapkan penggantinya. Jika Ketua Majelis yang berhalangan tetap, maka salah seorang anggota Majelis diangkat sebagai Ketua Majelis. Dalam hal arbiter tunggal diganti atau semua anggota Majelis Abiter diganti, maka pemeriksaan harus diulang kembali.

5. Acara Pemeriksaan

  Pemeriksaan sengketa di BASYARNAS dilakukan secara tertutup untuk umum. Berbeda dengan pengadilan yang bersifat terbuka sehingga kurang cocok bagi menjaga reputasi para pihak yang bersengketa. Pemeriksaan dilakukan dalam bahasa Indonesia baik secara tertulis maupun lisan. Dan dalam pemeriksaan para pihak diperlakukan secara adil dan diberikan kesempatan yang sama.

  Dalam proses pemeriksaan sengketa, arbiter/majelis arbiter harus berusaha secara maksimal mengishlahkan/ mendamaikan para pihak. Apabila perdamaian berhasil, maka hasil perdamaian tersebut dijadikan sebagai putusan arbitrase. Putusan damai tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak dan diperintahkan kepada para pihak untuk mentaati isi perdamaian. Putusan ini didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat. Apabila perdamaian/ishlah tidak berhasil, maka proses dilanjutkan pada acara pemeriksaan. Paling lambat 8 hari setelah arbiter/ majelis arbiter dibentuk, sekretariat sudah mengirimkan salinan/copy permohonan kepada Termohon dengan disertai perintah untuk memberikan tanggapan/jawaban paling lama 21 hari dari tanggal pengiriman tersebut. Segera setelah jawaban diterima,atas perintah arbiter/Ketua Majelis, maka salinan jawaban dariTermohon diserahkan kepada Pemohon. Bersamaan dengan itu arbiter/Ketua Majelis memanggil para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan dan tidak lebih dari 14 hari dari surat Panggilan. Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan, termohon tidak hadir padahal telah dipanggil secara patut, maka pemeriksaan akan diteruskan dan tuntutan pemohon akan dikabulkan, kecuali jika Permohonan sama sekali tidak memiliki dasar hukum. Putusan tanpa hadirnya Termohon diberitahukan kepada Termohon dan Termohon dapat memberikan perlawanan secara tertulis paling lambat 10 hari sejak tanggal pemberitahuan putusan. Paling lambat 10 hari salinan perlawanan tersebut akan disampaikan kepada Pemohon. Pemeriksaan pelawan akan ditetapkan Ketua BASYARNASdengan memanggil para pihak. Apabila pelawan tidak hadir, maka arbiter /majelis arbiter akan menguatkan putusan. Apabila kedua belah pihak hadir, maka pemeriksaan dilakukan dari awal sesuai dengan prosedur.

6. Pembuktian

  Para pihak diberikan hak yang sama dalam membuktikan dalil-dalil yang dikemukakannya. Apabila dalam membuktikan dalil-dalil tersebut para pihak menghadirkan saksi atau saksi ahli, maka pihak yang menghadirkan saksi/saksi ahli tersebut bertanggungjawab atas pembiayaan kehadiran saksi/saksi ahli dan dibayarkan melalui Sekretariat Basyarnas. Apabila kehadiran saksi atas prakarsa arbiter/majelis arbiter, maka biaya pemanggilan saksi dipikul oleh kedua belah pihak.

  Arbiter/Majelis Arbiter dapat meminta bantuan saksi /saksi-ahli utk memberikan keterangan secara tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok perkara. Keterangan tertulis dari saksi /saksi-ahli tersebut salinannya diteruskan kepada para pihak untuk dapat ditanggapi. Apabila dipandang perlu, saksi/ saksi-ahli dapat didengar kete rangannya didepan siding. Sebelum memberikan keterangannya saksi /saksi-ahli disumpah terlebih dahulu.

7. Pencabutan Permohonan Pemohon dapat sewaktu-waktu mencabut permohonannya sebelum Putusan dijatuhkan.

  Apabila Termohon sudah memberikan jawabannya, maka pencabutan permohonan harus disetujui oleh Termohon.

  Apabila pencabutan permohonan diajukan sebelum penunjukan arbiter, maka biaya pemeriksaan dikembalikan seluruhnya. Namun apabila pencabutan permohonan diajukan setelah pemeriksaan dimulai, maka seluruh biaya tidak dikembalikan.

8. Berakhirnya Pemeriksaan

  Apabila pemeriksaan dianggap telah cukup, maka pemeriksaan ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk membacakan putusan. Sebelum putusan dibacakan, sidang pemeriksaan dapat dibuka kembali apabila dipandang perlu oleh arbiter/Majelis Arbiter atau atas permintaan salah satu pihak.

  Putusan dibacakan dalam sidang yang dihadiri oleh para pihak. Jika ada pihak yang tidak hadir, maka putusan akan tetap dibacakan sepanjang para pihak telah dipanggil secara patut.

  Putusan diambil dengan musyawarah/ mufakat. jika mufakat tidak tercapai, maka putusan diambil atas dasar suara terbanyak. Apabila suara terbanyak tidak dapat diacapai, maka putusan diambil oleh ketua majelis dan dianggap sebagai putusan majelis. Putusan arbitrase yang telah ditanda tangani oleh para anggota majelis bersifat final dan mengikat serta wajib ditaati. Putusan tersebut tidak boleh diumumkan, kecuali atas persetujuan Para Pihak. Salinan putusan yang telah dtandatangani oleh Majelis arbiter, disampaikan kepada Para pihak dan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal putusan, asli/salinan putusan resmi didaftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat oleh arbiter atau kuasanya.

10. Perbaikan Putusan

  Dalam waktu paling lambat 14 hari sejak putusan disampaikan, dapat diajukan secara tertulis perbaikan putusan ke Sekretariat BASYARNAS yang berkaitan dengan : (a). adanya kesalahan jumlah/perhitungan, (b). karena adanya salah ketik/cetak. Surat permohonan perbaikan putusan, salinannya disampaikan kepada pihak lawan.

  Perbaikan tersebut harus sudah selesai dilakukan oleh arbiter / majelis arbiter dalam waktu 14 hari sejak surat permohonan perbaikan putusan disampaikan oleh Sekretariat BASYARNAS kepada arbiter / majelis arbiter.

  11. Putusan arbitrase dapat dibatalkan, jika dipenuhi syarat-syarat batal sebagaimana diatur dalam UU No.30 Tahun 1999. Terkait hal ini Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1990 menyebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur :

  a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu.

  b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

  Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri. Apabila permohonan pembatalan dikabulkan, maka ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan pembatalan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diterima. Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tersebut dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

12. Pelaksanaan Putusan

  Pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilakukan dengan cara sukarela. Apabila pihak yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka putusan harus dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas dasar permohonan eksekusi oleh salah satu

  Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah eksekusi terlebih dahulu akan memeriksa secara administrative sesuai ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU.No.30 Tahun 1999. Pemeriksaan ini berkaitan dengan kompetensi atau yurisdiksi arbitrase dan tentang adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Apabila putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 dan 5 UU No.30 Tahun 1999, permohonan eksekusi akan ditolak dan terhadap penolakan tersebut tidak terbuka adanya upaya hukum apapun.

G. Biaya Berperkara di BASYARNAS

  A. Biaya Pendaftaran Konpensi/Rekonpensi

  1. Tuntutan sampai dengan Rp 100.000.000,- Rp 100.000,-

  2. Rp 100.000.001,- s/d Rp 300.000.000,- Rp 200.000,-

  3. Rp 300.000.001,- s/d Rp 500.000.000,- Rp 300.000,-

  4. Rp 500.000.001,- s/d Rp 1.000.000.000,- Rp 400.000,-

  5. Lebih dari Rp 1.000.000.000,- Rp 500.000,-

  Biaya arbitrase yang diberlakuan BASYARNAS Perwakilan Propinsi Sumatera Utara adalah berdasarkan Penetpan BASYARNAS No. 01/BASYARNAS/9/4/2005 tentang Biaya Arbitrase, sebagai berikut :

  1. Tuntutan sampai dengan Rp 100.000.000,- Rp 500.000,-

  2. Rp 100.000.001,- s/d Rp 500.000.001,- Rp 1.000.000,-

  3. Rp 500.000.001,0 s/d Rp 1.000.000.000,- Rp 1.500.000,-

  4. Lebih dari Rp 1.000.000.000,- Rp 2.000.000,-

  C. Biaya Arbiter

  1. Tuntutan Rp 100.000.000,- s/d Rp 500.000.000,- 7 %

  2. Rp 500.000.001,- s/d Rp 2.000.000.000,- 6 %

  B. Biaya Administrasi/Pemeriksaan Konpensi/Rekonpensi

  5. Rp 7.000.000.001,- s/d Rp 9.000.000.000,- 3 %

  6. Rp 9.000.000.001,- s/d Rp 10.000.000.000,- 2 %

  7. Rp 10.000.000.001,- s/d Rp 20.000.000.000,- 1 %

  8. Rp 20.000.000.001,- s/d Rp 30.000.000.000,- 0.90 %

9. Rp 30.000.000.001,- s/d Rp 40.000.000.000,- 0.80 % 10. Rp 40.000.000.001,- s/d Rp 50.000.000.000,- 0.70 % 11. Rp 50.000.000.001,- s/d Rp 60.000.000.000,- 0.65 % 12. Rp 60.000.000.001,- s/d Rp 70.000.000.000,- 0.60 % 13. Rp 70.000.000.001,- s/d Rp 80.000.000.000,- 0.50 % 14. Rp 80.000.000.001,- s/d Rp 90.000.000.000,- 0.40 % 15. Tuntutan lebih besar dari Rp 90.000.000.000,- 0.30 % H.

   Penutup

BASYARNAS hadir sebagai wujud perhatian para ulama terhadap kebutuhan

penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang cepat, adil, dengan tetap mengupayakan

keutuhan silaturrahmi para pihak serta disandarkan pada hukum Islam. Kehadiran

BASYARNAS dengan demikian merupakan implementasi Islam secara kaffah.

  

Prinsip utama penyelesaian sengketa pada BASYARNAS adalah dengan cara ishlah atau

mengupayakan perdamaian. Apabila ishlah tidak tercapai, maka pemeriksaan sengketa

didasarkan pada sistim arbitrase yang lebih fleksibel, sehingga proses penyelesaian

sengketa diharapkan berlangsung secara cepat, adil, dilakukan oleh hakam yang

kompeten secara keilmuan dan keahlian dengan tetap menjaga hubungan baik dan

reputasi para pihak.

  

Dengan diserahkannya kompetensi sengketa ekonomi syariah kepada Pengadilan

  

ini menambah ringan tugas BASYARNAS yang juga bertujuan menyelesaikan sengketa

ekonomi syariah berdasarkan hukum Islam. BASYARNAS dan Pengadilan Agama

dengan kompetensi dan yurisdiksi masing-masing akan bersinergi dalam implementasi

hukum Islam pada sengketa ekonomi ummat yang didasarkan pada system syariah.

  

Namun demikian, dalam pelaksanaannya BASYARNAS baik secara nasional maupun

di Sumatera Utara, saat ini belum menjadi pilihan utama bagi para pihak dalam

menyelesaikan sengketa. Keberadaan badan peradilan formal bentukan Negara

merupakan pilihan utama yang dipercayai para pelaku ekonomi syariah. Hal ini dapat

dlihat dari sangat minimnya sengketa ekonomi syariah yang dibawa ke BASYARNAS

dibandingkan Pengadilan. Di samping itu, secara internal BASYARNAS juga masih

memiliki sejumlah kendala internal, khususnya terkait sarana dan prasarana dan

sumber daya financial sehingga upaya sosialisasi belum optimal. Namun demikian,

BASYARNAS memiliki potensi dan peran yang cukup strategis dalam penegakan

hukum ekonomi Islam di Indonesia untuk masa yang akan datang. Amin.

  

REFERENSI

  Achmad Djauhari, “Proses Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui BASYARNAS”, Bahan Pembekalan Pengurus dan Arbiter pada Kantor Perwakilan BASYARNAS Provinsi Sumatera Utara”, Medan 15 November 2009.

  Badan Arbitrase Syariah Nasional, “Bahan-Bahan Pembekalan Pengurus dan Arbiter pada Kantor Perwakilan BASYARNAS Provinsi Sumatera Utara”, Medan 15 dan 16 November 2009.

  Heri Sunandar, “Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional)”, Jurnal Hukum Islam, Vol.VIII : 27 Desember 2007. M.Tabroni.AZ. “Mediasi Dan Arbitrase”, makalah disampaikan pada Pelatihan Kontrak Bisnis Syari’ah oleh Magister Studi Islam UII Yogyakarta, 2007. Riawan Amin, “Current Status of Indonesian Islamic Financial Institution in the Light of Global

  Financial Crisis, Rapat Kerja Nasional BASYARNAS I, Jakarta : 27 Juni 2009 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998 Sufriadi, ‘Memberdayakan Peran BASYARNAS dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Luar Pengadilan, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. I No. 2, Desember 2007 Suyud Margono, Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase, Bogor: Ghalia Indonesia,2004.

  Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama

  Lampiran

PROFILE

BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL

PERWAKILAN SUMATERA UTARA

SEJARAH

  adan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah

  

BADAN ARBITRASE perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

(BAMUI). SYARIAH Badan ini berdiri atas prakarsa Majelis Ulama

  B Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan NASIONAL

  dengan tanggal 21 Oktober 1993 M dan merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Berdasarkan keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep- 09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semakin berkembangnya sistem ekonomi syari’ah/lembaga-lembaga keuangan syari’ah/perbankan syari’ah di seluruh wilayah Indonesia memungkinkan terjadinya persengketaan yang harus diselesaikan secara syari’ah menjadi semakin besar. Keadaan ini mendorong pengurus BASYARNAS untuk mendirikan perwakilan BASYARNAS di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Propinsi Sumatera Utara. Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara didirikan pada tanggal 24 Sya’ban 1429 H bertepatan dengan 26 Agustus 2008 M berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional Nomor : SKep 14 Tahun 2008 tentang Pengesahan Susunan Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara. erdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi

LATAR BELAKANG

  umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya

  PENDIRIAN

  Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat

  B

  berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada masa itu belum mengatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta system keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi :

  ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional.

  (1). UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

  DASAR (2). Al Qur’an : Surat Al Hujurat : 9 HUKUM (3). As Sunnah/ Al Hadist (4). Ijtihad adan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera

  Utara didirikan pada tanggal 24 Sya’ban 1429 H bertepatan

  BERDIRINYA

  dengan 26 Agustus 2008 M berdasarkan Surat Keputusan

  BASYARANAS

  Pengurus Badan Arbitrase Syariah Nasional Nomor : SKep 14

  PERWAKILAN B

  Tahun 2008 tentang Pengesahan Susunan Pengurus Badan Arbitrase

  SUMATERA UTARA Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara.

  BASYARNAS Perwakilan Propinsi Sumatera Utara didirikan berdasarkan perimbangan semakin berkembangnya sistem ekonomi syari’ah/lembaga-lembaga keuangan syari’ah/perbankan syari’ah di seluruh wilayah Indonesia yang memungkinkan terjadinya persengketaan yang harus diselesaikan secara syari’ah menjadi semakin besar, khususnya di Propinsi Sumatera Utara. adan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara bertempat kedudukan di Medan, Propinsi Sumatera Utara,

TEMPAT DAN

  Jln. Majelis Ulama Indonesia No. 3/Sutomo Ujung, Telp. (061)

  KEDUDUKAN 4521536, Fax. (061) 4521508.

  B

  Kedudukan BASYARNAS Perwakilan Propinsi Sumatera Utara adalah sebagai Perwakilan dari BASYARNAS dan bertanggungjawab kepada BASYARNAS Perwakilan Propinsi Sumatera Utara bersifat otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya di wilayah Propinsi Sumatera Utara. truktur organisasi Badan Arbitrase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Sumatera Utara, terdiri dari 10 (sepuluh) orang Penasehat dan 15 (lima belas) orang Pengurus dilengkapi dengan 20 (duapuluh) orang Arbiter.

STRUKTUR ORGANISASI

  24. Akmaluddin Syahputra S.Ag.,M.Hum Anggota

  19. Syafruddin S.Hasibuan, SH.,M.Hum Anggota

  20. Syahril Sofyan, SH.,M.Kn

  Anggota

  21. Dr. Mhd. Sahnan Nasution, MA Anggota

  22. Dr. Sahmiar Pulungan, MA

  Anggota 23. Dra. Hj. Salmi Abas, MH

  Anggota

  25. Bisdan Sigalinging, SH

  Bendahara

  Panitera

  

ARBITER

  26. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH.,MH Arbiter

  27. Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH.,MS.,CN

  Arbiter

  28. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

  Arbiter

  S

  18. Dra. Hj. Tjek Tanti, Lc.,MA Wakil Bendahara

  No. Nama Jabatan

PENASEHAT

  01. Prof. Dr. H. Abdullah Syah, M.A Penasehat 02.

  08. Dr. H. Maslin Batubara

  H. Mahmud Aziz Siregar, MA Penasehat 03.

  Prof.Dr.H.M. Yasir Nasution Penasehat

  04. Prof. Dr. Runtung, SH.,M.Hum

  Penasehat 05. Prof. Dr. H. Asmuni, MA

  Penasehat

  06. Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA

  Penasehat 07. Prof. Dr. H. Hasan Bakti Nasution, MA Penasehat

  Penasehat

  Wakil Sekretaris 16. Drs. H. Ahmad Sanusi Lukman, Lc. MA Wakil Sekretaris

  09. Dr. H. Maratua Simanjuntak

  Penasehat 10. Drs.H.A. Muin Isma Nasution, MA Penasehat

  

PENGURUS

  11. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH.,MH Ketua

  12. Dr. H. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA Wakil Ketua

  13. Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Wakil Ketua

  14. Dr. Utary Maharani Barus, SH.M.Hum Sekretaris

  15. Facruddin, SH.,M.Hum

  17. Dr. Sunarmi, SH.,M.Hum

  Syafruddin S.Hasibuan, SH.,M.Hum Arbiter

  42. Dr. Idha Aprilyana, S. SH.,M.Hum Arbiter

  Prof. Dr. M. Yamin Lubis, SH.MS, CN

  B Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH.

  Meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada tahun 2003 dari Program Pascasarjana Universitas Sumatera

  Guru Besar (Profesor) Ilmu Hukum Bidang Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.