Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, disfungsi insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM
berhubungan

dengan

kerusakan

jangka

panjang,

disfungsi

atau


kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah (WHO, 1999; Purnamasari, 2009; Amod et al., 2012;
ADA, 2014).
2.1.2 Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori klinis, yaitu
(PERKENI, 2011; ADA, 2014);
1. Diabetes melitus tipe 1, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel

pankreas yang dapat disebabkan oleh

autoimun maupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
relatif atau resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain.
4. Diabetes melitus pada kehamilan (gestasional).
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis DM
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
(Tabel 2.1) berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM

terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
dan pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan

1
Universitas Sumatera Utara

2

diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes Melitus
No

Kriteria Diagnosis

1


Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ β00 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau, Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dl (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
Glukosa plasma 2 jam pada TIGO (Test Toleransi Glukosa Oral)
≥ β00 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air

2

3

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah pembebanan dibagi
menjadi 3 yaitu (Purnamasari, 2009) :

1. < 140 mg/dl  Normal
2. 140 - 90%) berdegradasi dalam waktu 30
menit dari penempatan (Araujo & Leon, 2001; Joe, Vijaykumar & Lokesh,
2004; Chattopadhyay, et al., 2004; Sharma, Gescher & Steward, 2005;
Aggarwal & Shishodia, 2006; Trujillo, et al., 2013; Yadav, et al., 2013;
Prasad, et al., 2014).
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa curcumin aman dan tidak
toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah curcumin yang aman
dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5
g/hari (Commandeur & Vermeulen, 1996).
Model struktur curcuminoid dari kunyit dapat dilihat pada Gambar 2.8 di
bawah ini:

Universitas Sumatera Utara

27

Gambar 2.12. Struktur Molekul Komponen Curcuminoid

2.7.2 Target molekuler curcuminoid

Berbagai studi telah berhasil memperlihatkan peranan curcumin dalam
memodulasi sejumlah target molekuler, meliputi faktor pertumbuhan,
reseptor faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, sitokin, enzim, dan gen
pengatur apoptosis (Gambar 2.22). Meskipun belum diketahui reseptor
asli untuk curcumin, sejumlah molekul tempat melekatnya curcumin telah
teridentifikasi, diantaranya serum albumin, 5-LOX, xanthine oxidase,
thioredoxin reductase, zat besi, COX-2, IKK, p-glycoprotein, GST, PKA,
PKC, cPK, PhK, autophosphorylation-activated protein kinase, pp60c-src
tyrosine kinase, Ca2+-dependent protein kinase (CDPK), Ca2+-ATPase
retikulum sarkoplasma, reseptor aryl hydrocarbon, sitokrom p450 rat river,
Topo II isomerase, reseptor inositol 1,4,5-triphosphate, dan glutathione
(Aggarwal & Shishodia, 2006; Karunagaran, Joseph & Kumar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

28

Gambar 2.13. Target Molekuler Curcumin
2.7.3 Target penyakit curcumin
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada

fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 g curcumin perhari
selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum
curcumin

untuk

pengobatan

suatu

penyakit

belum

jelas.

Data

menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavailabilitas yang rendah
(Aggarwal, et al., 2006).

Pada sebuah penelitian preklinis menunjukkan curcumin dosis tunggal
1.380-3.500 mg/kgBB (3.7-9.5 mmol/kgBB) tidak menimbulkan efek
samping pada tikus kecuali feses yang berwarna. Dalam sebuah
penelitian yang dipublikasi, dinyatakan bahwa dosis tunggal curcumin di
atas 5.000 mg/kgBB (13.6 mmol/kgBB) tidak mempunyai efek secara klinis
ataupun efek terhadap berat relatif organ pada tikus jantan maupun betina
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Penelitian pada tikus selama 90 hari, dimana tikus diberikan curcumin
dengan dosis 1.140, 1.515, 1.995, 2.630 dan 3.500 mg/kgBB/hari (3.1-9.5
mmol/kgBB/hari) memiliki efek klinis feses berwarna dan bulu kekuningan.
Pada tikus jantan, dijumpai penurunan jumlah retikulosit pada semua grup
kecuali pada grup 1.515 mg/kgBB/hari dan dijumpai peningkatan Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada 2 grup (grup dosis 1.995 dan 2.630

Universitas Sumatera Utara

29

mg/kgBB/hari) tidak signifikan secara biologis (Chemoprevention Branch
and Agent Development Committee, 1996).

Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin
tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya
dengan dosis 0.1-2.0% (0.1-2.7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak
ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia
serum, atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan
ginjal yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin
hingga 1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek
samping

pada

histopatologi

pertumbuhan,

(Chemoprevention

perilaku,
Branch


parameter
and

biokimia

Agent

dan

Development

Committee, 1996).
Laporan ulkus lambung pada tikus yang diberi curcumin sebagai anti
inflamasi (ED50 / Effective Dose = 50 mg/kgBB/hari selama 6 hari),
curcumin food grade mampu melindungi lambung dari ulkus melalui
penurunan

asam

lambung


atau

peningkatan

sekresi

musin

(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Penelitian pada tikus yang diberi curcumin 600 dan 1.600 mg/kgBB
pada usia kehamilan 6-15 hari tidak menimbulkan efek terhadap
implantasi, resorpsi dan tidak menimbulkan kematian pada embrio, tidak
menimbulkan abnormalitas tulang dan organ dalam. Penelitian jangka
panjang pada lebih dari tiga generasi tikus, tidak ada menunjukkan efek
teratogenik atau gangguan pada reproduksi (Chemoprevention Branch
and Agent Development Committee, 1996).
Berbagai

penelitian


yang

memeriksa

efek

curcumin

sebagai

antioksidan menggunakan dosis curcumin yang beragam. Khan &
Mahboob (2014) yang meneliti peranan antioksidan curcumin pada tikus
yang diinduksi dislipidemia menggunakan curcumin 200 mg/kgbb tikus
dan mendapatkan hasil yang signifikan. Pada tikus yang diberikan
curcumin menunjukkan adanya peningkatan kadar dan aktivitas CAT,
SOD dan GSH, serta penurunan kadar MDA pada berbagai jaringan yang
diambil dari hepar, jantung dan aorta. Wongeakin et al (2014) yang

Universitas Sumatera Utara

30

meneliti peranan curcumin terhadap disfungsi endotelial akibat ROS pada
tikus yang diinduksi DM menggunakan dosis curcumin sebesar 300
mg/kgbb, dan mendapatkan hasil yang signifikan dalam hal penurunan
produksi ROS pada tikus yang mendapatkan curcumin dibandingkan
dengan tikus kontrol.
Dosis curcumin sebagai anti kanker yaitu sampai 10 g/hari (Aggarwal,
Kumar & Bharti, 2003). Dosis curcumin sebagai terapi kanker kolorektal
yaitu 2.2 g/hari (ekstrak curcuma). Kanker kolorektal stadium akhir
diberikan dosis antara 0.45 dan 3.6 g/hari selama empat bulan (Jurenka,
2009; Burgos-Moron, et al., 2010).
Dosis curcumin sebagai anti inflamasi sebanyak 400-600 mg tiga kali
sehari (Alter, 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi pada tikus 100,
250, 500 dan 1000 mg/kgBB. Daya anti radang minyak atsiri kunyit
(senyawa mirip curcumin) 1.2 ml/kgBB secara oral (Salasia, et al., 2002).
Ekstrak etanol kunyit dengan berbagai dosis memperlihatkan efek anti
inflamasi pada tikus yang diinduksi dengan karagen dimana pada dosis
tinggi (1000 mg/kgBB) dapat menekan edema sebesar 78.37%. Pada
penelitian tersebut menunjukkan semakin tingginya dosis ekstrak etanol
kunyit, jumlah zat aktif yang terkandung di dalamnya semakin tinggi
sehingga kemampuannya di dalam menginhibisi edema semakin besar
(Rustam, Atmasari & Yanwirasti, 2007).
Konsentrasi perasan air kunyit 30% paling efektif dalam memperbaiki
kerusakan sel hati pada mencit (Kardena & Winaya, 2011).
Penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dan curcumin pada
sedian piringan diffusion assay dengan dosis curcumin 500 µg setiap
piringan menghasilkan peningkatan aktivitas dari antibiotik Cefixime,
Cefotaxime, Vancomycin dan Tetrasiklin (Moghaddam, et al., 2009).
Curcumin dapat secara bebas melalui membran sel karena sifat
lipofilisitasnya. Namun, disebutkan juga bahwa curcumin memiliki
kelarutan pada air yang sangat rendah, yaitu hanya 0.6 µg/ml,
dimetabolisme dengan cepat di hati dan dinding usus, serta rentan
terhadap degradasi pada kondisi basa. Karakteristik ini menjadi penyebab

Universitas Sumatera Utara

31

rendahnya bioavailibilitas curcumin, sehingga konsentrasinya dalam darah
menjadi kurang optimal untuk mencapai efek terapeutik yang diharapkan
(Naksuriya, et al., 2014). Nilai paruh waktu (T½) curcumin pada pemberian
intravena (10 mg/kgBB) pada tikus dilaporkan sekitar 28.1 ± 5.6 jam dan
pada pemberian oral (500 mg/kgBB) yaitu sekitar 44.5 ± 7.5 jam (Anand,
et al., 2007).

2.8. Penggunaan Streptozotocin untuk Membuat Hewan Coba Model
Diabetes Melitus
Streptozotocin (STZ) atau streptozosin dengan nama kimia 2-Deoxy-2 [[(methylnitrosoamino) - carbonyl] amino] – D – glucopyranose (Gambar
2.17) berasal dari Streptomyces achromogenes, merupakan antibiotik
spektrum luas yang juga memiliki sifat antineoplastik. STZ bersifat toksik
dan menyebabkan proses autoimu

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

1 1 16

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 2

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 1 9

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

1 3 48

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 16

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 2

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 8

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus Chapter III VI

0 0 27

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 9

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Ekspresi Super Oxide Dismutase (SOD) pada Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus

0 0 7