Pengaruh Pemberian Curcuminoid Terhadap Konsentrasi Hidrogen Peroksida (H2O2) Serum Dan Ekspresi Malondialdehid (MDA) Fibroblas Koklea Pada Rattus Norvegicus Model Diabetes Mellitus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, disfungsi
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
(ADA, 2016; Purnamasari, 2009; Amod et al., 2012).
2.1.2 Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori klinis, yaitu (ADA,
2016; PERKENI, 2011);
1. Diabetes melitus tipe 1, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel β pankreas yang dapat disebabkan oleh
autoimun maupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
relatif atau resistensi insulin.
3. Diabetes melitus pada kehamilan (gestasional), dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
usia kehamilan trimester kedua atau ketiga, yang belum dapat
diketahui dengan pasti kaitannya terhadap diabetes.
4. Diabetes melitus akibat penyakit spesifik lain, seperti sindrom
diabetes monogenik (misalnya diabetes neonatal, MODY (maturityonset diabetes of the young), penyakit pankreas (misalnya fibrosis
kistik), diabetes akibat obat atau zat kimia (misalnya terapi
HIV/AIDS, atau setelah transplantasi organ).
10
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis DM
PERKENI (2011) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian
besar (Tabel 2.1) berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas
DM terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi dan pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus
No
Kriteria Diagnosis
1
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau, Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral)
≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam
setelah pembebanan: < 140 mg/dl Normal, 140 - < 200 mg/dl
Toleransi Glukosa Terganggu, ≥ 200 mg/dl DM
2
3
American
Diabetes
Association
(ADA)
(2016)
dan
American
Association of Clinical Endocrinologists (AACE) (2015) memasukkan
pemeriksaan HbA1C (hemoglobin glikosilat) sebagai salah satu kriteria
diagnosis DM yaitu kadar HbA1C ≥ 6,5% (48 mmol/mol).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2 Anatomi dan Histologi Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2,5 sampai 3 kali putaran, panjangnya kurang lebih 35 mm
dengan sumbu panjang dari arah anterior ke posterior. Pusat koklea
disebut modiolus, dan terletak di depan vestibulum. Koklea bersama
dengan organ vestibuler berada dalam tulang temporal, dan merupakan
salah satu tulang paling keras dalam tubuh manusia. Koklea bersama
organ vestibuler sering disebut dengan labirin (Moller, 2006; Pawlowsky,
2004; Weber & Khariwala, 2014).
Koklea terdiri dari tiga ruang yaitu skala vestibuli, skala media, dan
skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga. Dasar
segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi
dasar dari organ korti (Gambar 2.1) (Moller, 2006; Weber & Khariwala,
2014).
Gambar 2.1 Anatomi Koklea dan Organ Korti
Universitas Sumatera Utara
13
Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan
terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana
didalamnya terdapat labirin membran. Termasuk di dalam labirin tulang
adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus
yaitu tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan
mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Stria vaskularis
dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding
lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut
luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel penyokong,
berbentuk spiral pada membran basilaris (Nagashima et al., 2005).
Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel Deiters, sel-sel
pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar serta sel-sel rambut dalam,
sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel interdental dan
membran tektorial (Gambar 2.1). Medial dari lamina spiralis pars osseus
terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan
dengan modiolus (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan perilimfe.
Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea
skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen
rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara
skala vestibuli dan skala timpani (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003;
Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006).
Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan
cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan
konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada
endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan
intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang
tinggi (Tabel 2.2.) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Koklea
Komponen
Endolimfe
Skala Vestibuli
Skala Timpani
Na (mM)
1.3
141
148
K (mM)
157
6
4.2
0.023
0.6
1.3
HCO3 (mM)
31
21
21
Cl (mM)
132
121
119
Protein (mg/dl)
38
242
178
pH
7.4
7.3
7.3
Ca (mM)
Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya
sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis
bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan
endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif
tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari
lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran
basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya.
Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan
tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Gambar 2.3)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Gambar 2.2 Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks.
Universitas Sumatera Utara
15
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran
(Pawlowsky, 2004). Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris,
dan menonjol dari basis ke apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl,
2008). Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke
apeks koklea. Organ Corti di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di
apeks koklea lebih besar (Guyton & Hall, 2006). Organ Corti terdapat selsel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar),
sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf aferen
(ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral),
sel pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Moller, 2003; Guyton & Hall,
2006; Gillespie, 2006).
Gambar 2.3. Model Membran Basilaris dengan Organ Corti
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1
deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel
rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie,
2006). Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya
berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut
luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Gambar 2.4)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004).
Universitas Sumatera Utara
16
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat retikulum endoplasma di sepanjang dinding
lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface cistern dan
subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves & Iro,
2006).
Gambar 2.4 Skema Potong Lintang Sel Rambut Luar (A) dan Sel Rambut
Dalam (B)
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi
sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak
gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris
pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear
amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk
menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi
suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
17
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler stereosilia (Gambar 2.5)
(Pawlowsky, 2004). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada
membran tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel
rambut luar kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk
huruf W (Gambar 2.5) (Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.5 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop
Elektron
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006).
Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang
lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron
ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006).
Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang
lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran
tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky,
2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel
Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel
rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama
dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua
dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan
dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan
Universitas Sumatera Utara
18
sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Moller,
2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2005; Gillespie, 2006).
Membran tektoria adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein dan glukosaminoglikan. Membran tektoria terletak di dekat
permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektoria kontak
langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam
tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke
telinga
dalam
melalui
footplate
dari
stapes,
menimbulkan
suatu
gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral menuju kompleks olivarius superior.
Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior.
Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum
medial dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis
(Weber & Khariwala,2014; Gacek, 2009).
Universitas Sumatera Utara
19
2.4 Gangguan Pendengaran pada Diabetes Mellitus
Hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran telah diteliti
sejak berabad yang lalu. Dilaporkan bahwa gangguan pendengaran yang
berkaitan dengan DM mencapai 93%. Gangguan pendengaran pada DM
digambarkan memiliki karakteristik progresif, bilateral, sensorineural
dengan onset bersifat gradual yang secara dominan mengenai frekuensi
tinggi (Cullen & Cinnamond, 1993; Maia & de Campos, 2005; Aladag et
al., 2009; Malucelli et.al, 2012).
Gangguan pendengaran sensorineural pada penderita DM dikaitkan
dengan mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi neuronal dan
diabetik ensefalopati, meskipun temuan mengenai hal tersebut masih
sering diperdebatkan dan inkonsisten. Gangguan pendengaran pada
penderita DM dapat juga merupakan akibat dari kekacauan metabolisme
glukosa serta peningkatan stres oksidatif (Kakarlapudi, Sawyer &
Staecker, 2003; Aladag et al., 2009).
Angiopati diabetik memiliki karakteristik berupa proliferasi endotelial,
akumulasi glukoprotein pada lapisan intima pembuluh darah, dan
penebalan membran basal kapiler serta pembuluh - pembuluh darah kecil.
Selain itu juga dijumpai penebalan dan fibrosis dinding kapiler serta
penyempitan lumen arteri auditorius interna (Maia & de Campos, 2005;
Malucelli et.al., 2012). Penelitian mengenai hal ini sudah dilakukan, baik
pada hewan coba maupun pada manusia. Penelitian oleh Fukushima et.al
(2006) yang mempelajari tulang temporal manusia penderita DM
menunjukkan adanya penebalan membran basilaris dan stria vaskularis,
terutama pada dinding pembuluh darah stria vaskularis bagian basal
selain itu juga didapati hilangnya sel rambut luar yang signifikan.
Penelitian pada hewan coba baik menggunakan obat diabetogenik
seperti alloxan dan streptozotocin, atau dengan pankreatektomi total atau
subtotal menghasilkan hal yang relatif sama berupa penebalan dinding
pembuluh darah modiolus (Costa, 1967), penebalan dinding pembuluh
darah stria vaskularis (Smith et al., 1995), dan hilangnya sel rambut luar
(Raynor et al., 1995; Triana et al., 1991).
Universitas Sumatera Utara
20
Telah dilaporkan bahwa gangguan metabolisme glukosa dan insulin
mempengaruhi mikrosirkulasi. Diketahui bahwa agar telinga bagian dalam
berfungsi dengan baik harus ada keseimbangan yang baik antara tingkat
insulin dan glukosa. Pasien DM memiliki glukosa dalam darah, tetapi tidak
bisa masuk sel-sel telinga bagian dalam karena kurangnya insulin
sehingga menghasilkan gangguan fungsional. Hal ini mungkin merupakan
faktor etiologi penting dalam kerusakan labirin. Mekanisme utama yang
mendasari adalah gangguan transportasi nutrisi melalui dinding kapiler
yang menebal, pengurangan aliran darah karena penyempitan pembuluh
darah,
dan
degenerasi
sekunder
saraf
vestibulokoklear
yang
menyebabkan neuropati (Aladag et al., 2009).
Angiopati terjadi terutama di stria vaskularis dan pada ligamentum
spiralis. Studi pada tikus yang di DM-kan menunjukkan bahwa gangguan
pendengaran disebabkan terutama oleh pengurangan jumlah sel ganglion
spiral dan yang kedua oleh edema di stria vaskularis. Beberapa penulis,
juga berpendapat bahwa
gangguan pendengaran terjadi karena
keterlibatan jalur pendengaran sentral dan bukan karena angiopati koklea.
Adanya
atrofi
vestibulokoklear
neuron
juga
ganglion
didapatkan
spiralis
pada
dan
demielinisasi
pasien
diabetes.
saraf
Hal
ini
menunjukkan bahwa demielinisasi juga merupakan bentuk cedera awal
pada saraf perifer penderita DM. Pengamatan melalui mikroskop
menunjukkan demielinisasi nervus auditorius akibat degenerasi selubung
myelin dengan perubahan minor pada akson dan fibrosis perineurium;
atrofi parah pada ganglion spiral dengan hilangnya sel di koklea, dan
pengurangan pada jumlah serabut saraf pada lamina spiralis. Temuan
lainnya berupa pengurangan jumlah sel ganglion dalam nukleus dorsal
dan ventral koklea, kehilangan sel ganglion pada nukleus olivarius
superior, kolikulus inferior, dan korpus genikulatum medial. Tak ada
perubahan langsung yang berkaitan dengan DM terlihat pada sentral
pendengaran di lobus temporal (Malucelli et.al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
21
Fukushima et al. (2006) meneliti efek DM terhadap koklea manusia dan
menyimpulkan
bahwa
pasien
DM
tipe
1
mungkin
mengalami
mikroangiopati koklea dan degenerasi dinding lateral koklea serta sel-sel
rambut. Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga
dalam. Baik kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi
fungsi telinga dalam. Pasien dengan gangguan metabolisme glukosa
mungkin memiliki gejala gangguan pendengaran, vestibular, atau
campuran keduanya.
Telinga dalam memperlihatkan aktivitas metabolik yang intens, tetapi
tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan energi. Oleh sebab itu
perubahan kecil kadar gula mempengaruhi fungsi telinga dalam.
Gangguan metabolisme telinga dalam, baik akibat pelepasan insulin oleh
pankreas
atau
perubahan
reseptor
membran
sel,
cenderung
mengakibatkan pergeseran kalium dari endolimfe ke perilimfe dan
sebaliknya pada natrium, dimana mekanisme tersebut memicu timbulnya
vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran (Aladag et al., 2009, Maluceli
et al., 2012).
Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai
sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti
membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow &
Metz, 2002).
Faktor yang menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi
tinggi yang terjadi pada penderita DM tipe-2 adalah sebagai berikut
(Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003):
1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada
sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit
dibandingkan di bagian apeks
2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat
meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan
energi lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
22
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga
memerlukan energi lebih banyak.
4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan
akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.
Meskipun sel sel rambut dapat menggunakan substrat selain glukosa
(seperti glutamat, piruvat, atau fumarat) untuk mempertahankan potensial
endolimfatik, namun glukosa merupakan substrat yang paling efektif.
2.5 Respon Stres Oksidatif Seluler
Radikal bebas adalah partikel dari suatu molekul atau atom yang
mengandung gugusan elektron yang tidak berpasangan dan bersifat
sangat reaktif serta cenderung melepaskan atau menerima elektron dari
jaringan sekitarnya (Sarma, Mallick & Ghosh, 2010). Di dalam tubuh
organisme, pembentukan radikal bebas dapat berasal dari metabolisme
molekul oksigen. Reaksi-reaksi metabolisme pada umumnya merupakan
reaksi oksidasi reduksi. Oksidasi adalah reaksi yang melepaskan elektron,
sedangkan reduksi adalah reaksi yang menerima elektron.
Gambar 2.6. Sumber Radikal Bebas
Dalam metabolisme aerobik, radikal bebas terpenting yang terdapat
dalam tubuh adalah derivat oksigen atau oksiradikal atau yang disebut
juga dengan Reactive Oxygen Species (ROS).
Jenis jenis reactive
species dapat dilihat pada tabel 2.3 (Halliwell, 2001; Weidinger & Kozlov,
2015). Oksigen memiliki sifat yang unik, yakni lebih mudah bereaksi
dengan melepaskan 1 elektron daripada 2 elektron. Oksigen dapat
Universitas Sumatera Utara
23
direduksi sempurna menjadi air dalam mitokondria melalui 4 tahap reaksi
penambahan 1 elektron sebagai berikut (Granot & Kohen, 2004):
O2 + eO2•- + e- + 2H+
-
H2O2 + e + H
+
2H• + e- + H+
O2•-
(radikal anion superoksida)
H2O2
(hidrogen peroksida)
H2O + OH•
(radikal hidroksil)
H2O
(air)
Tabel 2.3 Macam-macam Reactive Species
Reactive Oxygen Species (ROS)
Radikal
Nonradikal
Superoksida O2•-
Hidrogen peroksida H2O2
Hidroksil OH•
Asam hipoklorus HOCl
Peroksil RO2• contoh : peroksil lipid
Asam hipobromus HOBr
Alkoksil RO•
Ozon O3
Hidroperoksil HO2
Singlet oxygen 1∆g
Reactive Nitrogen Species (RNS)
Radikal
Nonradikal
Nitrit Oksida (nitrogen monoksida) NO•
Asam nitrous HNO2
Nitrogen dioksida NO2•
Kation Nitrosil NO+
Anion Nitroksil NODinitrogen tetraoksida N2O4
Dinitrogen trioksida N2O3
Peroksinitrit ONOOAsam Peroksinitrous ONOOH
Kation Nitronium (nitril) NO2+
Alkil peroksinitrit ROONO
Apabila oksigen hanya tereduksi sebagian, maka terbentuklah radikal
bebas dari oksigen. Radikal-radikal bebas tersebut diantaranya adalah
radikal anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal
hidroksil (OH•), radikal peroksil (ROO•-), dan lain-lain (Schieber &
Chandel, 2014; Evans & Halliwell, 1999).
Universitas Sumatera Utara
24
Ion-ion logam diketahui dapat mengkatalis reaksi pembentukan radikal
bebas. Ion-ion logam tersebut misalnya Fe, Cu, Mn, Cr, Ni, V, Zn dan Al.
Proses oksidasi yang dikatalisasi oleh ion-ion logam melalui 2 mekanisme
yaitu reaksi ion-ion logam dengan hidroperoksida atau dengan molekul
lipid (Reische, et al., 2008).
ROS dimetabolisme melalui reaksi reduksi-oksidasi seluler dan
dibentuk secara alamiah sebagai produk sampingan dalam proses
metabolik aerobik normal serta dinetralisir oleh scavenger enzimatik
berupa antioksidan endogen alamiah dalam tubuh, meliputi superoxide
dismutase (SOD), catalase (CAT) dan glutathione peroxidase (GPx), yang
berguna sebagai mekanisme proteksi terhadap produksi ROS (Evans &
Halliwell, 1999). Berbagai molekul ROS serta reaksi pembentukan dan
detoksifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Molekul ROS, Reaksi Formasi dan Detoksifikasinya
Dalam keadaan normal, ROS berada dalam keadaan seimbang
dengan antioksidan endogen alamiah tubuh. Ketidakseimbangan antara
kadar antioksidan dan ROS maupun ketidakmampuan antioksidan untuk
menghambat produksi ROS berlebih akan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang mampu merusak sel (Sies, 1997).
Pada prinsipnya stres oksidatif dapat terjadi karena (Halliwell, 2001):
1.
Kurangnya
kadar
antioksidan,
misalnya
mutasi
genetik
yang
mempengaruhi sistem pertahanan enzim antioksidan (seperti CuZnSOD,
MnSOD dan GSHPX) atau zat toksik yang dapat menyebabkan deplesi
Universitas Sumatera Utara
25
kadar antioksidan (misalnya beberapa xenobiotik yang dimetabolisme
melalui konjugasi dengan GSH, sehingga dapat menyebabkan deplesi
GSH meskipun xenobiotik yang bersangkutan tidak secara langsung
mengasilkan reactive species). Rendahnya konsumsi antioksidan dan
konstituen esensial lainnya juga dapat menyebabkan stres oksidatif.
2. Peningkatan produksiROS/RNS, misalnya pada keadaan terpapar zat
toksik dosis tinggi yang besifat reaktif atau zat toksik yang dimetabolisme
dengan hasil sampingan atau hasil akhir berupa spesies reaktif, atau
akibat peningkatan aktivitas metabolik “alami” yang menghasilkan
ROS/RNS (misalnya pada penyakit inflamasi seperti artritis rematoid dan
kolitis ulserativa).
ROS dihasilkan dalam keadaan metabolik normal dengan konsentrasi
yang relatif rendah, yang berguna sebagai molekul sinyalisasi untuk fungsi
seluler normal guna mengendalikan homeostasis sel dan jaringan,
pembelahan, migrasi dan kontraksi sel serta produksi mediator-mediator
(Evans & Halliwell, 1999; Le Prell, et al., 2007; Poirrier, et al., 2010;
Uchida, et al., 2011; Rewerska, et al., 2013).
Radikal bebas dianggap berkontribusi terhadap kejadian berbagai
penyakit
termasuk
penyakit
Alzheimer
(Christen,
2000),
penyakit
Parkinson (Wood-Kaczmar, Gandhi & Wood, 2006), diabetes (Giugliano,
Ceriello & Paolisso, 1996; Davi, Falco & Patrono, 2005), artritis reumatoid
(Hitchon & El-Gabalawy, 2004), dan penyakit motor neuron neurogeneratif
(Cookson & Shaw, 1999).
Radikal bebas yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA
diketahui dapat menyebabkan terjadinya kanker. Beberapa enzim
antioksidan seperti SOD, CAT, GPx, GR, GST, dan lain-lain mampu
melindungi DNA dari stres oksidatif. Terdapatnya polimorfisme pada
enzim-enzim ini berhubungan dengan kerusakan DNA dan kemudian
risiko individu terhadap kerentanan terjadinya kanker (Khan, et al., 2010).
Mekanisme
pertahanan
lini
pertama
terhadap
ROS
adalah
menghilangkan ROS atau mengubahnya menjadi radikal bebas yang
kurang toksik. Hal ini diperankan oleh enzim SOD yang mampu mengubah
Universitas Sumatera Utara
26
radikal anion superoksida (O2•-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
dengan proses dismutasi. Dismutasi merupakan istilah yang mengacu
kepada tipe reaksi khusus dimana 2 reaksi yang sama namun berlawanan
terjadi pada 2 molekul yang terpisah. Enzim SOD mampu mengambil 2
molekul radikal anion superoksida (O 2•-) lalu melepaskan elektron ekstra
pada salah 1 molekul dan menempatkannya pada molekul lainnya,
sehingga jumlah elektron yang dimiliki oleh salah 1 molekul menjadi
berkurang lalu membentuk molekul oksigen normal, sedangkan molekul
lainnya memiliki elektron ekstra. Molekul yang memiliki elektron ekstra
kemudian secara cepat mengambil 2 ion hidrogen untuk membentuk
hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya, hidrogen peroksida (H 2O2) akan
diubah menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2) oleh CAT. Enzim GPx
akan turut membantu CAT dalam mengkonversi hidrogen peroksida
(H2O2) dan glutathione tereduksi (GSH) menjadi molekul air (H2O) serta
glutathione teroksidasi (GSSG). Proses konversi yang dilakukan oleh CAT
dan GPx ini dianggap sebagai mekanisme pertahanan lini kedua. Guna
menyelesaikan siklus reaksinya, glutathione reductase (GR) kemudian
akan mereduksi glutathione teroksidasi (GSSG) dengan bantuan NADPH
dan ion hidrogen menjadi glutathione tereduksi (GSH) dan NADP+
(Gambar 2.7) (Evans & Halliwell, 1999; Goodsell, 2007).
2.5.1 Hidrogen Peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida atau dihidrogen dioksida adalah produk sampingan
berbahaya dari banyak proses metabolisme normal. Senyawa tersebut
memiliki rumus kimia H2O2 dengan massa molekul 34.0147 gram/mol dan
merupakan peroksida paling sederhana (senyawa dengan ikatan tunggal
oksigen-oksigen) (Gambar 2.8). Bentuk murninya berupa cairan tidak
berwarna serta memiliki viskositas yang sedikit lebih tinggi daripada air.
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat dan digunakan
sebagai agen pemutih dan desinfektan. Bahkan, konsentrat hidrogen
peroksida (H2O2) atau disebut juga dengan high-test peroxide digunakan
sebagai bahan pembakar dalam peroketan. Organisme aerob secara
alami menghasilkan sejumlah hidrogen peroksida (H2O2), khususnya pada
Universitas Sumatera Utara
27
proses respiratory burst (oxidative burst) sebagai bagian dari respon imun.
Respiratory burst (oxidative burst) merupakan proses pelepasan ROS
secara cepat dari beberapa jenis sel imun seperti neutrofil dan monosit
saat mengadakan kontak dengan bakteri ataupun jamur. Mekanisme
tersebut memegang peranan berarti di dalam sistem imun dan merupakan
reaksi yang penting terjadi pada fagosit guna mendegradasi partikelpartikel berbahaya dan mikroorganisme (Abrahams, Collin & Lipscomb,
1951; Giorgio, et al., 2007).
Hidrogen peroksida (H2O2) memiliki kandungan oksidator dan reduktor,
bergantung pada pH. Dalam suasana asam, hidrogen peroksida (H2O2)
merupakan salah satu oksidator paling kuat, bahkan lebih kuat dari
chlorine, chlorine dioxide, dan kalium permanganat. Selain itu, melalui
proses katalisis, hidrogen peroksida (H2O2) dapat mengalami konversi
menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Pada larutan asam, ion
logam Fe2+ akan mengalami oksidasi menjadi Fe3+ akibat peran hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan sulfite (SO32-) akan
teroksidasi menjadi sulfate (SO42-). Dalam suasana basa, hidrogen
peroksida (H2O2) berperan sebagai reduktor yang mereduksi beberapa ion
anorganik. Saat berperan sebagai agen reduktor, gas oksigen (O2) juga
akan dihasilkan. Pada larutan basa, natrium hipoklorit (NaOCl) akan
mengalami reduksi menjadi natrium klorida (NaCl) akibat peran hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan kalium permanganat akan
tereduksi menjadi mangan dioksida (MnO2) (Abrahams, Collin &
Lipscomb, 1951; Giorgio, et al., 2007).
Gambar 2.8 Konfigurasi Kimia Hidrogen Peroksida (H2O2)
Universitas Sumatera Utara
28
Untuk mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan, hidrogen
peroksida (H2O2) harus cepat diubah menjadi zat yang kurang berbahaya
lainnya. CAT berperan dengan cepat untuk mengkatalisis dekomposisi
hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2)
yang tidak reaktif dengan bantuan enzim GPx yang turut mengkatalisis
penguraian hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) (Gaetani,
et al., 1996).
Mitokondria diketahui memiliki kandungan enzim CAT yang rendah,
sehingga bila terdapat hidrogen peroksida (H2O2) dalam konsentrasi yang
tinggi secara in vivo, maka CAT tidak cukup berperan menghancurkan
senyawa tersebut, kecuali bila hidrogen peroksida (H2O2) tersebut
melakukan difusi ke dalam peroksisom. Senyawa hidrogen peroksida
(H2O2) merupakan salah satu senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan
pada proses metabolisme di dalam sel. Hidrogen peroksida (H2O2)
merupakan sumber toksik berbagai macam penyakit karena dapat
bereaksi menimbulkan kerusakan jaringan. Selain itu, hidrogen peroksida
(H2O2) dianggap sebagai metabolit kunci karena stabilitasnya relatif tinggi,
cepat menyebar dan terlibat dalam sirkulasi sel. Hidrogen peroksida
(H2O2) memiliki kemampuan untuk berdifusi ke dalam dan menembus
membran sel sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada sel yang
terletak jauh dari tempat dibentuknya hidrogen peroksida (H2O2) (Halliwell
& Gutteridge, 1984).
Hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan sel sebagai agen
antimikroba poten terhadap sel-sel yang terinfeksi suatu patogen. Namun,
beberapa jenis mikroorganisme patogen yang memiliki kandungan CAT,
seperti
Mycobacterium
tuberculosis,
Legionella
pneumophila,
dan
Campylobacter jejuni, mampu menonaktifkan senyawa hidrogen peroksida
(H2O2), sehingga memungkinkan patogen tersebut untuk bertahan hidup
tanpa cedera dalam tubuh host (penjamu) (Srinivasa Rao, Yamada &
Leung, 2003).
Universitas Sumatera Utara
29
Sel darah putih diketahui mampu memproduksi hidrogen peroksida
(H2O2) untuk membunuh bakteri. Selain itu, hidrogen peroksida (H2O2)
dapat menjadi first responder terhadap tanda terjadinya suatu trauma. Hal
ini penting untuk diketahui karena para ilmuwan masih kurang mengetahui
bagaimana mekanisme jaringan untuk mendeteksi kerusakan yang terjadi
dan sinyal apa yang dikeluarkan akibat kerusakan tersebut. Para peneliti
menemukan peningkatan kadar hidrogen peroksida (H2O2) di dalam sel
ikan (zebrafish) setelah terjadi kerusakan jaringan, dimana hidrogen
peroksida (H2O2) dianggap memberikan sinyal terhadap sel darah putih
untuk
berkumpul ke daerah kerusakan dan
menginisiasi proses
penyembuhan. Saat gen yang memproduksi hidrogen peroksida (H2O2)
dirusak, ternyata sel darah putih tidak berakumulasi pada daerah
kerusakan. Meskipun penelitian ini dilakukan pada ikan (zebrafish), namun
karena ikan secara genetik memiliki kemiripan dengan manusia, proses
yang serupa dispekulasikan terjadi pada manusia.
Penelitian ini
dihubungkan dengan penderita asma yang memiliki kadar hidrogen
peroksida (H2O2) yang tinggi pada paru-paru dibandingkan individu yang
sehat, dimana hal ini dapat menjelaskan kenapa penderita asma memiliki
kadar sel darah putih
yang meningkat pada paru-paru
mereka
(Niethammer, et al., 2009).
Pada manusia, hidrogen peroksida (H2O2) diproduksi secara utama
pada paru-paru, usus dan kelenjar tiroid. Oleh karena itu, Mitchison, et al.
berasumsi bahwa hidrogen peroksida (H2O2) memegang peranan di
dalam penyakit-penyakit yang terjadi pada daerah tersebut, seperti asma,
COPD dan beberapa penyakit inflamasi usus. Epitel paru-paru dan usus
akan memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) dengan konsentrasi yang
tinggi karena terinflamasi secara kronik, yang ditandai dengan kadar sel
darah putih yang tidak normal (Niethammer, et al., 2009).
Hidrogen peroksida (H2O2) mampu merusak sel melalui oksidasi
langsung terhadap protein, lipid dan DNA ataupun berperan sebagai
molekul sinyal yang memicu jalur-jalur intraseluler penyebab kematian sel.
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap jaringan otak hewan coba tikus
Universitas Sumatera Utara
30
yang diberikan hidrogen peroksida (H2O2), ditemukan bahwa hidrogen
peroksida (H2O2) mampu menyebabkan membran plasma dari astrosit
primer menjadi lebih seperti gel (gel-like), sedangkan membran artifisial
dari vesikel yang mengandung ekstrak lipid dari jaringan otak tikus
menjadi lebih seperti kristal cair (liquid crystalline-like). Selain dampak
yang ditimbulkan terhadap kandungan membran, hidrogen peroksida
(H2O2) mampu memicu terjadinya polimerisasi aktin, menginduksi
pembentukan cytoneme dan tunneling nanotube (TNT)-like connection
dari sel ke sel pada astrosit serta meningkatkan kolokalisasi miosin Va
dengan F-actin. Actin dan miosin diketahui sebagai protein motor yang
berperan di dalam berbagai proses seluler seperti motilitas sel,
transportasi seluler, komunikasi seluler, pengendalian siklus sel, struktur
seluler dan sinyalisasi sel. Konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang
tinggi mampu menganggu segala proses ini akibat proses remodeling
terhadap actin dan miosin yang disebabkan oleh hidrogen peroksida
(H2O2) (Zhu, et al., 2005).
Selanjutnya, hidrogen peroksida (H2O2) juga memicu terjadinya
fosforilasi p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang mampu
merubah morfologi astrosit dengan cara mengubah fase membran
astrosit, vesikel lipid dan organisasi sitoskeleton. Hal ini mengindikasikan
peran hidrogen peroksida (H2O2) di dalam memicu stres oksidatif yang
dapat menyebabkan sejumlah penyakit neurodegeneratif. Hidrogen
peroksida (H2O2) juga telah dilaporkan mampu menginduksi pembentukan
kompleks adhesi fokal dan reorganisasi aktin pada sel endotel. Selain itu,
hidrogen peroksida (H2O2) juga menyebabkan aktivasi p38 MAPK yang
diikuti dengan aktivasi MAPK-activated protein kinase-2/3 dan fosforilasi
heat shock protein (HSP) (Zhu, et al., 2005).
Mitokondria merupakan organela kompleks yang terdapat sebagai
formasi jalinan tubular di dalam sel. Mitokondria memiliki 2 jalur berbeda
untuk mempertahankan keseimbangan dinamis dari formasi jalinan
filamen mitokondria dengan cara melakukan fusi dan fisi. Disregulasi dari
jalur-jalur tersebut dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seluler. Proses
Universitas Sumatera Utara
31
fusi mitokondria dimediasi oleh protein mitofusin-1 dan mitofusin-2 dan
bertanggung jawab di dalam pemanjangan serta penarikan mitokondria
yang berdekatan untuk membentuk formasi jalinan. Sebaliknya, proses fisi
mitokondria melibatkan pembelahan mitokondria dan dimediasi oleh
protein fission-1 dan dynamin-related protein (Drp-1) (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Dalam kondisi normal, formasi jalinan tubular mitokondria dibangun
melalui peningkatan proses fusi. Namun, dalam keadaan stres oksidatif,
proses fisi mitokondria akan lebih berperan sehingga formasi jalinan
filamen mitokondria akan hancur menjadi fragmen-fragmen. Hidrogen
peroksida (H2O2) ditemukan mampu menginduksi terjadinya proses fisi
mitokondria pada berbagai sel termasuk fibroblas (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Fragmentasi yang terjadi berhubungan dengan dosis (konsentrasi),
waktu dan bersifat reversibel. Artinya, konsentrasi yang tinggi dari
hidrogen peroksida (H2O2) serta lamanya senyawa tersebut berada di
dalam mitokondria akan mampu menyebabkan terjadinya fragmentasi
terhadap mitokondria akibat peningkatan proses fisi (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Peran stres oksidatif terhadap disfungsi endotel pada mikrosirkulasi
telinga bagian dalam telah diselidiki. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi
ROS yang tinggi (terutama hidrogen peroksida, H2O2) dapat menginduksi
apoptosis atau kematian mendadak dari sel endotel telinga bagian dalam.
Pada model percobaan in vitro terhadap stres oksidatif, ditemukan bahwa
pada konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida (H2O2) dapat
meningkatkan ekspresi molekul ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule1) dan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I. Respon-respon ini
berlangsung meskipun tanpa ada bukti terjadinya cedera seluler yang
ireversibel. Sebaliknya, konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang lebih
tinggi mampu menyebabkan sel endotel mengalami apoptosis, dan pada
konsentrasi paling tinggi, menyebabkan kematian mendadak pada kultur
sel endotel (Ciorba, et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
32
Kerusakan sel yang diinduksi oleh senyawa hidrogen peroksida (H2O2)
pada telinga bagian dalam telah ditemukan melalui penelitian yang
dilakukan terhadap epitel neurosensorik dari koklea marmut. Setelah 2
jam pemberian 0.2 mM hidrogen peroksida (H2O2), sekitar 85% sel rambut
luar mengalami kerusakan. Sebaliknya, sel rambut dalam mengalami
kematian setelah 2 jam pemberian hidrogen peroksida (H2O2). Sel Deiter
dan sel Hensen tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kerusakan akibat
hidrogen peroksida (H2O2) (Dehne, et al., 2000).
Oleh karena hidrogen peroksida (H2O2) merupakan senyawa yang
reaktif, terdapatnya ion-ion logam transisi bebas dapat mengkonversi
hidrogen peroksida (H2O2) menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat
reaktif melalui reaksi Fenton ataupun reaksi Haber-Weiss (Winterbourn,
1995; Kehrer, 2000; Koppenol, 2001; Barbusinski, 2009).
Pada tahun 1894, Henry John Horstman Fenton menemukan bahwa
beberapa ion logam transisi memiliki kekuatan katalitik kuat untuk
menghasilkan radikal hidroksil (OH•). Sejak saat itu, proses katalisis
hidrogen peroksida (H2O2) oleh ion logam transisi disebut sebagai reaksi
Fenton (Winterbourn, 1995; Barbusinski, 2009), seperti yang dapat dilihat
pada reaksi kimia di bawah ini:
Mn+ + H2O2 M(n+1)+ + OH• + OHKeterangan:
M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2)
Kemudian pada tahun 1934, Fritz Haber dan muridnya Joseph Joshua
Weiss, mengajukan konsep bahwa radikal hidroksil (OH•) juga dapat
dihasilkan dari interaksi antara radikal anion superoksida (O2•-) dan
hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini disebut dengan reaksi Haber-Weiss
dan adanya ion logam transisi bebas berperan sebagai katalisis terjadinya
reaksi ini (disebut juga iron-catalyzed Haber-Weiss reaction atau HaberWeiss net reaction) (Kehrer, 2000), seperti yang dapat dilihat pada reaksi
kimia di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
33
Mn+ atau M(n+1)+
O2•- + H2O2 O2 + OH• + OHKeterangan:
M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2)
Selain itu, keberadaan radikal anion superoksida (O2•-) juga mampu
mendorong semakin berlangsungnya reaksi Fenton melalui konversi ulang
ion logam oleh radikal anion superoksida (O2•-) terhadap ion logam produk
reaksi Fenton. Akibatnya, ion logam tersebut secara terus-menerus akan
mengadakan reaksi Fenton dengan hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini
disebut
juga
superoxide
driven
Fenton
reaction
(Kehrer,
2000;
Barbusinski, 2009).
Contoh dari reaksi Fenton, reaksi Haber-Weiss dan superoxide driven
Fenton reaction akibat keberadaan ion logam Fe2+ dapat dilihat pada
Gambar 2.9 di bawah ini (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009):
Gambar 2.9
Reaksi Fenton, Superoxide Driven Fenton Reaction dan
Reaksi Haber-Weiss
Keterangan:
Pada reaksi Fenton, ion Fe2+ akan bereaksi dengan hidrogen peroksida
Universitas Sumatera Utara
34
(H2O2) menghasilkan ion Fe3+, radikal hidroksil (OH•) dan anion hidroksida
(OH-). Pada reaksi Haber-Weiss, radikal anion superoksida (O2•-) akan
bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang dikatalisis oleh ion Fe2+
maupun Fe3+ menghasilkan oksigen (O2), radikal hidroksil (OH•) dan anion
hidroksida (OH-). Pada superoxide driven Fenton reaction, ion Fe3+ yang
dihasilkan sebagai produk reaksi Fenton akan bereaksi dengan radikal
anion superoksida (O2•-) sehingga menghasilkan kembali ion Fe2+ dan
oksigen (O2). Ion Fe2+ yang dihasilkan akan mampu bereaksi kembali
dengan hidrogen peroksida (H2O2) dan kembali mencetuskan reaksi
Fenton secara terus-menerus.
Reaksi Haber-Weiss bersifat inklusif terhadap reaksi Fenton. Mengenai
apakah yang terjadi adalah reaksi Fenton atau reaksi Haber-Weiss,
semuanya bergantung pada stoikiometri reaktannya (hubungan kuantitatif
antara zat-zat yang terkait dalam suatu reaksi kimia). Jika kadar hidrogen
peroksida tinggi dan kadar ion logam transisi bebas rendah, maka reaksi
Haber-Weiss yang akan terjadi. Sebaliknya, jika kadar hidrogen peroksida
rendah dan kadar ion logam transisi bebas tinggi, maka reaksi Fenton
yang akan terjadi (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009).
ROS diketahui sebagai salah satu sumber kerusakan DNA karena
kemampuan mereka secara langsung memodifikasi DNA atau secara
tidak langsung menghasilkan lesi yang berbeda, yang keduanya dapat
mempengaruhi viabilitas sel. Proses kerusakan oksidatif dari DNA yang
terjadi dikelompokkan menjadi 5 kelas: oxidized bases dan abasic sites,
DNA–DNA intrastrand adduct, single-strand break (SSB), double-strand
break (DSB) serta DNA–protein crosslinks (Filomeni, Zio & Cecconi,
2015). Pada penelitian yang dipublikasikan oleh Ward, et al. (1985),
ditemukan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) mampu mengakibatkan
terjadinya kerusakan DNA intraseluler tipe single-strand break (SSB) dan
double-strand break
(DSB)
pada mamalia.
Mekanisme penyebab
terjadinya kerusakan DNA oleh hidrogen peroksida (H2O2) tersebut
berhubungan dengan produksi radikal hidroksil (OH•) dan reaksi
lanjutannya
terhadap
DNA.
Hidrogen
peroksida
(H2O2)
mampu
Universitas Sumatera Utara
35
mengadakan reaksi Fenton dengan ion logam yang berikatan terhadap
sisi spesifik pada DNA sehingga membentuk radikal hidroksil (OH•) yang
akan segera merusak DNA (Ward, et al., 1987).
Mekanisme terjadinya kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB)
oleh hidrogen peroksida (H2O2) melalui reaksi Fenton didahului dengan
kerusakan DNA tipe single-strand break (SSB) seperti yang terlihat pada
reaksi kimia di bawah ini (Ward, et al., 1987):
M+ + H2O2
M2+ + OH•
DNA + OH• SSB
Keterangan:
M dapat berupa ion logam dengan angka valensi bervariasi yang
berikatan terhadap lokasi spesifik pada DNA.
Reaksi di atas akan diikuti dengan proses reduksi metabolik yang
menghasilkan ion logam teroksidasi pada DNA seperti terlihat pada reaksi
di bawah ini:
M2+ M+
Selanjutnya molekul hidrogen peroksida (H2O2) berikutnya akan
mengadakan reaksi terhadap lokasi spesifik yang sama pada DNA seperti
sebelumnya dan kemudian menghasilkan radikal hidroksil (OH•) kembali
seperti terlihat pada reaksi di bawah ini:
M+ + H2O2
M2+ + OH•
Reaksi radikal hidroksil (OH•) kedua terhadap untaian DNA intak akan
menyebabkan terjadinya double-strand break (DSB) seperti terlihat pada
reaksi di bawah ini:
DNA SSB + OH• DNA DSB
Universitas Sumatera Utara
36
Kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB) hanya ditemukan pada
konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang sangat tinggi (1 M selama 10
menit). Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida (H2O2)
mampu menciptakan lingkungan berkondisi garam anisotonik yang
mempengaruhi efektivitas reaksi Fenton dengan cara menguraikan ion
logam dengan valensi bervariasi dari DNA dan/atau dengan mengubah
struktur kromatin (Ward, et al., 1987).
Hoffmann dan Meneghini (1979) juga menemukan bahwa hidrogen
peroksida (H2O2) berperan di dalam mekanisme kematian sel yang
melibatkan DNA sebagai target dan oleh sebab itu, hidrogen peroksida
(H2O2)
turut
berkontribusi
terhadap
terjadinya
mutagenesis,
karsinogenesis dan penuaan. Mereka juga mengungkapkan bahwa
hidrogen peroksida (H2O2) menyebabkan kerusakan DNA tipe singlestrand break (SSB) dalam fibroblas manusia dengan bantuan mediator
berupa ion-ion logam intraseluler, yang akan bereaksi dengan hidrogen
peroksida (H2O2), sehingga memicu terjadinya reaksi Fenton dan
menghasilkan radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Hasil penelitian
juga mendapati bahwa hidrogen peroksida (H2O2) senyawa yang
bertanggung jawab terhadap cedera mematikan pada fibroblas manusia
yang diproduksi oleh sel fagosit pada lokasi inflamasi (Filho, Hoffmann &
Meneghini, 1984).
2.5.2. Malondialdehyde (MDA) sebagai produk utama peroksidasi lipid
akibat stress oksidatif
Peroksidasi lipid dapat digambarkan secara umum sebagai suatu
proses dimana oksidan seperti radikal bebas menyerang lipid yang
mengandung ikatan ganda karbon, khususnya polyunsaturated fatty acid
(PUFA) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).
Dua senyawa radikal paling umum memberikan pengaruh yang banyak
terhadap lipid terutama radikal hidroksil (OH•) dan hidroperoksil (HO2•).
Senyawa radikal hidroksil (OH•) berukuran kecil, sangat mobile, larut air
dan secara kimia sangat reaktif. Senyawa berusia pendek ini dapat
Universitas Sumatera Utara
37
diproduksi dari oksigen (O2) pada metabolisme sel dan saat berada dalam
berbagai kondisi stres. Tiap 1 sel pada tubuh manusia memproduksi
sekitar 50 radikal hidroksil (OH•) setiap detik. Artinya, dalam 1 hari penuh,
tiap sel dapat menghasilkan 4 juta radikal hidroksil (OH•), yang dapat
dinetralkan ataupun malah menyerang biomolekul. Radikal hidroksil (OH•)
mampu menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel karena secara tidak
spesifik menyerang biomolekul yang terletak kurang dari beberapa
nanometer dari lokasi pembentukan senyawa tersebut dan diketahui
terlibat
dalam
kelainan
seluler
seperti
neurodegenerasi,
penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Di dalam sistem biologis, radikal hidroksil
(OH•) dibentuk melalui siklus redoks melalui reaksi Fenton dan reaksi
Haber-Weiss (Gambar 2.20) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).
Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi berantai yang diinisiasi oleh
proses abstraksi atom hidrogen pada struktur PUFA penyusun membran
plasma sehingga mengakibatkan kerusakan oksidatif. Konfigurasi struktur
kimia rantai ganda karbon (C=C) yang dipisahkan oleh gugus metilen
(-CH2-) yang terdapat pada PUFA merupakan target sensitif radikal bebas
karena atom hidrogen yang terkandung pada gugus metilen tersebut
dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga radikal bebas dapat berikatan
dengan struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) pada PUFA yang
kemudian bereaksi dengan oksigen dan akan memicu reaksi berantai
yang menghasilkan produk radikal asam lemak yang tidak stabil.
Peroksidasi lipid merupakan salah satu penanda paling unggul dalam
menilai kadar ROS yang menyebabkan kerusakan jaringan sistemik.
Peroksidasi lipid ini mampu mengakibatkan hilangnya fluiditas membran
hingga membran tersebut ruptur dan kemudian terjadi pelepasan sel (De
Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz &
Arguelles, 2014).
Universitas Sumatera Utara
38
Proses peroksidasi lipid terdiri dari 3 fase, yakni (Halliwell & Gutteridge,
1984; De Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz
& Arguelles, 2014):
1. Inisiasi
Pada fase ini, radikal bebas (R•) akan mengabstraksi atom hidrogen
pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari
molekul PUFA (LH) dan membentuk radikal bebas L• (alkyl radical)
yang secara cepat mengadakan reaksi dengan oksigen (O2) sehingga
terbentuk radikal peroksil (LOO•) yang berpotensi mengabstraksi atom
hidrogen dari gugus molekul PUFA yang berada di sebelahnya.
2. Propagasi
Radikal peroksil (LOO•) akan kembali mengabstraksi atom hidrogen
pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari
molekul PUFA (LH) terdekat, kemudian membentuk radikal bebas L•
(alkyl radical) lain yang secara cepat akan bereaksi lagi dengan oksigen
(O2) lalu membentuk radikal L1OO• baru, L2OO•, LnOO• dan seterusnya
sehingga memicu reaksi peroksidasi lipid di sepanjang membran sel.
Selain itu, proses abstraksi yang dilakukan oleh radikal peroksil (LOO•)
terhadap atom hidrogen pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus
metilen bis-allylic carbon dari molekul PUFA (LH) yang lainnya akan
membentuk hidroperoksida lipid (LOOH) yang merupakan produk
primer peroksidasi yang bersifat sitotoksik. Melalui pemanasan atau
reaksi yang melibatkan ion logam transisi seperti Fe2+, hidroperoksida
lipid (LOOH) akan dipecah menjadi produk peroksidasi lipid sekunder,
yakni radikal lipid alkoksil (LO•) dan radikal hidroksil (OH•). Radikalradikal ini juga dapat menginisiasi reaksi peroksidasi lipid selanjutnya.
Proses ini akan terus berlangsung beberapa kali sampai berhenti jika
telah mencapai fase terminasi.
3. Terminasi
Radikal karbon L• (alkyl radical) yang terbentuk pada reaksi inisiasi
cenderung menjadi stabil melalui reaksi dengan radikal karbon L• (alkyl
radical) lain maupun radikal-radikal yang terbentuk seperti radikal
Universitas Sumatera Utara
39
peroksil (LOO•) dan lainnya pada tahap propagasi. Bila radikal bereaksi
dengan radikal lain seperti radikal karbon L• (alkyl radical), radikal
peroksil (LOO•) ataupun molekul dengan elektron tidak berpasangan,
maka rantai propagasi akan berhenti. Namun, bi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, disfungsi
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
(ADA, 2016; Purnamasari, 2009; Amod et al., 2012).
2.1.2 Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori klinis, yaitu (ADA,
2016; PERKENI, 2011);
1. Diabetes melitus tipe 1, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel β pankreas yang dapat disebabkan oleh
autoimun maupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
relatif atau resistensi insulin.
3. Diabetes melitus pada kehamilan (gestasional), dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
usia kehamilan trimester kedua atau ketiga, yang belum dapat
diketahui dengan pasti kaitannya terhadap diabetes.
4. Diabetes melitus akibat penyakit spesifik lain, seperti sindrom
diabetes monogenik (misalnya diabetes neonatal, MODY (maturityonset diabetes of the young), penyakit pankreas (misalnya fibrosis
kistik), diabetes akibat obat atau zat kimia (misalnya terapi
HIV/AIDS, atau setelah transplantasi organ).
10
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis DM
PERKENI (2011) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian
besar (Tabel 2.1) berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas
DM terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya
lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi dan pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus
No
Kriteria Diagnosis
1
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau, Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral)
≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam
setelah pembebanan: < 140 mg/dl Normal, 140 - < 200 mg/dl
Toleransi Glukosa Terganggu, ≥ 200 mg/dl DM
2
3
American
Diabetes
Association
(ADA)
(2016)
dan
American
Association of Clinical Endocrinologists (AACE) (2015) memasukkan
pemeriksaan HbA1C (hemoglobin glikosilat) sebagai salah satu kriteria
diagnosis DM yaitu kadar HbA1C ≥ 6,5% (48 mmol/mol).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2 Anatomi dan Histologi Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2,5 sampai 3 kali putaran, panjangnya kurang lebih 35 mm
dengan sumbu panjang dari arah anterior ke posterior. Pusat koklea
disebut modiolus, dan terletak di depan vestibulum. Koklea bersama
dengan organ vestibuler berada dalam tulang temporal, dan merupakan
salah satu tulang paling keras dalam tubuh manusia. Koklea bersama
organ vestibuler sering disebut dengan labirin (Moller, 2006; Pawlowsky,
2004; Weber & Khariwala, 2014).
Koklea terdiri dari tiga ruang yaitu skala vestibuli, skala media, dan
skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga. Dasar
segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi
dasar dari organ korti (Gambar 2.1) (Moller, 2006; Weber & Khariwala,
2014).
Gambar 2.1 Anatomi Koklea dan Organ Korti
Universitas Sumatera Utara
13
Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan
terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana
didalamnya terdapat labirin membran. Termasuk di dalam labirin tulang
adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus
yaitu tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan
mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Stria vaskularis
dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding
lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut
luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel penyokong,
berbentuk spiral pada membran basilaris (Nagashima et al., 2005).
Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel Deiters, sel-sel
pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar serta sel-sel rambut dalam,
sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel interdental dan
membran tektorial (Gambar 2.1). Medial dari lamina spiralis pars osseus
terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan
dengan modiolus (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan perilimfe.
Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea
skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen
rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara
skala vestibuli dan skala timpani (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003;
Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006).
Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan
cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan
konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada
endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan
intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang
tinggi (Tabel 2.2.) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Koklea
Komponen
Endolimfe
Skala Vestibuli
Skala Timpani
Na (mM)
1.3
141
148
K (mM)
157
6
4.2
0.023
0.6
1.3
HCO3 (mM)
31
21
21
Cl (mM)
132
121
119
Protein (mg/dl)
38
242
178
pH
7.4
7.3
7.3
Ca (mM)
Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya
sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis
bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan
endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif
tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari
lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran
basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya.
Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan
tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Gambar 2.3)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Gambar 2.2 Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks.
Universitas Sumatera Utara
15
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran
(Pawlowsky, 2004). Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris,
dan menonjol dari basis ke apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl,
2008). Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke
apeks koklea. Organ Corti di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di
apeks koklea lebih besar (Guyton & Hall, 2006). Organ Corti terdapat selsel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar),
sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf aferen
(ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral),
sel pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Moller, 2003; Guyton & Hall,
2006; Gillespie, 2006).
Gambar 2.3. Model Membran Basilaris dengan Organ Corti
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1
deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel
rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie,
2006). Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya
berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut
luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Gambar 2.4)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004).
Universitas Sumatera Utara
16
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat retikulum endoplasma di sepanjang dinding
lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface cistern dan
subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves & Iro,
2006).
Gambar 2.4 Skema Potong Lintang Sel Rambut Luar (A) dan Sel Rambut
Dalam (B)
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi
sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak
gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris
pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear
amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk
menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi
suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
17
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler stereosilia (Gambar 2.5)
(Pawlowsky, 2004). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada
membran tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel
rambut luar kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk
huruf W (Gambar 2.5) (Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.5 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop
Elektron
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006).
Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang
lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron
ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006).
Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang
lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran
tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky,
2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel
Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel
rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama
dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua
dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan
dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan
Universitas Sumatera Utara
18
sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Moller,
2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2005; Gillespie, 2006).
Membran tektoria adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein dan glukosaminoglikan. Membran tektoria terletak di dekat
permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektoria kontak
langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam
tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke
telinga
dalam
melalui
footplate
dari
stapes,
menimbulkan
suatu
gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral menuju kompleks olivarius superior.
Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior.
Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum
medial dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis
(Weber & Khariwala,2014; Gacek, 2009).
Universitas Sumatera Utara
19
2.4 Gangguan Pendengaran pada Diabetes Mellitus
Hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran telah diteliti
sejak berabad yang lalu. Dilaporkan bahwa gangguan pendengaran yang
berkaitan dengan DM mencapai 93%. Gangguan pendengaran pada DM
digambarkan memiliki karakteristik progresif, bilateral, sensorineural
dengan onset bersifat gradual yang secara dominan mengenai frekuensi
tinggi (Cullen & Cinnamond, 1993; Maia & de Campos, 2005; Aladag et
al., 2009; Malucelli et.al, 2012).
Gangguan pendengaran sensorineural pada penderita DM dikaitkan
dengan mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi neuronal dan
diabetik ensefalopati, meskipun temuan mengenai hal tersebut masih
sering diperdebatkan dan inkonsisten. Gangguan pendengaran pada
penderita DM dapat juga merupakan akibat dari kekacauan metabolisme
glukosa serta peningkatan stres oksidatif (Kakarlapudi, Sawyer &
Staecker, 2003; Aladag et al., 2009).
Angiopati diabetik memiliki karakteristik berupa proliferasi endotelial,
akumulasi glukoprotein pada lapisan intima pembuluh darah, dan
penebalan membran basal kapiler serta pembuluh - pembuluh darah kecil.
Selain itu juga dijumpai penebalan dan fibrosis dinding kapiler serta
penyempitan lumen arteri auditorius interna (Maia & de Campos, 2005;
Malucelli et.al., 2012). Penelitian mengenai hal ini sudah dilakukan, baik
pada hewan coba maupun pada manusia. Penelitian oleh Fukushima et.al
(2006) yang mempelajari tulang temporal manusia penderita DM
menunjukkan adanya penebalan membran basilaris dan stria vaskularis,
terutama pada dinding pembuluh darah stria vaskularis bagian basal
selain itu juga didapati hilangnya sel rambut luar yang signifikan.
Penelitian pada hewan coba baik menggunakan obat diabetogenik
seperti alloxan dan streptozotocin, atau dengan pankreatektomi total atau
subtotal menghasilkan hal yang relatif sama berupa penebalan dinding
pembuluh darah modiolus (Costa, 1967), penebalan dinding pembuluh
darah stria vaskularis (Smith et al., 1995), dan hilangnya sel rambut luar
(Raynor et al., 1995; Triana et al., 1991).
Universitas Sumatera Utara
20
Telah dilaporkan bahwa gangguan metabolisme glukosa dan insulin
mempengaruhi mikrosirkulasi. Diketahui bahwa agar telinga bagian dalam
berfungsi dengan baik harus ada keseimbangan yang baik antara tingkat
insulin dan glukosa. Pasien DM memiliki glukosa dalam darah, tetapi tidak
bisa masuk sel-sel telinga bagian dalam karena kurangnya insulin
sehingga menghasilkan gangguan fungsional. Hal ini mungkin merupakan
faktor etiologi penting dalam kerusakan labirin. Mekanisme utama yang
mendasari adalah gangguan transportasi nutrisi melalui dinding kapiler
yang menebal, pengurangan aliran darah karena penyempitan pembuluh
darah,
dan
degenerasi
sekunder
saraf
vestibulokoklear
yang
menyebabkan neuropati (Aladag et al., 2009).
Angiopati terjadi terutama di stria vaskularis dan pada ligamentum
spiralis. Studi pada tikus yang di DM-kan menunjukkan bahwa gangguan
pendengaran disebabkan terutama oleh pengurangan jumlah sel ganglion
spiral dan yang kedua oleh edema di stria vaskularis. Beberapa penulis,
juga berpendapat bahwa
gangguan pendengaran terjadi karena
keterlibatan jalur pendengaran sentral dan bukan karena angiopati koklea.
Adanya
atrofi
vestibulokoklear
neuron
juga
ganglion
didapatkan
spiralis
pada
dan
demielinisasi
pasien
diabetes.
saraf
Hal
ini
menunjukkan bahwa demielinisasi juga merupakan bentuk cedera awal
pada saraf perifer penderita DM. Pengamatan melalui mikroskop
menunjukkan demielinisasi nervus auditorius akibat degenerasi selubung
myelin dengan perubahan minor pada akson dan fibrosis perineurium;
atrofi parah pada ganglion spiral dengan hilangnya sel di koklea, dan
pengurangan pada jumlah serabut saraf pada lamina spiralis. Temuan
lainnya berupa pengurangan jumlah sel ganglion dalam nukleus dorsal
dan ventral koklea, kehilangan sel ganglion pada nukleus olivarius
superior, kolikulus inferior, dan korpus genikulatum medial. Tak ada
perubahan langsung yang berkaitan dengan DM terlihat pada sentral
pendengaran di lobus temporal (Malucelli et.al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
21
Fukushima et al. (2006) meneliti efek DM terhadap koklea manusia dan
menyimpulkan
bahwa
pasien
DM
tipe
1
mungkin
mengalami
mikroangiopati koklea dan degenerasi dinding lateral koklea serta sel-sel
rambut. Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga
dalam. Baik kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi
fungsi telinga dalam. Pasien dengan gangguan metabolisme glukosa
mungkin memiliki gejala gangguan pendengaran, vestibular, atau
campuran keduanya.
Telinga dalam memperlihatkan aktivitas metabolik yang intens, tetapi
tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan energi. Oleh sebab itu
perubahan kecil kadar gula mempengaruhi fungsi telinga dalam.
Gangguan metabolisme telinga dalam, baik akibat pelepasan insulin oleh
pankreas
atau
perubahan
reseptor
membran
sel,
cenderung
mengakibatkan pergeseran kalium dari endolimfe ke perilimfe dan
sebaliknya pada natrium, dimana mekanisme tersebut memicu timbulnya
vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran (Aladag et al., 2009, Maluceli
et al., 2012).
Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai
sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti
membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow &
Metz, 2002).
Faktor yang menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi
tinggi yang terjadi pada penderita DM tipe-2 adalah sebagai berikut
(Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003):
1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada
sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit
dibandingkan di bagian apeks
2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat
meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan
energi lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
22
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga
memerlukan energi lebih banyak.
4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan
akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.
Meskipun sel sel rambut dapat menggunakan substrat selain glukosa
(seperti glutamat, piruvat, atau fumarat) untuk mempertahankan potensial
endolimfatik, namun glukosa merupakan substrat yang paling efektif.
2.5 Respon Stres Oksidatif Seluler
Radikal bebas adalah partikel dari suatu molekul atau atom yang
mengandung gugusan elektron yang tidak berpasangan dan bersifat
sangat reaktif serta cenderung melepaskan atau menerima elektron dari
jaringan sekitarnya (Sarma, Mallick & Ghosh, 2010). Di dalam tubuh
organisme, pembentukan radikal bebas dapat berasal dari metabolisme
molekul oksigen. Reaksi-reaksi metabolisme pada umumnya merupakan
reaksi oksidasi reduksi. Oksidasi adalah reaksi yang melepaskan elektron,
sedangkan reduksi adalah reaksi yang menerima elektron.
Gambar 2.6. Sumber Radikal Bebas
Dalam metabolisme aerobik, radikal bebas terpenting yang terdapat
dalam tubuh adalah derivat oksigen atau oksiradikal atau yang disebut
juga dengan Reactive Oxygen Species (ROS).
Jenis jenis reactive
species dapat dilihat pada tabel 2.3 (Halliwell, 2001; Weidinger & Kozlov,
2015). Oksigen memiliki sifat yang unik, yakni lebih mudah bereaksi
dengan melepaskan 1 elektron daripada 2 elektron. Oksigen dapat
Universitas Sumatera Utara
23
direduksi sempurna menjadi air dalam mitokondria melalui 4 tahap reaksi
penambahan 1 elektron sebagai berikut (Granot & Kohen, 2004):
O2 + eO2•- + e- + 2H+
-
H2O2 + e + H
+
2H• + e- + H+
O2•-
(radikal anion superoksida)
H2O2
(hidrogen peroksida)
H2O + OH•
(radikal hidroksil)
H2O
(air)
Tabel 2.3 Macam-macam Reactive Species
Reactive Oxygen Species (ROS)
Radikal
Nonradikal
Superoksida O2•-
Hidrogen peroksida H2O2
Hidroksil OH•
Asam hipoklorus HOCl
Peroksil RO2• contoh : peroksil lipid
Asam hipobromus HOBr
Alkoksil RO•
Ozon O3
Hidroperoksil HO2
Singlet oxygen 1∆g
Reactive Nitrogen Species (RNS)
Radikal
Nonradikal
Nitrit Oksida (nitrogen monoksida) NO•
Asam nitrous HNO2
Nitrogen dioksida NO2•
Kation Nitrosil NO+
Anion Nitroksil NODinitrogen tetraoksida N2O4
Dinitrogen trioksida N2O3
Peroksinitrit ONOOAsam Peroksinitrous ONOOH
Kation Nitronium (nitril) NO2+
Alkil peroksinitrit ROONO
Apabila oksigen hanya tereduksi sebagian, maka terbentuklah radikal
bebas dari oksigen. Radikal-radikal bebas tersebut diantaranya adalah
radikal anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal
hidroksil (OH•), radikal peroksil (ROO•-), dan lain-lain (Schieber &
Chandel, 2014; Evans & Halliwell, 1999).
Universitas Sumatera Utara
24
Ion-ion logam diketahui dapat mengkatalis reaksi pembentukan radikal
bebas. Ion-ion logam tersebut misalnya Fe, Cu, Mn, Cr, Ni, V, Zn dan Al.
Proses oksidasi yang dikatalisasi oleh ion-ion logam melalui 2 mekanisme
yaitu reaksi ion-ion logam dengan hidroperoksida atau dengan molekul
lipid (Reische, et al., 2008).
ROS dimetabolisme melalui reaksi reduksi-oksidasi seluler dan
dibentuk secara alamiah sebagai produk sampingan dalam proses
metabolik aerobik normal serta dinetralisir oleh scavenger enzimatik
berupa antioksidan endogen alamiah dalam tubuh, meliputi superoxide
dismutase (SOD), catalase (CAT) dan glutathione peroxidase (GPx), yang
berguna sebagai mekanisme proteksi terhadap produksi ROS (Evans &
Halliwell, 1999). Berbagai molekul ROS serta reaksi pembentukan dan
detoksifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Molekul ROS, Reaksi Formasi dan Detoksifikasinya
Dalam keadaan normal, ROS berada dalam keadaan seimbang
dengan antioksidan endogen alamiah tubuh. Ketidakseimbangan antara
kadar antioksidan dan ROS maupun ketidakmampuan antioksidan untuk
menghambat produksi ROS berlebih akan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang mampu merusak sel (Sies, 1997).
Pada prinsipnya stres oksidatif dapat terjadi karena (Halliwell, 2001):
1.
Kurangnya
kadar
antioksidan,
misalnya
mutasi
genetik
yang
mempengaruhi sistem pertahanan enzim antioksidan (seperti CuZnSOD,
MnSOD dan GSHPX) atau zat toksik yang dapat menyebabkan deplesi
Universitas Sumatera Utara
25
kadar antioksidan (misalnya beberapa xenobiotik yang dimetabolisme
melalui konjugasi dengan GSH, sehingga dapat menyebabkan deplesi
GSH meskipun xenobiotik yang bersangkutan tidak secara langsung
mengasilkan reactive species). Rendahnya konsumsi antioksidan dan
konstituen esensial lainnya juga dapat menyebabkan stres oksidatif.
2. Peningkatan produksiROS/RNS, misalnya pada keadaan terpapar zat
toksik dosis tinggi yang besifat reaktif atau zat toksik yang dimetabolisme
dengan hasil sampingan atau hasil akhir berupa spesies reaktif, atau
akibat peningkatan aktivitas metabolik “alami” yang menghasilkan
ROS/RNS (misalnya pada penyakit inflamasi seperti artritis rematoid dan
kolitis ulserativa).
ROS dihasilkan dalam keadaan metabolik normal dengan konsentrasi
yang relatif rendah, yang berguna sebagai molekul sinyalisasi untuk fungsi
seluler normal guna mengendalikan homeostasis sel dan jaringan,
pembelahan, migrasi dan kontraksi sel serta produksi mediator-mediator
(Evans & Halliwell, 1999; Le Prell, et al., 2007; Poirrier, et al., 2010;
Uchida, et al., 2011; Rewerska, et al., 2013).
Radikal bebas dianggap berkontribusi terhadap kejadian berbagai
penyakit
termasuk
penyakit
Alzheimer
(Christen,
2000),
penyakit
Parkinson (Wood-Kaczmar, Gandhi & Wood, 2006), diabetes (Giugliano,
Ceriello & Paolisso, 1996; Davi, Falco & Patrono, 2005), artritis reumatoid
(Hitchon & El-Gabalawy, 2004), dan penyakit motor neuron neurogeneratif
(Cookson & Shaw, 1999).
Radikal bebas yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA
diketahui dapat menyebabkan terjadinya kanker. Beberapa enzim
antioksidan seperti SOD, CAT, GPx, GR, GST, dan lain-lain mampu
melindungi DNA dari stres oksidatif. Terdapatnya polimorfisme pada
enzim-enzim ini berhubungan dengan kerusakan DNA dan kemudian
risiko individu terhadap kerentanan terjadinya kanker (Khan, et al., 2010).
Mekanisme
pertahanan
lini
pertama
terhadap
ROS
adalah
menghilangkan ROS atau mengubahnya menjadi radikal bebas yang
kurang toksik. Hal ini diperankan oleh enzim SOD yang mampu mengubah
Universitas Sumatera Utara
26
radikal anion superoksida (O2•-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
dengan proses dismutasi. Dismutasi merupakan istilah yang mengacu
kepada tipe reaksi khusus dimana 2 reaksi yang sama namun berlawanan
terjadi pada 2 molekul yang terpisah. Enzim SOD mampu mengambil 2
molekul radikal anion superoksida (O 2•-) lalu melepaskan elektron ekstra
pada salah 1 molekul dan menempatkannya pada molekul lainnya,
sehingga jumlah elektron yang dimiliki oleh salah 1 molekul menjadi
berkurang lalu membentuk molekul oksigen normal, sedangkan molekul
lainnya memiliki elektron ekstra. Molekul yang memiliki elektron ekstra
kemudian secara cepat mengambil 2 ion hidrogen untuk membentuk
hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya, hidrogen peroksida (H 2O2) akan
diubah menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2) oleh CAT. Enzim GPx
akan turut membantu CAT dalam mengkonversi hidrogen peroksida
(H2O2) dan glutathione tereduksi (GSH) menjadi molekul air (H2O) serta
glutathione teroksidasi (GSSG). Proses konversi yang dilakukan oleh CAT
dan GPx ini dianggap sebagai mekanisme pertahanan lini kedua. Guna
menyelesaikan siklus reaksinya, glutathione reductase (GR) kemudian
akan mereduksi glutathione teroksidasi (GSSG) dengan bantuan NADPH
dan ion hidrogen menjadi glutathione tereduksi (GSH) dan NADP+
(Gambar 2.7) (Evans & Halliwell, 1999; Goodsell, 2007).
2.5.1 Hidrogen Peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida atau dihidrogen dioksida adalah produk sampingan
berbahaya dari banyak proses metabolisme normal. Senyawa tersebut
memiliki rumus kimia H2O2 dengan massa molekul 34.0147 gram/mol dan
merupakan peroksida paling sederhana (senyawa dengan ikatan tunggal
oksigen-oksigen) (Gambar 2.8). Bentuk murninya berupa cairan tidak
berwarna serta memiliki viskositas yang sedikit lebih tinggi daripada air.
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat dan digunakan
sebagai agen pemutih dan desinfektan. Bahkan, konsentrat hidrogen
peroksida (H2O2) atau disebut juga dengan high-test peroxide digunakan
sebagai bahan pembakar dalam peroketan. Organisme aerob secara
alami menghasilkan sejumlah hidrogen peroksida (H2O2), khususnya pada
Universitas Sumatera Utara
27
proses respiratory burst (oxidative burst) sebagai bagian dari respon imun.
Respiratory burst (oxidative burst) merupakan proses pelepasan ROS
secara cepat dari beberapa jenis sel imun seperti neutrofil dan monosit
saat mengadakan kontak dengan bakteri ataupun jamur. Mekanisme
tersebut memegang peranan berarti di dalam sistem imun dan merupakan
reaksi yang penting terjadi pada fagosit guna mendegradasi partikelpartikel berbahaya dan mikroorganisme (Abrahams, Collin & Lipscomb,
1951; Giorgio, et al., 2007).
Hidrogen peroksida (H2O2) memiliki kandungan oksidator dan reduktor,
bergantung pada pH. Dalam suasana asam, hidrogen peroksida (H2O2)
merupakan salah satu oksidator paling kuat, bahkan lebih kuat dari
chlorine, chlorine dioxide, dan kalium permanganat. Selain itu, melalui
proses katalisis, hidrogen peroksida (H2O2) dapat mengalami konversi
menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Pada larutan asam, ion
logam Fe2+ akan mengalami oksidasi menjadi Fe3+ akibat peran hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan sulfite (SO32-) akan
teroksidasi menjadi sulfate (SO42-). Dalam suasana basa, hidrogen
peroksida (H2O2) berperan sebagai reduktor yang mereduksi beberapa ion
anorganik. Saat berperan sebagai agen reduktor, gas oksigen (O2) juga
akan dihasilkan. Pada larutan basa, natrium hipoklorit (NaOCl) akan
mengalami reduksi menjadi natrium klorida (NaCl) akibat peran hidrogen
peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan kalium permanganat akan
tereduksi menjadi mangan dioksida (MnO2) (Abrahams, Collin &
Lipscomb, 1951; Giorgio, et al., 2007).
Gambar 2.8 Konfigurasi Kimia Hidrogen Peroksida (H2O2)
Universitas Sumatera Utara
28
Untuk mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan, hidrogen
peroksida (H2O2) harus cepat diubah menjadi zat yang kurang berbahaya
lainnya. CAT berperan dengan cepat untuk mengkatalisis dekomposisi
hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2)
yang tidak reaktif dengan bantuan enzim GPx yang turut mengkatalisis
penguraian hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) (Gaetani,
et al., 1996).
Mitokondria diketahui memiliki kandungan enzim CAT yang rendah,
sehingga bila terdapat hidrogen peroksida (H2O2) dalam konsentrasi yang
tinggi secara in vivo, maka CAT tidak cukup berperan menghancurkan
senyawa tersebut, kecuali bila hidrogen peroksida (H2O2) tersebut
melakukan difusi ke dalam peroksisom. Senyawa hidrogen peroksida
(H2O2) merupakan salah satu senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan
pada proses metabolisme di dalam sel. Hidrogen peroksida (H2O2)
merupakan sumber toksik berbagai macam penyakit karena dapat
bereaksi menimbulkan kerusakan jaringan. Selain itu, hidrogen peroksida
(H2O2) dianggap sebagai metabolit kunci karena stabilitasnya relatif tinggi,
cepat menyebar dan terlibat dalam sirkulasi sel. Hidrogen peroksida
(H2O2) memiliki kemampuan untuk berdifusi ke dalam dan menembus
membran sel sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada sel yang
terletak jauh dari tempat dibentuknya hidrogen peroksida (H2O2) (Halliwell
& Gutteridge, 1984).
Hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan sel sebagai agen
antimikroba poten terhadap sel-sel yang terinfeksi suatu patogen. Namun,
beberapa jenis mikroorganisme patogen yang memiliki kandungan CAT,
seperti
Mycobacterium
tuberculosis,
Legionella
pneumophila,
dan
Campylobacter jejuni, mampu menonaktifkan senyawa hidrogen peroksida
(H2O2), sehingga memungkinkan patogen tersebut untuk bertahan hidup
tanpa cedera dalam tubuh host (penjamu) (Srinivasa Rao, Yamada &
Leung, 2003).
Universitas Sumatera Utara
29
Sel darah putih diketahui mampu memproduksi hidrogen peroksida
(H2O2) untuk membunuh bakteri. Selain itu, hidrogen peroksida (H2O2)
dapat menjadi first responder terhadap tanda terjadinya suatu trauma. Hal
ini penting untuk diketahui karena para ilmuwan masih kurang mengetahui
bagaimana mekanisme jaringan untuk mendeteksi kerusakan yang terjadi
dan sinyal apa yang dikeluarkan akibat kerusakan tersebut. Para peneliti
menemukan peningkatan kadar hidrogen peroksida (H2O2) di dalam sel
ikan (zebrafish) setelah terjadi kerusakan jaringan, dimana hidrogen
peroksida (H2O2) dianggap memberikan sinyal terhadap sel darah putih
untuk
berkumpul ke daerah kerusakan dan
menginisiasi proses
penyembuhan. Saat gen yang memproduksi hidrogen peroksida (H2O2)
dirusak, ternyata sel darah putih tidak berakumulasi pada daerah
kerusakan. Meskipun penelitian ini dilakukan pada ikan (zebrafish), namun
karena ikan secara genetik memiliki kemiripan dengan manusia, proses
yang serupa dispekulasikan terjadi pada manusia.
Penelitian ini
dihubungkan dengan penderita asma yang memiliki kadar hidrogen
peroksida (H2O2) yang tinggi pada paru-paru dibandingkan individu yang
sehat, dimana hal ini dapat menjelaskan kenapa penderita asma memiliki
kadar sel darah putih
yang meningkat pada paru-paru
mereka
(Niethammer, et al., 2009).
Pada manusia, hidrogen peroksida (H2O2) diproduksi secara utama
pada paru-paru, usus dan kelenjar tiroid. Oleh karena itu, Mitchison, et al.
berasumsi bahwa hidrogen peroksida (H2O2) memegang peranan di
dalam penyakit-penyakit yang terjadi pada daerah tersebut, seperti asma,
COPD dan beberapa penyakit inflamasi usus. Epitel paru-paru dan usus
akan memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) dengan konsentrasi yang
tinggi karena terinflamasi secara kronik, yang ditandai dengan kadar sel
darah putih yang tidak normal (Niethammer, et al., 2009).
Hidrogen peroksida (H2O2) mampu merusak sel melalui oksidasi
langsung terhadap protein, lipid dan DNA ataupun berperan sebagai
molekul sinyal yang memicu jalur-jalur intraseluler penyebab kematian sel.
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap jaringan otak hewan coba tikus
Universitas Sumatera Utara
30
yang diberikan hidrogen peroksida (H2O2), ditemukan bahwa hidrogen
peroksida (H2O2) mampu menyebabkan membran plasma dari astrosit
primer menjadi lebih seperti gel (gel-like), sedangkan membran artifisial
dari vesikel yang mengandung ekstrak lipid dari jaringan otak tikus
menjadi lebih seperti kristal cair (liquid crystalline-like). Selain dampak
yang ditimbulkan terhadap kandungan membran, hidrogen peroksida
(H2O2) mampu memicu terjadinya polimerisasi aktin, menginduksi
pembentukan cytoneme dan tunneling nanotube (TNT)-like connection
dari sel ke sel pada astrosit serta meningkatkan kolokalisasi miosin Va
dengan F-actin. Actin dan miosin diketahui sebagai protein motor yang
berperan di dalam berbagai proses seluler seperti motilitas sel,
transportasi seluler, komunikasi seluler, pengendalian siklus sel, struktur
seluler dan sinyalisasi sel. Konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang
tinggi mampu menganggu segala proses ini akibat proses remodeling
terhadap actin dan miosin yang disebabkan oleh hidrogen peroksida
(H2O2) (Zhu, et al., 2005).
Selanjutnya, hidrogen peroksida (H2O2) juga memicu terjadinya
fosforilasi p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang mampu
merubah morfologi astrosit dengan cara mengubah fase membran
astrosit, vesikel lipid dan organisasi sitoskeleton. Hal ini mengindikasikan
peran hidrogen peroksida (H2O2) di dalam memicu stres oksidatif yang
dapat menyebabkan sejumlah penyakit neurodegeneratif. Hidrogen
peroksida (H2O2) juga telah dilaporkan mampu menginduksi pembentukan
kompleks adhesi fokal dan reorganisasi aktin pada sel endotel. Selain itu,
hidrogen peroksida (H2O2) juga menyebabkan aktivasi p38 MAPK yang
diikuti dengan aktivasi MAPK-activated protein kinase-2/3 dan fosforilasi
heat shock protein (HSP) (Zhu, et al., 2005).
Mitokondria merupakan organela kompleks yang terdapat sebagai
formasi jalinan tubular di dalam sel. Mitokondria memiliki 2 jalur berbeda
untuk mempertahankan keseimbangan dinamis dari formasi jalinan
filamen mitokondria dengan cara melakukan fusi dan fisi. Disregulasi dari
jalur-jalur tersebut dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seluler. Proses
Universitas Sumatera Utara
31
fusi mitokondria dimediasi oleh protein mitofusin-1 dan mitofusin-2 dan
bertanggung jawab di dalam pemanjangan serta penarikan mitokondria
yang berdekatan untuk membentuk formasi jalinan. Sebaliknya, proses fisi
mitokondria melibatkan pembelahan mitokondria dan dimediasi oleh
protein fission-1 dan dynamin-related protein (Drp-1) (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Dalam kondisi normal, formasi jalinan tubular mitokondria dibangun
melalui peningkatan proses fusi. Namun, dalam keadaan stres oksidatif,
proses fisi mitokondria akan lebih berperan sehingga formasi jalinan
filamen mitokondria akan hancur menjadi fragmen-fragmen. Hidrogen
peroksida (H2O2) ditemukan mampu menginduksi terjadinya proses fisi
mitokondria pada berbagai sel termasuk fibroblas (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Fragmentasi yang terjadi berhubungan dengan dosis (konsentrasi),
waktu dan bersifat reversibel. Artinya, konsentrasi yang tinggi dari
hidrogen peroksida (H2O2) serta lamanya senyawa tersebut berada di
dalam mitokondria akan mampu menyebabkan terjadinya fragmentasi
terhadap mitokondria akibat peningkatan proses fisi (Bolisetty & Jaimes,
2013).
Peran stres oksidatif terhadap disfungsi endotel pada mikrosirkulasi
telinga bagian dalam telah diselidiki. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi
ROS yang tinggi (terutama hidrogen peroksida, H2O2) dapat menginduksi
apoptosis atau kematian mendadak dari sel endotel telinga bagian dalam.
Pada model percobaan in vitro terhadap stres oksidatif, ditemukan bahwa
pada konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida (H2O2) dapat
meningkatkan ekspresi molekul ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule1) dan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I. Respon-respon ini
berlangsung meskipun tanpa ada bukti terjadinya cedera seluler yang
ireversibel. Sebaliknya, konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang lebih
tinggi mampu menyebabkan sel endotel mengalami apoptosis, dan pada
konsentrasi paling tinggi, menyebabkan kematian mendadak pada kultur
sel endotel (Ciorba, et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
32
Kerusakan sel yang diinduksi oleh senyawa hidrogen peroksida (H2O2)
pada telinga bagian dalam telah ditemukan melalui penelitian yang
dilakukan terhadap epitel neurosensorik dari koklea marmut. Setelah 2
jam pemberian 0.2 mM hidrogen peroksida (H2O2), sekitar 85% sel rambut
luar mengalami kerusakan. Sebaliknya, sel rambut dalam mengalami
kematian setelah 2 jam pemberian hidrogen peroksida (H2O2). Sel Deiter
dan sel Hensen tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kerusakan akibat
hidrogen peroksida (H2O2) (Dehne, et al., 2000).
Oleh karena hidrogen peroksida (H2O2) merupakan senyawa yang
reaktif, terdapatnya ion-ion logam transisi bebas dapat mengkonversi
hidrogen peroksida (H2O2) menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat
reaktif melalui reaksi Fenton ataupun reaksi Haber-Weiss (Winterbourn,
1995; Kehrer, 2000; Koppenol, 2001; Barbusinski, 2009).
Pada tahun 1894, Henry John Horstman Fenton menemukan bahwa
beberapa ion logam transisi memiliki kekuatan katalitik kuat untuk
menghasilkan radikal hidroksil (OH•). Sejak saat itu, proses katalisis
hidrogen peroksida (H2O2) oleh ion logam transisi disebut sebagai reaksi
Fenton (Winterbourn, 1995; Barbusinski, 2009), seperti yang dapat dilihat
pada reaksi kimia di bawah ini:
Mn+ + H2O2 M(n+1)+ + OH• + OHKeterangan:
M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2)
Kemudian pada tahun 1934, Fritz Haber dan muridnya Joseph Joshua
Weiss, mengajukan konsep bahwa radikal hidroksil (OH•) juga dapat
dihasilkan dari interaksi antara radikal anion superoksida (O2•-) dan
hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini disebut dengan reaksi Haber-Weiss
dan adanya ion logam transisi bebas berperan sebagai katalisis terjadinya
reaksi ini (disebut juga iron-catalyzed Haber-Weiss reaction atau HaberWeiss net reaction) (Kehrer, 2000), seperti yang dapat dilihat pada reaksi
kimia di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
33
Mn+ atau M(n+1)+
O2•- + H2O2 O2 + OH• + OHKeterangan:
M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2)
Selain itu, keberadaan radikal anion superoksida (O2•-) juga mampu
mendorong semakin berlangsungnya reaksi Fenton melalui konversi ulang
ion logam oleh radikal anion superoksida (O2•-) terhadap ion logam produk
reaksi Fenton. Akibatnya, ion logam tersebut secara terus-menerus akan
mengadakan reaksi Fenton dengan hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini
disebut
juga
superoxide
driven
Fenton
reaction
(Kehrer,
2000;
Barbusinski, 2009).
Contoh dari reaksi Fenton, reaksi Haber-Weiss dan superoxide driven
Fenton reaction akibat keberadaan ion logam Fe2+ dapat dilihat pada
Gambar 2.9 di bawah ini (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009):
Gambar 2.9
Reaksi Fenton, Superoxide Driven Fenton Reaction dan
Reaksi Haber-Weiss
Keterangan:
Pada reaksi Fenton, ion Fe2+ akan bereaksi dengan hidrogen peroksida
Universitas Sumatera Utara
34
(H2O2) menghasilkan ion Fe3+, radikal hidroksil (OH•) dan anion hidroksida
(OH-). Pada reaksi Haber-Weiss, radikal anion superoksida (O2•-) akan
bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang dikatalisis oleh ion Fe2+
maupun Fe3+ menghasilkan oksigen (O2), radikal hidroksil (OH•) dan anion
hidroksida (OH-). Pada superoxide driven Fenton reaction, ion Fe3+ yang
dihasilkan sebagai produk reaksi Fenton akan bereaksi dengan radikal
anion superoksida (O2•-) sehingga menghasilkan kembali ion Fe2+ dan
oksigen (O2). Ion Fe2+ yang dihasilkan akan mampu bereaksi kembali
dengan hidrogen peroksida (H2O2) dan kembali mencetuskan reaksi
Fenton secara terus-menerus.
Reaksi Haber-Weiss bersifat inklusif terhadap reaksi Fenton. Mengenai
apakah yang terjadi adalah reaksi Fenton atau reaksi Haber-Weiss,
semuanya bergantung pada stoikiometri reaktannya (hubungan kuantitatif
antara zat-zat yang terkait dalam suatu reaksi kimia). Jika kadar hidrogen
peroksida tinggi dan kadar ion logam transisi bebas rendah, maka reaksi
Haber-Weiss yang akan terjadi. Sebaliknya, jika kadar hidrogen peroksida
rendah dan kadar ion logam transisi bebas tinggi, maka reaksi Fenton
yang akan terjadi (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009).
ROS diketahui sebagai salah satu sumber kerusakan DNA karena
kemampuan mereka secara langsung memodifikasi DNA atau secara
tidak langsung menghasilkan lesi yang berbeda, yang keduanya dapat
mempengaruhi viabilitas sel. Proses kerusakan oksidatif dari DNA yang
terjadi dikelompokkan menjadi 5 kelas: oxidized bases dan abasic sites,
DNA–DNA intrastrand adduct, single-strand break (SSB), double-strand
break (DSB) serta DNA–protein crosslinks (Filomeni, Zio & Cecconi,
2015). Pada penelitian yang dipublikasikan oleh Ward, et al. (1985),
ditemukan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) mampu mengakibatkan
terjadinya kerusakan DNA intraseluler tipe single-strand break (SSB) dan
double-strand break
(DSB)
pada mamalia.
Mekanisme penyebab
terjadinya kerusakan DNA oleh hidrogen peroksida (H2O2) tersebut
berhubungan dengan produksi radikal hidroksil (OH•) dan reaksi
lanjutannya
terhadap
DNA.
Hidrogen
peroksida
(H2O2)
mampu
Universitas Sumatera Utara
35
mengadakan reaksi Fenton dengan ion logam yang berikatan terhadap
sisi spesifik pada DNA sehingga membentuk radikal hidroksil (OH•) yang
akan segera merusak DNA (Ward, et al., 1987).
Mekanisme terjadinya kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB)
oleh hidrogen peroksida (H2O2) melalui reaksi Fenton didahului dengan
kerusakan DNA tipe single-strand break (SSB) seperti yang terlihat pada
reaksi kimia di bawah ini (Ward, et al., 1987):
M+ + H2O2
M2+ + OH•
DNA + OH• SSB
Keterangan:
M dapat berupa ion logam dengan angka valensi bervariasi yang
berikatan terhadap lokasi spesifik pada DNA.
Reaksi di atas akan diikuti dengan proses reduksi metabolik yang
menghasilkan ion logam teroksidasi pada DNA seperti terlihat pada reaksi
di bawah ini:
M2+ M+
Selanjutnya molekul hidrogen peroksida (H2O2) berikutnya akan
mengadakan reaksi terhadap lokasi spesifik yang sama pada DNA seperti
sebelumnya dan kemudian menghasilkan radikal hidroksil (OH•) kembali
seperti terlihat pada reaksi di bawah ini:
M+ + H2O2
M2+ + OH•
Reaksi radikal hidroksil (OH•) kedua terhadap untaian DNA intak akan
menyebabkan terjadinya double-strand break (DSB) seperti terlihat pada
reaksi di bawah ini:
DNA SSB + OH• DNA DSB
Universitas Sumatera Utara
36
Kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB) hanya ditemukan pada
konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang sangat tinggi (1 M selama 10
menit). Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida (H2O2)
mampu menciptakan lingkungan berkondisi garam anisotonik yang
mempengaruhi efektivitas reaksi Fenton dengan cara menguraikan ion
logam dengan valensi bervariasi dari DNA dan/atau dengan mengubah
struktur kromatin (Ward, et al., 1987).
Hoffmann dan Meneghini (1979) juga menemukan bahwa hidrogen
peroksida (H2O2) berperan di dalam mekanisme kematian sel yang
melibatkan DNA sebagai target dan oleh sebab itu, hidrogen peroksida
(H2O2)
turut
berkontribusi
terhadap
terjadinya
mutagenesis,
karsinogenesis dan penuaan. Mereka juga mengungkapkan bahwa
hidrogen peroksida (H2O2) menyebabkan kerusakan DNA tipe singlestrand break (SSB) dalam fibroblas manusia dengan bantuan mediator
berupa ion-ion logam intraseluler, yang akan bereaksi dengan hidrogen
peroksida (H2O2), sehingga memicu terjadinya reaksi Fenton dan
menghasilkan radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Hasil penelitian
juga mendapati bahwa hidrogen peroksida (H2O2) senyawa yang
bertanggung jawab terhadap cedera mematikan pada fibroblas manusia
yang diproduksi oleh sel fagosit pada lokasi inflamasi (Filho, Hoffmann &
Meneghini, 1984).
2.5.2. Malondialdehyde (MDA) sebagai produk utama peroksidasi lipid
akibat stress oksidatif
Peroksidasi lipid dapat digambarkan secara umum sebagai suatu
proses dimana oksidan seperti radikal bebas menyerang lipid yang
mengandung ikatan ganda karbon, khususnya polyunsaturated fatty acid
(PUFA) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).
Dua senyawa radikal paling umum memberikan pengaruh yang banyak
terhadap lipid terutama radikal hidroksil (OH•) dan hidroperoksil (HO2•).
Senyawa radikal hidroksil (OH•) berukuran kecil, sangat mobile, larut air
dan secara kimia sangat reaktif. Senyawa berusia pendek ini dapat
Universitas Sumatera Utara
37
diproduksi dari oksigen (O2) pada metabolisme sel dan saat berada dalam
berbagai kondisi stres. Tiap 1 sel pada tubuh manusia memproduksi
sekitar 50 radikal hidroksil (OH•) setiap detik. Artinya, dalam 1 hari penuh,
tiap sel dapat menghasilkan 4 juta radikal hidroksil (OH•), yang dapat
dinetralkan ataupun malah menyerang biomolekul. Radikal hidroksil (OH•)
mampu menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel karena secara tidak
spesifik menyerang biomolekul yang terletak kurang dari beberapa
nanometer dari lokasi pembentukan senyawa tersebut dan diketahui
terlibat
dalam
kelainan
seluler
seperti
neurodegenerasi,
penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Di dalam sistem biologis, radikal hidroksil
(OH•) dibentuk melalui siklus redoks melalui reaksi Fenton dan reaksi
Haber-Weiss (Gambar 2.20) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).
Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi berantai yang diinisiasi oleh
proses abstraksi atom hidrogen pada struktur PUFA penyusun membran
plasma sehingga mengakibatkan kerusakan oksidatif. Konfigurasi struktur
kimia rantai ganda karbon (C=C) yang dipisahkan oleh gugus metilen
(-CH2-) yang terdapat pada PUFA merupakan target sensitif radikal bebas
karena atom hidrogen yang terkandung pada gugus metilen tersebut
dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga radikal bebas dapat berikatan
dengan struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) pada PUFA yang
kemudian bereaksi dengan oksigen dan akan memicu reaksi berantai
yang menghasilkan produk radikal asam lemak yang tidak stabil.
Peroksidasi lipid merupakan salah satu penanda paling unggul dalam
menilai kadar ROS yang menyebabkan kerusakan jaringan sistemik.
Peroksidasi lipid ini mampu mengakibatkan hilangnya fluiditas membran
hingga membran tersebut ruptur dan kemudian terjadi pelepasan sel (De
Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz &
Arguelles, 2014).
Universitas Sumatera Utara
38
Proses peroksidasi lipid terdiri dari 3 fase, yakni (Halliwell & Gutteridge,
1984; De Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz
& Arguelles, 2014):
1. Inisiasi
Pada fase ini, radikal bebas (R•) akan mengabstraksi atom hidrogen
pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari
molekul PUFA (LH) dan membentuk radikal bebas L• (alkyl radical)
yang secara cepat mengadakan reaksi dengan oksigen (O2) sehingga
terbentuk radikal peroksil (LOO•) yang berpotensi mengabstraksi atom
hidrogen dari gugus molekul PUFA yang berada di sebelahnya.
2. Propagasi
Radikal peroksil (LOO•) akan kembali mengabstraksi atom hidrogen
pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari
molekul PUFA (LH) terdekat, kemudian membentuk radikal bebas L•
(alkyl radical) lain yang secara cepat akan bereaksi lagi dengan oksigen
(O2) lalu membentuk radikal L1OO• baru, L2OO•, LnOO• dan seterusnya
sehingga memicu reaksi peroksidasi lipid di sepanjang membran sel.
Selain itu, proses abstraksi yang dilakukan oleh radikal peroksil (LOO•)
terhadap atom hidrogen pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus
metilen bis-allylic carbon dari molekul PUFA (LH) yang lainnya akan
membentuk hidroperoksida lipid (LOOH) yang merupakan produk
primer peroksidasi yang bersifat sitotoksik. Melalui pemanasan atau
reaksi yang melibatkan ion logam transisi seperti Fe2+, hidroperoksida
lipid (LOOH) akan dipecah menjadi produk peroksidasi lipid sekunder,
yakni radikal lipid alkoksil (LO•) dan radikal hidroksil (OH•). Radikalradikal ini juga dapat menginisiasi reaksi peroksidasi lipid selanjutnya.
Proses ini akan terus berlangsung beberapa kali sampai berhenti jika
telah mencapai fase terminasi.
3. Terminasi
Radikal karbon L• (alkyl radical) yang terbentuk pada reaksi inisiasi
cenderung menjadi stabil melalui reaksi dengan radikal karbon L• (alkyl
radical) lain maupun radikal-radikal yang terbentuk seperti radikal
Universitas Sumatera Utara
39
peroksil (LOO•) dan lainnya pada tahap propagasi. Bila radikal bereaksi
dengan radikal lain seperti radikal karbon L• (alkyl radical), radikal
peroksil (LOO•) ataupun molekul dengan elektron tidak berpasangan,
maka rantai propagasi akan berhenti. Namun, bi