Perlindungan Konsumen Terhadap Kegiatan Pemasaran Yang Dilakukan Agen Asuransi (Studi Pada AJB Bumiputera 1912)

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP ASURANSI
DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

Asuransi
1 . Pengertian Asuransi dan Hukum Asuransi
Hidup

manusia umumnya diakui sangat tinggi nilainya, hal ini

menyebabkan makin banyaknya permintaan akan asuransi jiwa. Terdapat dua
kemungkinan yang dihadapi setiap orang, mati terlalu dini atau mati terlalu tua.
Emmi Pangaribuan Simanjuntak

juga mengeluarkan pernyataan tentang

kemungkinan yang dihadapi manusia :
Kemungkinan bahwa manusia akan menghadapi suatu kerugian atau
kehilangan sudah menjadi suatu masalah bagi setiap umat manusia sejak manusia

tidak lagi tinggal di taman Firdaus (di mana segala kebutuhan hidup sudah
tersedia) dan harus berusaha dengan tenaga dan pikirannya untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, untuk memiliki harta kekayaan demi kelangsungan hidup,
sejak lahir sampai mati setiap orang menghadapi suatu yang tidak pasti.
Jadi sesuai dengan sifatnya yang tidak kekal, kehidupan ini diliputi oleh
ketidakpastian, semua yang ada dan yang terjadi pada hakikatnya tidak akan tetap
pada suatu posisi yang sama ia akan bergerak kearah dan kedudukan yang tidak
dapat diketahui. Keadaan tidak pasti inilah yang mendorong manusia untuk
berdaya upaya untuk mengatasinya, antara lain, sebagaimana membuat keadaan

18
Universitas Sumatera Utara

19

tidak pasti tersebut menjadi suatu keadaan yang pasti. Untuk mengatasi kesulitan
manusia tersebut, lahirlah asuransi sebagai peradaban manusia. 17
Secara umum istilah asuransi atau pertanggungan dapat mempunyai
berbagai arti dan batasan, sesuai dengan siapa yang memberikan dan
dipergunakan untuk sasaran apa, sesuai dengan sudut pandang dan manfaat yang

akan diperoleh atau dituju, berkaitan dan sesuai dengan kepentingan masingmasing yang memberi batasan.
Ditinjau dari segi yuridis pengertian atau defenisi resmi dari asuransi atau
pertanggungan dapat dijumpai dalam Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD) sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana
seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.”
Dari defenisi ini terdapat beberapa unsur yang penting :
a. Adanya suatu persetujuan antara penanggung dengan tertanggung;
b. Dalam perjanjian tersebut terdapat unsur pengalihan resiko dari
tertanggung kepada penanggung;
c. Untuk mengalihkan resiko itu tertanggung harus membayar premi;
d. Kalau terjadi suatu peristiwa yang semula belum pasti terjadi,
penanggung membayar sejumlah uang atau ganti ruginya. 18
Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 40 tahun 2104 tentang
Perasuransian, maka didapati defenisi yang lebih lengkap tentang asuransi
dibandingkan Pasal 246 KUHD. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 40
Tahun 2014 tentang Perasuransian disebutkan bahwa:

17

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta; Sinar Grafika,
2001), hal. 31.
18
Abdul Muis, Hukum asurnasi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, (Medan: Fakultas
Hukum universitas Sumatera Utara, 2005), hal.2.

Universitas Sumatera Utara

20

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk :
1 . Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan,
atau tanggung jawab hukum polis karena terjadi suatu peristiwa yang
tidak pasti; atau
2 . Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya

tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Asuransi sejumlah uang karena besarnya uang asuransi sudah ditentukan
sebelumnya tanpa perlu ada suatu hubungan antara kerugian yang diderita dengan
besarnya jumlah uang yang diberikan penanggung. Berbeda halnya dengan
asuransi kerugian, disini diganti rugi yang diberikan penanggung kepada
tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang diderita dan kerugian itu
adalah akibat dari peristiwa untuk mana asuransi itu diadakan, dengan kata lain
besarnya ganti rugi yang diberikan penanggung sangat erat hubungannya dengan
kerugian yang diderita tertanggung.
Secara umum yang menjadi dasar hukum pengaturan asuransi adalah :
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Asuransi merupakan sebuah perikatan, maka sebagai dasar hukum
pertama adalah KUHPerdata dalam Pasal 1320, Pasal 1774 KUHPerdata
yang berbunyi “Suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya
bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung kepada suatu
kejadian yang belum tentu, demikian juga persetujuan pertanggungan
yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang.”


Universitas Sumatera Utara

21

Rumusan tersebut dapat dimengerti, bahwa orang yang bersedia
membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa
menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi pada waktu
mendatang, yang selanjutnya dipindahkan kepada perusahaan asuransi. 19
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
Terdapat dua cara pengaturan asuransi dalam KUHD, yaitu pengaturan
yang bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan
yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab 9 Pasal 146-286 KUHD.
Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 Pasal
287-308 KUHD dan Buku I Bab IX dan Bab X Pasal 592-695 KUHD
dengan rincian sebagai berikut:
1) Bab IX. Asuransi atau pertanggungan pada umumnya, pengaturannya
mulai dari Pasal 246-286.
2) Bab X. Asuransi atau pertanggungan terhadap bahaya-bahaya
kebakaran, terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil pertanian
yang belum dipaneni, dan tentang pertanggungan jiwa.

3) Bagian 1. Pertanggungan Terhadap Bahaya Kebakaran pengaturannya
mulai Pasal 287-298 KUHD.
4) Bagian 2. Pertanggungan Terhadap Bahaya yang Mengancam Hasil
Pertanian yang belum dipaneni. Pengaturannya Mulai Pasal 299-301
KUHD.

19

R. Suberkti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004), hal. 455.

Universitas Sumatera Utara

22

5) Bagian 3. Pertanggungan Jiwa. Pengaturannya mulai Pasal 302-308
KUHD.
6) Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan Pasal 592-685 KUHD.
7) Asuransi pengangkutan darat, sungai dan perairan pedalaman Pasal
686-695 KUHD.

Pengaturan asuransi dalam KUHD mengutamakan segi keperdataan yang
didasarkan kepada perjanjian antara tertanggung dan penanggung.
Perjanjian tersebut menimbulkan kewajiban dan hak tertanggung dan
penanggung secara timbal balik. Sebagai perjanjian khusus, asuransi
dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi.
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian.
Undang-Undang ini memberikan pengertian terhadap asuransi atau
pertanggungan yang terdapat dalam Pasal 1, bahwa asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
d. Undang-undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Universitas Sumatera Utara


23

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 sebagai Undang-undang terbaru
atas penggantian Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 memberikan
pengertian asuransi secara lengkap, sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa “asuransi adalah perjanjian
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk :
1) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena

kerugian,

kerusakan,

biaya

yang


timbul,

kehilangan

keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
2) Memberikan pembayaran yang

didasarkan pada meninggalnya

tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
2 . Asas dan Tujuan Berasuransi
a . Asas-asas Asuransi
Pengaturan asuransi terdapat dalam KUHPerdata dalam Buku III yang
mengandung 4 asas penting yang terdiri dari:
1 ) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk membuat atau pun menentukan isi perjanjian,

Universitas Sumatera Utara

24

pelaksanaan dan persyaratan, serta menentukan bentuk perjanjiannya
apakah tertulis atau lisan. Tetapi asas kebebasan berkontrak ini bukan
berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang
membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang
berlaku

atau

kesusilaan atau

ketertiban umum,

maka akan


mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat
dibatalkan. 20
2 ) Asas Konsensualisme
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 tentang syarat-syarat
perjanjian, yaitu terhadap kata sepakat sebagai salah satu asas yang
tidak dapat dikesampingkan dalam perjanjian.
3 ) Asas Kekuatan Mengikat(Pacta Sunt Servanda)
Asas ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang
menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi
mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Maksudnya
bahwa semua yang diperjanjikan haruslah ditepati.
Apabila dihubungkan dengan perjanjian asuransi berarti bahwa para
pihak dalam perasuransian terikat untuk melaksanakan ketentuan
perjanjian yang telah disepakatinya. Sebab, perjanjian yang telah
dibuat oleh para pihak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana

20

Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi : Proteksi kecelakaan Transportasi, (Bandung:
mandar Maju, 2009), hal. 60.

Universitas Sumatera Utara

25

Undang-undang yang memiliki akibat hukum, hanya saja berlaku bagi
mereka yang membuatnya. 21
4 ) Asas Itikad Baik (Utmost good faith)
Asas ini tersurat dengan tegas di dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata yang menyebutkan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”. Sependapat dengan Mariam Darius, bahwa asas
itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata ini sebagai
penyeimbang dari asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Gabungan dari kedua asas ini
memberikan perlindungan kepada pihak yang lebih lemah sehingga
kedudukan para pihak dalam perjanjian asuransi tidak saling
mendominasi dan tidak merugikan salah satu pihak antara pihak
penanggung dan tertanggung menjadi seimbang. 22
Asas ini berlaku untuk semua perjanjian termasuk dalam perjanjian
asuransi yang diartikan pula secara menyeluruh bahwa, dalam
pelaksanaan perjanjian tersebut para pihak harus mengindahkan
kenalaran dan kepatutan Pasal 1339 KUHPerdata. 23
5 ) Asas Kepribadian
Asas ini terkandng dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyebutkan,
“pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji untuk dirinya sendiri”.
Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa
21

Tuti Rastuti, Op.Cit, hal. 45.
Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 61.
23
Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, (Bandung; Alumni, 2004), hal. 13.
22

Universitas Sumatera Utara

26

perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikatkan bagi kedua
belah pihak saja (mereka saja). 24
Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang
selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan
yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Agar pengetahuan
teoritis

maupun

kemampuan

teknis

mengenai

perasuransian

dan

penerapannya dapat dipahami harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang
dianut dalam kegiatan perasuransian. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :
1) Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Principle of Insurable
Interest)
KUHD sendiri tidak memberikan rumusan secara otentik mengenai
penjabaran unsur kepentingan di atas, dengan demikian pencarian
penjabaran unsur beralih kepada doktrin. Menurut Molengraaf seperti
dikutip Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan dikutip kembali oleh
Sastrawidjaja dan Endang, mengatakan bahwa, “pokok pertanggungan
adalah hak subyektif yang mungkin akan lenyap atau berkurang karena
adanya peristiwa yang tidak tertentu, akan tetapi pendapat beliau tersebut
diperluas dengan perkataan: juga termasuk segala pengeluaranpengeluaran yang mungkin harus dilakukan”. 25
Kesimpulan terhadap pendapat Molengraff mengenai kepentingan itu
mempunyai pengertian yang luas, yaitu baik kepentingan yang dapat
dinilai dengan uang maupun mengenai kepentingan yang tidak dapat
24

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 62.
Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Hukum Asuransi (Perlindungan
Tertanggung, Asuransi Tertanggung, Usaha Perasuransian), (Bandung: Alumni, 2003), hal. 56.
25

Universitas Sumatera Utara

27

dinilai dengan uang. Pasal 26 KUHD tentang syarat-syarat kepentingan
yang dapat diasuransikan, mempunyai kepentingan yang sempit karena
harus dapat dinilai dengan uang, sedangkan ada kepentingan yang tidak
dapat dinilai dengan uang, misalnya hubungan kekeluargaan, jiwa anak
dan istri, dan lain-lain.
Suatu kepentingan akan ada apabila antara tertanggung dengan obyek
yang dipertanggungkan itu mempunyai hubungan antara lain sebagai
berikut :
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Hubungan Hak milik;
Hubungan kreditur dengan-debitur;
Hubungan perwalian;
Hubungan suami-istri;
Hubungan orang tua-anak;
Hubungan kastodi dan sebagainya. 26

2) Prinsip Itikad Baik (Principle of Utmost Goodfaith)
Kontrak asuransi harus berlandaskan itikad baik (good faith), pihak
penanggung perlu menjelaskan secara lengkap hak dan kewajibannya
selama masa asuransi. Selain itu yang sangat perlu diperhatikan adalah
perlakuan dari penanggung pada saat benar-benar ada risiko yang
menimpa tertanggung. Pihak penanggung harus konsisten terhadap hak
dan kewajiban yang pernah disampaikan pada tertanggung dan
dicantumkan dalam kontrak (polis) termasuk batasan-batasan yang ada
sehingga jelas apabila ada risiko yang tidak ditanggung oleh pihak
asuransi. Pihak tertanggung juga perlu mengungkapkan secara rinci
kondisi yang akan diasuransikan sehingga pihak penanggung memiliki
26

Agus Praworo, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, (Yogyakarta :
BPFE, Cet-1, 1995), hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

28

gambaran yang memadai untuk menentukan persetujuan. Kewajiban dari
kedua belah pihak mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure. 27
3) Prinsip Ganti Rugi (Principle of indemnity)
Asuransi

berdasarkan

Pasal

246

KUHD

merupakan

perjanjian

penggantian kerugian. Ganti rugi disini mengandung arti bahwa
pengganti kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian
yang sungguh-sungguh diderita tertanggung. Tujuan prinsip ganti rugi
atau indemnitas adalah untuk

mengembalikan posisi keuangan

tertanggung pada posisi semula sesaat sebelum terjadinya kerugian.
Tertanggung hanya berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang
sungguh-sungguh dialaminya, bukan untuk mendapatkan keuntungan. 28
Pasal 253 KUHD mengatur prinsip ganti rugi. Pasal-pasal yang ada
kaitannya dengan prinsip ganti rugi antara lain Pasal 246, 250, 252, 253,
277, 278, 280, 284. Pasal 252 KUHD menentukan bahwa : “ Kecuali
dalam hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan-ketentuan undangundang, maka tak bolehlah diadakan suatu pertanggungan kedua, untuk
jangka waktu yang sudah dipertanggungkan untuk harganya penuh, dan
demikian itu atas ancaman batalnya pertanggungan kedua tersebut.”
Ketentuan diatas memberi pengaturan bahwa asuransi diancam batal,
apabila diadakan asuransi yang kedua atas kepentingan yang telah
diasuransikan dengan nilai yang penuh, pada saat perjanjian asuransi

27

Sifit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga keuangan Lain (Jakarta:
Salemba Empat, 2006), hal. 180.
28
Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia, (Bandung:
Alfabeta, 2013) hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

29

yang kedua itu diadakan. Namun dalam Pasal 252 KUHD di atas juga
ada pengecualian untuk diadakannya asuransi berganda berdasarkan
undang-undang.
Menurut Pasal 277 KUHD, jika terjadi perjanjian yang berhubungan
dengan asuransi berganda atas benda yang sama dengan kepentingan
yang sama dan untuk waktu yang sama, dan harga pertanggungan penuh
telah ada pada penanggung yang pertama, maka penanggung kedua
dibebaskan. Penanggung kedua hanya bertanggung jawab untuk
pemenuhan

kekurangan

harga

pertanggungan

apabila

dalam

pertanggungan pertama tidak dipertanggungkan harga sepenuhnya.
Pasal 252 KUHD bertujuan untuk mencegah adanya penggantian
kerugian yang menjadi melebihi dari kerugian yang diderita dan
mengharuskan adanya keseimbangan antara penggantian kerugian
dengan nilai benda yang diasuransikan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah mengenai berlakunya asas
indemnitas ini, yang hanya berlaku dalam asuransi kerugian dan tidak
berlaku dalam asuransi sejumlah uang, hal ini karena dalam asuransi
sejumlah uang ganti rugi tidak ditimbangkan dengan kerugian yang
sungguh-sungguh diderita, akan tetapi uang asuransi sudah ditetapkan
sebelumnya berapa jumlah uang yang akan diperoleh pada waktu
ditutupnya perjanjian asuransi. Dasarnya, sebab pada asuransi sejumlah
uang, kepentingan tidak dapati dinilai dengan uang.
4) Prinsip Subrogasi (Principle of Subrogation)

Universitas Sumatera Utara

30

Apabila terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya dalam
perjanjian asuransi, maka tertanggung dapat menuntut penanggung untuk
memberikan ganti rugi. Tetapi apabila sebab terjadinya kerugian itu
diakibatkan oleh pihak ketiga, maka berarti tertanggung itu dapat
menuntut

penggantian dari dua sumber. Sumber pertama dari

penanggung dan sumber kedua dari pihak ketiga yang telah
menyebabkan kerugian itu. Penggantian dari dua sumber itu jelas
bertentangan dengan asas hukum tentang larangan memperkaya diri
sendiri secara melawan hukum (tanpa hak). Sebaliknya, apabila pihak
ketiga juga dibebaskan begitu saja dari perbuatannya yang telah
menyebabkan kerugian bagi tertanggung sangatlah tidak adil. 29
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti itu,
undang-undang mengaturnya dalam Pasal 24 KUHD yang menentukan
bahwa :
“Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang
yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak
yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubungan dengan
penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah bertanggung
jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan si penanggung
terhadap orang-orang ketiga.”
Secara otomatis berdasarkan Pasal 24 KUHD, apabila terjadi kerugian
yang menimpa tertanggung oleh pihak ketiga, maka penangung dapat
menggantikan kedudukan tertanggung untuk melaksanakan hak-haknya
terhadap pihak ketiga tersebut, Jadi, subrogasi berdasarkan undangundang ini hanya dapat diberlakukan apabila ada dua faktor, yaitu :
29

Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

31

a) Apabila tertanggung di samping mempunyai hak-hak terhadap
penanggung, juga mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga;
b) Hak-hak itu adalah karena timbulnya kerugian.
Subrogasi asuransi ini hanya berlaku dalam asuransi kerugian saja
dan tidak berlaku terhadap asuransi sejumlah uang, oleh karena dalam
asuransi sejumlah uang, jumlah ganti rugi telah ditetapkan
sebelumnya, yaitu pada waktu ditutupnya perjanjian asuransi. 30
Pada umumnya asas subrogasi ini secara tegas diatur pula sebagai syarat
polis, dengan perumusan sebagai berikut :
a ) Sesuai dengan Pasal 284 KUHD, setelah pembayaran ganti rugi atas
harta benda yang dipertanggungkan dalam polis ini, maka penanggung
menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya
terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebut.
Subrogasi pada ayat tersebut di atas berlaku dengan sendirinya tanpa
memerlukan sesuatu surat kuasa khusus dari tertanggung.
b ) Tertanggung tetap bertanggung jawab merugikan hak penanggung
terhadap pihak ketiga. 31
Jadi pada perjanjian asuransi, asas subrogasi dilaksanakan berdasarkan
baik berdasarkan undang-undang maupun berdasarkan perjanjian.
5) Prinsip Sebab Akibat (Principle od proximate Cause)
Kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung
timbul apabila peristiwa yang menjadi sebab adanya kerugian itu dijamin
oleh polis dan tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi
sebab timbulnya kerugian.
Terdapat 3 pendapat untuk menentukan sebab timbulnya kerugian dalam
perjanjian asuransi, yaitu:
a) Pendapat menurut peradilan di Inggris, yang menyatakan bahwa sebab
dari kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat kepada
kerugian itu. Inilah yang disebut Penyebab yang Efesien (Causa
Proxima).
30
31

Ibid., hal 60.
Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

32

b) Pendapat yang kedua ialah di dalam pengertian hukum
pertanggungan, sebab itu tiap-tiap peristiwa yang tidak dapat
ditiadakan tanpa ikut melenyapkan kerugian itu. Dalam perkataan lain
ialah tiap peristiwa yang dianggap sebagai condition sinequaanon
terhadap kerugian itu.
c) Causa remota: bahwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu
ialah peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari
pemecahan suatu ajaran yang disebut “sebab adequate” yang
mengemukakan: bahwa dipandang sebagai sebab yang menimbulkan
kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran
pengalaman yang harus menimbulkan kerugian itu. 32
Jadi dengan demikian, berdasarkan sebab itulah timbul kerugian yang
menjadi tanggungan penanggung kecuali kalau polis dengan klausul All
Risks, yaitu polis yang menanggung semua resiko, dalam hal ini juga
terdapat pengecualian apabila sebab itu terjadi karena kesalahan sendiri
dari tertanggung (Pasal 276 KUHD).
6) Prinsip Kontribusi (Principle of Contribution)
Apabila dalam suatu polis ditandatangani oleh beberapa penanggung,
maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah
untuk mana mereka menandatangani polis, hanya akan memikul jumlah
kerugian yang sesungguhnya oleh tertanggung. Prinsip kontribusi ini
terjadi apabila ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 278 KUHD, yaitu :
“Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang
berlainan, oleh berbagai Penanggung telah diadakan penanggung yang
melebihi harga, maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan
dari pada jumlah-jumlah untuk mana mereka telah menandatangani polis
tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang dipertanggungkan”.
Situasi semacam ini, apabila sewaktu-waktu terjadi klaim maka masingmasing pihak perusahaan asuransi yang berperan sebagai penanggung
32

Ibid., hal. 62.

Universitas Sumatera Utara

33

memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi secara proporsional
dengan jumlah nominal sesuai dengan yang ditanggungnya.
Prinsip semacam ini, penanggung memiliki hak otoritas guna mengajak
penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan serupa untuk
turut andil dalam membayar ganti rugi kepada pihak tertanggung,
meskipun secara jumlah nominal masing-masing pihak penanggung tidak
lantas harus sama. 33
3 . Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perasuransian
Adapun pihak-pihak yang berkedudukan sebagai subjek asuransi yang
dimaksud dalam Pasal 246 KUHD tersebut antara lain yaitu :
a . Pihak Tertanggung
Pihak tertanggung adalah orang yang hidupnya menjadi dasar dari pada
perjanjian pertanggungan, yang dari perjanjian pertanggungan atau
tertanggung

adalah

orang-orang

yang

berkepentingan

mengadakan

perjanjian asuransi dan berhak atas penerimaan pembayaran terhadap
sejumlah kerugian yang diperjanjikan , dan mempunyai kewajiban untuk
membayarkan premi kepada penanggung, dengan tujuan untuk mendapat
penggantian atas kerugian yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu
peristiwa yang belum tentu terjadi.
b . Pihak Penanggung
Pihak penanggung adalah pihak yang menerima resiko dari perjanjian
pertanggungan atau pihak yang mengikat diri untuk membayar sejumlah

33

Zian Parodis, Op.Cit, hal. 37.

Universitas Sumatera Utara

34

uang apabila terjadi sebuah kerugian terhadap yang diperjanjian antara
pihak penanggung dan tertanggung. Resiko ini hanya dialihkan kepada
penanggung bila adanya premi yang diberikan oleh tertanggung. 34
Namun tidak selalu terjadi di dalam praktek bahwa tertanggung langsung
berhubungan dengan penanggung, melainkan mungkin juga berhubungan dengan
seorang pengantara atau biasa disebut agen-agen yang bekerja

di tempat

perusahaan asuransi tetapi bukan dalam hubungan dinas, yang diberi tugas untuk
mencarikan orang-orang yang mau untuk mengasuransikan jiwanya kepada
perusahaan asuransi tempat agen bekerja dengan imbalan menerima upah untuk
itu. Agen disini dapat juga dikatakan sebagai pihak perantara antara perusahaan
asuransi dengan pihak (pihak penanggung) dengan pihak tertanggung (calon
nasabah/nasabah asuransi)., untuk mengadakan perjanjian pertanggungan atas
nama untuk kepentingan perusahaan pertanggungan tadi. Seorang agen dapat
mewakili seorang penanggung atau lebih. 35
Namun, dari defenisi asuransi yang diberikan oleh KUHD dan Undangundang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, terdapat perbedaan yaitu
KUHD menyebutkan bahwa asuransi hanyalah melibatkan 2 (dua) pihak saja
yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan juga pihak tertanggung (yang
membayar premi asuransi), sedangkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian menyebutkan bahwa perjanjian asuransi tidak hanya

34
35

Abdul Muis, Op.Cit, hal.64.
Mulyadi Nitisusastro, Op. Cit,hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

35

melibatkan (dua) pihak saja (pemegang polis dan perusahaan asuransi) tetapi juga
melibatkan pihak ketiga dalam hal pertanggung jawaban hukum. 36
B.

Perlindungan Konsumen
1 . Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
a . Pengertian Konsumen
Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan

sehari-hari, yang berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/
konsument (Belanda). Pengertian dari consument itu tergantung dalam posisi
mana ia berada. Secara harafian arti consumer adalah (lawan dari produsen) setiap
orang yang menggunakan barang. 37
Pengertian konsumen antara Negara yang satu dengan Negara yang lain
tidak sama. Sebagai contoh, di Spanyol konsumen diartikan tidak hanya individu
(orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.
Konsumen dalam hal ini tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga
dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. 38
Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang
konsumen diartikan sebagai “the person who obtains goods of services for
personal purposes”. 39Defenisi ini mengandung dua unsur, yaitu :
1 ) Konsumen hanya orang; dan

36

Abdul Muis, Op. Cit,hal. 32.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hal. 22.
38
Abdul Jalim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH Unlam
Press, 2008), hal. 8.
39
Ibid, hal. 9.
37

Universitas Sumatera Utara

36

2 ) Barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau
keluarganya.
Sekalipun demikian, makna kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur,
apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas daripada itu.
“Di Asutralia, dalam Trade Practice Act 1974, konsumen diartikan sebagai
seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan
harganya tidak melewati 40.000 dolar Asutralia. Artinya, sejauh tidak melewati
jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak
dipersoalkan”. 40
Dikemukakan pula pengertian konsumen selain pengertian di atas, di
Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk cacat” yang
bukan hanya meliputi pembeli, melainkan korban yang bukan pembeli, pemakai,
bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan
pemakai. 41
Pengertian konsumen di Eropa, bersumber dari Product Liability Direcctive
(selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman bagi Negara Masyarakat
Ekonomi Eropa dalam menyusun ketentuan hukum Perlindungan Konsumen. 42
Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak
yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa
kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.
Az.Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni :

40

Ibid.
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 20.
42
Abdul Halim Barkatulah, Op. cit., hal. 9.
41

Universitas Sumatera Utara

37

1 ) Konsumen adalah setiap yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu;
2 ) Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial);
3 ) Konsumen akhir, adalah setiap yang mendapatkan dan menggunakan
barang dan/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,
keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan
kembali. 43
Berdasarkan

peraturan

perundang-undangan

di

Indonesia,

istilah

“konsumen” sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yang menyatakan bahwa konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/jasa
yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan”.Naskah akademis
dan/ atau berbagai naskah pembahasan peraturan perundang-undangan, cukup
banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk
dalam lingkup perlindungan konsumen. Berdasarkan naskah-naskah akademik itu
patut mendapat perhatian, antara lain:
1 ) Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari
barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak
untuk diperjual-belikan.
2 ) Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
3 ) Sedangkan dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI,
berbunyi: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”. 44

43
44

Zulham, Hukum Perlindungan konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 17.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit.,hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

38

Hal lain yang juga perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini
adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai konsumen
akhir, dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived /intermediate
consumer). 45
Kedudukan konsumen sebagai derived/ intermediate consumer, yang
bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan UUPK, sebaliknya
seorang pemenang undian atau hadiah nasabah bank, walaupun setelah menerima
hadiah tersebut, kedudukannya tetap sebagai konsumen akhir, karena perbuatan
menjual yang dilakukannya bukanlah dalam kedudukan sebagai professional
seller, dan tidak dapat dituntut sebagai pelaku usaha menurut UUPK Sebaliknya
ia dapat menuntut pelaku usaha bila hadiah yang diperoleh ternyata mengandung
suatu cacat yang merugikan baginya.
b . Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen dalam skripsi ini menekankan permasalahan dalam
bidang perlindungan secara khusus ditujukan kepada konsumen. Pengertian
perlindungan di dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik
fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganggunan, teror,
dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan disidang pengadilan.

45

Ibid., hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

39

Perlindungan konsumen pada Pasal 1 angka 1 UUPK, disebutkan bahwa
perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum yang memberikan perlindungan kepada konsumen”. G.W Paton, hak yang
diberikan hukum ternyata tidak mengandung unsur perlindungan dan kepentingan
tetapi juga unsur kehendak (the element of will). 46
Unsur-unsur defenisi konsumen:
1 . Setiap Orang.
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.
2 . Pemakai.
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata
“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate
consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam
rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau
jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli.
Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang
memperoleh paket hadiah atau parsel pada hari ulang tahunnya. Isi
paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari
pasar swalayan. 47
Berdasarkan ilustrasi ini ingin dijelaskan bahwa, Konsumen tidak
sekedar pembeli tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang
mengkonsumsi jasa dan/atau barang.
3 . Barang dan/atau jasa.
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. UUPK mengartikan barang
sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik dapat
dihabiskan, maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Kata-kata “disediakan bagi masyarakat”
ituharus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen.
4 . Yang Tersedia dalam Masyarakat.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran seperti yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e
UUPK.
46
47

Zulham, Op.Cit., hal. 23.
Ibid, hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

40

5 . Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup
Lain.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam
defenisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentinga tidak
sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain, bahkan untuk makhluk
hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.
6 . Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya
konsumen akhir. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk
mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam
kenyataanya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. 48
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi: 49
“Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang

layak bagi

kemanusiaan”
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh
pihak/ pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau
tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut.
Penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan
hak semua orang. Hal ini merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.
2.

Asas dan Tujuan Perlindungan konsumen
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan beberapa

asas dan tujuan dalam upaya melindungi konsumen yang diyakini dapat
memberikan arahan dalam implementasi dalam tingkat praktis, karena dengan
adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar
yang kuat.
48
49

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit.,hal. 27.
Ibid., hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

41

a. Asas Perlindungan Konsumen
Pasal 2 UUPK, perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan
dalam pembangunan nasional, yaitu :
1 ) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar, besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
Kepada kedua belah pihak, konsumen dan pelaku usaha tidak ada satu
pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan pihak lain. Kedua
belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2 ) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
Diharapkan dari Asas yang terdapat dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7
konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan
kewajibannya secara seimbang.
3 ) Asas keseimbangan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil ataupun
spiritual.
4 ) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5 ) Asas kepastian hukun dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
b. Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 3 UUPK, disebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:
1 ) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2 ) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

Universitas Sumatera Utara

42

3 ) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4 ) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
5 ) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan ini sehingga timbul sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha;
6 ) Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 50
3 . Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak
dan kewajiban. Penting untuk diketahui apa yang menjadi hak-hak konsumen agar
lebih kritis dan mandiri. Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa hak konsumen adalah
sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atau informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

50

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006), hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

43

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar
umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama
kali dikemukakan oleh John. F. kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada
tanggal 15 Maret 1962 melalui Deklarasi Hak Konsumen (Declaration Consumer
Right). Deklarasi tersebut menghasilkan 4 (empat) hak dasar konsumen yang
meliputi hak-hak sebagai berikut:
a . Hak-hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan (the right to be
secured)
Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/jasa
yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk
makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan.
Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan
sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa
manusia. Hak ini merupakan hak tertua yang tidak terkontroversial
karena didukung oleh masyarakat ekonomi.
b . Hak untuk memperoleh informasi (the tight to be Informed)
Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan
komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli (dikonsumsi).
Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa
mengetahui bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dikonsumsi. Jika
suatu saat ada risiko negatif dari produk/ jasa yang telah dikonsumsinya,
konsumen telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen
memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk,
seperti efek samping dari mengkonsumsi suatu produk atau adanya
peringatan dalam label/ kemasan produk.
c . Hak untuk memilih (the right to choose)
Setiap konsumen berhak memilih produk barang atau jasa dengan harga
yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau
paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa
merugikan hak-haknya, konsumen harus dalam kondisi bebas dalam
menentukan pilihannya terhadap barang atau jasa yang di konsumsi.
d . Hak untuk didengar (the right to be heard)
Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya
bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun
oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan
hak-hak konsumen. 51

51

Happy Susanto, Hak-hak konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

44

Empat hak dasar sebagaimana disampaikan oleh Presiden AS. John F.
Kennedy, tersebut memberikan pemikiran baru tentang perlindungan hak-hak
konsumen. Empat dasar tersebut sering digunakan dalam merumuskan hak-hak
dan perlindungan konsumen. 52
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menambahkan satu hak
dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen yang dikemukan oleh
John F.Kennedy yaitu hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Sehingga keseluruhannya dikenal sebagai “Panca hak Konsumen”. 53
Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan
pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :
a . Hak atas keamanan dan keselamatan;
b . Hak untuk informasi;
c . Hak untuk memilih;
d . Hak untuk didengar;
e . Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
f . Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g . Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h . Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
i . Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya;
j . Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.54
Beragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun
secara garis besar dapat dibagi dalam 3 (tiga) hal yang menjadi prinsip dasar,
yaitu :
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
52
53

Ibid, hal.25.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2013), hal

50.
54

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), hal. 40.

Universitas Sumatera Utara

45

c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalah
yang dihadapi. 55
Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan
beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK, maka hal tersebut
sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan prinsip perlindungan
hukum bagi konsumen di Indonesia.
Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen
diatas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena
pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari
berbagai aspek. 56
Namun, sebagai konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang
harus diperhatikan . Undang-undang perlindungan konsumen Pasal 5, dinyatakan
bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut:
a . Membaca atau mengikuti informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan itu, konsumen perlu
membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan/atau
jasa, serta tata cara penggunaannya.
b . Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeian barang
dan/atau jasa.
Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi.
Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang
dan/jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh
kepuasaan.
c . Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Konsumen perlu membayar barang dan/atau jasa yang telah dibeli,
tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.
Sebagai bentuk pemenuhan asas keseimbangan antara pihak
konsumen dan pelaku, maka diwajibkan untuk melakukan

55
56

Ibid, hal. 46.
Ibid, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

46

pembayaran sesuai dengan takaran kesimbangan dari pelaksanaan
transaksi konsumen.
d . Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang dan/atau jasa yang telah
didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah
tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian
masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak
menemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan
memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku. 57
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam hal ini telah
mencantumkan hal-hal yang merupakan kewajiban dari pada konsumen yang
harus dipenuhi. Pemenuhan kewajiban yang dilakukan oleh konsumen ini bukan
saja bertujuan untuk melindungi pelaku usaha dari ketidakadilan, namun sebagai
bentuk itikad baik yang harus dari konsumen, yang akan mengikat pelaku usaha
yang memasarkan barang dan/atau jasanya untuk bertanggung jawab terhadap
barang dan jasa yang dikonsumsi oleh konsumen (bentuk timbal balik).

57

Happy Susanto, Op.Cit, hal. 27.

Universitas Sumatera Utara