Hubungan Lesi Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus terhadap Kadar HbA1C

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Defenisi tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui udara,
yang

disebabkan

oleh

kuman

Mycobacterium

Tuberculosis

kompleks.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit Tuberkulosis yang melibatkan parenkim

paru.(PDPI,2011)

2.1.2 Patogenesis
a. Tuberkulosis Primer
Pada saat inspirasi, sebagian kuman basil tuberkulosa terjebak di mukosa
saluran pernapasan atas, trakea dan bronkus, kemudian dieliminasi oleh
mekanisme pertahanan mucosiliar. Partikel-partikel kecil atau droplet nuklei yang
lebih kecil dari 5 µm dapat melewati barrier dan mencapai saluran pernapasan
bawah, terutama di dalam alveoli, di mana basil tuberkulosa dapat segera
dipagositosis oleh makrofag alveolar.(PDPI,2006) Rangkaian interaksi antara
makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali
dengan ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan
dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel
imun tambahan untuk respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T
untuk perkembangan imunitas adaptif.(Cahyadi A et al,2011)
Kelangsungan hidup basil tuberkulosa di paru-paru akan tergantung pada
patogenisitas / virulensinya dan kemampuan sel inang untuk mengeliminasinya.
Makrofag alveolar merupakan garis pertahanan pertama terhadap Mycobacterium
tuberculosis. Pada respon awal ini jika benar-benar efektif, akan mengeliminasi
kuman patogen melalui fagositosis oleh makrofag tersebut.(Palomino et al,2007)

Dan akan dikeluarkan dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

5
Universitas Sumatera Utara

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam sito-plasma makrofag. Di sini
kuman basil dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.(Amin Z et al, 2007)
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. (Amin Z et al, 2007) Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama

dengan

primer.(PDPI,2006)


limfangitis

Semua

proses

regional
ini

dikenal

memakan

sebagai

waktu

3-8

kompleks

minggu.

(PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut:
1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus).
3) Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

6
Universitas Sumatera Utara

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
1. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang

pada

anak

setelah


mendapat

ensefalomeningitis,

tuberkuloma).
2. Meninggal.(PDPI,2006)

b. Tuberkulosis Post Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun biasanya pada
usia 15-40 tahun, kemudian tuberkulosis post-primer sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer atau TB pasca primer atau
TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis primer terjadi
karena imunitas menurun seperti Diabetes, malnutrisi, alkohol, penyakit
malignansi, AIDS. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru.(Amin Z et al,2007)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
(PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel
yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langerhans
(sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai

jaringan ikat. (Amin Z et al,2007) Sarang dini ini dapat menjadi :(PDPI,2006)
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran., dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.

7
Universitas Sumatera Utara

3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik)17 karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar. Terjadi
perkejuan dan kavitas karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag , dan proses yang berlebihan sitokin
dengan TNFnya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi imunodefisiensi dan usia lanjut. (Amin Z et

al,2007)
Nasib kaviti ini dapat menjadi :
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas. (PDPI,2006) Bila isi kavitas ini masuk dalam
peredaran darah arteri maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan
selanjutnya ke usus akan menjadi TB usus. Bisa juga menjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke
pleura. (Amin Z et al,2007)
b) Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
(PDPI,2016) Komplikasi kronik kaviti adalah kolonisasi oleh
fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
(Amin Z et al,2007)
c) Menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus,
dan


menciut

sehingga

kelihatan

seperti

bintang

(stellate

shaped).(PDPI,2006;Amin Z et al,2007)

8
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya.(PDPI,2006)


2.1.3. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan

fisik/jasmani,

pemeriksaan

bakteriologik,

radiologik

dan

pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.(PDPI,2011)
1) Gejala respiratorik
a) Batuk ≥ β minggu

Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Batuk diawali dengan batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
batuk yang produktif (menghasilkan sputum).
b) Batuk darah
Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit
tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda
terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding
kavitas. Batuk darah masif terjadi bila ada robekan dari aneurisma
Rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari

9
Universitas Sumatera Utara

bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian karena penyumbatan saluran pernapasan oleh
bekuan darah.(Alsagaff H et al, 2010)
c) Sesak napas
Merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru dengan
keterlibatan parenkim paru yang luas akibat adanya restriksi dan
obstruksi saluran pernapasan.(Alsagaff H et al, 2010)
d) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau menghembuskan napas. (Amin Z et
al;Alsagaff H et al, 2010)
2) Gejala sistemik
a) Demam
Demam dengan pola yang khas, biasanya terjadi pada sore hari dan
tidak terlalu tinggi.(Fishman AP et al,2008)
b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.(PDPI,2011)

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sering tidak dijumpai kelainan terutama pada
kasus-kasus ringan. Demikian juga bila lesi paru terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran / suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan
auskultasi.(Amin Z et al, 2007) Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan
yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apek dan segmen posterior ,
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.(PDPI,2006)

10
Universitas Sumatera Utara

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas
tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh
penebalan pleura, suara napasnya menjadi melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.(Amin Z et al, 2007)
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura.(PDPI,2006) Pada paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam penapasan. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.(Amin
Z et al,2007)

c. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).(PDPI,2006)
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah.(Amin Z et al,2007)
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya dapat
dilakukan dengan cara :(PDPI,2006)
1) Mikroskopik
2) Biakan atau kultur
3) GenXpert

11
Universitas Sumatera Utara

d. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).(PDPI,2011)
1) Tuberkulosis Primer
Gambaran radiologi yang paling umum dijumpai pada tuberkulosis
primer adalah gambaran radiologis normal. Pada tuberkulosis primer
keterlibatan parenkim dapat terjadi di setiap segmen paru-paru. Dan hanya
ada sedikit keterlibatan lobus atas paru. Gambaran konsolidasi dapat
muncul dengan densitas seragam dengan batas tidak jelas, dan kavitasi
jarang kecuali pada malnutrisi atau pasien immunocompromised lainnya.
Biasanya infiltrat ini kecil dan berada di sub pleura. Pembesaran kelenjar
getah di hilus atau paratrakeal merupakan temuan khas pada tuberkulosis
primer. Namun, hal ini paling sering terlihat pada anak-anak. Biasanya
berupa adenopati yang unilateral. Berbeda dengan limfadenopati, terlihat
lebih sering pada dewasa dengan keterlibatan TB Miliary primer (sebagai
nodul kecil multipel), yang terjadi 3 persen dari jumlah kasus, paling
sering pada anak di bawah 2 sampai 3 tahun, tetapi juga dapat dilihat pada
orang dewasa. Yang akhirnya, dapat menjadi efusi pleura terlokalisir
derajat ringan sampai sedang, yang mungkin satu-satunya manifestasi dari
tuberkulosis primer.(Fishman AP et al,2008)

2) Tuberkulosis post primer
Pada 95% gambaran radiologis kasus tuberkulosis post primer, lesi terlihat
pada segmen apikal atau segmen posterior di lobus atas atau segmen
superior lobus bawah. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif :( PDPI,2011),
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.

12
Universitas Sumatera Utara

b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c) Bayangan bercak milier
d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Berdasarkan luasnya, efusi pleura dibagi menjadi:(Light RW et al,2008)
(1).Efusi pleura minimal, yaitu jika cairan pleura kurang dari sepertiga
hemitoraks.
(2).Efusi pleura sedang, yaitu jika cairan pleura lebih dari sepertiga
hemitoraks tetapi kurang dari setengah hemitoraks.
(3).Efusi pleura luas, yaitu jika cairan pleura lebih dari setengah
hemitoraks.
(4).Efusi pleura masif, yaitu jika cairan pleura memenuhi satu
hemitoraks.
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :(PDPI,2006;PDPI,2011)
a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
b) Kalsifikasi atau fibrotik
c) Kompleks ranke
d) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

a.

b.

Gambar 2.2. a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal, b. Bayangan bercak
milier.(Daley CL et al,2006)

13
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Efusi pleura(Kaufmann SHE et al,2003)

Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association
luasnya

proses

yang tampak pada foto toraks dapat dibagi

sebagai

berikut:(Alsagaff H et al,2010;Rasad S,2011)
a) Lesi minimal (minimal lesion) :
Bila lesi tuberkulosis paru yang kelihatan tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan; lesi-lesi soliter dapat
berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas.
Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).
b) Lesi sedang (moderatly lesion):
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan lesi yang bersifat
bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru atau jumlah seluruh proses
yang ada paling banyak seluas satu paru. Kalau sifat bayangan lesi tersebut
berupa awan-awan yang berubah menjadi daerah konsolidasi yang
homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. Sedangkan bila
ada kavitas, diameter kavitas tidak melebihi 4 cm.
c) Lesi luas (far advanced lesion):
Kelainan lebih luas dari lesi sedang, atau bila ada kavitas-kavitas maka
diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

14
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4.Skema klasifikasi American Tuberculosis Association.(Rasad S et
al,2011)

2.2 Diabetes Mellitus
2.2.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, Diabetes
melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.(PERKENI,2011;ADA,2014) Diabetes dengan hiperglikemia yang
kronis berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan
organ yang berbeda, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.(ADA,2014)

2.2.2 Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan

15
Universitas Sumatera Utara

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.(PERKENI,2011)
Diagnosis diabetes didasarkan pada kriteria pemeriksaan kadar glukosa
darah (KGD), baik KGD puasa, KGD 2 jam PP atau tes toleransi glukosa
terganggu 75 g. Nilai batas diagnostik untuk KGD puasa yaitu ≥ 1β6 mg/dl, KGD
β jam PP ≥ β00 mg/dl. HbA1C adalah suatu tes yang banyak digunakan untuk
glikemia kronis ,yang mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah pada selama 2
- 3 bulan ini. HbA1C memainkan peranan yang penting dalam pengelolaan pasien
diabetes, karena berkorelasi baik dengan mikrovaskuler maupun tingkat lebih
rendah pada komplikasi makrovaskular dan digunakan secara luas sebagai
biomarker standar untuk menilai adekuasi manajemen glikemik. Sebelumnya para
komite Ahli tidak menganjurkan penggunaan HbA1C untuk diagnosis diabetes,
sebagian karena kurangnya standarisasi pengujian tersebut. Namun, Tes HbA1C
sekarang sangat standar sehingga hasil mereka dapat diterapkan pada seluruh
populasi.

Dalam

laporan

terbaru

mereka,

Komite

Ahli

Internasional

merekomendasikan penggunaan tes HbA1C untuk mendiagnosa diabetes, dengan
ambang batas sebesar ≥ 6,5%, dan ADA menguatkan keputusan tersebut. HbA1C
lebih sering digunakan untuk mendiagnosa diabetes pada individu dengan faktor
risiko, juga akan mengidentifikasi mereka yang risiko tinggi untuk berkembang
menjadi diabetes di masa depan.(ADA,2014)
Menurut ADA, diabetes dapat didiagnosa pada kadar HbA1C ≥ 6,5%.
Pada Individu dengan kadar HbA1C kisaran 5,7-6,4% merupakan individu dengan
risiko tinggi diabetes di masa depan atau disebut dengan istilah prediabetes. Pada
suatu studi tinjauan sistematis dari 44.203 orang dari 16 penelitian kohort yang
diikuti dengan interval waktu rata-rata 5,6 tahun (kisaran 2,8 - 12 tahun), orangorang dengan kadar HbA1C antara 5,5 - 6,0% memiliki peningkatan risiko
diabetes pada 5 tahun kedepan, dengan insiden antara 9 sampai 25%. HbA1C
dengan kadar 6,0-6,5% memiliki risiko 5 tahun terkena diabetes antara 25 dan
50% dan risiko relatif 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan HbA1C
5,0%.(ADA,2014) Batas nilai ambang HbA1C untuk diagnosa diabetes dan
prediabetes dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

16
Universitas Sumatera Utara

HASIL

HbA1C

Normal

≤ 5,7%

Prediabetes

5,7% - 6,4%

Diabetes

≥ 6,5%

Tabel 2.1. Nilai diagnostik HbA1C.(ADA,2014)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:(PERKENI,2011;ADA,2014)
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
c.

Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

d. HbA1C ≥ 6,5%. Pengujian harus dilakukan di laboratorium menggunakan
metode yang NGSP bersertifikat dan standar untuk uji DCCT.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi

ereksi

pada

pria,

serta

pruritus

vulvae

pada

wanita.(PERKENI,2011)

2.2.3 Kontrol Glukosa Darah
Kontrol glukosa darah merupakan konsentrasi glukosa darah dalam tubuh
yang diperiksa dengan pemeriksaan HbA1C untuk menggambarkan status
glikemik jangka panjang sebagai indikator paparan kumulatif kadar glukosa darah

17
Universitas Sumatera Utara

berlebih selama periode 3 - 4 bulan. HbA1c (hemoglobin terglikasi) merupakan
salah satu cara untuk memantau kadar glukosa darah. HbA1c, disebut juga
glycohemoglobin, atau disingkat A1c merupakan salah satu pemeriksaan darah
yang penting untuk mengevaluasi pengendalian glukosa darah dengan cara
menilai status glikemik jangka panjang.(National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases,2014) Diabetes yang tidak terkontrol akan
mengakibatkan timbulnya komplikasi, untuk itu pada penyandang diabetes kadar
HbA1C ditargetkan kurang dari 7%.(Kilpatrick ES,2004)
Kontrol Glukosa darah yang baik dapat mengurangi resiko komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular. Menurut American Collage of Endocrinology
(ACE) pada setiap penurunan kadar HbA1c sebesar 1% maka terjadi penurunan
resiko komplikasi makrovaskular 14% dan mikrovaskular 30%- 35%.(ACE,2002)
HbA1c telah menjadi suatu “gold standart” untuk menilai dan mengontrol
glukosa darah pada DM tipe 1 dan DM tipe 2. Sebelum berkembangnya teknologi
HbA1c, pengontrolan glukosa darah menggunakan pemeriksan kadar glukosa
darah puasa. Pemeriksaan glukosa darah puasa mempunyai keterbatasan karena
hanya mengukur keadaan glukosa darah pada satu waktu dan tidak
menggambarkan secara akurat kontrol glukosa sebelumnya.(ACE,2002) Kontrol
glukosa darah dinyatakan sebagai terkontrol dan tidak terkontrol. American
Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa kontrol glukosa darah
dinyatakan terkontrol jika nilai HbA1C < 7%, sedangkan glukosa darah tidak
terkontrol, nilai HbA1C adalah ≥ 7%.33 Menurut Healthcare Effectiveness Data
and Information Set (HEDIS) dan ADA, kontrol glukosa darah berdasarkan
tingkatan kadar HbA1c dibagi menjadi 3 kategori : good control jika kadar
HbA1c < 7 %, fair control jika kadar HbA1c 7 - 9%, dan poor control jika kadar
HbA1c > 9 %.(ADA,2014; National Center for Quality Assurance,2004)
Pemeriksaan HbA1c memiliki beberapa keterbatasan pada keadaankeadaan tertentu yang dapat memberikan hasil yang tidak sesuai atau dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis. Kondisi yang menyebabkan terjadinya
penurunan atau turnover kadar eritrosit

seperti anemia.(ACE,2002;Kilptrick

ES,2010) Kriteria anemia menurut WHO yaitu pada wanita tidak hamil