Hubungan Lesi Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus terhadap Kadar HbA1C

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia.
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada
tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang menderita TB (8,3 juta- 9,0 juta) secara
global, yang setara dengan 122 kasus per 100.000 populasi dan 1,3 juta meninggal
akibat penyakit ini. Jumlah kematian dikarenakan TB ini terlampau besar
mengingat sebagian besar dapat dicegah.

Hampir 20 tahun setelah WHO

mendeklarasikan bahwasanya TB merupakan masalah kesehatan yang darurat di
dunia, karena di sebagian besar negara didunia, penyakit TB tidak terkendali
disebabkan banyaknya pasien yang tidak bisa disembuhkan terutama yang
menular dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Mayoritas kasus TB di seluruh
dunia pada tahun 2012 berada di Asia Tenggara (29%), Afrika (27%) dan daerah
Pasifik Barat (19%). India dan Cina menyumbang 26% dan 12% dari total kasus.
Lima negara dengan angka insidensi TB tertinggi pada tahun 2012 adalah India (2
juta - 2,4 juta kasus), Cina (0,9 juta – 1,1 juta kasus), Afrika Selatan (0,4 juta - 0,6

juta kasus), Indonesia (0,4 juta – 0,5 juta kasus) dan Pakistan (0,3 juta – 0,5 juta
kasus). Dari 8,6 juta kasus TB, diperkirakan 0,5 juta adalah anak-anak dan 2,9
juta adalah perempuan. (WHO,2013)
Dalam laporan Tuberkulosis Global 2014 yang dirilis Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan, insidensi Tuberkulosis di Indonesia pada
angka 460.000 kasus baru per tahun. Namun, di laporan serupa tahun 2015, angka
tersebut sudah direvisi berdasarkan survei sejak 2013, yakni naik menjadi 1 juta
kasus baru per tahun. Persentase jumlah kasus di Indonesia pun menjadi 10 persen
terhadap seluruh kasus dan berada pada urutan terbanyak kedua bersama dengan
Tiongkok. India menempati urutan pertama dengan persentase kasus 23 persen
terhadap seluruh kasus Tuberkulosis yang ada di seluruh dunia (WHO, 2016).
Hubungan antara Diabetes Mellitus (DM) dan TB pertama sekali
dicetuskan oleh Avicenna (980-1027 SM) lebih dari seribu tahun yang lalu. Sejak

1
Universitas Sumatera Utara

saat itu hubungan antara DM dan TB, dan interaksi keduanya yang dapat
mengakibatkan kematian, banyak dikemukakan oleh sejumlah studi epidemiologi.
Di awal abad ke 20, efek DM pada TB mendapat perhatian yang besar dari para

peneliti, dengan munculnya pengobatan yang tepat untuk kedua penyakit tersebut.
Dalam beberapa dekade terakhir, dengan meningkatnya prevalensi TB, khususnya
obat Multi Drug Resistant TB (MDR-TB), dan kasus DM di dunia. Hubungan
antara DM dan TB kembali menjadi masalah kesehatan yang signifikan, lebih
menonjol pada negara-negara berkembang dimana TB merupakan endemik dan
prevalensi DM meningkat. Usia, gaya hidup, faktor sosial ekonomi, pertumbuhan
populasi menjadi faktor utama meningkatnya prevalensi DM, khususnya DM tipe
2 (Baghaei P et al, 2013). Delapan dari sepuluh negara dengan insiden tertinggi
diabetes mellitus (DM) juga diklasifikasikan sebagai negara dengan jumlah
Tuberkulosis paru yang tinggi menurut World Health Organization (WHO).
Prevalensi diabetes mellitus (DM) yaitu di bagian utara dengan presentase 27,9%,
diikuti oleh bagian timur dengan persentase 24,7%, bagian tengah yaitu sebesar
23,7%, dan bagian selatan dengan prevalensi terendah yaitu 18,2% (Wijaya I et al,
2015; Baghaei P et al, 2013).
Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi
diabetes mellitus (DM). Frekuensi DM pada pasien TB paru dilaporkan sekitar
10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien
diabetes dibandingkan dengan kontrol yang nondiabetes. Berdasarkan penelitian
Dobler dkk. di Australia pada tahun 2012 dan Leung dkk di Hongkong tahun
2008, peneliti menemukan penderita diabetes mellitus (DM) dengan kadar HbA1c

> 7% lebih banyak menderita TB paru. Kesimpulan penelitian tersebut adalah
bahwa kondisi hiperglikemia bahkan pengguna insulin berisiko tinggi untuk
menderita TB paru (Dobler CC et al,2012; Leung CC,2012)
Telah lama diperkirakan terdapat hubungan tingkat keparahan DM dengan
dijumpainya TB paru aktif. Meskipun mekanisme patofisiologi yang pasti tentang
pengaruh DM sebagai faktor predisposisi untuk TB belum diketahui, beberapa
hipotesis mengatakan adanya kaitan dengan depresi imunitas seluler, disfungsi
makrofag alveolar, rendahnya tingkat interferon-gamma, mikroangiopati paru,

2
Universitas Sumatera Utara

dan defisiensi mikronutrien. (Baghaei P et al, 2013) Penderita DM yang tidak
terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB
menjadi

lebih

parah


dan

berhubungan

dengan

mortalitas

yang lebih

tinggi.(Ibrahim H et al,2010) Diabetes yang tidak terkontrol juga berpengaruh
secara signifikan pada manifestasi radiologi TB paru. Beberapa studi melaporkan
bahwa pasien TB dengan DM memiliki peningkatan frekuensi lesi dibandingkan
dengan pasien TB tanpa DM. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chiang CY dkk
dinyatakan bahwa gambaran lesi TB paru yang disertai DM terdapat peningkatan
lesi di lapangan bawah paru serta peningkatan jumlah dan ukuran kavitas
dibandingkan dengan TB paru yang tidak disertai DM, terutama pada HbA1c
>7%. Tetapi beberapa penelitian yang lain tidak sependapat dengan hal
tersebut.(Chiang CY et al, 2014)
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti mencoba mencari hubungan

antara kadar HbA1c dengan luas dan letak lesi pada pasien TB paru yang disertai
DM di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah : Apakah
ada hubungan antara tingginya kadar HbA1C dengan gambaran lesi TB paru
secara radiologis.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara gambaran lesi TB paru secara radiologis
dan kejadian DM.

1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita TB paru dengan dan
tanpa DM berdasarkan karakteristik

penderita (usia, jenis kelamin,

pendidikan, riwayat merokok, riwayat alkohol, riwayat penggunaan


3
Universitas Sumatera Utara

narkoba, kepositifan BTA berdasarkan hapusan langsung, kepositifan
BTA berdasarkan GeneXpert).
b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita TB paru dengan dan
tanpa DM berdasarkan jenis lesi, luas lesi, letak lesi, jumlah kavitas,
ukuran kavitas, luas efusi pleura.
c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik penderita (usia, jenis
kelamin, pendidikan, riwayat merokok, riwayat alkohol, riwayat
penggunaan narkoba, kepositifan BTA berdasarkan hapusan langsung,
kepositifan BTA berdasarkan GeneXpert) berdasarkan kadar HbA1C.
d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi jenis lesi, luas lesi, letak lesi,
jumlah kavitas, ukuran kavitas dan luas efusi pleura penderita TB paru
dengan DM berdasarkan kadar HbA1c.
e. Untuk mengetahui hubungan antara jenis lesi, luas lesi, letak lesi, jumlah
kavitas, ukuran kavitas dan luas efusi pleura penderita TB paru dengan
kadar HbA1C.


1.4. Hipotesis
Terdapat hubungan antara antara jenis lesi, luas lesi, letak lesi, jumlah
kavitas, ukuran kavitas penderita TB paru dengan kejadian DM

1.5. Manfaat Penelitian
a. Dari penelitian ini diharapkan kepada dokter untuk dapat memberikan
penanganan yang komprehensif pada penderita TB paru yang disertai DM.
b. Dari penelitian ini diharapkan kepada penderita untuk mengontrol kadar
glikemik supaya komplikasi TB paru dapat dicegah.
c. Penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan pengalaman peneliti
atas gambaran lesi pada penderita TB paru dengan DM.

4
Universitas Sumatera Utara