Hubungan Lesi Tuberkulosis Paru Terhadap Diabetes Mellitus

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Defenisi tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui udara,
yang

disebabkan

oleh

kuman

Mycobacterium

Tuberculosis

kompleks.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit Tuberkulosis yang melibatkan parenkim

paru.(PDPI,2011)

2.1.2 Patogenesis
a. Tuberkulosis Primer
Pada saat inspirasi, sebagian kuman basil tuberkulosa terjebak di mukosa
saluran pernapasan atas, trakea dan bronkus, kemudian dieliminasi oleh
mekanisme pertahanan mucosiliar. Partikel-partikel kecil atau droplet nuklei yang
lebih kecil dari 5 µm dapat melewati barrier dan mencapai saluran pernapasan
bawah, terutama di dalam alveoli, di mana basil tuberkulosa dapat segera
dipagositosis oleh makrofag alveolar.(PDPI,2006) Rangkaian interaksi antara
makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali
dengan ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan
dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel
imun tambahan untuk respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T
untuk perkembangan imunitas adaptif.(Cahyadi A et al,2011)
Kelangsungan hidup basil tuberkulosa di paru-paru akan tergantung pada
patogenisitas / virulensinya dan kemampuan sel inang untuk mengeliminasinya.
Makrofag alveolar merupakan garis pertahanan pertama terhadap Mycobacterium
tuberculosis. Pada respon awal ini jika benar-benar efektif, akan mengeliminasi
kuman patogen melalui fagositosis oleh makrofag tersebut.(Palomino et al,2007)

Dan akan dikeluarkan dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat

5
Universitas Sumatera Utara

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam sito-plasma makrofag. Di sini
kuman basil dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.(Amin Z et al, 2007)
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. (Amin Z et al, 2007) Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer
bersama-sama

dengan

primer.(PDPI,2006)


limfangitis

Semua

proses

regional
ini

dikenal

memakan

sebagai

waktu

3-8

kompleks

minggu.

(PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut:
1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus).
3) Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.

Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

6
Universitas Sumatera Utara

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
1. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang

pada

anak

setelah


mendapat

ensefalomeningitis,

tuberkuloma).
2. Meninggal.(PDPI,2006)

b. Tuberkulosis Post Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun biasanya pada
usia 15-40 tahun, kemudian tuberkulosis post-primer sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer atau TB pasca primer atau
TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis primer terjadi
karena imunitas menurun seperti Diabetes, malnutrisi, alkohol, penyakit
malignansi, AIDS. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru.(Amin Z et al,2007)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
(PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel
yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langerhans
(sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai

jaringan ikat. (Amin Z et al,2007) Sarang dini ini dapat menjadi :(PDPI,2006)
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran., dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar.

7
Universitas Sumatera Utara

3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik)17 karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar. Terjadi
perkejuan dan kavitas karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag , dan proses yang berlebihan sitokin
dengan TNFnya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi imunodefisiensi dan usia lanjut. (Amin Z et

al,2007)
Nasib kaviti ini dapat menjadi :
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas. (PDPI,2006) Bila isi kavitas ini masuk dalam
peredaran darah arteri maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan
selanjutnya ke usus akan menjadi TB usus. Bisa juga menjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke
pleura. (Amin Z et al,2007)
b) Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
(PDPI,2016) Komplikasi kronik kaviti adalah kolonisasi oleh
fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
(Amin Z et al,2007)
c) Menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus,
dan


menciut

sehingga

kelihatan

seperti

bintang

(stellate

shaped).(PDPI,2006;Amin Z et al,2007)

8
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya.(PDPI,2006)


2.1.3. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan

fisik/jasmani,

pemeriksaan

bakteriologik,

radiologik

dan

pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.(PDPI,2011)
1) Gejala respiratorik
a) Batuk ≥ β minggu

Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Batuk diawali dengan batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
batuk yang produktif (menghasilkan sputum).
b) Batuk darah
Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit
tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda
terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding
kavitas. Batuk darah masif terjadi bila ada robekan dari aneurisma
Rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari

9
Universitas Sumatera Utara

bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian karena penyumbatan saluran pernapasan oleh
bekuan darah.(Alsagaff H et al, 2010)
c) Sesak napas
Merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru dengan
keterlibatan parenkim paru yang luas akibat adanya restriksi dan
obstruksi saluran pernapasan.(Alsagaff H et al, 2010)
d) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau menghembuskan napas. (Amin Z et
al;Alsagaff H et al, 2010)
2) Gejala sistemik
a) Demam
Demam dengan pola yang khas, biasanya terjadi pada sore hari dan
tidak terlalu tinggi.(Fishman AP et al,2008)
b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.(PDPI,2011)

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sering tidak dijumpai kelainan terutama pada
kasus-kasus ringan. Demikian juga bila lesi paru terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran / suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan
auskultasi.(Amin Z et al, 2007) Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan
yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apek dan segmen posterior ,
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.(PDPI,2006)

10
Universitas Sumatera Utara

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas
tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh
penebalan pleura, suara napasnya menjadi melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.(Amin Z et al, 2007)
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura.(PDPI,2006) Pada paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam penapasan. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara
napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.(Amin
Z et al,2007)

c. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).(PDPI,2006)
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah.(Amin Z et al,2007)
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya dapat
dilakukan dengan cara :(PDPI,2006)
1) Mikroskopik
2) Biakan atau kultur
3) GenXpert

11
Universitas Sumatera Utara

d. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform).(PDPI,2011)
1) Tuberkulosis Primer
Gambaran radiologi yang paling umum dijumpai pada tuberkulosis
primer adalah gambaran radiologis normal. Pada tuberkulosis primer
keterlibatan parenkim dapat terjadi di setiap segmen paru-paru. Dan hanya
ada sedikit keterlibatan lobus atas paru. Gambaran konsolidasi dapat
muncul dengan densitas seragam dengan batas tidak jelas, dan kavitasi
jarang kecuali pada malnutrisi atau pasien immunocompromised lainnya.
Biasanya infiltrat ini kecil dan berada di sub pleura. Pembesaran kelenjar
getah di hilus atau paratrakeal merupakan temuan khas pada tuberkulosis
primer. Namun, hal ini paling sering terlihat pada anak-anak. Biasanya
berupa adenopati yang unilateral. Berbeda dengan limfadenopati, terlihat
lebih sering pada dewasa dengan keterlibatan TB Miliary primer (sebagai
nodul kecil multipel), yang terjadi 3 persen dari jumlah kasus, paling
sering pada anak di bawah 2 sampai 3 tahun, tetapi juga dapat dilihat pada
orang dewasa. Yang akhirnya, dapat menjadi efusi pleura terlokalisir
derajat ringan sampai sedang, yang mungkin satu-satunya manifestasi dari
tuberkulosis primer.(Fishman AP et al,2008)

2) Tuberkulosis post primer
Pada 95% gambaran radiologis kasus tuberkulosis post primer, lesi terlihat
pada segmen apikal atau segmen posterior di lobus atas atau segmen
superior lobus bawah. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif :( PDPI,2011),
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.

12
Universitas Sumatera Utara

b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c) Bayangan bercak milier
d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Berdasarkan luasnya, efusi pleura dibagi menjadi:(Light RW et al,2008)
(1).Efusi pleura minimal, yaitu jika cairan pleura kurang dari sepertiga
hemitoraks.
(2).Efusi pleura sedang, yaitu jika cairan pleura lebih dari sepertiga
hemitoraks tetapi kurang dari setengah hemitoraks.
(3).Efusi pleura luas, yaitu jika cairan pleura lebih dari setengah
hemitoraks.
(4).Efusi pleura masif, yaitu jika cairan pleura memenuhi satu
hemitoraks.
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :(PDPI,2006;PDPI,2011)
a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
b) Kalsifikasi atau fibrotik
c) Kompleks ranke
d) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

a.

b.

Gambar 2.2. a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal, b. Bayangan bercak
milier.(Daley CL et al,2006)

13
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3. Efusi pleura(Kaufmann SHE et al,2003)

Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association
luasnya proses

yang tampak pada

foto toraks

dapat dibagi sebagai

berikut:(Alsagaff H et al,2010;Rasad S,2011)
a) Lesi minimal (minimal lesion) :
Bila lesi tuberkulosis paru yang kelihatan tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan; lesi-lesi soliter dapat
berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas.
Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).
b) Lesi sedang (moderatly lesion):
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan lesi yang bersifat
bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru atau jumlah seluruh proses
yang ada paling banyak seluas satu paru. Kalau sifat bayangan lesi tersebut
berupa awan-awan yang berubah menjadi daerah konsolidasi yang
homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. Sedangkan bila
ada kavitas, diameter kavitas tidak melebihi 4 cm.
c) Lesi luas (far advanced lesion):
Kelainan lebih luas dari lesi sedang, atau bila ada kavitas-kavitas maka
diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

14
Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.Skema klasifikasi American Tuberculosis Association.(Rasad S et
al,2011)

2.2 Diabetes Mellitus
2.2.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, Diabetes
melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.(PERKENI,2011;ADA,2014) Diabetes dengan hiperglikemia yang
kronis berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan
organ yang berbeda, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.(ADA,2014)

2.2.2 Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan

15
Universitas Sumatera Utara

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.(PERKENI,2011)
Diagnosis diabetes didasarkan pada kriteria pemeriksaan kadar glukosa
darah (KGD), baik KGD puasa, KGD 2 jam PP atau tes toleransi glukosa
terganggu 75 g. Nilai batas diagnostik untuk KGD puasa yaitu ≥ 1β6 mg/dl, KGD
β jam PP ≥ β00 mg/dl. HbA1C adalah suatu tes yang banyak digunakan untuk
glikemia kronis ,yang mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah pada selama 2
- 3 bulan ini. HbA1C memainkan peranan yang penting dalam pengelolaan pasien
diabetes, karena berkorelasi baik dengan mikrovaskuler maupun tingkat lebih
rendah pada komplikasi makrovaskular dan digunakan secara luas sebagai
biomarker standar untuk menilai adekuasi manajemen glikemik. Sebelumnya para
komite Ahli tidak menganjurkan penggunaan HbA1C untuk diagnosis diabetes,
sebagian karena kurangnya standarisasi pengujian tersebut. Namun, Tes HbA1C
sekarang sangat standar sehingga hasil mereka dapat diterapkan pada seluruh
populasi.

Dalam

laporan

terbaru

mereka,

Komite

Ahli

Internasional

merekomendasikan penggunaan tes HbA1C untuk mendiagnosa diabetes, dengan
ambang batas sebesar ≥ 6,5%, dan ADA menguatkan keputusan tersebut. HbA1C
lebih sering digunakan untuk mendiagnosa diabetes pada individu dengan faktor
risiko, juga akan mengidentifikasi mereka yang risiko tinggi untuk berkembang
menjadi diabetes di masa depan.(ADA,2014)
Menurut ADA, diabetes dapat didiagnosa pada kadar HbA1C ≥ 6,5%.
Pada Individu dengan kadar HbA1C kisaran 5,7-6,4% merupakan individu dengan
risiko tinggi diabetes di masa depan atau disebut dengan istilah prediabetes. Pada
suatu studi tinjauan sistematis dari 44.203 orang dari 16 penelitian kohort yang
diikuti dengan interval waktu rata-rata 5,6 tahun (kisaran 2,8 - 12 tahun), orangorang dengan kadar HbA1C antara 5,5 - 6,0% memiliki peningkatan risiko
diabetes pada 5 tahun kedepan, dengan insiden antara 9 sampai 25%. HbA1C
dengan kadar 6,0-6,5% memiliki risiko 5 tahun terkena diabetes antara 25 dan
50% dan risiko relatif 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan HbA1C
5,0%.(ADA,2014) Batas nilai ambang HbA1C untuk diagnosa diabetes dan
prediabetes dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

16
Universitas Sumatera Utara

HASIL

HbA1C

Normal

≤ 5,7%

Prediabetes

5,7% - 6,4%

Diabetes

≥ 6,5%

Tabel 2.1. Nilai diagnostik HbA1C.(ADA,2014)

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:(PERKENI,2011;ADA,2014)
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
c.

Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

d. HbA1C ≥ 6,5%. Pengujian harus dilakukan di laboratorium menggunakan
metode yang NGSP bersertifikat dan standar untuk uji DCCT.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi

ereksi

pada

pria,

serta

pruritus

vulvae

pada

wanita.(PERKENI,2011)

2.3 Hubungan Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus
2.3.1 Epidemiologi dan Risiko Kasus TB Paru dengan Diabetes Mellitus
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia.
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada

17
Universitas Sumatera Utara

tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang menderita TB dan 1,3 juta meninggal
akibat penyakit ini. Jumlah kematian dikarenakan TB ini terlampau besar
mengingat sebagian besar dapat dicegah. Hampir 20 tahun setelah WHO
mendeklarasikan bahwasanya TB merupakan masalah kesehatan yang darurat di
dunia, karena di sebagian besar negara didunia, penyakit TB tidak terkendali
disebabkan banyaknya pasien yang tidak bisa disembuhkan terutama yang
menular dengan basil tahan asam (BTA) positif.(WHO,2013) Dalam laporan
Tuberkulosis Global 2014 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
disebutkan, insidensi di Indonesia pada angka 460.000 kasus baru per tahun.
Namun, di laporan serupa tahun 2015, angka tersebut sudah direvisi berdasarkan
survei sejak 2013, yakni naik menjadi 1 juta kasus baru per tahun. Persentase
jumlah kasus di Indonesia pun menjadi 10 persen terhadap seluruh kasus
terbanyak kedua bersama dengan tiongkok. India menempati urutan pertama
dengan

persentase

kasus

23

persen

terhadap

yang

ada

di

seluruh

dunia.(WHO,2016)
Delapan dari sepuluh negara dengan insiden tertinggi diabetes mellitus
(DM) juga diklasifikasikan sebagai negara dengan jumlah Tuberkulosis paru yang
tinggi menurut World Health Organization (WHO). Prevalensi diabetes mellitus
(DM) yaitu di bagian utara dengan presentase 27,9%, diikuti oleh bagian timur
dengan persentase 24,7%, bagian tengah yaitu sebesar 23,7%, dan bagian selatan
dengan prevalensi terendah yaitu 18,2%.(Wijaya I et al,2015;Baghaei P et
al,2013;Wulandari DR et al,2013)
Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi
diabetes mellitus (DM). Frekuensi DM pada pasien TB paru dilaporkan sekitar
10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien
diabetes dibandingkan dengan kontrol yang nondiabetes. Berdasarkan penelitian
Dobler dkk. di Australia pada tahun 2012 dan Leung dkk di Hongkong tahun
2008, peneliti menemukan penderita diabetes mellitus (DM) dengan kadar HbA1c
> 7% lebih banyak menderita TB paru. Kesimpulan penelitian tersebut adalah
bahwa kondisi hiperglikemia bahkan pengguna insulin berisiko tinggi untuk
menderita TB paru.(Wijaya I et al,2015;Cahyadi A et al,2011)

18
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penelitian Restrepo dkk di Mexico dan Texas pada tahun
2007 serta Dobler dkk di Australia pada tahun 2012, menunjukkan angka kejadian
TB paru disertai diabetes mellitus (DM) lebih banyak ditemukan pada penderita
dengan usia lebih dari 40 tahun. Jenis kelamin tidak berkaitan dengan insidens TB
paru dengan diabetes mellitus (DM). (Wijaya I et al,2015;Baghaei P et
al,2013;Wulandari DR et al,2013) Alisjahbana, dkk. menyatakan bahwa lebih dari
10% penderita TB paru di dunia adalah penduduk Indonesia. Penelitiannya di
Indonesia pada tahun 2001-2005, melaporkan 40% penderita TB paru memiliki
riwayat DM. Pada penderita DM, ditemukan 60 kasus TB paru di antara 454
penderita; risiko penderita DM untuk mengalami TB paru sebesar 4,7 kali
lipat.(Wijaya I et al,2015)
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya terjadi infeksi
tuberkulosis pada pasien DM, diantaranya:
1. Faktor-faktor fisiokimia : hiperglikemia, hipoglikemia, dan asidosis adalah
faktor yang menyebabkan mudahnya infeksi TB pada pengidap DM, keadaan
asidosis diabetik akan meningkatkan tekanan osmosis dari cairan ekstrasel
dengan bertambahnya sel-sel yang mengalami dehidrasi. Lekosit pada
pengidap DM akan kurang aktif dalam proses fagositosis terhadap kuman
mikobakterium, streptokokus dan stafilokokus. Disamping terjadinya
peningkatan kadar gliserol akibat gangguan metabolisme lemak dengan
meningkatnya liposis pada pengidap DM merupakan hal yang penting dalam
kerentanan terhadap tuberkulosis.
2. Faktor-faktor kekebalan : ketidakmampuan sistim imunitas selular untuk
menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman TB yang merupakan
mekanisme dasar daya tahan tubuh kuman terhadap kuman TB yang bersifat
intraseluler fakultatif. Peranan terpenting terletak pada sel T sebagai afektor
dan makrofag sebagai efektor. Bagaimana tepatnya gangguan kedua jenis sel
tersebut belum diperoleh kepastian dengan kemungkinan antara lain:
gangguan pengaturan sel-sel tersebut akibat gangguan metabolisme protein,
meningginya kadar plasma kortisol, pengaruh benda-benda keton dan asidosis
menurunkan aktiviti fagositosis makrofag. Boucot mengatakan bahwa

19
Universitas Sumatera Utara

meningkatnya risiko TB pada penderita DM dipengaruhi oleh beberapa
faktor: lamanya DM, kontrol DM dan berat badan (makin tinggi risikonya
pada penderita yang berat badannya kurang)
3. Faktor lain yaitu imunitas humoral, angiopati dan neuropati.(Elloriaga
G,2014)

2.3.2. Disfungsi Imun pada Penderita Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai
dengan sindroma klinis berupa kondisi hiperglikemia akibat defisiensi insulin,
gangguan kerja insulin, atau keduanya, yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imun tubuh. Terdapat perbedaan sistem imunitas antara pasien diabetes mellitus
dengan pasien non diabetes mellitus, yaitu: (Wijaya I,2015;Prameswari
AI,2013;Casquiero J et al,2012;Shui HJ et al,2014)
a. Sistem komplemen
Sistem komplemen adalah salah satu sistem imun utama yang bertanggung
jawab dalam sistem imun alamiah, terdiri dari serum dengan permukaan
protein, yang mempunyai fungsi utama untuk mempromosikan opsonisasi dan
fagositosis mikroorganisme melalui makrofag dan neutrofil-neutrofil sehingga
dapat menginduksi lisis dari mikroorganisme tersebut. Selain itu, produk
aktivasi komplemen akan memberikan sinyal kedua untuk aktivasi limfosit B
dan produksi antibodi. Berdasarkan beberapa penelitian, dilaporkan bahwa
terjadi defisiensi CD4 pada penderita diabetes mellitus (DM), yang berkaitan
dengan disfungsi polimorfonuklear dan respon sitokin yang berkurang.
b. Sitokin inflamasi
Sel-sel mononuklear dan monosit pada pasien diabetes mellitus (DM) akan
mensekresi interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) dalam jumlah yang
lebih sedikit akibat respon dari rangsangan lipopolisakarida. Rendahnya
produksi interleukin merupakan konsekuensi adanya cacat intrinsik dalam selsel pasien dengan DM. Penelitian lain juga melaporkan bahwa adanya
peningkatan glikasi dapat menghambat produksi interleukin-10 (IL-10) oleh sel
mieloid, sama seperti interferon gamma (IFN- ) dan Tumor Necrosis Factor

20
Universitas Sumatera Utara

(TNF)-α oleh sel T. Adanya proses glikasi juga akan mengurangi ekspresi dari
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I pada permukaan sel mieloid,
sehingga akan menyebabkan kerusakan imunitas sel.
c. Leukosit Polimorfonuklear dan Mononuklear
Pergerakan atau mobilitas yang berkurang pada leukosit polimorfonuklear,
kemotaksis, dan aktivitas fagositik sangat mungkin terjadi saat keadaan
hiperglikemia. Lingkungan dengan suasana hiperglikemia akan menghambat
fungsi antimikroba dengan menghambat enzim G6PD (Glucose -6-phosphate
dehydrogenase),

meningkatkan

aktivitas

apoptosis

pada

leukosit

polimorfonuklear, dan mengurangi transmigrasi leukosit polimorfonuklear ke
daerah endotel. Pada jaringan yang tidak menggunakan insulin sebagai
transport

glukosa,

lingkungan

dengan

suasana

hiperglikemia

akan

meningkatkan kadar glukosa intrasel, yang kemudian akan dimetabolisme,
menggunakan NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate)
sebagai

kofaktor.

Rendahnya

kadar

NADPH

(Nicotinamide

Adenine

Dinucleotide Phosphate) akan mencegah regenerasi molekul-molekul yang
berperan penting dalam mekanisme antioksidan sel, sehingga meningkatan
kerentanan sel terhadap stres oksidasi. Berhubungan dengan limfosit
mononuklear, beberapa penelitian melaporkan bahwa ketika HbA1c < 8%,
fungsi proliferasi limfosit T CD4 dan respons terhadap antigen tidak
mengalami gangguan.
d. Antibodi
Glikasi imunoglobulin terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus (DM) yang
sedang mengalami peningkatan HbA1c dan hal ini akan membahayakan fungsi
biologis dari antibodi. Namun, relevansi klinis pengamatan ini tidak jelas,
karena respon antibodi setelah vaksinasi terhadap infeksi umum cukup
memadai pada pasien dengan diabetes mellitus (DM).
e. Adherensi
Kemampuan

sistem

imun

tubuh

seseorang

dalam

fungsi

adherensi

mikroorganisme ke sel-sel epitel atau mukosa merupakan tahap yang sangat
penting dalam menjelaskan mekanisme atau patogenesis pasien dengan

21
Universitas Sumatera Utara

diabetes mellitus (DM) yang rentan terhadap berbagai infeksi. Sebagai contoh,
pasien dengan diabetes mellitus (DM) akan sangat rentan terhadap infeksi,
misalnya Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) yang tertular melalui droplet
inhalasi.
Diabetes mellitus dapat menyebabkan penurunan sistem imunitas selular.
Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan netrofil pada pasien DM yang
disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan penurunan produksi
mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1 serta IL-6. Limfosit Th1 mempunyai
peranan penting untuk mengontrol dan menghambat pertumbuhan basil M.tb,
sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun fungsi limfosit T secara
primer akan bertanggung jawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk
terkena TB.(Prameswari AI,2013;Guptan A et al,2000)
Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis
dan fagositik yang menurun. Penelitian oleh Mowatt dan Baumm mendapatkan
penurunan daya kemotaksis lekosit pada penderita DM dibandingkan dengan
kontrol dan akan semakin memburuk bila pasien jatuh dalam koma ketoasidosis.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menambah insulin kedalam larutan penguji.
Penyebab dan gejala klinis gangguan kemotaksis pada DM belum diketahui
dengan pasti. Basement Membran yang menebal dan berkombinasi dengan
gangguan kemotaksis akan menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan tubuh.
Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada
sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel
limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan
tubuh melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif.
(Nasution EJ,2007;Sanusi H,2003)
Fagositosis terganggu pada DM akibat defek intrinstik dari pada PMN
Aktifitas membunuh enzim lisosom juga menurun. Terjadi gangguan daya bunuh
kuman oleh radikal bebas, superoksida dan hidrogen peroksida (Respiratory
Burst). Adanya radikal bebas tergantung pada Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphate (NADPH). Semakin banyak glukosa masuk ke dalam sel

22
Universitas Sumatera Utara

(hiperglikemi, diabetes mellitus) yang kemudian akan dimetabolisme melalui
polyol pathway dimana cenderung terbentuk sorbitol oleh enzim aldose reduktase.
Enzim aldose reduktase juga memerlukan NADPH untuk memetabolisme
glukosa. Karena kompetisi ini untuk mendapatkan NADPH dan NADPH banyak
digunakan untuk membentuk sorbitol maka produksi dari radikal bebas
(respiratory burst) terganggu sehingga aktifitas membunuh mikroorganisme
intraselular yang memerlukan NADPH menjadi menurun. Normalisasi KGD akan
meningkatkan aktivasi membunuh dalam 48 jam.(Nasution EJ,2007;Sanusi
H,2003;Ljubic S et al,2004)
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida
pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan
dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang
kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi
menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang
lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM
juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses
pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi
non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada
fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga
menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan
menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.(Guptan A et al,2000)

23
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Kesimpulan Disfungsi Imunitas pada Pasien dengan Diabetes Mellitus
(DM)(Shui HJ et al,2014)

Gambar 5. Skema Disfungsi Imun pada Pasien DM.( Casquiero J et al,2012)

2.3.3

Patogenesis TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit metabolik kronis yang

berkaitan dengan gangguan fungsi imun tubuh sehingga penderita lebih rentan
terserang infeksi, termasuk penyakit infeksi TB paru. Tuberkulosis (TB) paru
merupakan salah satu penyakit infeksi tertua yang menginfeksi manusia terutama
saat sistem imun tubuh seseorang sedang mengalami gangguan. Kemungkinan
penyebab meningkatnya insiden penyakit tuberkulosis (TB) paru pada pasien
diabetes mellitus (DM) dapat berupa adanya defek pada fungsi sistem imunitas
dan mekanisme pertahanan dari tubuh manusia. Mekanisme yang mendasari
terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami sampai sekarang, namun
terdapat sejumlah hipotesis mengenai berbagai peran imunitas yang mengalami
defek pada pasien diabetes mellitus (DM), yaitu misalnya seperti sitokin
inflamasi, polimorfonuklear, mononuklear, dan sebagainya yang berperan penting
dalam mekanisme pertahanan terhadap kuman TB. Selain itu, juga ditemukan

24
Universitas Sumatera Utara

adanya gangguan aktivitas bakterisidal leukosit pada pasien diabetes mellitus
(DM), terutama pada orang-orang yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.
(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011;Elloriaga G et al,2014)
Peningkatan insidens TB paru pada pasien DM juga disebabkan karena
adanya defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa dijumpai jumlah makrofag alveolar yang rendah pada pasien
TB paru dengan diabetes mellitus (DM), yang dianggap bertanggung jawab dalam
lebih hebatnya perluasan lesi TB paru dan peningkatan jumlah bakteri TB dalam
sputum pasien TB dengan DM. Selain disfungsi imunitas yang telah disebutkan di
atas, terdapat juga gangguan fungsi dari sel epitel pernapasan serta motilitas silia.
Sistem pernapasan pada pasien diabetes mellitus (DM) akan mengalami
perubahan menjadi patologis , seperti adanya penebalan epitel alveolar dan lamina
basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi
mikroangiopati, sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati akibat
diabetes mellitus (DM). Gangguan neuropati saraf otonom juga dijumpai pada
pasien dengan diabetes mellitus (DM), berupa hipoventilasi sentral dan sleep
apneu. Perubahan lain yang juga terjadi pada penderita DM, yaitu penurunan
elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan
peningkatan produksi karbondioksida endogen.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et
al,2011;Elloriaga G et al,2014)

Kelainan fungsi imunologi paru pada
DM
Gangguan kemotaksis, adhesi, fagositosis
dan mikrobisida polimorfonuklear

Disfungsi fisiologis paru pada DM

Penurunan monosit
gangguan fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume
paru

perifer

dengan

Buruknya fungsi transformasi sel blast
menjadi limfosit

Reaktifitas bronkial berkurang atau
menghilang

Penurunan kapasitas difusi

25
Universitas Sumatera Utara

Cacat fungsi opsonisasi C4

Penyumbatan saluran napas akibat
mukus
Penurunan respons ventilasi terhadap
hipoksemia

Tabel 2.3. Defek imunologi dan disfungsi pulmonal pada penderita DM.(Wijaya
I,2015;Cahyadi A et al,2011Prameswari AI,2013)

Gambar 6. Perbandingan imunitas pasien TB-non DM dengan pasien TBDM.(Martinez N et al,2014)

26
Universitas Sumatera Utara

Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa sel-sel efektor yang biasanya
berkontribusi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah fagosit, yaitu
makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit T, berperan penting dalam
mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada penderita diabetes mellitus (DM),
diketahui terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting cell
(APC) oleh fagosit terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis; kemotaksis
monosit tidak terjadi pada penderita diabetes mellitus (DM). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan respons Th-1, produksi TNF-α, IFN- ,
serta produksi IL-1 dan IL-6. Penurunan produksi IFN- (interferon gamma)
lebih signifikan dijumpai pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol, dan
akan terus menurun pada pasien dengan DM tidak terkontrol. Namun, jika kadar
gula darah pasien DM terkontrol, maka produksi IFN- akan kembali normal
dalam waktu 6 bulan. Selain itu, terjadi perubahan vaskular pulmonal dan tekanan
oksigen alveolar yang akan semakin memperberat kondisi pasien.(Martinez N et
al,2014;Ponnana M et al,2013)

2.3.4. Manifestasi Klinis TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)
Telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan manifestasi
klinis penderita TB paru dengan diabetes mellitus (DM) dan penderita TB paru
saja. Hasil penelitian Wang dkk di Taiwan pada tahun 2009 menyatakan bahwa
pasien TB dengan DM menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam hal gejala
demam dan hemoptisis, sputum basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi,
kavitas, dan keterlibatan lapangan paru bawah.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et
al,2011)
Penelitian Alisjahbana dkk di Indonesia pada tahun 2007 menemukan
beberapa perbedaan manifestasi klinis. Gejala klinis ditemukan lebih banyak pada
pasien TB paru yang juga menderita DM dan berdasarkan indeks Karnofsky,
keadaan umumnya juga lebih buruk. Dikatakan hasilnya tidak terlalu signifikan
karena perbedaannya kecil. Penelitian lain di Malaysia, Saudi Arabia, dan Turki,
tidak menemukan perbedaan signifikan dalam hal gejala, akan tetapi sebuah studi
besar di Mexico melaporkan gambaran klinis yang lebih buruk pada pasien TB

27
Universitas Sumatera Utara

yang menderita DM, yaitu dalam hal demam, hemoptisis, dan keadaan
umumnya.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011)
Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan
meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru
aktif, dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon,
kortisol, dan hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan
kadar gula dalam darah hingga lebih dari 200 mg/dL, sehingga memperburuk
keadaan infeksinya.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011)

2.3.5. Gambaran Radiologi TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)
TB paru tanpa diabetes mellitus (DM) secara radiologis sering
menunjukkan gambaran dan distribusi radiografi yang ‘tipikal' yaitu pada
penderita TB paru tanpa DM kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada lobus
atas. sedangkan pada penderita TB paru disertai DM kavitas atau infiltrat banyak
melibatkan lobus bawah yang sering disebut dengan lesi yang ‘atipikal’. Menurut
Shital P dkk, pada TB dengan DM lapangan paru bagian bawah lebih sering
terlibat (29% pada kasus dengan DM, 4,5% pada kasus non-DM), diikuti lobus
atas kemudian tengah. Keterlibatan paru bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan
dengan efusi pleura, dan 30% terdapat kavitas. Gambaran radiologi termasuk
fibrosis, konsolidasi, opasitas homogenous dan heterogenous.(Shital P et al,2014)
Menurut penelitian Patel dkk di India pada tahun 2011 melaporkan bahwa
pada 10 dari 50 foto radiologik penderita TB dengan DM didapatkan gambaran
kavitas lebih dari 2 cm, terutama jika paru bagian bawah terlibat (80%).
Gambaran radiologi atipikal TB paru disebabkan karena penderita diabetes
mellitus (DM) memiliki gangguan imunitas seluler dan disfungsi sel leukosit
polimorfonuklear (PMN). Penurunan jumlah dan aktivitas bakterisidal, kemotatik,
dan fagositik, diduga menjadi faktor utama yang berperan terhadap timbulnya lesi
dan kavitas di lapangan paru bawah.(Patel AK et al,2011;Baghaei P et
al,2010;Kansal HM,2015;Chaudhary V,2015)

28
Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Gambaran Foto Rontgen Pasien TB Paru dengan Diabetes Melitus
(DM) di Lobus Paru Bagian Bawah.(Kansal HM,2015)

Mycobacterium tuberculosis termasuk kedalam organisme jenis aerob
obligat yaitu organisme yang membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi
sel aerobik. Oleh karena itu pada keadaan normal Mycobacterium tuberculosis
complex selalu ditemukan di lobus atas paru yang baik siklus aerasi.(PDPI,2006)
Secara patogenesis, gambaran klinis pasien TB paru tidak terlalu berbeda dengan
adanya predisposisi penyakit diabetes mellitus (DM), tetapi DM dapat
menyebabkan gambaran radiologis TB paru mengalami perubahan, yaitu lesi
infiltrat atau kavitas yang terbentuk akibat kuman Mycobacterium tuberculosis
dapat dijumpai pada lobus paru bagian bawah. Hal ini disebabkan karena adanya
peningkatan tekanan oksigen alveolar di lobus paru bagian bawah, sehingga pada
pasien TB paru dengan DM, lesi lebih sering dijumpai pada lobus paru bagian
bawah.(Singh SK et al,2015)
Perez-Gusman menyatakan gambaran lesi tuberkulosis pada penderita DM
dan usia tua mempunyai kemiripan. Lesi TB paru pada penderita DM dan usia tua
sering berada pada lapangan bawah paru hal ini dikarenakan adanya gangguan
sistem imunitas atau tingginya frekuensi tuberkulosis primer. Mycobacterium
tuberculosis cenderung berada pada daerah bertekanan oksigen tinggi. Teori ini
didukung bahwa proses reaktivasi TB sering terjadi pada paru bagian atas, dimana

29
Universitas Sumatera Utara

pada bagian atas paru mempunyai PAO2 tertinggi. Diabetes dan usia tua
meningkatkan ventilasi alveolar dan menurunkan perfusi, mengakibatkan
terjadinya peningkatan VA/Q mismatch dan meningkatkan PAO2 pada lapangan
bawah paru. Hal ini lebih memberikan pengaruh pada lapangan bawah paru
dibandingkan lapangan atas paru. Sehingga lesi TB pada DM sering terjadi pada
lapangan bawah paru dikarenakan rasio VA/Q dan PAO2 yang tinggi pada
lapangan bawah paru.(Perez-Guzman C et al,2000)
Penelitian yang dilakukan Chiang CY dkk menyatakan TB paru dengan
DM terutama DM yang tidak terkontrol atau memiliki kadar HbA1C yang tinggi
mempunyai kecenderungan untuk memiliki kavitas, kavitas multipel dan ukuran
kavitas >3 cm. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan ekspresi sitokin yang
berhubungan dengan Th1 (Chiang CY et al,2014) dan penurunan IFN-ɣ. (Chang
JT, 2011) Menurut Prasad CE, hal tersebut juga disebabkan pada DM terjadi
gangguan sistem imun baik sistem imun alamiah ataupun didapat sehingga terjadi
penyebaran infeksi yang luas, pembentukan granuloma yang besar, dan reaktivasi
fokus lama.(Prasad CE,1999)

2.3.6 Penapisan
a. Penapisan DM pada pasien TB
Kesadaran terhadap penyakit DM di negara berkembang umumnya rendah
dan pasien dengan DM tipe 2 mungkin tidak bergejala atau memperlihatkan gejala
yang minimal, sehingga seringkali pasien tidak akan mengeluhkan riwayat
penyakit yang mengarah ke DM terutama pada pasien-pasien TB dengan tingkat
pendidikan yang rendah. Penapisan terhadap penyakit DM merupakan satusatunya cara untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya komorbid DM pada
TB.(Prameswari AM,2013)
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penapisan atau
penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala/tanda

DM,

sedangkan

pemeriksaan

penyaring

bertujuan

untuk

mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.

30
Universitas Sumatera Utara

Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan definitif.(Amin Z,2007)
Menurut Depkes dan ADA, pemeriksaan penapisan DM dapat dilakukan
dengan berdasarkan :
1) Gejala klasik DM
a) Buang air kecil terus menerus (poliuria).
b) Sering haus dan minum berlebihan (polidipsia).
c) Mudah lapar (polifagia)
d) Penurunan BB yang tidak jelas sebabnya
 Bila ditemukan 2 dari 4 gejala klasik, pasien dirujuk ke poli DM
untuk pemeriksaan lebih lanjut tanpa pemeriksaan KGDS.
 Bila tidak ditemukan 2 dari 4 gejala klasik, tanyakan faktor risiko
DM.
2) Faktor risiko DM
a) Indeks Masa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2
b) Usia > 45 tahun
c) Riwayat hipertensi ( >140/90 mmHg)
d) Riwayat gangguan lemak darah atau lipid profil (Kolesterol HDL ≤
γ5 mg/dl dan atau trigliserida ≥ β50 mg/dl)
e) Riwayat DM dalam keluarga
f) Riwayat melahirkan bayi > 4 kg/ DM gestational
g) Riwayat sakit cardiovaskular (jantung/stroke)
h) Riwayat penyakit kista ovarium/ PCOS (Polycystic Ovary
Syndrome)
i) Riwayat gula darah tinggi
 Jika ditemukan salah satu faktor risiko, dilakukan pemeriksaan GDS
dengan spesimen darah vena, kemudian bila hasil GDS > 140 mg/dl
dirujuk ke poli DM.(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,2014;
WHO,2013)

31
Universitas Sumatera Utara

a. Penapisan TB pada pasien DM
Penderita diabetes, orang yang hidup dengan HIV, anak-anak, orang tua,
dan kelompok-kelompok lain dengan penurunan sistem kekebalan tubuh
menghadapi risiko tinggi hasil yang buruk dari pengobatan TB, termasuk
kekambuhan dan kematian. Risiko ditambah ketika diagnosis tertunda. Skrining
sistematis dapat sangat bermanfaat bagi kelompok-kelompok ini.(WHO,2013)
Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan
pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan
lebih ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan
kurang dari 10 % dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan yang
mengarah kepada gejala klinis TB dapat berupa batuk, batuk darah, kehilangan
berat badan, keringat malam dengan atau tanpa kelainan pada foto toraks harus
dilakukan penapisan untuk penyakit TB.(Prameswari A,2013;Guptan A,2000)
Menurut Depkes, penapisan TB pada pasien DM dilakukan pada semua
pasien DM yang datang dengan dilakukannya foto toraks. Jika terdapat kelainan
pada foto toraks dengan atau tanpa gejala TB atau tidak ditemukannya kelainan
foto toraks tetapi disertai gejala TB maka pasien dirujuk ke poli DOTS untuk
dilakukan pemeriksaan BTA hapusan langsung atau pemeriksaan penunjang
lainnya seperti kultur atau GeneXpert sebagai penegakan diagnosis TB. Dan jika
tidak terdapat kelainan foto toraks dan gejala dapat dilakukan skrining ulang
nantinya.(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,2014)

32
Universitas Sumatera Utara

Gambar 7. Algoritma penapisan DM pada pasien TB menurut
Depkes.(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,2014)

33
Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Algoritma penapisan TB pada pasien DM menurut Depkes
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,2014)

34
Universitas Sumatera Utara

2.4 Kerangka Konsep
Diabetes Mellitus
Mikroangiopati
Kontrol Glukosa
darah

Gangguan mekanisme
pertahanan tubuh

↓ Makrofag

↓ Jumlah sel
T

↓ CD4

HbA1c

↓ Neutrofil

↓ CD8
DM
terkontrol

↓ Th1

DM tidak
terkontrol

↓ Mediator inflamasi

↑ Infeksi
tuberkulosis

Foto
Thorak

Luas lesi

Letak lesi

Jenis lesi

35
Universitas Sumatera Utara