Majalah Perencanaan Pembangunan

MAJ AL AH T RIWUL AN ● EDISI 0 2 /TAHUN XVI/2 0 1 0 ● ISSN 0 8 5 4 -3 7 0 9

MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Televisi Ramah Anak
Performance Audit in
Public Sector
Pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus

Foto: www.api.ning.com

Daftar Isi
Yuliarko Sukardi

Permasalahan Kawasan
Segara Anakan

2

Cerdikwan


11

Challenges to the Multilateral
Trading System: The Rising Trade
Protectionism Amid the Global
Economic Recession
Tatang Muttaqin

20

Televisi Ramah Anak

Firman Edison

48

Ratna Sri Mawarti

54


Fraud and Forensic
Accounting Pratices:
Australian Contexts
Hermani Wahab

30

Pengembangan Kawasan
Ekonomi Khusus
Aswicaksana

Anantyo Wahyu

26

Peranan Hukum dalam
Ekonomi Indonesia dan
Pelaksanaannya dalam
Otonomi Daerah


Rencana Induk sebagai
Acuan Pemulisan
Pascabencana di Provinsi
NAD dan Nias Provinsi
Sumatera Utara

58

Percepatan Penyelesaian
Perda RTRW Daerah
sebagai Upaya
Penyelenggaraan
Penataan Ruang yang
Lebih Baik
Moh. Mustajab

63

Indonesian Infrastructure:

Condition, Problem and
Policy

Indra Wisaksono

35

Performance Audit in
Public Sector
Randy R Wrihatnolo

40

Kerjasama Pendidikan
antara Perguruan Tinggi
dan Industri

MAJALAH TRIWULAN ● EDISI 02/TAHUN XVI/2010 ● ISSN 0854-3709

MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN


Suprapto Budinugroho

74

Tinjauan Pendidikan
Menengah Kejuruan
dalam Aspek
Ketenagakerjaan
Indonesia

Penanggungjawab Sekretaris Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas
Pemimpin Umum Dida Heryadi Salya Pemimpin Redaksi Herry Darwanto Dewan Redaksi Hanan Nugroho,
Rendy R. Wrihatnolo, Tatang Muttaqin, Jarot Indarto, Teguh Sambodo, Muhyiddin Desain Grafis Tony Priyanto, Ismet
Mohammad Suhud, Sarono Santoso Sekretariat Yunhri Trima Vibian, Budi Cahyono, Myda Susanti, Sovi Dasril,
Muhammad Fahmy Fadly, Slamet,Nasan, Tata Letak Riduan

Alamat Redaksi Jalan Taman Suropati No. 2 Gedung Sayap Timur Lantai 3 Jakarta Pusat Telp. (021) 3905650 Ext. 3545
Telp./Fax. (021) 3161762 email majalahperencanaan@bappenas.go.id website http://www.bappenas.go.id
Nomor STT 1685/SK/Ditjen PPG/STT/1991 Nomor ISSN 0853-3709


Pengantar
P

menyajikan sejumlah studi kasus tentang praktekpraktek terbaru (dan diharapkan terbaik) dalam kesiapan
berjejaring di beberapa negara, didukung dengan data
yang komprehensif, termasuk profil rinci untuk masingmasing negara dan tabel peringkat global dari 68 indikator
pembentuk NRI.
Laporan kali ini terbit pada saat ekonomi dunia mengalami
krisis ekonomi terburuk dalam dasawarsa ini. Harapannya
adalah agar ICT dapat memainkan peran pendorong
pertumbuhan baru, untuk membawa dunia keluar dari
resesi.

ada akhir Maret lalu, World Economic Forum
bekerjasama dengan INSEAD menerbitkan The Global
Information Technology Report 2009–2010. Penerbitan
Laporan ini dimaksudkan untuk membangun daya saing
global melalui pengembangan teknologi informasi
dan komunikasi (ICT). ICT telah menjadi pilar penting

dari ekonomi kompetitif yang berlangsung saat ini,
meningkatkan kualitas kehidupan, dan membuka
peluang dalam banyak aspek kehidupan. ICT tidak hanya
penting bagi negara maju untuk memacu inovasi dan
daya saing jangka panjangnya, tetapi juga bagi negara
berkembang dalam menjalani transformasi struktural,
meningkatkan efisiensi dan mengurangi kesenjangan
digital, ekonomi, dan sosialnya.

ICT mempunyai peran penting sebagai pembentuk
daya saing nasional yang bermuara pada kesejahteraan
masyarakat yang lebih tinggi. Index Kesiapan Berjejaring
(Networked Readyness Index atau NRI) mengidentifikasi
faktor-faktor yang memungkinkan (enabling factors) bagi
setiap negara untuk mengambil manfaat dari kemajuan
ICT, sekaligus menyoroti tanggung jawab bersama dari
individu, dunia usaha, dan pemerintah.
Laporan tahun ini diberi judul tambahan ICT for
Sustainability, karena ICT diyakini memainkan peran penting
dalam menjaga kelestarian lingkungan, baik sebagai

industri maupun sebagai unsur kunci dari infrastruktur
pendukung. Mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
itu sendiri merupakan keinginan pemerintah, dunia
usaha, dan masyarakat di manapun, untuk mendorong
perkembangan dunia yang lebih adil, inklusif dan tahankrisis. Dalam meningkatkan keberlanjutan sosial, kontribusi
ICT adalah bahwa ia memungkinkan akses lebih besar
terhadap layanan dasar oleh pemerintah kepada semua
segmen masyarakat dan meningkatkan cara bagaimana
layanan dasar ini (misalnya pendidikan, keuangan, dan
kesehatan) disediakan kepada rakyat. Beberapa kabupaten
di Indonesia, dengan Sragen sebagai contoh yang dikenal
luas, telah membuktikan hal itu.
ICT juga berperan penting dalam mengembangkan
keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial; baik
sebagai suatu industri maupun dalam keseluruhan
ekonomi dan kehidupan masyarakat lainnya. Pengambil
kebijakan terkait ICT perlu mempunyai informasi yang
lengkap untuk menjawab tantangan ini. Untuk itu laporan
kali ini, sebagaimana laporan tahun-tahun sebelumnya,


1

Laporan ini menyimpulkan bahwa dari 133 negara
maju dan berkembang yang dipantau, Swedia adalah
negara yang paling siap berjejaring di dunia pada tahun
2009-2010. Singapura menempati posisi ke 2, diikuti
oleh Denmark, Swiss, dan kemudian Amerika Serikat.
Negara-negara Eropa lain menempati posisi teratas
dalam peringkat NRI. Indonesia menempati posisi ke 67,
melompat dari posisi ke 83 setahun sebelumnya, sebuah
prestasi yang membanggakan. Walau demikian, Indonesia
masih tertinggal jauh dari Malaysia (ke 28), China (ke
37), India (ke 43), bahkan Thailand (ke 47). Indonesia
menempati posisi yang baik dalam indikator-indikator
keberadaan modal ventura (ke 15), perpajakan (ke 22),
beban regulasi pemerintah (ke 23), perkembangan klaster
(ke 24), ekspor industri kreatif (ke 25), pelanggan telpon
rumah (ke 26), belanja perusahaan untuk R&D (ke 28),
kecanggihan pembeli (ke 30), keberadaan ilmuwan dan
insinyur (ke 31), dan pelatihan staf (ke 33). Sedangkan

kelemahan Indonesia antara lain dalam hal: anggaran
pendidikan (ke 127), waktu memulai bisnis (ke 116),
keberadaan sambungan telpon baru (ke 107), layanan
listrik (ke 106), pengguna internet (ke 103), server internet
aman (ke 102), pelanggan internet pitalebar (ke 101),
komputer pribadi (ke 101), pelanggan telpon seluler (ke
97), dan indeks layanan online pemerintah (ke 94). Laporan
ini membantu pihak-pihak terkait untuk merumuskan
kebijakan yang lebih efektif berdasarkan peta kekuatan
dan kelemahan yang ditunjukkan dan pengalaman di
negara-negara lain yang diuraikan.
Majalah Perencanaan Pembangunan kali ini menyajikan
banyak artikel menarik mengenai berbagai isu
perencanaan pembangunan. Semoga semuanya
bermanfaat dan menumbuhkan inspirasi.
Selamat membaca.

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

www.wordpress.com


Abstrak
Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi
di daerah muara pantai selatan Jawa Tengah, di perbatasan
antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah
yang sebagian besar tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove.
Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat
pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya
45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya.

PERMASALAHAN
KAWASAN
SEGARA
ANAKAN

Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat
tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak
berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah
hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang
bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya
pendangkalan serta penyempitan luasan laguna.
Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami
tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar.
Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi
seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian,
permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material
bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.

YULIARKO SUKARDI

Tulisan ini mencoba untuk mengiventarisir permasalahan yang
ada di kawasan Segara Anakan sebagai bahan masukan dalam
merencanakan strategi penyelamatan Segara Anakan.

2

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

I.

PENDAHULUAN

Kawasan Segara Anakan terletak di antara 7°35’ - 7°46’ S dan
108°45’ - 109°01’ E, di perbatasan antara provinsi Jawa Barat
dan provinsi Jawa Tengah sebelah selatan Pulau Jawa. Luas
keseluruhan kawasan Segara Anakan adalah sekitar 24.000
hektar, meliputi perairan, hutan mangrove, dan daratan-daratan
lumpur yang terbentuk karena sedimentasi. Laguna Segara
Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara
di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara
kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah (gambar 1). Definisi laguna dalam istilah geografi
adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi
daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan
dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan
dengan teluk, apalagi selat.
Di masa lalu, Segara Anakan merupakan kawasan lahan
basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis
tanaman mangrove. Hutan mangrove Segara Anakan memiliki
komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di

Pulau Jawa. Keberadaan mangrove ini sangat berperan penting
dalam siklus hidup beberapa biota karena kemampuannya
dalam menyediakan nutrisi bagi biota di perairan sekitarnya.
Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan
tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari
45 jenis ikan laut, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan
prempeng (Apogon aerus), udang, kepiting, lobster, kerang
totok, kerapu merah, cumi-cumi,
gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat,
ikan hiu, dan biota laut lainnya, maupun 17 jenis ikan yang
tidak menetap/bermigrasi seperti ikan sidat laut (Anguilla sp).
Setelah mereka dewasa, biota laut tersebut kemudian keluar
melalui muara laguna ke laut lepas, untuk selanjutnya ada yang
ditangkap para nelayan dan sebagian merupakan mata rantai
pangan bagi berbagai jenis ikan besar di Samudra Hindia.
Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat
kawasan ini juga ramai dikunjungi oleh beragam satwa seperti
monyet, linsang, dan setidaknya 85 jenis burung, termasuk
160-180 bangau bluwok (mycteria cinerea) dan 25 bangau

Gambar 1. Kawasan Segara Anakan



3

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada
kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai
menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut.

tongtong (leptoptilos javanicus) yang mana keduanya tercatat
sebagai burung terancam punah. Segara Anakan juga memiliki
biota yang unik, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini
memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan
ikan biasa. Bahkan menurut hasil penelitian disebutkan bahwa
dari dua belas spesies ikan sidat di dunia, tujuh diantaranya
berkembang di kawasan Segara Anakan.

Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan
menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak
5.000.000 m3/tahun, dimana sebesar 1.000.000 m3/tahun
terendapkan di laguna. Dari 1.000.000 m3 tersebut, 750.000 m3
disumbangkan oleh material yang dibawa aliran Sungai Citanduy,
sedangkan sisanya 250.000 m3 berasal dari material yang dibawa
sungai lainnya. Sehingga, total sedimentasi di laguna terhitung
sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi 5.000.000 m3.
Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai
akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian
terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut
menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas
perairan, serta adanya tanah timbul.

Dengan seluruh kekayaan itu, laguna Segara Anakan telah
menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 62 milyar
rupiah dalam satu tahun. Bahkan berdasarkan perhitungan
para peneliti asing, nilai kekayaan perikanan di kawasan Segara
Anakan mencapai 8,3 juta dolar AS per tahun. Sebuah riset
yang juga sempat dilakukan di Segara Anakan mengkuantifisir
setiap hektar mangrove dengan biota laut yang menumpangnya
memiliki nilai ekonomis hingga 1.400 dolar AS. Lembaga
independen Amerika Serikat, Engineering Consultant
Incorporation (ECI), yang juga meneliti Segara Anakan
menyebutkan, 94% udang di perairan lepas pantai selatan Pulau
Jawa menggunakan laguna Segara Anakan sebagai tempat
pembiakannya.

Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan
luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun
terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda,
namun data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang
sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara
Anakan seperti terlihat pada gambar 2. Sedangkan gambar 3
memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna
Segara Anakan.

Selain itu, keanekaragaman hayati yang dimiliki kawasan Segara
Anakan berpotensi untuk digali sebagai salah satu daerah tujuan
wisata serta sebagai laboratorium alam tempat belajar bagi
anak-anak sekolah dan tempat melakukan penelitian bagi para
mahasiswa ataupun peneliti dalam mengamati fenomena alam
dan lingkungan sekitarnya yang memiliki ciri khas dan tidak
dijumpai di wilayah lain.

II.

Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga
mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan
Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera
Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan
Nusakambangan dari sebelumnya berjarak 300 m pada tahun
2002. Kedalamannya pun menjadi semakin dangkal, mulai dari
minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting
untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air
laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk
dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan,
dan membesarkan diri.

PERMASALAHAN LINGKUNGAN

Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat
tekanan akibat aktivitas manusia. Saat ini kawasan Segara
Anakan dihadapkan pada dua masalah pokok, yakni
sedimentasi (pendangkalan) dari sedimen (berupa lumpur dan
limbah) yang terbawa sungai-sungai yang bermuara kedalam
laguna dan berkurangnya luasan hutan mangrove.

Kerusakan Hutan Mangrove
Sedimentasi

Di samping masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove
kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan
yang sangat tinggi akibat penebangan liar, yang mengakibatkan
berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan
penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti
untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian,
permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material
bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.

Laguna Segara Anakan secara kontinyu mengalami degradasi
akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi
selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah
mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan
luasan laguna.
Laguna Segara Anakan sebagai muara dari beberapa sungai
besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde,
dan beberapa sungai lainnya membawa konsekuensi pada
melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa kedalam

Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997
telah menarik minat para investor untuk membuka usaha

4

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Gambar 2. Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan
7.000
6.000

Luas (Ha)

5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
0
1900

1920

1940

1960

1980

2000

2020

Tahun
Profi l Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy - Ditjen SDA Dep. PU
Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA)
IUCN & Mangrove Action Project 2007

Gambar 3. Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan

Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum

5

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk
menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian.
Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon
mangrove yang ditebang secara liar untuk dijadikan sawah dan
permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan
kayu mangrove sebagai material bahan bangunan.

pertambakan udang secara besar-besaran. Para investor
menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang
menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi
konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area
hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut.
Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut
memang menguntungkan dan mampu meningkatkan
perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya
harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang
tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan
kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha
pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove
pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat
pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang
dipakai untuk membesarkan udang secara instan.

Penebangan hutan mangrove memang sudah terbukti
menyebabkan luas hutan kawasan Segara Anakan kian hari
terus menyusut seperti ditunjukkan dalam gambar 4 yang
memperlihatkan laju penurunan luasan hutan mangrove di
kawasan Segara Anakan.

III. DAMPAK PERMASALAHAN
Kerusakan lingkungan di kawasan Segara Anakan mengancam
kekayaan biota di kawasan ini. Penumpukan sedimen
dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara
Anakan selama bertahun-tahun telah mendangkalkan dan
menyempitkan perairan yang merupakan habitat biota laut dan
air payau. Sebagian besar dari biota tersebut juga merupakan
sumber makanan bagi burung-burung air di kawasan Segara
Anakan. Tingkat erosi yang tinggi juga mengakibatkan wilayah
perairan keruh dan kotor, sehingga kehidupan biota di laguna
Segara Anakan pun terancam.

Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh
penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan
kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun
industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin
maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota
di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove
dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga
dijadikan bahan baku industri arang.
Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa
oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan
menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong

Gerbang Plawangan yang merupakan pintu pertemuan air
sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan laut lepas

Gambar 4. Laju Penurunan Luasan Hutan Mangrove Segara Anakan
16.000

Lu as (H a)

12.000

8.000

4.000

0
1970

1980

1990

2000

2010

Ta h u n

Sumber: Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan

6

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Samudera hindia kini kian sempit dan dangkal. Celah tersebut
sangat penting untuk mengalirkan sedimen dan air ke laut, serta
menjadi pintu gerbang masuknya biota laut untuk memijahkan
diri di laguna. Kondisi tersebut menimbulkan lumpur sungai
tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan
tumpukan sedimentasi dan berkurangnya biota laut yang
memijahkan diri di Segara Anakan karena kesulitan masuk
kedalam laguna.
Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan penyusutan
luasan hutan mangrove yang menyebabkan peran mangrove
sebagai penyedia nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota
laut, air payau, dan burung air yang menumpangnya berkurang.
Berkurangnya luasan hutan mangrove dan sedimentasi menjadi
faktor penyebab utama menurunnya jumlah tangkapan ikan
di daerah pesisir dan hilangnya mata penghidupan nelayan
setempat. Permasalahan ini dapat mengancam sektor perikanan
laut di Cilacap.
Dampak besar lainnya akibat sedimentasi dan berkurangnya
luasan hutan mangrove adalah semakin mudah terendamnya
areal permukiman dan pertanian saat air pasang. Akibatnya,
instalasi air bersih rusak, sumber air bersih tercemar, lahan
pertanian rusak, dan banjir. Ratusan hektar lahan persawahan
tidak bisa ditanami akibat terinterusi air laut. Sementara itu,
hilangnya mangrove juga mengakibatkan suhu udara semakin
panas.
Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan
banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan
alur pelayaran kapal penyebrangan. Beberapa kendala
akibat sedimentasi di kawasan ini diantaranya: jalur kapal
penyebrangan antara Dermaga Lomanis, Cilacap – Dermaga
Majingklak, Ciamis dan kapal besar berkapasitas hingga 300
orang antara Cilacap – Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan
Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat
kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker
pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina
Lomanis Cilacap terganggu; alat transportasi kapal roro dan
compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti
beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan
(ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur
Cilacap – Kampung Laut – Kalipucang sehingga transportasi
ke tiga desa di Kampung Laut, yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces,
dan Ujung Alang nyaris terputus.
Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya
kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan
kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka
Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan
satu ekosistem yang luar biasa dan unik.

IV. UPAYA PENYELAMATAN
Upaya yang telah dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat
untuk mengatasi permasalahan kawasan Segara Anakan
meliputi rehabilitasi hutan mangrove, pembangunan dam
pengendali dan penahan, pengerukan sedimen, pembuatan
daerah tangkapan atau sumur resapan, hingga penyodetan
sungai.
Untuk menahan laju sedimentasi, BPKSA menjalankan
program Konservasi Tanah dan Pengendalian Erosi (KTPE).
Program KTPE terdiri atas kegiatan fisik dan vegetasi.
Kegiatan fisik meliputi pembangunan dam pengendali, dam
penahan, dan terucuk bambu. Kegiatan vegetasi berupa agro
forestry, pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian
Sumberdaya Alam (Up-Upsa), dan pembuatan kebun bibit
desa. Yang menjadi sasaran KTPE terutama lahan kritis di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeneng, Cikawung, dan
Ciseel.
Upaya penyelamatan Segara Anakan terus berlanjut dengan
penyodetan Sungai Cimeneng (gambar 6) dan pengerukan yang
dilakukan di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan
dekat muara, melalui Proyek Konservasi dan Pembangunan
Segara Anakan (Segara Anakan Conservation and Development
Project) dengan dana yang sebagian besar berasal dari pinjaman
ADB dan sisanya dari APBN, antara tahun 2000 dan 2005
(gambar 5), membuat luasan laguna naik menjadi 834 Ha pada
tahun 2005 dari 600 Ha pada tahun 2003. Namun kini hasil
pengerukan tersebut hampir tidak berbekas karena sedimentasi
yang terus menerus mengendap di kawasan ini, sehingga
penyusutan luasan laguna pun terus berlangsung. Proyek yang
dimulai efektif dari tahun 1997 – 2005 ini, dinilai ADB tidak
berhasil.
Salah satu paket programnya yang belum berhasil dilakukan
adalah memindahkan muara Sungai Citanduy dari laguna
Segara Anakan ke teluk Nusawere, Kabupaten Ciamis dengan
membuat sodetan aliran sungai sepanjang 3 km. Rencana
yang lebih dikenal dengan sodetan Citanduy (gambar 6) ini
berlandaskan asumsi bahwa sedimen terbesar di kawasan
laguna Segara Anakan berasal dari Sungai Citanduy (75%).
Sehingga air sungai beserta sedimen yang terbawa itu tidak
lagi memasuki laguna Segara Anakan, melainkan langsung ke
Samudera Hindia. Berdasarkan hasil studi, sebaran lumpur dari
Sungai Citanduy nantinya akan terbuang melebar paling jauh 5
km dari teluk Nusawere.
Namun dalam perjalanannya terdapat kendala berupa konflik
sosial di lapangan. Kelompok yang pro berpendapat bahwa
sodetan adalah cara terbaik untuk menanggulangi sedimentasi
yang membuat kritis kondisi laguna Segara Anakan. Sementara

7

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Gambar 5. Pengerukan Laguna Segara Anakan

Sumber: Kebijakan Untuk Mangrove. Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN & Mangrove Action Project
Gambar 6. Sodetan Sungai Cimeneng dan Sungai Citanduy

Sumber: ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation And Development Project.

8

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi
ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan,
pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove
sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk
kebutuhan industri.

itu, kelompok yang kontra berpendapat bahwa sodetan
hanya akan memindahkan persoalan dari Segara Anakan ke
teluk Nusawere tanpa benar-benar menyelesaikan persoalan
sedimentasi itu sendiri. Dikatakan lebih lanjut bahwa proyek
ini justru akan meningkatkan potensi pencemaran sampah
ke pantai Pangandaran (berjarak sekitar 25 km dari Teluk
Nusawere) yang merupakan salah satu kawasan andalan Jawa
Barat di bidang pariwisata dan mengurangi hasil tangkapan
ikan bagi nelayan Ciamis karena teluk Nusawere merupakan
daerah tangkapan ikan yang potensial.
Pada tahun 2007, melalui Program Gerakan Nasional
Pengelolaan Air (GNPA), dibuat model sumur resapan sebagai
daerah tangkapan dengan pola ekohidrolik sebanyak 20 buah
di sekitar alur sungai untuk mengurangi erosi yang masuk ke
laguna Segara Anakan. Hasil penelitian sementara program
ini cukup efektif menghambat sedimentasi dan mendapat
respon positif dari masyarakat, sehingga berkembang menjadi
setidaknya 600 sumur yang telah dibuat.
Upaya pelestarian hutan mangrove terus dilakukan dengan
penanaman bibit mangrove sebanyak 10.000 batang pada lahan
seluas 1 Ha di Grumbul Mangun Jaya dan Lempong Pucung,
Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut. Kegiatan
penanaman yang dilakukan oleh Pertamina Refinery Unit (RU)
IV Cilacap melalui program corporate social responsibility (CSR)
pada akhir tahun 2009 mengambil tema “Save The Mangrove
Now!” ini melibatkan Kantor Pengelolaan Pemberdayaan
Segara Anakan (KPPSA) Cilacap dan pecinta alam.

V.

PENUTUP

Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi
di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di
perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan
lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis
tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara
Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan
membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis
burung, dan beragam satwa lainnya.
Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat
tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang
tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan
di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi
pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi
mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan
luasan laguna.

Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya
kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan
kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka
Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan
satu ekosistem yang luar biasa dan unik.
Pembahasan mengenai permasalahan di kawasan Segara
Anakan sangatlah panjang dan kompleks. Berbagai dampak
sosial, ekonomi, dan lingkungan begitu sensitif. Mengingat
kawasan Segara Anakan berada dalam kawasan lintas
wilayah administrasi dan permasalahan yang dihadapi
bersifat multisektoral, maka masalah kawasan Segara Anakan
merupakan masalah nasional. Oleh karena itu, membahas
permasalahan ini harus secara utuh dan menyeluruh, sehingga
solusi yang diberikan tidak bersifat parsial dan sesaat.
Kegiatan pengerukan dan sodetan memang dapat mengurangi
dampak sedimentasi. Tetapi usaha itu bukanlah satu-satunya
solusi, melainkan harus ditindaklanjuti dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang
berkelanjutan. Apalagi jika tidak cermat dan teliti dalam mengkaji
masalah, upaya pengerukan dan sodetan dapat mengancam dan
menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan baru pada
ekosistem yang ada. Konsep konservasi yang tampaknya lebih
diterima masyarakat setempat adalah dengan penyelamatan hutan
mangrove dan rehabilitasi lahan di DAS Citanduy dan sungaisungai lainnya yang bermuara di kawasan laguna Segara Anakan.
Namun, upaya-upaya penyelamatan kawasan Segara Anakan
itu serasa lambat dibandingkan laju kerusakan mangrove dan
sedimentasi yang kian tak terkendali. Lemahnya perencanaan
dan implementasi dari strategi dan arah kebijakan yang tertuang
dalam kegiatan dan program pemerintah, lemahnya penegakan
hukum, serta minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
akan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan hidup, sedikit banyak berkontribusi
menghambat upaya-upaya menyelamatkan kawasan Segara
Anakan.

YULIARKO SUKARDI (yuliarko.sukardi@bappenas.go.id)
adalah Staf Perencana pada Direktorat Kelautan dan Perikanan,
Bappenas.

Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami
tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar.

9

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Daftar Pustaka
Rakyat
Jajang Agus Sonjaya. 2007. Kebijakan Untuk Mangrove.
Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan.
IUCN & Mangrove Action Project
Legono Djoko, Tjut Sugandawaty Djohan, dan Gutomo
Priyatmono. 2007. Model Sosio-Eko-Hidraulik
Pengelolaan Laguna Segara Anakan secara
Berkelanjutan. Semiloka: Pengelolaan Segara
Anakan Berkelanjutan Berbasis Partisipasi
Masyarakat. Semarang
Liliek Dharmawan. 2008. Laguna yang Nyaris Tinggal
Kenangan. Media Indonesia
Miranti Soetjipto-Hirschmann. 2009. Mencegah Anak Laut
Tenggelam
Mohamad Burhanudin. 2008. Luas Segara Anakan Tinggal
Kurang dari 800 Hektar. Kompas
Mohamad Burhanudin. 2008. Sedimentasi Segara Anakan 1
Juta Meter Kubik Per Tahun. Kompas
Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy. 2008. Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan
Umum
Projo Arief Budiman. 2007. Kajian Mata Pencaharian
Alternatif Masyarakat Nelayan Kecamatan
Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas Teknis
Universitas Diponegoro Semarang.
Sumarwoto. 2009. Menggali Potensi Wisata Segara Anakan.
Antara
Yuliarko Sukardi, Asri Rahayuningrum, Aswicaksana, Dwi
Ratih Suryantining Esti, dan Ervan Arumansyah.
2009. Studi Identifikasi Permasalahan Lingkungan
Di DAS Citanduy Kabupaten Ciamis. Laporan
Diklat Fungsional Perencana Tingkat Pertama.
Bappenas-MEPP UNPAD-PWK SAPPK ITB.
Bandung
Yus Rusila Noor, M. Khazali, dan I N. N. Suryadiputra. 2006.
Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
PHKA/WI-IP, Bogor

ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan
Conservation And Development Project.
Agus Purnama. 2008. Reorientasi Kebijakan Penyelamatan
Hutan Bakau Kawasan Segara Anakan. Kabar
Indonesia
Agus Sukaryanto. 2004. Perairan Unik Itu Sedang Menangis.
Suara Merdeka
Chabibul Barnabas. 2008. Imbas Sedimentasi Segara Anakan.
Pusat Studi Kebijakan Lingkungan
Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007. Peranan Ekologis
dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam
Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian
Dewi Irma. 2008. SOS Untuk Segara Anakan. Pikiran Rakyat
http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0707/hob2.
html (diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/ban01.htm
(diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://m.kompas.com/xl/read/data/2008.01.08.1000146
(diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.matabumi.com/news/lingkungan/sedimentasisegara-anakan-hilangkan-mata-pencahariannelayan (diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://matanews.com/2008/08/11/usia-segara-anakan-tinggal10-tahun/ (diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/
lingkungan/09/12/14/95866-hutan-mangrove-disegara-anakan-makin-memprihatinkan (diakses
terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_c
ontent&task=view&id=867&Itemid=2 (diakses
terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.pikiran-rakyat.com/node/102595 (diakses terakhir
pada 5 April, 2010)
http://bataviase.co.id/detailberita-10423682.html (diakses
terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&vi
ew=article&id=336:sudah-menyusut-dirambahpula&catid=71:berita-umum&Itemid=108
(diakses terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.menkokesra.go.id/content/view/13722/39/ (diakses
terakhir pada 5 April, 2010)
http://www.cilacapkab.go.id/v2/index.php?pilih=news&mod=
yes&aksi=lihat&id=816 (diakses terakhir pada 5
April, 2010)
http://banyumasnews.com/2010/01/15/penanganan-lagunasegara-anakan-butuh-komitmen-lintas-sektoral/
(diakses terakhir pada 5 April, 2010)
Irfan Anshory. 2007. Sekali Lagi:Sodetan Citanduy!. Pikiran

10

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

wordpress.com

A.

INTRODUCTION

Since 2008, the world economy has faced severe crisis. It
has moved from financial sector to real economy crisis. The
wide-scale crisis made many countries have problems related
to the increasing unemployment rate and decreasing economic
activity. The effect of economic recession happened not only
in developing countries but also in the developed countries
(Athern 2009, p 2). The United States, Japan, Europe, and
many countries in Latin America and Asia are reported to be
suffered from the crisis.

CHALLENGES
TO THE
MULTILATERAL
TRADING SYSTEM:
THE RISING TRADE
PROTECTIONISM
AMID THE GLOBAL
ECONOMIC
RECESSION

Figure 1 shows the world trade volume decreased significantly
between October-December 2008. Developed countries such
as Italy and the US experienced drop of trade volume as much
as 26% and 23% respectively. The most severe drop on the trade
volume occurred in Turkey, Brazil, and China with 41%, 33%,
and 32% respectively. Manufacturing product had the biggest
effect of the trade volume declines (Badwin and Evenett 2009).
In short, this collapse has been sudden, severe and synchronised.
In order to handle the economic recession and maintain or
generate employment, some countries impose protectionism.
It is aimed to defend their domestic companies by imposing
trade barriers (Athern 2009, p 2). Keynes, as cited in Kim,
mentions that to some extent protectionism can maintain the
employment rate during economic meltdown, but when every
country imposes tariff barriers, it can be highly unfavourable to
the whole economy in which the world trading volume will fall
down and worsen the recession (Kim 2006, p 3).

CERDIKWAN

11

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Figure 1 World Trading Volume in Oct-Dec 2008
SWITZERLAND

-19%
-26%

ITALY
-18%

GERMANY

-21%

SOUTH AFICA

-20%

UK

-17%

MEXICO

-41%

TURKEY
-33%

BRAZIL
-22%

AUSTRALIA

-25%

FRANCE
-18%

JAPAN
CHINA

-32%
-23%
-50%

-40%

-30%

US
-20%

-10%

0%

Source: Baldwin and Evenett 2009

B.

Even though the WTO has several strong firewalls to prevent
countries from imposing protectionism, but some countries
persist to implement it. Protectionism is very challenging and
becomes barrier to multilateral trading system. For instance,
(1) protectionism causes deadweight loss that may create
net loss for the economy. This loss is made by distortion of
economic incentives both for consumer and producer; (2)
protectionism might push economic recession to economic
depression as we had in 1930s because current world economy
is much more mutually dependent and integrated; (3) Even
though some protectionism (eg anti-dumping measures) do
not violate non-discrimination on WTO agreement, but in
practice the importing countries might abuse anti-dumping
measures as protectionism and might lead to trade war; and
(4) protectionism leads countries to implement regional trade
agreement that might make trading system becomes more
fragmented and focus only on specific region, and Doha Round
negotiation could be further weakened because countries focus
on particular region and the gaps between key players become
wider.

DEFINITION OF PROTECTIONISM

In general, protectionism is defined as an effort imposed by a
country to help its domestic trade in global trade competition
(Athern 2009, p 2) or deliberative use of policy barriers or
regulations to assist local industries or to promote export
(Dunkley 2004, p 9). The most robust practice is by imposing
trade barriers addressed to certain countries in order to decrease
its import. Therefore, protectionism may have different
meanings to different perspectives. To some economists,
protectionism may be perceived as a market violation because
protectionism may lead to a market price distortion and
resources misallocation. Policy makers, on the other hand,
perceive that helping their constituents during the economic
crisis by protecting their trade activities is a noble responsibility,
and not perceived as protectionism. Protectionism may be
considered, by some lawyers, as unacceptable measure because
it is inconsistent with the rules and obligation of the WTO
(Milner 1998).
During economic recession, protectionism can be argued
as natural response to the recession. According to Milner
(1988, p 4) there are two conditions ignite protectionist
sentiment: Firstly, the occurrence of economic downturns
such as economic depression and rising foreign competition
to the growth of protectionist pressures. Secondly, the decline
of the international economy’s dominant state. In light of this
argument, the serious economic difficulties and the declining
power of the dominant state in both the 1930s and 1970s might

Therefore, in this essay, I would argue that protectionism has a
bad effect to multilateral trading system especially in economic
recession, and propose to implement trade liberalization.
The essay will be structured as follows: (a) definition of
protectionism; (b) negative impacts of protectionism to
multilateral trading system; (c) proposed solution, and (d)
conclusion.

12

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

increase employment and promote modernisation.

have been expected to produce similar protectionist policies or
responses in the two periods (Milner; 1988, p 5).
Protectionism has two broad objectives to be achieved,
namely providing visible and immediate relief to industries
which experiencing severe difficulties; and allowing ongoing
adjustment to change circumstances (OCDE 1985, p 21).
These objectives correspond to an employment and social
equity concern, and on the other hand to promote greater
economic efficiency and industrial restructuring. Relative to
the complexity of these objectives, protection is a fairly simple
and blunt instrument of policy. By reducing import, protection
seeks to raise the market share of domestic producers and the
price they receive for their goods (OECD 1985, p 22). Greater
output and profitability in the domestic industry is presumed to

Until now, there are more than 47 types of trade barrier have
been imposed, including 17 trade restrictions from G-20
countries (WTO 2009). The developed countries usually
provide subsidy for their industry, while developing countries
implement all forms of protection but especially tariff and other
border measures as shown in table 1. Therefore, the WTO
acknowledges two poles in the countries’ economic policy,
countries that promote trade distortions and barriers in selected
tradable goods and countries that introduce trade opening and
facilitating measure to their commodities (WTO 2009).

Table 1 Level of Support and Protection since the Global Financial Crisis

Country

Type of Protection

European
Union

 Re-introducing export subsidies for butter, cheese and
whole and skim milk powder from January 2009
 Supporting the auto industry e.q France and Germany

Rusia

Introducing measures to support domestic car
manufactures including state subsidies, and in January
raised import duties on car and truck

Canada

Introducing Aid package of short term loans to auto
industry

Australia

Planning to set up a AUS$ 2 billion fund to provide
liquidity to car dealer financiers

India

Increasing tariffs on some steel products in November
2008

Korea

Increasing Tariffs on imports of crude oil will increase
from 1 percent to 3 percent in March 2009

Indonesia

Restricting entry point for imports, such as electronic,
garments, toys, footwear and food and beverages to only
five ports and certain international airports since
December 2008

Argentina

Imposing non-automatic licensing requirements on
products considered as sensitive, such as auto parts,
textiles, televisons, toys, shoes, and leather goods

Mercosur

Raising their common external tariff by 5 percent on
average, on a number of specific items, including wine,
peaches, dairy products, textiles, leather goods and wood
furniture.
Source: Baldwin and Evenett 2009

13

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

C.

NEGATIVE IMPACT OF
PROTECTIONISM TO
MULTILATERAL TRADING SYSTEM

creating tariff barrier is necessary to protect local industries
from foreign competition. In this part, I will explain how tariff
barrier may cause economic loss.
When government imposes tariff barrier, automatically tariff
revenue will be received by the government, the price of the
imported product raises, the producer surplus increases. In
contrast, the number of imported product decreases, the
consumer surplus declines, and total surplus decrease (a
deadweight loss -DWL).

This section will discuss that protectionism is not an answer
either in handling the economic recession or promoting
multilateral trade, in contrary protectionism might push
economic recession to economic depression, economy will be
suffered and it will promote trade war. As Baldwin and Evenett
(2009, p 4) argued protectionism is an irony where it reduces
productivity, competitiveness, employment rate, real income and
in the in the long run everyone will be worse off.
As supporting argument that protectionism is harmful for
the multilateral trade, there are several disadvantages of
protectionism as discussed as follows:

Figure 2 shows the tariff barrier decreases total surplus and bring
a deadweight loss (labelled E and F). The DWL is a loss of
consumer surplus (Mc Taggart et al 2007, p 164) and consumers
lose area B to producers and area D to the government.
Therefore, these looses of consumer surplus are gain to others.
But the losses in area E and F are no one gains or deadweight
loss. Furthermore, Dimulescu mentions the DWL represents
the effect of tariff barrier that causes a net loss for the economy
(2009, p.3). This loss is made by distortion of economic incentives
both for consumer and producer. In contrast, if government
imposes free trade, the distortions between consumer and
producer are eliminated; therefore national welfare will increase
significantly (Dimelescu 2009, p 6).

C.1 Tariff Barriers cause the Deadweight Loss
The temptation for government to impose tariff barriers is very
strong. Tariff barriers do provide revenue to the government
and the most important attribute of tariff is that the
government will be enabled to satisfy special interest group in
import-competing industries. To some extent, this action faces
two dilemmas. On one side, countries should not involve in the
international flow of services or goods, and on the other hand,

Price (thousands of dollars per car)

Figure 2 The Effect of a Tariff

35
Consumer
surplus
shrinks

30

25

SA

Deadweight
loss from tariff

A

19
B

E

D

Tariff

F

15
C

10

0

Imports
without
tariff

Producer
surplus
expands
0.4

DA

Imports
with
tariff

World
price

Quantity
consumed
1.0

1.4

Quantity (millions of cars per year)

Source: Mc Taggart et al (2007, p 164)

14

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Figure 3 Global Trade Downturn between 1929 and 2008
110

100

90

80

70

60
5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Months since peak
June 1929 =100

C.2 Protectionism might lead to the Global
Depression
The protectionism that shields local companies from the effect of
economic recession through the implementation of trade barriers
might turn the global economic recession into a global economic
depression (Athearn 2009, p 2). This argument is based on the
implementation of protectionism action in the 1930s. At that time,
the Smooth-Hawley Act in 1930 pushed the U.S government to
raise tariff up to the average level of 60% over 20,000 products
and other countries responded by raising their barrier to the U.S
exports. Therefore, the world trade flows dropped 66% on average
between 1929 and 1934 (Athearn 2009, p 3).
The existing condition shows that global trade has fallen down
significantly compared to what had happened in 1930s in
the same period. Figure 3 shows the present fall in the global
market (the red line) has shaper sloping decline than it did
during the great depression in 1930s (the blue line). It means
the possibility that protectionism might push current economic
recession into economic depression is much higher.
There are at least two major push factors that current
protectionism is more harmful compared to the 1930s. Firstly,
the current world economy is much more open than 1930s. It is
related with the decreasing average tariff in the global economy.
In the 1930s the average tariff was 50%, but it was declining
to 25% in 1980s and less than 10% now. With more unstable
economic situation, the anxiety to impose protectionism is more
likely to occur.

15

April 2008 =100

Secondly, the current world economy is much more mutually
dependent and integrated. For example, supply chain for hard
disk drives assembled in Thailand is more mutually dependent
to other countries. All the component of the hard disk drive
is not only manufactured in Thailand, but also imported from
Indonesia, China, Hong Kong etc for supporting components
as shown in figure 3. Instead of raising tariff or impeding goods
at the borders, many industries have found that cooperation
with other foreign companies or joint ventures and international
diversification are more likely profitable and more rational
in handling the global competition. Manufacture exports are
no longer made in one country and sold in another country.
Therefore, if countries impose tariff barrier, it will create effect
on multilateral trade and everybody will worse off.

C.3 Protectionism Can Be Misused by Particular
Country that Might Lead to a Trade War
There are several ways in how a country responds to unfair trade
imposed by other countries. Anti-dumping is one of the most
common response and it is an example of WTO legal protection
that has been misused by developed or developing countries to do
protectionism that might lead to trade war. The WTO agreements
uphold the principle of anti-dumping action, but the agreements
also allow exception in some circumstances (Chen 2009).
In theory, anti-dumping is an action done by importing
countries to protect their domestic industry by charging more
expensive import duty on a certain product exported from

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Figure 4 The Supply Chain Example
(This shows the nations where parts are sourced for a hard disk assembled in Thailand)

Source: Baldwin and Evenett (2009)

other countries to close the price difference between the price
of imported and domestic product (Chen 2009). The number
of anti-dumping measures in 2008 increased significantly
compared to previous years as shown in figure 5. Only in 2008
the growth rate of anti-dumping measures increases more than
10%. Developing countries proposed anti-dumping initiations
higher than developed countries as shown in figure 6, but
developed countries imposed anti-dumping more severely than
developing countries especially in June-December 2008.

countries as protectionism and they want this provision tightened.
For example, if the US had been imposing anti-dumping measures
to steel and tire from China with tariff on tire up to 35% without
proper investigation, China as an exporting county might not felt do
the dumping, but China might also do anti-dumping measures to
the product from the US. The US might want to protect their local
industries on behalf of anti-dumping scenario. If many countries do
the same things, trade wars cannot be avoided.

By arguing to protect domestic industry and without adequate
investigation -- whether a particular product is being dumped
heavily or slightly to the domestic products-- the importing
country imposes different import tariff to specific products from the
exporting countries. Even though the importing country does not
violate non-discrimination on the WTO agreements, but in practice
the importing countries might abuse anti-dumping measures as
protectionism and might lead to trade war. As Dunkley (2004 p 193)
claims that anti-dumping provision are being abused by first world

C.4 Protectionism Leads Countries to
Implement Regional Trade Agreements
The suspended Doha Round negotiation and the reciprocal
effects of protectionism that push each county to impose tariff
barriers might put the multilateral trade into trouble. Therefore,
most of countries try to find the second best trade system and
they usually choose regional trade agreements. As Chen (2009)
argues in the world where tariff barriers exist, it is still possible

16

E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0

Figure 5 Growth Anti-dumping Cases
Growth rate of AD
20%

2008
2008

10%

2006
2006

0%

-10%

2004

2005
2005

-20%

2007

2007

-30%
2004
-40%
AD measures

AD initiations

Figure 6 Anti-dumping cases, 2007-2008

120

Antidumping Initiations

120

100

100

80

80

60

Developing
countries

Antidumping Imposed

60

40

40

20

20
Developed
countries

0

0
Average
Jan 07-June 08

Average
Jan 07-June 08

Jul 08 - Dec 08

Jul 08 - Dec 08

Source: WTO, anti-dumping database (www.wto.org)
to reduce these barriers on a selective basis through a regional
trade agreement that might be more beneficial to the world