T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kekuatan Pembuktian Tindak Pidana ECommerce Berbasis Nilai Keadilan T1 BAB II

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN HASIL PENELITIAN

A. Tinjauan Teoritis

1. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

  Dalam Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidanadihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

  “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”

  Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni:

  1. Suatu perbuatan manusia;

  2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang;

  3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

  Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar feit itu sendiri, yaitu:

  1. Perbuatan Pidana Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat Beliau istilah “perbuatan pidana” 1. Perbuatan Pidana Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat Beliau istilah “perbuatan pidana”

  berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum tetapi dapat juga bersifat pasif yaitu tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum.

  2. Peristiwa Pidana Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam Undang Undang Dasar Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari- hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.

  3. Tindak Pidana Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit diperkenalkan oleh pihak pemerintah Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang Tindak Pidana Narkotika. Istilah tindak pidana menunjukkan gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak tidak berbuat, yang di dalam undang-undang pada Pasal 164 KUHP mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan 3. Tindak Pidana Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit diperkenalkan oleh pihak pemerintah Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang Tindak Pidana Narkotika. Istilah tindak pidana menunjukkan gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak tidak berbuat, yang di dalam undang-undang pada Pasal 164 KUHP mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan

  pembentuk undang-undang. 1

  Oleh karena itu, kesimpulan dari berbagai definisi di atas yaitu tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

  Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi dua yaitu:

  a) Unsur Objektif Unsur yang terdapat di luar diri si pelaku. Unsur-unsur yang ada

  hubungannya dengan keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur ini terdiri dari:

  1) Sifat melanggar hukum.

  2) Kualitas dari diri si pelaku Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

  3) Kausalitas Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

  b) Unsur Subjektif

  1 Sudarto,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,1983, Hlm.19.

  Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

  2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

  3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

  4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP yaitu pembunuha yang direncanakan terlebih dahulu.

  5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang

  menyebabkan perbedaaan pendapat di kalangan sarjana hukum pidana. Salah satu pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut adalah:

  a. Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana (Bijkomende voor waarde strafbaarheid);contoh Pasal 123, Pasal 164, dan Pasal 531 KUHP.

  b. Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak pidana (Voorwaarden van vervlog baarheid); contoh Pasal 310, Pasal 315, dan Pasal 284 KUHP.

  Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana. Oleh karena itu, jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari: Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana. Oleh karena itu, jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari:

  b. Hal Ikhwal atau Keadaan yang menyertai perbuatan Misal pada Pasal 160 KUHP ditentukan bahwa penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan dilakukan di muka umum.

  c. Keadaan Tambahan yang memberatkan pidana Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seseorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (dua tahun delapan bulan), tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat ancaman pidananya diberatkan menjadi 5 tahun (lima tahun) dan jika menyebabkan kematian menjadi 7 tahun (tujuh tahun).

  d. Unsur melawan hukum yang objektif Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.

  e. Unsur melawan hukum yang subjektif Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat “dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya jika mengambil barang untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut e. Unsur melawan hukum yang subjektif Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat “dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya jika mengambil barang untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut

c. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

  Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan), dam Pasal 209- 210 (penyuapan). Jika seseorang telah melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.

  Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan) yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.

  Van Hamel kurang setuju dengan pembagian delik formal dan material ini, karena menurutnya walaupun perilaku yang terlarang itu tidak dirumuskan sebagai penyebab dari suatu akibat, tetapi karena adanya perilaku semacam itulah seseorang dapat dipidana. Ia lebih setuju menyebutnya sebagai “delik yang dirumuskan secara formal” dan “delik yang dirumuskan secara material”.

2. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

  Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam- macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Hakim aktif menemukan fakta yang terjadi sebenarnya), berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil (Kebenaran yang diperoleh berdasarkan fakta yang diperoleh). Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara). Berikut ini Penulis akan menguraikan keempat sistem atau teori pembuktian tersebut di atas sebagai berikut:

  1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Sistem ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut undang- 1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Sistem ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut undang-

  

  2) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. Sistem atau teori ini terlalu besar memberi kebebasan kepada hakim sehingga sulit untuk diawasi. Sehingga dengan adanya hal demikian terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Menurut sistem ini, dianggap cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa suatu keadaan harus dianggap telah terbukti.

  3) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Conviction Rais onnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.

  4) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk). HIR maupun KUHAP, begitu pula Nederland Sub verbo (Ned.Sv) yang lama dan yang baru semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 Herziene Inlands Reglement (HIRt. Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat-alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat- alat bukti tersebut. Hak tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan yang tersebut pada Pasal 294 ayat (1) Herziene Inlands Reglement (HIR) yang berbunyi: “Tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi. Perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang

  yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”. 2

B. Analisis

1. E-commerce

a. Prinsip-prinsip dalam e-commerce menurut UU ITE

  Undang-Undang ITE mengatur beberapa prinsip-prinsip dalam kontrak elektronik, walaupun tidak diatur secara jelas tetapi beberapa Pasal dalam UU ITE ini secara tersirat mengatur mengenai prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik.

  2 Hari Sasangka,Lili Rosita,Loc.Cit.

  a. Prinsip Kepastian Hukum Dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa:

  “Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.”

  Suatu transaksi elektronik mengikat para pihak yang saling terkait di dalamnya, artinya suatu kontrak elektronik merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Jika ada salah satu pihak yang melanggar kontrak elektronik tersebut maka pihak lain dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang melanggar kontrak tersebut.

  b. Prinsip Itikad Baik Dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa:

  “Para pihak yang melakukan transaksi elektronik dalam lingkup publik ataupun privat wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi danatau pertukaran informasi elektronik danatau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.”

  Prinsip itikad baik mempunyai arti para pihak yang melakukan transaksi tidak bertujuan untuk secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lain. Pihak pengirim harus jujur mengenai produk yang diperjanjikan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma kepatutan maupun norma kesusilaan.

  c. Prinsip Konsensualisme Dalam Pasal 20 UU ITE mengatur kapan suatu transaksi elektronik dikatakan terjadi. Pasal 20 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa:

  “Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima.”

  Pasal 20 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa:

  “Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.”

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kontak elektronik kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi elektronik yang dikirim oleh pengirim diterima dan disetujui oleh penerima dengan pernyataan secara elektronik, misalnya dengan mengirimkan konfirmasi foto bahwa barang yang sudah datang.

  d. Prinsip Keterbukaan atau Transparansi Dalam Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa:

  “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.”

  Pihak yang menawarkan produk harus terbuka atas produk yang ditawarkan dan isi kontrak tidak boleh mengandung unsur yang merugikan konsumen. Jika pihak yang menawarkan produk melakukan hal yang merugikan konsumen dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 ayat(2) UU ITE.

  e. Prinsip Kebebasan Kontrak yang terbatas Para pihak bebas membuat kontrak tentang apa saja dan mengikat bagi para pihak sebagaimana halnya dengan undang- undang. Kontrak elektronik ada barang-barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan seperti hewan dan tanah. Karena persyaratan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

b. Pembuktian E-commerce

  Sama seperti sahnya perjanjiankontrak pada umumnya, keabsahan suatu transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu diragukan lagi sepanjang terpenuhinya syarat-syarat kontrak. Dalam sistem hukum Indonesia, sepanjang terdapat kesepakatan diantara para pihak; cakap mereka yang membuatnya; atas suatu hal tertentu; dan berdasarkan suatu sebab yang halal, maka transaksi tersebut seharusnya sah, meskipun melalui proses elektronik. Untuk mendukung pandangan tersebut, dalam lingkup internasional terdapat beberapa ketentuan yang dapat menjadi acuan, antara lain:

  1. The United Nations Conference on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on E-Commerce of 1996, yang merumuskan bahwa akibat, keabsahan atau dapat ditegakkannya

  suatu informasi tidak dapat disangkal semata-mata karena

  formatnya sebagai pesan data (data message);

  2. The European Union (EU) Directive on E-Commerce of 2000: menegaskan bahwa negara anggotanya wajib menjamin bahwa sistem hukum mereka memungkinkan kontrak dibuat dengan sarana elektronik;

  3. Singapore's E-Transaction Act of 1998: merumuskan bahwa untuk menghindari keraguan, dinyatakan bahwa informasi tidak dapat disangkal akibat hukumnya, keabsahannya maupun kemampuan untuk ditegakkannya semata-mata dengan alasan bahwa informasi tersebut dalam bentuk rekaman elektronik.

  Beberapa prinsip utama UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce juga menyebutkan diantaranya sebagai berikut. 3

  3 Mariam Darus Badrulzaman, E-commerce Tinjauan dari Hukum Kontrak Indonesia, Hukum Bisnis

  XII, 2001, Hlm.38.

  1. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat dikatakan memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum.

  2. Pasal 6 UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa dalam hukum mengharuskan adanya suatu informasi dalam bentuk tertulis, suatu data elektronik dapat memenuhi syarat untuk itu.

  3. Dalam hal tanda tangan, suatu tanda tangan elektronik merupakan tanda tangan yang sah. Transaksi elektronik dapat dilakukan dengan tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik. Tanda tangan digital adalah pendekatan yang dilakukan oleh teknologi encryption terhadap kebutuhan akan adanya suatu tanda tangan atau adanya penghubung antara satu dokumen data message dengan orang yang membuat atau menyetujui dokumen tersebut. Sementara itu tanda tangan elektronik adalah suatu tehnik penandatanganan yang menggunakan biometric ataupun berbagai cara lainnya, artinya

  tidak selalu harus menggunakan public key crypthography 4

  4. Dalam hal kekuatan pembuktian dan data bersangkutan, data message memiliki kekuatan pembuktian.

  Di indonesia sendiri telah dibentuk UU ITE sehingga penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai bukti dari suatu transaksi elektronik telah diterima secara sah dalam hukum Indonesia. Seperti dikatakan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE :

  “Informasi elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. “

  Hal ini dipertegas lagi dengan ketentuan pada Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE bahwa:

  4 Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negri Departemen Perindustrian dan Perdagangan jakarta dan Lembaga kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Naskah

  Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik Jakarta, 2001, Hlm. 75.

  “Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

  Menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronikdokumen elektronik, dan informasi elektronikdokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE.

  Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronikdokumen elektronik danatau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasidanatau dokumen elektonik beserta hasil cetakannya sebagai alat bukti sah di pengadilan, sehingga sekarang ini alat bukti di pengadilan bertambah satu yang sebelumnya belum ada.

  Dalam transaksi elektronik yang berlangsung dengan menggunakan media elektronik, transaksi dilakukan tanpa tatap muka di antara para pihak. Bukti atas transaksi yang dilakukan tersimpan dalam bentuk dokumen atau data elektronik yang terekam dalam sistem penyimpanan dokumen di komputer. Mengenai alat-alat bukti dalam transaksi elektronik, Michael Chissick dan Alistair Kelman menyatakan ada tiga tipe pembuktian

  yang dibuat oleh komputer, yaitu : 5

  1. Real Evidence (bukti nyata). Real evidence atau bukti nyata meliputi hasil rekaman langsung dari aktivitas elektronik

  5 Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama, Bandung , 2005, Hlm.114.

  seperti rekaman transaksi, kalkulasi-kalkulasi atau analisa- analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian software dan penerima informasi dari device lain seperti yang built-in langsung dalam komputer atau remote sender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pembayaran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan sebagai sebuah bukti nyata.

  2. Hearsay Evidence (bukti yang berupa kabar dari orang lain). Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumen-dokumen atau data yang diproduksi oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan (dimasukkan) oleh seseorang ke dalam komputer. Cek yang ditulis dan slip pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk hearsay evidence.

  informasi yang

  mengkombinasikan antara bukti nyata (real evidence) dengan informasi yang dimasukkan olehseseorang ke komputer dengan tujuan untuk membentuk sebuah dokumen atau data yang tergabung. Contoh dari derived evidence adalah tabel dalam kolom-kolom harian sebuah statement bank karena tabel ini diperoleh dari real evidence (yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearsay evidence (check individu dan entry pembayaran lewat slip-paying in).

  Dengan dilakukannya ketiga pendekatan tersebut terhadap bukti elektronik maka akan membantu hakim dalam memutuskan suatu perkara.Mengenai pembuktian isi dari dokumen itu sendiri memang tidak mudah untuk dibuktikan. Sifat yang ingin dibuktikan adalah sifat integrity. Sifat ini dapat terjaga dan dibuktikan jika Dengan dilakukannya ketiga pendekatan tersebut terhadap bukti elektronik maka akan membantu hakim dalam memutuskan suatu perkara.Mengenai pembuktian isi dari dokumen itu sendiri memang tidak mudah untuk dibuktikan. Sifat yang ingin dibuktikan adalah sifat integrity. Sifat ini dapat terjaga dan dibuktikan jika

  Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan telah dirintis oleh UNCITRAL yang mencantumkan dalam Model Law on E-Commerce ketentuan mengenai transaksi elektronik diakui sederajat dengan tulisan di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan. Mengacu pada ketentuan UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan bukti elektronik dalam bentuk informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang ditetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur mengenai transaksi elektronik dan hal ini direalisasikan oleh pemerintah dengan dibentuknya UU ITE. Pemerintah sebagai regulator mengatur kegiatan perekonomian Indonesia, dalam hal ini kegiatan ekonomi berupa transaksi secara elektronik membuat suatu kebijakan atau perangkat hukum berupa UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki

  tujuan antara lain: 6

  a. Memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas usahanya. Dengan adanya perangkat hukum, maka kepastian hukum akan terjamin. Informasi dokumen elektronikhasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yg sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU ITE.

  b. Memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku usaha dan bagi konsumen. Pelaku Usaha menyediakan informasi yg lengkap dan benar. sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 UU ITE. Melindungi Konsumen dari berita bohong dan menyesatkan yg merugikan Konsumen dalam transaksi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). Melindungi Pelaku Usaha dari tindakan-tindakan melawan hukum, misal:

  6 Elly Erawaty, Pengantar Hukum Ekonomi Indonesia, edisi ketiga, Unpar, Bandung, 2004, Hlm.10.

  seseorang yang melanggarmenerobos sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 (3) UU ITE.

  c. Memberikan proteksi secara khusus bagi pelaku usaha nasional khususnya yang termasuk sebagai pengusaha kecil dalam menghadapi persaingan dengan pengusaha asing. Pemerintah menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif untuk mengembangkan usaha dari pelaku usaha nasional supaya dapat bersaing dengan pengusaha asing dengan adanya perbuatan yang dilarang, misal: informasidokumen elekronik yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UU ITE.

  d. Melindungi kepentingan umum dari kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang tidak sehat dari para pelaku ekonomi. Nama Domain (alamat internet) yg telah terdaftar tidak boleh disalahgunakan oleh Pelaku Usaha lain karena dpt merugikan pemilik domain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU ITE.

  e. Menciptakan pemerataan pendapatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi makro. Dengan adanya sistem elektronik maka jaringan usaha akan semakin luas dan produksi meningkat sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan tinggi.

  Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan. Informasi maupun dokumen elektronik serta tanda tangan elektronik yang merupakan bagian di dalamnya dapat menjadi alat bukti yang sah sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Adapun kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber

  (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.

  Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

  Dengan demikian, subjek pelakunya juga harus dikualifikasikan

  sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dengan diberlakukannya UU ITE, maka secara yuridis terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang ini.

  Pengakuan secara yuridis melalui Pasal 5 ayat (1) UU ITE terhadap alat bukti elektronik ini membawa akibat yuridis diakuinya alat bukti elektronik tersebut sebagai bagian dalam alat bukti yang selama ini berlaku. Pengakuan alat bukti elektronik ini merupakan suatu langkah maju dalam hukum pembuktian. Apabila terjadi suatu perkara perdata yang mempersengketakan suatu dokumen elektronik dalam bentuk kontrak elektronik, maka dokumen tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi para pihak untuk menyelesaikan perkara atau hakim yang nantinya memutus perkara.

  Oleh karena itu UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru yang belum pernah diatur sebelumnya maka muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia siber. Salah satu hal yang baru adalah adanya bentuk alat bukti elektronik yang sah secara hukum, yaitu informasi dan dokumen elektronik, ataupun hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik, dan juga tanda tangan elektronik yang merupakan alat yang digunakan untuk menentukan keabsahan dari suatu informasi atau dokumen elektronik. Alat bukti elektronik ini Oleh karena itu UU ITE ini mengatur suatu dimensi baru yang belum pernah diatur sebelumnya maka muncullah beberapa istilah maupun karakteristik baru yang bersesuaian dengan kegiatan di dunia siber. Salah satu hal yang baru adalah adanya bentuk alat bukti elektronik yang sah secara hukum, yaitu informasi dan dokumen elektronik, ataupun hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik, dan juga tanda tangan elektronik yang merupakan alat yang digunakan untuk menentukan keabsahan dari suatu informasi atau dokumen elektronik. Alat bukti elektronik ini

  Penggunaan alat bukti elektronik pada prakteknya terdapat anggapan yang berbeda. Salah satu pendapat mengatakan bahwa hasil cetak yang dimaksudkan Pasal 5 ayat (1) UU ITE merupakan bukti tertulis. Hasil cetak merupakan perwujudanpenampakan dari informasi danatau dokumen elektronik yang tersimpan secara elektronik misalnya tersimpan di hard disk. Informasi yang tersimpan secara elektronik harus dapat dibuktikan keberadaannya dengan cara menampilkannya ke monitor komputer atau dicetak

  lewat printer tampil di kertas. Dengan demikian, informasi

  elektronik itu dapat dilihat dengan kasat mata dan diketahui keberadaannya. Jadi, hasil cetak merupakan bukti elektronik dalam wujud tertulis. UU ITE sendiri menyebutkan bahwa informasi dan dokumen elektronik adalah perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE.

  Namun berdasarkan Pasal 1 angka 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal

  6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai pembuktian, yaitu berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan danatau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar dan seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

  memahaminya;

  dinyatakan

  sah apabila

  menggunakanberasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang; dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, menggunakanberasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang; dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan,

  Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation). Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan

  salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan pembuktiannya

  diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain, dokumen elektronik masih merupakan suatu alat bukti biasa di muka pengadilan, dimana masih membutuhkan alat bukti lainnya misalnya keterangan saksi untuk menguatkannya.

  Perkembangan teknologi informasi terutama yang berkaitan dengan transaksi elektronik seperti e-commerce, e-business, internet banking, dan lain sebagainya memerlukan pengaturan dan ketentuan yang jelas yang dapat mengamankan kepentingan informasi dan transaksi tersebut. Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronikdokumen elektronik danatau hasil cetaknya Perkembangan teknologi informasi terutama yang berkaitan dengan transaksi elektronik seperti e-commerce, e-business, internet banking, dan lain sebagainya memerlukan pengaturan dan ketentuan yang jelas yang dapat mengamankan kepentingan informasi dan transaksi tersebut. Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronikdokumen elektronik danatau hasil cetaknya

  1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik danatau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;

  2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

  3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

  4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

  5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

  Pengakuan terhadap informasi dan dokumen elektronik dapat dilakukan dengan :

  1. Didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data, dimana informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis yang dilakukan dan menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang- 1. Didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data, dimana informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis yang dilakukan dan menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-

  2. Menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalnya dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman telepon dan transaksi ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bila dibuktikan lain, informasi, dokumen atau data tersebut dapat dikesampingkan.

  3. Perpaduan dari dua metode di atas, yaitu pengakuan terhadap informasi dan data elektronik tersebut dilihat dari proses penyimpanan informasi dan dokumen tersebut serta hasil akhir dari informasi atau dokumen elektronik tersebut.

  Suatu informasi dan dokumen elektronik sebagai bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi dan dokumen yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE.

  Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem elektronik yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dua jenis kekuatan pembuktian yaitu valid dan tidak valid, atau layak atau tidak layak untuk dipercaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri. Jika memenuhi semua kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, sistem telah dapat dijamin berjalan sebagaimana mestinya dan output informasi atau dokumen elektronik dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem elektronik yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dua jenis kekuatan pembuktian yaitu valid dan tidak valid, atau layak atau tidak layak untuk dipercaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri. Jika memenuhi semua kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, sistem telah dapat dijamin berjalan sebagaimana mestinya dan output informasi atau dokumen elektronik dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial

  Alat bukti elektronik dapat dipercaya jika dilakukan dengan cara :

  1. menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproduksi print-out,

  2. proses data seperti pada umumnya dengan memasukkan inisial

  arsip yang

  dikomputerisasikan, dan

  3. menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data dituliskan oleh seseorang yang mengetahui peristiwa hukumnya.

  4. Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi bagi pihak-pihak yang ingin menggunakan informasi dan dokumen elektronik,yaitu :

  1) mengkaji informasi yang diterima untuk menjamin keakuratan data yang dimasukkan,

  2) metode penyimpanan data dan tindakan pengambilan data untuk mencegah hilangnya data pada waktu disimpan,

  3) penggunaan program komputer yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan untuk memproses data,

  4) mengukur uji pengambilan keakuratan program, dan

  5) waktu dan persiapan model print-out komputer. Di dalam hukum acara pidana, pembuktian lebih

  diutamakan dengan menggunakan alat bukti berupa saksi, hal ini bermakna bahwa suatu perbuatan pidana menurut pembentuk undang-undang hanya dapat diketahui oleh seorang saksi yang secara langsung mengetahui atas perbuatan pidana tersebut. Selanjutnya perlu dipahami bahwa dalam rangka penilaian keabsahan penggunaan alat bukti di dalam hukum acara pidana, terdapat prinsip yang sama baik di dalam Pasal 294 ayat 1 HIR dan Pasal 183 KUHAP, yang pada asasnya mengatur tentang:

  ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.”

2. Pembuktian Tindak Pidana E-commerce di Pengadilan

  Pembuktian perkara tindak pidana e-commerce dalam pemeriksaan di pengadilan tentunya untuk mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah didakwakan kepada terdakwa dan apabila terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan maka sesuai dengan alat bukti yang ada dan keyakinan hakim, dapat diambil keputusan untuk menghukum atau membebaskan terdakwa dari hukuman.

  Pembuktian perkara tindak pidana e-commerce dalam pemeriksaan di pengadilan memerlukan alat bukti. Alat bukti yang dimaksudkan sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Hal ini berarti alat bukti yang digunakan terdapat dalam Pasal 184 KUHAP ditambah dengan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik. Hakim dalam pemeriksaan perkara tindak pidana teknologi informasi perlu menggunakan semua alat bukti yang tersedia baik yang diatur dalam KUHAP maupun Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 44 menyatakan: Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut:

  a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang- undangan; dan

  b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

  Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berbunyi: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

  Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berbunyi: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”

  Pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan pada ayat:

  1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

  2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

  3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

  4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

  5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

  6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

  a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

  b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

  d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

  7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

  Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 185 ayat (1) menegaskan bahwa: “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Pasal 185 ayat (6) Yang dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif”.

  Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 186 menyatakan: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana):

  Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf (c), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

  a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

  c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

  d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.