Modifikasi Karet Alam Secara Reaksi Pemutusan Rantai Dan Siklisasi Untuk Menghasilkan Karet Siklo

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Tanaman Karet

Getah yang dihasilkan dari tanaman Hevea brasiliensis dalam fasa cairan dan
berwarna putih disebut dengan lateks. Lateks merupakan bahan baku yang dapat
diolah menjadi berbagai jenis bahan olah karet dan produk turunan karet. Getah lateks
dihasilkan ketika kulit pohon karet disadap. Terdapat berbagai tanaman yang dapat
menghasilkan lateks, namun tanaman Hevea brasiliensis yang berasal dari negara
Brazil ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia karena lebih ekonomis
dan potensial untuk dikembangkan. Berbagai spesies tanaman lainnya yang dapat
menghasilkan lateks seperti Castilla elastica dan Ficus elastica (famili Moraceae),
Funtumia elastica , Dyera sp., dan Landolphia sp. (famili Apocinaceae), Palaquium
gutta (famili Sapotaceae), Parthenium argentatum dan Taraxacum kokbsaghyz

(famili Compositae), dan Manihot glaziovii (famili Euphorbiaceae). Tanaman karet
Hevea brasiliensis merupakan divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas

Dycotyledone, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea, dan spesies

Hevea brasiliensis.

Tanaman

Hevea

brasiliensis

potensial

dikembangkan

karena

pembudidayaannya yang relatif tidak sulit. Tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai
jenis tanah. Bahkan pada tanah yang kurang subur dan sulit untuk ditanami tanaman
lain, karet masih dapat dimanfaatkan untuk ditanam pada tanah ini. Karakteristik
tanah yang dapat ditanami pohon karet memiliki toleransi pH yang cukup besar yaitu
pada pH 3,8 – 8. Namun pH optimum untuk tanaman karet pada pH 4 – 6,5. Tanaman
karet dapat ditanam pada berbagai ketinggian, namun tanaman karet di Indonesia

dapat tumbuh optimal pada ketinggian antara 600-700 m di atas permukaan laut. Pada
tempat yang lebih tinggi, tanaman karet lebih sulit untuk bertumbuh dan
produktivitasnya akan lebih rendah. Karet alam yang dihasilkan dari getah pohon ini

merupakan bahan yang dapat terbaharukan. Bahan baku yang terbaharukan
merupakan bahan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dari segi ketersediaan
bahan baku, karet alam lebih unggul dibandingkan karet sintetis. Bahan baku yang
terbaharukan juga cenderung lebih ramah lingkungan baik dari segi proses
pengolahannya maupun dari limbah yang dihasilkan. (White et al, 2001, Tribawati,
R.,2009).
Karakteristik karet alam seperti kelentingan, ketahanan kikis, elastisitas, daya
rekat dan lain-lain merupakan keunggulan yang dimiliki untuk dapat diproses
menjadi berbagai jenis polimer. Karet alam terutama digunakan pada Industri ban.
Sampai saat ini karet alam tidak dapat disubstitusi seluruhnya oleh karet sintetis pada
Industri pembuatan ban. Kemampuan daya rekat yang tinggi membuat karet alam
banyak digunakan sebagai bahan adhesive. Karet alam juga banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan berbagai peralatan rumah tangga.
Lateks merupakan sistem koloid yang stabil. Partikel karet berbentuk butir-butir
karet yang terdispersi dalam air. Partikel karet dilapisi oleh protein dan fosfolipid
Protein yang menyelubungi butir-butir karet memberikan muatan pada partikel karet.

Jika protein yang menyelubungi butiran karet ini rusak maka butiran karet akan saling
tarik-menarik sehingga akan mengalami penggumpalan. Selain butiran karet,
beberapa garam dan zat organik seperti gula dan protein juga larut dalam dispersi
tersebut. Komponen yang terdapat dalam lateks terdiri dari; 25-40% bahan karet
mentah (crude rubber ) dan 60-75% serum (air dengan zat-zat yang melarut di
dalamnya). Komponen karet mentah mengandung 90-95%

karet murni, 2-3%

protein, 1-2% asam-asam lemak, 0,2% gula, dan 0,5% garam-garam mineral. Lateks
Hevea brasiliensis yang mengalami proses sentrifugasi pada kecepatan 18.000 rpm

akan terpisah menjadi beberapa lapisan sehingga dapat dilihat komposisi
penyusunnya yang terdiri atas :
a. Fraksi lateks
Fraksi lateks berkisar sebesar 37%.
(isopren), protein, lipida, dan ion logam.

Fraksi lateks ini terdiri atas; Karet


b. Fraksi Frey Wyssling
Fraksi Frey Wyssling merupakan karotenoid, lipida, air, karbohidrat dan
inositol, protein dan turunannya. Fraksi ini sebanyak 1-3%.
c. Fraksi serum
Fraksi serum merupakan komponen terbesar dalam lateks, yaitu sebesar 48%.
Fraksi serum tersusun atas; senyawaan nitrogen, asam nukleat dan nukleotida,
senyawa organik, ion anorganik, dan logam.
d. Fraksi dasar
Fraksi yang terakhir adalah fraksi dasar yang terdiri atas; air, protein dan
senyawaan nitrogen, karet dan karotenoid, lipida dan ion logam. Fraksi ini
berkisar 14%.
Lateks merupakan bahan baku yang terbahrukan karena dihasilkan oleh
tanaman Hevea brasiliensis. Lateks akan dihasilkan dengan menyadap kulit pohon.
Getah akan keluar dari pembuluh dari kulit pohon yang telah disadap. Lateks
merupakan hasil fotosintesis berupa senyawa sukrosa yang ditranslokasikan dari daun
melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Enzim invertase yang terdapat
dalam pembuluh lateks akan mengatur proses perombakan sukrosa. Perombakan
sukrosa oleh enzim inilah yang akan menghasilkan karet. Dalam pembuluh lateks,
lateks merupakan sistem koloid yang stabil. Lateks yang telah disadap dan keluar dari
pembuluh lateks memiliki kecenderungan untuk mengalami koagulasi. Terdapat

beberapa faktor yang dapat menyebabkan prakoagulasi. Penggunaan peralatan pada
saat penyadapan dan pengumpulan lateks harus diperhatikan kebersihannya karena
pengotor dapat menyebabkan prakoagulasi lateks. Protein yang menyelubungi
partikel karet merupakan pelindung partikel karet sehingga karet tidak mengalami
penggumpalan. Mikroorganisme dari udara, pengrusakan karbohidrat, protein, dan
lipida dalam lateks serta aktivitas enzim tertentu akan memfermentasikan bagianbagian bukan karet dalam lateks menjadi asam lemak eteris dan asam lemak bebas
yang akan mengakibatkan lateks mengalami prakoagulasi. Koagulasi ini terjadi
secara alami dan tidak diinginkan pada proses pengolahan lateks. Prakoagulasi

disebabkan oleh kontaminan pengotor ataupun oleh mikroorganisme dapat dihindari
dengan menambahkan pengawet pada lateks pada saat penyadapan.
Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai pengawet antara lain adalah
amonia (NH3) dan formalin bertujuan untuk meningkatkan kemantapan lateks.
Sebagai pengawet, amonia lebih banyak dipergunakan daripada bahan kimia lain
karena memiliki beberapa keunggulan. Amonia harganya lebih murah, mudah
menguap, dan konsentratnya dalam bentuk gas lebih mudah digunakan. Sedangkan
kekurangannya yaitu bau, sensitif terhadap seng dioksida, dan konsentrasinya terus
berkurang karena reaksi yang lambat dengan bahan penyusun bukan karet.
Prakoagulasi dapat dicegah melalui penambahan amonia pada konsentrasi antara
0,3% - 1%. Penambahan amonia akan meningkatkan pH lateks menjadi 9 - 10,

sehingga muatan negatif pada partikel-partikel karet akan meningkat. Melalui
penambahan amonia, ion-ion Mg+ yang dapat mengganggu kemantapan lateks dapat
dihindari dengan terbentuknya senyawa kompleks. Ion-ion fosfat yang secara alamiah
terdapat dalam serum akan bereaksi dengan amonia membentuk senyawa magnesium
amonium fosfat (MgNH4PO4). Amonia juga dapat berfungsi sebagai bakterisida atau
penghambat pertumbuhan bakteri pembentuk asam. Amonia banyak dipakai dan
umumnya memberikan hasil yang memuaskan apabila diberikan pada dosis yang
tepat. Bila amonia digunakan dalam pembuatan krep, maka harus diperhatikan bahwa
dalam jumlah yang terlampau besar, amonia dapat mempengaruhi warna dari krep
tersebut (Rodgers, 2004, Tim Penyusun PS, 2012, Goutara, 1976).

Tabel 2.1. Tanaman Penghasil Karet alam

Sumber : White et al, 2001

Jenis karet lainnya yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan berbagai
polimer adalah karet sintetik. Karet sintetik merupakan produk turunan dari minyak
bumi. Pengembangan karet sintetik secara signifikan terjadi sesudah Perang Dunia II.
Produksi karet sintetik ini dilakukan karena semakin berkembangnya produk olahan
karet dan karet alam dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dunia. Karet

sintetik berdasarkan pemanfaatannya diklasifikasikan menjadi karet sintetik yang
digunakan secara umum serta karet sintetik yang digunakan untuk keperluan khusus.
a. Karet sintetik untuk kegunaan umum
Beberapa jenis karet sintetik yang tergolong dalam golongan ini antara lain :
1. SBR (Styrene Butadiene Rubber )
Karet SBR memiliki keunggulan dari segi ketahanan kikis dan panas yang
ditimbulkan rendah.. Karet SBR merupakan karet sintetik yang paling banyak
digunakan. Kekuatan SBR lebih rendah dibandingkan karet alam yang divulkanisir
karena tidak diberi tambahan bahan penguat.
2. BR (Butadiene Rubber ) atau polybutadiene rubber
Dibandingkan SBR, karet BR memiliki kekuatan lebih rendah. Pengolahan karet
BR lebih sulit dan memiliki daya lekat yang lebih rendah. Pengolahan karet BR
menjadi berbagai produk olahan karet tidak dapat digunakan secara tunggal tetapi
dicampur dengan karet sintetik lainnya seperti SBR maupun dengan karet alam.

3. IR (Isoprene Rubber )
Karet sintetik ini merupakan polimer yang tersusun atas monomer isoprene
sehingga karakteristiknya memiliki kemiripan dengan karet alam yang merupakan
polimer isoprene alami. Dibandingkan karet alam, karet IR lebih tinggi
kemurniannya karena merupakan hasil sintesa. Dari segi viskositas, Karet IR

memiliki viskositas yang lebih mantap dibandingkan karet alam.

b. Karet sintetik untuk kegunaan khusus
Disebut karet sintetik untuk kegunaan khusus karena karet ini memiliki sifat
khusus yang dibutuhkan yang tidak dimiliki oleh karet sintetik untuk kegunaan
umu. Beberapa sifat khusus yang diperlukan seperti adalah ketahanan terhadap
minyak, oksidasi, panas atau suhu tinggi serta kedap terhadap gas. Berikut
beberapa contoh karet sintetik untuk kegunaan khusus :
1. IIR (Isobutene Isoprene Rubber )
IIR disebut juga sebagai butyl rubber. Karet IIR memiliki ketahanan terhadap
oksigen dan ozon karena mempunyai ikatan rangkap yang lebih sedikit
dibandingkan karet sintetik lainnya. Ikatan rangkap akan membuat senyawa lebih
reaktif dan lebih mudah teroksidasi. Pada proses vulkanisasi, IIR membutuhkan
bahan pemercepat dan belerang karet IIR lebih lambat matang. Berbeda dengan
karet BR, Karet IIR tidak baik dicampur dengan karet alam atau karet sintetik
lainnya.
2. NBR (Nytrile Butadiene Rubber ) atau Acrilonytrile butadiene rubber
Seperti karet SBR, NBR adalah karet sintetik untuk kegunaan khusus yang paling
banyak digunkan. Karet NBR memiliki ketahanan terhadap minyak dan
kemampuan untuk tidak mengembang. Karakteristik ini disebabkan oleh

kandungan akrilonitril yang terdapat dalam NBR. Ketahanan terhadap minyak,
lemak dan bensin semakin tinggi jika kandungan akrilonitril yang dimiliki semakin
tinggi. Namun di sisi lain elastisitas karet NBR akan semakin berkurang.

3. CR (Chloroprene Rubber )
CR juga memiliki ketahanan terhadap minyak, namun ketahanannya lebih lemah
jika dibandingkan dengan NBR. Keunggulan lainnya CR juga memiliki ketahanan
terhadap pengaruh oksigen dan ozon, dan ketahanan terhadap panas atau nyala api.
4. EPR (Ethylene Propylene Rubber )
EPR memiliki ketahanan terhadap sinar matahari, ozon serta pengaruh unsur cuaca
lainnya. Sedangkan kelemahannya adalah daya rekatnya yang lebih rendah (Tim
Penyusun PS, 2012).
Walaupun dari segi produksi dan konsumsi karet alam lebih rendah
dibandingkan karet sintetik, namun karet alam tidak dapat disubstitusi sepenuhnya
oleh karet sintetik, karena karet

alam memiliki keunggulan dibandingkan karet

sintetik, yaitu :
a. Memiliki daya elastis atau daya lenting yang sempurna

b. Memiliki plastisitas yang baik
c. Mempunyai daya aus yang tinggi
d. Tidak mudah panas
e. Memiliki daya tahan yang tinggi terhadap keretakan.
Walaupun demikian, karet sintetik memiliki kelebihan seperti tahan terhadap
berbagai zat kimia dan harganya yang cenderung bisa dipertahankan supaya tetap
stabil (Rodgers, 2004). Perbandingan produksi dan konsumsi karet alat terhadap karet
sintetik secara global ditampilkan pada Tabel 2.2. sebagai data statistik karet dunia.

Tabel 2.2. Data Statistik Karet Dunia

Sumber : Rubber Statistical Bulletin, Edisi Juli-September 2014

2.2.

Karet Alam

Karet alam merupakan polimer alami yang diperoleh dari getah tanaman atau disebut
dengan lateks. Terdapat sekitar 2000 tanaman yang dapat menghasilkan lateks.
Diantara tanaman tersebut, Hevea brasiliensis merupakan tanaman yang paling

potensial untuk menghasilkan lateks. Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk
getah yang dihasilkan dari pohon karet yang diperoleh ketika pohon karet disadap.
Lateks terdapat tidak hanya pada bagian kulit pohon, tetapi juga pada daun dan
integumen biji karet. Lateks merupakan suatu sistem koloid yang tersusun atas
partikel karet dan bukan karet. Komponen penyusun lateks ditampilkan pada Tabel
2.3. Lateks berwarna putih susu dan dapat pula berwarna kuning tergantung dari klon
tanaman karet. Ukuran partikel karet berkisar antara 0,04 – 3 mikron yang terdispersi
dalam serum lateks.

Tabel 2.3. Komponen Lateks Segar
No

Komponen

Persentasi (%)

1

Karet

30-40

2

Protein

1-1,5

3

Resin

1,5-3,0

4

Mineral

0,7-0,9

5

Karbohidrat

0,8-1,0

6

Air

55-60

Sumber : White et al, 2001

Partikel karet alam dalam fasa lateks diselubungi oleh protein sehingga
paretikel karet bermuatan listrik. Protein adalah senyawa asam amino yang satu sama
lain terikat oleh ikatan peptida. Lateks kebun memiliki pH 6,9 dan bermuatan negatif.
Titik isoelektrik lateks berada pada pH 4,7. Partikel karet yang dilapisi oleh protein
dan bermuatan listrik membuat sistim koloidnya stabil, partikel karet tolak menolak
dan terdispersi secara merata pada serum. Larutan koloid akan stabil jika muatan
listrik karet dipertahankan. Jika selubung proteinnya rusak maka kestabilan karet
akan terganggu dan partikel karet akan saling menempel atau disebut peristiwa
koagulasi. Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listriknya. Muatan listrik
tergantung pada pH lateks. Karenanya pada pengolahan lateks untuk mencegah
prakoagulasi penambahan amoniak dilakukan untuk meningkatkan pH sehingga
mencapai pH di atas titik isolektriknya dan lateks tidak akan menggumpal.
Sebaliknya untuk penggumpalan lateks ditambahkan asam contohnya adalah asam
formiat sampai mendekati titik isoelektrik yaitu pH 3,8 – 5,3. Dengan penambahan
asam secara berlebihan atau sekaligus diberikan, maka akan terjadi penambahan
muatan positif yang mengakibatkan partikel karet saling tolak menolak sehingga
lateks tetap dalam keadaan cair. Kondisi ini sulit tercapai, karena walaupun
bermuatan positif namun partikel karet sudah saling menempel dan sulit menjadi
partikel yang kecil yang dapat terdispersi pada serum (Goutara, 1976).
Karet alam dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu :

a. Bahan Olah Karet
Bahan olah karet adalah lateks kebun serta gumpalan lateks kebun yang diperoleh
dari pohon karet Hevea Brasiliensis. Menurut pengolahannya bahan olah karet
dibagi menjadi 4 jenis, yaitu lateks kebun, sit angin, slab tipis, dan lump segar.

b. Karet Alam Konvensional
Jenis-jenis karet alam olahan yang tergolong konvensional adalah ribbed smoked
sheets (RSS), white crepe and pale crepe, estate brown crepe, compo crepe, thin

brown crepe remills, thick blanket crepes ambers, flat bark crepe, dan pure
smoked blanket crepe. Karet alam konvensional pada dasarnya terdiri atas karet
sheet dan crepe.

c. Lateks Pekat
Lateks pekat adalah jenis karet yang berbentuk cairan pekat, tidak berbentuk
lembaran atau padatan lainnya. Proses pengolahan lateks pekat dapat dilakukan
melalui proses pendadihan atau creamed latex dan melalui proses pemusingan atau
centrifuged latex. Lateks pekat umumnya digunakan untuk pembuatan bahan-

bahan karet yang tipis dan bermutu tinggi. Standar mutu lateks pekat untuk lateks
dadih dan lateks pusingan ditampilkan pada Tabel 2.4.

d. Karet Spesifikasi Teknis

Karet Spesifikasi teknis adalah karet alam yang dibuat khusus sehingga terjamin
mutu teknisnya. Penetapan mutu juga didasarkan pada sofat-sifat teknis.
Persaingan karet alam dan karet sintetik merupakan penyebab timbulnya karet
spesifikasi teknis. Karet sintetik yang permintaannya cenderung meningkat
memiliki jaminan mutu dalam tiap bandelanya. Keterangan sifat teknis serta
keistimewaan tiap jenis mutu karet sintetik dicantumkan dalam setiap bandelanya.
Hal ini diterapkan pada karet spesifikasi teknis dengan adanya sertifikat uji coba
laboratorium. Karet spesifikasi teknis merupakan karet alam yang memiliki
standart mutu berdasarkan pengujian teknis bukan berdasarkan visual. Karet alam
konvensional mutunya ditetapkan berdasarkan pengamatan visual. Selain itu karet
spesifikasi teknis memiliki sistem pengolahan yang berbeda dengan sistem
pengolahan karet alam konvensional sehingga dihasilkan karet alam yang lebih
berkualitas. Pengolahan karet alam menjadi karet spesifikasi teknis memberikan
efisiensi dari segi pengolahan, keterjaminan mutu dan hasil produksi yang lebih
seragam.

Tabel 2.4. Standar Mutu Lateks Pekat
No

Uraian

Lateks Pusingan

Lateks dadih

(Centrifuged Latex) (Creamed Latex)
1

Jumlah padatan (total solids)

61,5%

64,0%

minimum
2

Kadar karet kering (KKK) minimum

60,0%

62,0%

3

Perbedaan angka butir 1 dan 2

2,0%

2,0%

1,6%

1,6%

50 centipoises

50 centipoises

0,10%

0,10%

0,08%

0,08%

maksimum
4

Kadar amoniak (berdasar jumlah air
yang terdapat dalam lateks pekat)
minimum

5

Viskositas maksimum pada suhu
250oC

6

Endapan (sludge) dari berat basah
maksimum

7

Kadar koagulum dari jumlah
maksimum

8

Bilangan KOH (KOH number )

0,80

0,80

9

Kemantapan mekanis (mechanical

475 detik

475 detik

0,001%

0,001%

0,001%

0,001%

Tidak biru

Tidak biru

Tidak kelabu

Tidak kelabu

stability) minimum

10

Persentasi kadar tembaga dari
padatan maksimum

11

Persentasi kadar mangan dari
padatan maksimum

12

13

Warna

Bau setelah dinetralkan dengan borat

Sumber : Tim Penyusun PS, 2012.

Tidak boleh berbau Tidak
boleh
busuk
berbau busuk

Gambar 2.1. Flow Diagram Proses Pengolalan Lateks dan Gumpalan Karet
menjadi Karet Spesifikasi Teknis
Sumber : White, J.R., et al, 2001

Standar mutu karet Indonesia tercantum dalam SIR (Standard Indonesian
Rubber ) yang disajikan pada tabel 2.5. Sebagian besar perkebunan karet Indonesia

merupakan perkebunan rakyat. Produksi karet yang dihasilkan oleh perkebunan
rakyat masih terdapat karet yang bermutu rendah yang diakibatkan oleh terjadinya
prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak diinginkan karena memungkinkan pengotorpengotor akan terikut di dalam karet sehingga akan menghasilkan karet yang bermutu
lebih rendah. Karet yang bermutu rendah ini masih dapat diolah menjadi karet yang
berkualitas. Karet bermutu rendah ini diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan
karet spesifikasi teknis. Proses pengolahan karet spesifikasi teknis ini akan menjamin
karet yang bermutu rendah dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga karet yang
dihasilkan mutunya lebih terjamin dan lebih seragam.
Tabel 2.5. Standard Indonesian Rubber (SIR)
Uraian

SIR 5L

SIR 5

SIR 10

SIR 20

SIR 50

Kadar Kotoran maksimum

0,05%

0,05%

0,10%

0,20%

0,50%

Kadar abu maksimum

0,50%

0,50%

0,75%

1,00%

1,50%

Kadar zat asiri maksimum

1,0%

1,0%

1,0%

1,0%

1,0%

PRI minimum

60

60

50

40

30

Plastisitas – Po minimum

30

30

30

30

30

Limit warna (skala

6

-

-

-

-

Hijau

hijau

Merah

Kuning

lovibond) maksimum
Kode warna

Sumber : Tim Penyusun PS, 2012

Karet spesifikasi teknis yang produksi oleh Malaysia memiliki standart mutu
berupa SMR (Standard Malaysian Rubber ) dan ditampilkan pada tabel 2.6.

Tabel 2.6. Standard Malaysian Rubber (SMR)
Uraian

SMR 5L

SMR 5

SMR 10

SMR 20

SMR 50

Kadar Kotoran (dengan

0,05%

0,05%

0,10%

0,20%

0,50%

Kadar abu maksimum

0,60%

0,60%

0,75%

1,00%

1,50%

Kadar nitrogen

0,65%

0,65%

0,65%

0,65%

0,65%

Kadar zat asiri

1,0%

1,0%

1,0%

1,0%

1,0%

Plasticity retention

60

60

50

40

30

30

30

30

30

30

6,0%

-

-

-

-

Hijau

Hijau

Cokelat

Merah

Kuning

muda

muda

Warna bungkus

Jernih

Jernih

Jernih

Jernih

jernih

Warna strip plastik

Jernih

Keruh

Keruh

Keruh

Keruh

putih

putih

putih

putih

saringan 325 mesh, lubang
44) maksimum

maksimum
Plastisitas Wallace (nila
permulaan) minimum
Limit warna (skala
lovibond)
Kode warna

Sumber : Tim Penyusun PS, 2012

e. Karet Siap Olah atau Tyre Rubber
Tyre rubber adalah bentuk lain dari karet alam yang dihasilkan sebagai barang

setengah jadi sehingga bisa langsung dipakai oleh konsumen, baik untuk
pembuatan ban atau barang yang menggunakan bahan baku karet alam lainnya.
Pembuatannya dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing karet alam terhadap
karet sintetik. Tyre rubber adalah bahan pembuat yang lebih baik untuk ban atau

produk karet lainnya jika dibandingkan dengan karet alam konvensional.
Kelebihan tyre rubber adalah daya campur yang baik sehingga mudah digabung
dengan karet sintetik.

f. Karet Reklim atau Reclaimed Rubber

Karet reklim adalah karet yang diolah kembali dari barang-barang karet bekas,
terutama ban-ban mobil bekas. Sifat karet reklim yang mudah mengambil bentuk
dan memiliki daya lekat yang baik mengakibatkan karet ini biasanya banyak
digunakan sebagai bahan campuran. Pemakaian karet reklim memungkinkan
mastikasi dan pencampuran yang lebih cepat. Karet reklim memiliki daya tahan
yang lebih besar terhadap bensin atau minyak pelumas jika dibandingkan dengan
karet alam yang baru dibuat. Kelemahan karet reklim adalah kurang kenyal dan
kurang tahan gesekan karena dibuat dari karet bekas pakai, sehingga karet reklim
kurang baik digunakan untuk membuat ban (Rodgers, 2004, Tim Penyusun PS,
2012).

Karet alam adalah hidrokarbon yang merupakan makromolekul poliisoprena
(C5H8)n yang bergabung secara ikatan kepala ke ekor. Rantai poliisoprena
membentuk konfigurasi cis dengan susunan ruang yang teratur, sehingga rumus
kimianya adalah 1,4 cis poliisoprena. Karet yang mempunyai susunan ruang dengan
konfigurasi “cis” akan mempunyai sifat kenyal (elastis). Sifat kenyal tersebut
berhubungan dengan viskositas atau plastisitas karet. Tanaman getah perca
menghasilkan lateks dengan rantai poliisoprena memiliki konfigurasi trans, sehingga
elastisitasnya lebih rendah. Rumus struktur trans-poliisoprena dan cis-poliisoprena
ditampilkan pada Gambar 2.2.

a.
H

H3C

H3C

H

H

H3C

b.

H3C

H H3C

H H3C

Gambar 2.2. Struktur Ruang Isomer Cis dan Trans Karet Alam
a. trans-poliisoprena, b. cis isoprena
(Sumber : Rodgers, B., 2004)
Pada setiap rantai poliisoprena terdapat 6 – 36 gugusan aldehid yang akan
memberikan pengaruh terhadap viskositas karet selama penyimpanan sehingga karet
dapat menjadi keras yang disebut dengan istilah storage hardening (pengerasan).
Gejala storage hardening dapat diketahui dengan adanya peningkatan viskositas
karet. Peningkatan viskositas karet disebabkan karena terbentuknya ikatan silang
antara rantai poliisoprena. Ikatan silang terjadi akibat adanya gugusan reaktif yaitu
gugusan aldehida pada rantai molekul karet. Pembentukan ikatan silang pada rantai
molekul karet akan menyebabkan sifat kenyal karet berkurang sehingga karet menjadi
keras (Goutara, 1976). Hipotesis yang dapat menjelaskan terjadinya reaksi storage
hardening adalah karena ikatan silang antara gugus aldehida pada rantai poliisoprena

dengan gugus aldehida terkondensasi yang ada di dalam bahan bukan karet atau yang
terdapat pada rantai poliisoprena yang lain (gambar 2.3). Kemungkinan lain adalah
reaksi antara gugus aldehida dan α-metil dari rantai utama poliisoprena (gambar 2.4.)
(Refrizon, 2003).

O
R

O

+ H2N

NH2 +

R

R

H

R

C
H

N

R

N

C
H

R + 2 H20

H

Gambar 2.3. Reaksi storage hardening (Ikatan Silang antara Gugus

Aldehida)

Sumber : Goutara, 1976

O
R

+
H

C
H2

C

C
H

C
H2

C
H2

C

C
H

C
H2

+

CH

H20

CH3
CH
R

Gambar 2.4. Reaksi Storage Hardening (reaksi antara gugus aldehida dan α-metil)
Sumber : Goutara, 1976

2.3.

Produksi dan Konsumsi Karet Alam

Produksi karet alam secara global pada tahun 2012 adalah berkisar 11,4 juta ton yang
mengalami peningkatan sebesar 3,97% jika dibandingkan dengan tahun 2011. Asia
memberikan porsi terbesar yaitu 93% dari produksi dunia disusul Afrika (4-5%)
kemudian Amerika Latin (2,5-3%). Konsumsi karet alam secara global pada tahun
2012 adalah sebesar 10,9 juta ton meningkat 0,23% dibandingkan tahun 2011.
Pengkonsumsi karet alam terbesar adalah Asia sebesar 69,7%, Eropa 13,5% dan
Amerika Utara 10,7%. Produksi dan konsumsi karet alam dunia pada rentang waktu
tahun 2000 – 2012 dapat dilihat pada grafik 2.1. serta konsumsi karet alam pada
berbagai Negara disajikan pada grafik 2.2. dan grafik 2.3.

Grafik 2.1. Konsumsi dan Produksi Karet Alam Dunia
Sumber : Luan, N, K, Natural Rubber Industry Report, 2013

Grafik 2.2. Total Konsumsi Karet di berbagai Negara (1)
Sumber : Smit, H, The Asian Rubber Industry, 2013

Grafik 2.3. Total Konsumsi Karet di berbagai Negara (2)
Sumber : Smit, H, The Asian Rubber Industry, 2013

Negara-negara yang menjadi produsen karet alam di dunia adalah Thailand,
Indonesia, Malaysia dan Vietnam yang memberikan kontribusi sebesar 82% dari
produksi dunia. Negara-negara sebagai konsumen terbesar adalah Cina (33,5%),
Amerika Serikat (9,5%), India (8,7%), Jepang (6,6%) dan Malaysia (4,6%). Negara
yang merupakan eksportir terbesar dunia adalah Thailand (2,8 juta ton), Indonesia
(2,45 juta ton), Malaysia (1,31 juta ton) dan Vietnam (1,02 juta ton). Persentasi
eksport dari keempat eksportir terbesar ini adalah sebesar 87% dari volume ekspor
dunia. Luas areal perkebunan karet alam dunia pada tahun 2012 adalah sebesar 9,56
juta hektar, dengan pertumbuhan rata-rata pada periode tahun 2000-2011 sebesar
3,8% per tahun (Luan, 2013). Perkembangan areal perkebunan karet alam dunia dan
pada berbagai Negara disajikan pada grafik 2.4 samapai grafik 2.7.

Grafik 2.4. Perkebunan Karet Alam Dunia periode 2000 - 2011
Sumber : Luan, N, K, Natural Rubber Industry Report, 2013

Grafik 2.5. Perkebunan dan Produktivitas Karet alam di Thailand
Sumber : Smit, H, The Asian Rubber Industry, 2013

Grafik 2.6. Perkebunan dan Produktivitas Karet alam di Indonesia
Sumber : Smit, H, The Asian Rubber Industry, 2013

Grafik 2.7. Perkebunan dan Produktivitas Karet alam di Malaysia
Sumber : Smit, H, The Asian Rubber Industry, 2013

Indonesia menempati posisi kedua terbesar setelah Thailand sebagai negara
produsen karet alam dunia. Namun disayangkan, hampir 100%

produk karet

Indonesia masih berupa produk industri hulu setengah jadi seperti Karet Sit RSS,
Karet Remah SIR, Sit Angin, dan Lateks pekat. Perkebunan karet Indonesia adalah
yang terluas di dunia namun dari segi produktivats masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan Thailand maupun Malaysia.

2.4.

Karet Spesifikasi Teknis

Pengolahan karet mentah menjadi karet spesifikasi teknis bertujuan untuk
menghasilkan karet alam yang terjamin mutunya karena pengukuran mutu karet
didasarkan pada pengujian sifat-sifat teknisnya yang mengacu pada standar yang
sudah ditetapkan. Sedangkan mutu jenis karet alam konvensional hanya dilihat secara
penampakan visual sehingga mutunya tidak terstandar yang mengakibatkan sulit
bersaing dengan karet sintetik yang memiliki jaminan mutu. Nomenklatur karet
spesifikasi teknis yang terdapat di berbagai Negara disajikan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Nomenklatur Karet Spesifikasi Teknis di Berbagai Negara
Negara

Nomenklatur

Malaysia

Standard Malaysian Rubber (SMR)

Indonesia

Standard Indonesian Rubber (SIR)

Thailand

Standard Thai Rubber (STR)

India

Indian Standard Natural Rubber (ISNR)

Sri Lanka

Sri Lanka Rubber (SLR)

Singapore

Standard Singapore Rubber (SSR)

Papua New Guinea

Papua New Guinea Classified Rubber (PNGCR)

Sumber : White et al, 2001

Karet spesifikasi teknis dapat diolah dari lateks kebun maupun lateks yang telah
mengalami pre-koagulasi. Proses pengolahan berupa tahapan pengeringan dan
penghilangan kotoran sehingga dihasilkan karet bongkah. Karet spesifikasi teknis
yang diproduksi Indonesia mengacu kepada Standard Indonesian Rubber (SIR).
Karet spesifikasi teknis Indonesia berupa karet bongkah yang disebut crumb rubber .
Pengolahan karet mentah menjadi crumb rubber akan memberikan keuntungan
antara lain :
a. Waktu pengolahan, terutama jangka waktu pengeringan berlangsung lebih cepat.
b. Mutu karet lebih terjamin karena penentuan mutunya berdasarkan pengujian sifatsifatnya (spesifikasi teknis)

sedangkan mutu karet alam konvensional hanya

berdasarkan visual.
c. Hasilnya lebih seragam
d. Dengan cara pengolahan crumb rubber karet yang bermutu rendah dapat
ditingkatkan mutunya. Hal ini penting sekali dalam pengolahan karet rakyat yang
banyak menghasilkan karet mutu rendah seperti slab, lump dan unsmoked sheet
yang masih dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan crumb rubber dengan
mutu yang lebih seragam dan terjamin (Goutara, 1976)

2.5.

Modifikasi Karet Alam

Modifikasi karet alam secara kimia biasanya bertujuan untuk pengembangan produk
melalui perbaikan kelemahan sifatnya dan meningkatkan keunggulan atau untuk
mensintesis bahan baru yang sifatnya berbeda dengan karet alam. Modifikasi secara
kimia dapat dilakukan dengan mengubah molekulnya, yang dapat berlangsung tanpa
terikatnya atau dengan terikatnya senyawa atau gugus lain. Reaksi Siklisasi
merupakan contoh modifikasi karet alam secara kimia tanpa terikatnya gugus lain
(Hashim et.al, 2002).
Depolimerasasi merupakan salah satu cara modifikasi karet alam dengan cara
degradasi rantai molekul karet. Degradasi polimer dapat terjadi secara mekanis,
termal, kimiawi, fotokimia, dan biodegradasi. Secara kimiawi degradasi polimer

dapat terjadi dengan bantuan senyawa pemutus rantai molekul polimer. Tujuan
depolimerisasi adalah untuk melunakkan atau sekedar menurunkan viscositas karet,
dan untuk memperoleh karet dengan rantai molekul yang sangat pendek atau karet
cair.

2.6.

Degradasi Karet Alam

Massa molar molekul karet alam adalah sebesar 50.000 – 3.000.000 g/mol. Berkisar
60% dari molekul karet alam memiliki massa molar lebih besar dari 1.300.000 g/mol.
Sebagai senyawa polimer karet alam memiliki bobot molekul yang tinggi berkisar
50,000 hingga 3,000,000 g/mol. Karet alam dengan bobot molekul yang tinggi akan
menyulitkan pada proses pengolahan maupun pada proses pencampuran dengan karet
lain ataupun bahan termoplastik yang lain untuk menghasilkan barang jadi karet.
Proses pengolahan karet alam akan lebih efektif jika bahan baku karet alam yang
digunakan memiliki bobot molekul yang lebih rendah. Bobot molekul karet alam
yang tinggi disebabkan oleh rantai molekulnya yang panjang. Bobot molekul
mempengaruhi sifat-sifat polimer seperti kelarutan, kerekatan, ketercetakan dan
kekentalan. Sifat karet alam ini akan mempengaruhi kemampuan pemrosesan karet.
Bobot molekul karet alam yang tinggi ini membatasi penggunaan karet alam dalam
dunia industri. Pada pembuatan barang jadi karet maupun penggunaan pada formulasi
dengan polimer yang lain dibutuhkan karet alam dengan bobot molekul yang lebih
rendah agar dapat digunakan lebih efektif. Tingginya bobot molekul karet alam
menjadikan barang jadi karet kalah bersaing dengan resin dan karet sintetik yang lain.
Karet alam sering dikombinasikan dengan karet yang lain maupun termoplastik lain
untuk meningkatkan berberapa sifat penting yang diinginkan, Pada proses
pencampuran ini dibutuhkan karet alam dengan bobot molekul lebih rendah sehingga
prosesnya lebih efektif.
Degradasi polimer terutama disebabkan reaksi pemutusan ikatan rangkap dalam
senyawa makromolekul. Metode degradasi karet alam meliputi : degradasi kimia
termasuk reaksi metatesis dan reaksi pemutusan ikatan rangkap, degradasi ozonolisis,

biodegradasi, degradasi panas, degradasi mekanikal, fotokimia dan degradasi oleh
ultrasonic irradiation (Fainleib et al, 2013).

Degradasi kimia merupakan metode degradasi karet alam yang banyak
berkembang. Berbagai perreaksi diteliti keefektifannya dalam mendegradasi karet
alam untuk menghasilkan karet alam yang memiliki bobot molekul yang lebih
rendah. Degradasi karet alam dalam larutan lateks dengan menggunakan pereaksi
H2O2 dan NaNO2 menghasilkan karet alam cair merupakan degradasi dalam sistem
redoks yang dikategorikan sebagai degradasi oksidatif. Degradasi dalam sistem
redoks ini bertujuan untuk menghasilkan karet alam dengan bobot molekul lebih
rendah. Hasil reaksi menunjukkan selain pengurangan bobot molekul, degradasi
dalam sistem

redoks juga mengakibatkan fungsionalisasi karet alam dengan

terbentuknya gugus fungsi hidroksil dan karbonil pada ujung rantai molekul karet
(Ibrahim et al, 2014). Waktu dan temperatur reaksi mempengaruhi bobot molekul
karet alam yang dihasilkan dari reaksi degradasi lateks karet alam menggunakan
pereaksi H2O2 dan NaNO2. Peningkatan waktu dan temperatur reaksi degradasi
mengakibatkan bobot molekul karet alam yang dihasilkan lebih rendah. Degradasi
lateks menghasilkan karet alam cair yang memiliki gugus fungsi hidroksil dan epoksi.
Keberadaan gugus fungsi hidroksil dan epoksi pada karet hasil reaksi degradasi
menunjukkan ikatan rangkap C=C pada molekul karet mengalami epoksidasi dan
hidrolisis. (Isa et al, 2007). Metode pengurangan bobot molekul karet alam dapat
dilakukan dengan menggunakan agensia pengoksidasi (udara, oksigen atau suatu
peroksida) dan agensia pereduksi (suatu nitrit logam dan/atau suatu klorit logam)
(Gazeley et al, 1996). Degradasi lateks karet alam dengan tert-butyl hydroperoxide
dan cobalt acetylacetonate juga berhasil mennurunkan bobot molekul karet dan
diperoleh karet alam cair. Fungsionalisasi karet juga terjadi yaitu dengan
terbentuknya gugus fungsi keton dan karboksilat pada ujung rantai molekul karet
(Klaichim, 2009). Degradasi juga dipengaruhi oleh keberadaan pelarut. Ramadan
meneliti degradasi dalam fasa lateks dengan menggunakan pereaksi hidrogen
peroksida dan natrium hipoklorit. Penggunaan toluen sebagai pelarut memberikan

hasil yang berbeda pada karet hasil degradasi. Degradasi dengan pelarut
menghasilkan karet degradasi yang memiliki nilai viskositas mooney yang lebih
rendah dibandingkan degradasi tanpa menggunakan pelarut (Ramadhan dkk, 2006).
Dari berbagai penelitian ini dihasilkan bahwa degradasi karet alam juga
mengakibatkan terjadinya fungsionalisasi karet alam.
Degradasi karet oleh mikroorganisme juga dimulai oleh reaksi oksidatif pada
ikatan rangkap rantai polimer. Biodegradasi karet alam menghasilkan massa molar
yang bervariasi dari 200 – 13.000 g/mol. Sama seperti degradasi oksidasi kimia,
produk yang dihasilkan dari biodegradasi adalah oligomer dengan terminal gugus
karbonil (Fainleib et al, 2013).

2.7.

Siklisasi Karet Alam

Karet siklo merupakan hasil modifikasi karet alam dengan reaksi siklisasi. Siklisasi
karet alam mengakibatkan terjadinya perubahan karakteristik, karet alam bersifat
elastis sedangkan karet siklo merupakan termoplastik resin yang keras dan kaku.
Karet alam memiliki banyak ikatan rangkap yang memungkinkan karet alam dapat
berreaksi untuk menghasilkan karet yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu.
Karet alam memiliki derajat ketidakjenuhan yang lebih tinggi dibandingkan karet
siklo. Reaksi siklisasi terjadi dengan terbukanya ikatan rangkap yang selanjutnya
akan

membentuk

struktur

siklik.

Penurunan

derajat

ketidakjenuhan

karet

menunjukkan reaksi siklisasi telah terjadi. Karet siklo dapat diaplikasikan sebagai
perekat, tinta dan binder pada cat. Karet siklo merupakan resin alami yang memiliki
potensi untuk bersaing dengan resin sintetik. Karet alam merupakan bahan baku
terbaharukan yang lebih terjamin ketersediaannya dan lebih ramah lingkungan. Karet
alam diperoleh sebagai getah pohon atau lateks, yang dihasilkan oleh lebih dari 2000
spesies tanaman. Tanaman yang paling komersial dikembangkan sebagai penghasil
karet alam adalah Para rubber tree (Hevea brasiliensis). Sedangkan industri karet
sintetik mengandalkan bahan baku minyak bumi. (Medeiros et al, 2010, Yahya et al,
2011, Kunioka et al, 2014).

Reaksi siklisasi karet alam telah diteliti dengan menggunakan berbagai katalis
seperti;

trimethylsilyl-trifluoro-methane

sulfonat

atau

trimethylsilyl

triflate

(TMSOTF), asam sulfat, SnCl4 dan lain-lain. Bahan baku yang umumnya digunakan
adalah lateks DPNR (Riyajan et al, 2007, Riyajan et al, 2006, Mirzataheri, 2000).
Keberhasilan siklisasi dapat dievaluasi dengan derajat siklisasi yang merupakan
perbandingan bilangan iodin dari karet alam sesudah dan sebelum reaksi siklisasi.
Reaksi siklisasi dapat berlangsung bilamana dua unit isoprene yang berdekatan
bereaksi bersama untuk menghasilkan siklik dengan keberadaan reagen tertentu.
Berbagai senyawa asam atau katalis Friedel-Crafts dapat digunakan sebagai reagen
untuk siklisasi intramolekular dari poliisoprena yang melibatkan dua unit monomer
dari jenis yang sama. Senyawa asam lewis seperti BF3, TiCl4, SnCl4, FeCl3, atau
reagen Sulfonil Klorida dapat digunakan untuk siklisasi karet alam. Karet siklo
dengan bobot molekul yang tetap tinggi dapat larut dalam pelarut karet, dapat
disimpulkan bahwa ikatan silang pada rantai molekul karet tidak signifikan terjadi.
Mirzataheri meneliti siklisasi Deproteinized Natural Rubber dalam pelarut toluen dan
xilen dengan menggunakan katalis SnCl4. Bahan baku karet yang digunakan untuk
menghasilkan karet siklo adalah karet yang telah dihilangkan proteinnya atau disebut
sebagai Deproteinized Natural Rubber . Reaksi siklisasi karet alam dengan
menggunakan katalis asam sulfat dilangsungkan dalam fasa larutan dengan
menggunakan pelarut toluene dan xilen. Mekanisme reaksi siklisasi dengan katalis
asam sulfat digambarkan pada gambar 2.9 (Mirzataheri, 2000).

CH3

CH3
H2
C

H2
C

C

C+

H2
C

CH
H2C

CH2

+ H+

HC

C
H2

CH3

H2
C

CH3
C

H2C

CH

H2C

C+

C
C
H2

CH3
C

HC

H2C

C

H2
C

H2
C

CH3

H2C

CH

H2C

C+

H2
C

H2
C

- H+ H2C

C

CH3

CH3

H2
C

H2
C

C
H2C

CH

H2C

C

CH2

CH3
C
H2

C

C
H2

CH3 HC

CH3

H2C

CH

H2C

C
C
H2

H2
C

H2
C

CH3

H2
C

C
CH2
C+

CH3

CH
H2C

H2
C

C

C+

CH3

H2C

H2
C

CH3

C
H2

H2
C

H2
C

C

H2C

C
H2

CH2

CH3
C

+

-H
CH3

CH
CH3

H2C

CH

H2C

CH3 H
2
C

H2C

CH

CH2

H2C

C

C

CH2

C
C
H2

C

C
C

CH3

H2C
H2C

CH3

C
H2

CH3 H
2
C

CH

CH

CH

H2C

C

C

CH3
C
H2

CH
CH3
H2C

Gambar 2.9. Reaksi Siklisasi Karet Alam
Sumber : Mirzataheri, 2000

CH3

Reaksi siklisasi dapat dilakukan dalam fasa larutan, fasa lateks dan pada karet
padat. Perubahan karet alam menjadi menjadi resin dapat dilakukan dengan
menggunakan reagen asam dan katalis Friedel-Craft. Fisher menggunakan asam
sulfat, asam klorosulfonat, asam sulfonat organik lainnya dan sulfonil klorida pada
siklisasi karet padat dan karet pada fasa larutan. Calvert menggunakan halida logam
amfoter seperti titanium tetraklorida, antimon klorida, besi klorida dan stannic klorida
untuk menhasilkan karet siklo. Riyajan meneliti siklisasi lateks karet alam high
ammonia dengan katalis asam sulfat dan mengusulkan mekanisme reaksi untuk reaksi
siklisasi yang tercantum pada gambar 2.10 (Riyajan et al, 2006).
CH2 CH3

H2C
H2C

CH2 CH3

HC
R1

H2
C

H2
C

C H2C

H2C

Protonation

CH

R1

H2
C

CH
H2
C

C+ H2C

R2

R2
CH3

CH3

Transfer

H2C

CH2 CH3

H2C
R1

H2
C

H2C

C
C

C

Deprotonation
H2
C

R2

CH3

Gambar 2.10. Mekanisme Reaksi Siklisasi Karet Alam
(Sumber : Riyajan et al, 2006)

CH2 CH3
C+

H2C
R1

H2
C

C
CH3

HC

H2
C

R2

Karet siklo yang dihasilkan dapat berupa material keras yang rapuh seperti
gutta perca, balata keras, atau berupa serbuk amorpous berwarna keputihan. Bentuk
yang terakhir ini merupakn bentuk final reaksi sempurna dari karet siklo. Variasi sifat
produk karet siklo disebabkan oleh derajat siklisasi produk dan bukan karena pilihan
metodenya, walaupun reaksi samping seperti oksidasi atai pengikatan silang dapat
mempengaruhi sifat dari karet siklo yang dihasilkan (Alfa, 2003).

2.8.

Bobot Molekul

Bobot molekul merupakan variabel penting yang berhubungan langsung dengan sifatsifat fisika polimer. Polimer dengan bobot molekul tinggi bersifat lebih kuat, tetapi
bobot

molekul

yang

terlalu

tinggi

dapat

menyebabkan

kesulitan

dalam

pemrosesannya. Metode yang banyak dilakukan untuk penetapan berat molekul
polimer dalah osmometrri, hamburan cahaya (light scattering), dan ultrasentrifugasi.
Metode yang paling mudah untuk penetapan bobot molekul yang rutin dan distribusi
bobot molekul polimer melalui pengukuran viskositas larutan.
Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu
lebih cepat dan mudah dalam pengerjaanya, menggunakan alat yang lebih murah,
serta perhitungan hasil pengukurannya lebih sederhana. Pada dasarnya metode
viscositas intrinsik adalah untuk mengukur waktu yang diperlukan pelarut dan larutan
polimer untuk mengalir di antara dua garis pada viskometer atau mengukur laju alir
cairan yang melalui tabung berbentuk silinder. Waktu alir diukur pada saat pelarut
atau larutan polimer mengalir di antara dua tanda, x dan y. Waktu alir larutan polimer
mebih besar daripada waktu alir pelarutnya. Semakin tinggi konsentrasi polimer
dalam larutan, maka akan semakin lama waktu alir yang dibutuhkan untuk melewati
kapiler. Konversi viskositas intrinsik menjadi bobot molekul viskositas rumus (Rosen,
1982) :
Mv = ([η] / K)1/a

Keterangan :
[ᶯ] = viskositas intrinsik
K = Konstanta ketetapan dari pelarut yang di gunakan
Mv = Bobot molekul
a = Nilai ketetapan dari pelarut yang di gunakan