Modifikasi Dan Karakterisasi Karet Alam Siklis (Resiprena 35) Dengan Anhidrida Maleat Sebagai Substituen Bahan Pengikat Cat Sintetis

(1)

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KARET ALAM SIKLIS

(RESIPRENA 35) DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT SINTETIS

DISERTASI

Oleh

MUHAMMAD SAID SIREGAR

098103009/KIM

PROGRAM DOKTOR ILMU KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KARET ALAM SIKLIS

(RESIPRENA 35) DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT SINTETIS

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Kimia pada

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD SAID SIREGAR

098103009/KIM

PROGRAM DOKTOR ILMU KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Disertasi

: MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI

KARET ALAM SIKLIS (RESIPRENA 35)

DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT

SINTETIS

Nama Mahasiswa : Muhammad Said Siregar Nomor Pokok : 098103009

Program Studi : Doktor Ilmu K i m i a Menyetujui: Komisi Pembimbing

Promotor

Prof. Dr. Thamrin, M. Sc.

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Co-Promotor Co-Promotor. Drs. Eddiyanto, Ph.D

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Dr. Sutarman, M. Sc.


(4)

PROMOTOR Prof. Dr. Thamrin, M. Sc. Guru Besar Kimia Bidang Kimia Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO-PROMOTOR

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Guru Besar Kimia Bidang Kimia Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

CO-PROMOTOR Drs. Eddiyanto, Ph.D Staf Pengajar Bidang Kimia


(5)

TIM PENGUJI:

KETUA

:

Prof. Dr. Thamrin, M. Sc.

Guru Besar Kimia Bidang Kimia Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

ANGGOTA

:

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Guru Besar Kimia Bidang Kimia Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Drs. Eddiyanto, Ph.D Staf Pengajar Bidang Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan

Prof. Dr. Harlem Marpaung

Guru Besar Kimia Bidang Kimia Analitik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Dr. Hamonangan Nainggolan, M. Sc. Staf Pengajar Bidang Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Yunazar Manjang

Guru Besar Kimia Bidang Kimia Organik

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang


(6)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya penulis sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Muhammad Said Siregar NIM : 098103009


(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Said Siregar

NIM : 098103009

Program Studi : Doktor Ilmu Kimia Jenis Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas Disertasi saya yang berjudul:

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KARET ALAM SIKLIS

(RESIPRENA 35) DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT SINTETIS

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan

disertasi saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemegang hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Padat Tanggal : Agustus 2014 Yang Menyatakan,


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis sampaikan ke khadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Prof. Dr. Thamrin, M.Sc. selaku Promotor, Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D dan Bapak Drs. Eddyanto, Ph.D sebagai Co-Promotor atas segala bantuan, arahan dan bimbingan selama perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada yang terhormat:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M. & H., M.Sc. (C.T. M), Sp.A. (K) yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengikuti program pendidikan Doktor dalam bidang Ilmu Kimia pada Fakultas MIPA USU.

Koordinator Kopertis Wilayah I Sumatera Utara Prof. Dr. Drs. Dian Armanto, M. A., M.Sc., Ph.D, yang telah memberikan kesempatan dan izin belajar kepada saya untuk mengikuti program pendidikan Doktor dalam bidang Ilmu Kimia pada Fakultas MIPA USU.

Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr. Agussani, M. AP. yang telah memberikan kesempatan dan izin belajar pada saya untuk mengikuti program pendidikan Doktor dalam bidang Ilmu Kimia pada FMIPA USU dan berkenan memberikan bantuan pendidikan.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Ir. Alridiwirsah, M.M. atas dorongan dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU, Dr. Sutarman, M. Sc., atas bantuan dalam proses administrasi yang baik di Fakultas MIPA USU.


(9)

Ketua Program Studi S3 Ilmu Kimia Fakultas MIPA USU, Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Bapak Sekretaris Program Studi S3 Ilmu Kimia Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc. atas segala fasilitas dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

Dr. Jose Alberto Mendez Gonzalez, Profesor Agregate pada University of Girona, Spanyol dan seluruh anggota Grup Research LEPAMAP atas segala bantuan selama penulis tinggal di Girona Spanyol.

Semua pihak yang telah turut membantu dan berjasa dalam penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini sehingga dapat diselesaikan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya secara khusus ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Sutan Guru Siregar dan Ibunda Almh. Masdewani Harahap, istri tersayang, Ilda Susanti Sitorus, S.Pd., putri-putri tercinta Yulia Rahmayanti Said Siregar, Noveranza Habiyanti Said Siregar, Syifa Halimatussakdiah Said Siregar dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan materil dan moril maupun doa restu sehingga disertasi ini selesai.

Medan, Agustus 2014 Penulis,


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padangsidimpuan pada tanggal 27 Nopember 1970 dan merupakan anak ke-enam dari enam bersaudara. Tamat dari Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Padangsidimpuan pada tahun 1989, kemudian penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2004 penulis mengikuti pendidikan S2 dalam bidang Kimia di Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2013 penulis mengikuti Program Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional (Sandwich-like) di University of Girona,

Spanyol. Pada saat ini penulis bekerja sebagai Dosen Kopertis Wilayah 1 diperbantukan pada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.


(11)

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KARET ALAM SIKLIS

(RESIPRENA 35) DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT SINTETIS

ABSTRAK

Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi karet alam siklis (Resiprena 35)

dengan anhidrida maleat untuk meningkatkan kompatibelitasnya sebagai substituen bahan pengikat cat sintetis. Karet alam siklis dimodifikasi dengan pencangkokan

anhidrida maleat dalam fase leleh di dalam pencampur internal dengan kehadiran komonomer stirena dan benzoil peroksida. Pengaruh kecepatan rotor dan waktu reaksi juga dipelajari dengan melalukan percobaan dengan kecepatan rotor 70, 80 dan 90 rpm dengan waktu reaksi masing-masing 6, 8 dan 12 menit. Produk reaksi pencangkokan dipelajari sifat-sifat fisika dan kimianya serta dikarakterisasi dengan Fourier Transformed-Infra Red (FT-IR) untuk mengetahui apakah telah terjadi pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis. Untuk mengetahui sifat thermal produk dikarakterisasi dengan Analisa Thermografimetri (TGA) dan Differential Scanning Chalorimetry (DSC). Dari spektra FT-IR yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1732 cm-1, 1854 cm-1 dan 706 cm-1. Semakin tinggi konsentrasi anhidrida maleat yang direaksikan semakin tinggi derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis yang ditandai dengan semakin tingginya intensitas serapan pada 1732 cm-1 dan 1854 cm-1. Komonomer stirena dapat meningkatkan derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis 185%. Karakterisasi dengan DSC diamati bahwa semakin tinggi derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis semakin tinggi suhu transisi gelasnya. Sedangkan karakterisasi dengan TGA memperlihatkan sifat thermal produk pencangkokan tidak berbeda nyata dengan karet alam siklis blanko. Kompatibelitas produk pencangkokan dengan pengikat sintetis poliamida semakin baik dengan meningkatnya derajat pencangkokan anhidrida maleat.


(12)

MODIFICATION AND CHARACTERIZATION OF CYCLIZED

NATURAL RUBBER (RESIPRENA 35) WITH MALEIC

ANHYDRIDE TO ENHANCE ITS COMPATIBILITY

AS SUBSTITUENT FOR SYNTHETIC

PAINT BINDER

ABSTRACT

Modification and characterization of cyclized natural rubber with maleic anhydride has been carried out to enhance its compatiblelity as substituent for synthetic paint binder. Cyclized natural rubber was modified by grafting of maleic anhydride in the melt phase in the internal mixer in the presence of comonomers styrene and benzoyl peroxide. Effect of rotor speed and reaction time were also studied by performing experiment with rotor speeds of 70, 80 and 90 rpm with reaction time: 6, 8 and 12 minutes, resfectively. The physical and chemical properties of grafted products were studied and characterized by Fourier Transformed-Infra Red (FT-IR), Thermographymetry Analysis (TGA) and Differential Scanning Chalorimetry (DSC). FT-IR spectra confirmed that the grafted product of maleic anhydride onto cyclized natural rubber accured by appearance band at 1732 cm-1, 1854 cm-1 and 706 cm-1. The higher concentration of maleic anhydride reacted the higher of grafting degree of maleic anhydride with the high intensity of absorption at 1732 cm-1 and 1854 cm-1. Styrene comonomer increased the grafting degree of maleic anhydride onto cyclized natural rubber up to 185%. Characterization by DSC was observed that the higher of grafting degree of maleic anhydride the higher the glass transition temperature. While the characterization by TGA observed that the thermal properties of grafted product were not significantly different from cyclized natural rubber standard. Compatibility of grafted products with synthetic binders polyamide increased with increasing the grafting degree of maleic anhydride.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 5

1.3. Tujuan Penelitian 5

1.4. Manfaat Penelitian 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karet Alam 6

2.2. Modifikasi Kimia Karet Alam 9

2.3. Siklisasi Karet Alam 13

2.4. Pencangkokan 16

2.5. Pencangkokan monomer Anhidrida Maleat 20

2.6. Anhidrida Maleat 23

2.7. Inisiator 25

2.8. Benzoil Peroksida 25

2.9. Ekstrusi menggunakan peralatan Brabender Plasticorder 26

2.10. Karakterisasi 27

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat 37

3.2. Prosedur Kerja Penelitian 38

3.3. Karakterisasi produk reaksi pencangkokan 42


(14)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Proses Pencangkokan 50

4.2.KAS standar 50

4.2.1. Sifat Fisika dan Kimia 50

4.2.2. Kompatibelitas dengan Poliamida 51

4.2.3. FT-IR 52

4.2.4. Analisa Thermogravimetrik/Thermogravimetric

Analysis (TGA) 54

4.2.5. Kalorimetri Pemindaian Differensial/Differential

Scanning Calorimetry (DSC) 55

4.3. KAS tercangkok Anhidrida Maleat 56

4.3.1. Sifat Fisika dan Kimia 56

4.3.2. Kompatibelitas dengan Poliamida 57

4.3.3. Pengaruh Konsentrasi Anhidrid Maleat 59

4.3.3.1. FT-IR 59

4.3.3.2. Analisa Thermogravimetrik/Thermogravimetric

Analysis (TGA) 62

4.3.3.3. Differential Scanning Calorimetry (DSC) 63 4.3.4. Pengaruh kehadiran Inisiator Peroksida Benzoil

Peroksida 65

4.3.4.1. Fourir Transform-Infra Red (FT-IR) 65 4.3.4.2. Thermogravimetric Analysis (TGA) 68 4.3.4.3. Differential Scanning Calorimetry (DSC) 69 4.3.5. Pengaruh penambahan komonomer stirena, tanpa

Inisiator BPO 70

4.3.5.1. Fourir Transform-Infra Red (FT-IR) 70

4.3.5.2.Thermogravymetric Analysis (TGA) 74

4.3.5.3. Differential Scanning Calorimetry (DSC) 75 4.3.6. Pengaruh penambahan komonomer Stirena, dengan


(15)

4.3.6.2. Thermogravimetric Analysis (TGA) 84 4.3.6.3. Differential Scanning Calorimetry (DSC) 86

4.3.7. Pengaruh Kecepatan Rotor 87

4.3.8. Pengaruh Waktu 89

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 92

DAFTAR PUSTAKA 93


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Pohon karet alam Hevea Brasiliensis (a) dan lateks

karet alam (b) 7

Gambar 2.2. Tanaman Gua yule yang sedang tumbuh di Yulex Ehrenberg 7 Gambar 2.3. Rumus kimia cis-1,4-poliisoprena (a) dan

trans-1,4-poliisoprena (b) 8

Gambar 2.4. Skema sederhana biosintesa poliisoprena 10

Gambar 2.5. Reaksi epoksidasi karet alam 11

Gambar 2.6. Struktur siklik karet alam siklis 14

Gambar 2.7. Mekanisme reaksi siklisasi karet alam 15 Gambar 2.8. Reaksi siklisasi karet alam menghasilkan karet alam siklis 16 Gambar 2.9. Mekanisme reaksi kopolimerisasi cangkok dengan

Inisiator radikal bebas 17

Gambar 2.10. Mekanisme reaksi pencangkokan kationik yang diinisiasi

melalui polimer (path I) dan monomer 18

Gambar 2.11. Mekanisme reaksi pencangkokan fotokimia 19 Gambar 2.12. Reaksi pebentukan Anhidrid Maleat 23 Gambar 2.13. Struktur kimia senyawa Maleat Anhidrida dan senyawa

isostrukturnya 24

Gambar 2.14. Struktur Benzoil Peroksida 26

Gambar 2.15. Internal Mixer Brabender Plasticorder Model PLE 331 27 Gambar 2.16. Peralatan Spektrofotometri Infra Merah Model

GALAXY 5000 31

Gambar 2.17. Skema thermogram reaksi dekomposisi 33 Gambar 2.18. Peralatan Thermogravymetric Analysis (TGA) 33 Gambar 2.19. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda 34


(17)

Gambar 2.20. Perlatan Differential scanning calorimetry (DSC)

TA INSTRUMENTS Q2000 35

Gambar 2.21. Skematik pengujian dengan DSC 35

Gambar 2.22. Model ilustrasi Termogram DSC 36

Gambar 4.1. Photo lapisan tipis/film KAS blanko pada kaca bening 51 Gambar 4.2. Spektra FT-IR KAS segar (1) dan yang sudah diproses

di dalam internal mixer (2) 53

Gambar 4.3. Thermogram TGA gabungan KAS segar (1) dan yang sudah

diproses di dalam Pencampur Internal (2) 54 Gambar 4.4. Thermogram gabungan KAS segar (1) dan yang sudah

Diproses di dalam internal mixer (2) 55

Gambar 4.5. Photo lapisan tipis KAS blanko (1), tanpa Stirena (2) dan

dengan Stirena (3) 57

Gambar 4.6. Interaksi kimia yang terjadi antara KAS tercangkok AM

dengan Poliamida 58

Gambar 4.7. Spektra FT-IR KAS tanpa penambahan AM (1), penambahan

AM sebanyak 2 phr (2), 4 phr (3), 8 phr (4) dan 16 phr (5) 59 Gambar 4.8. Indeks serapan karbonil sampel produk pencangkokan AM

pada KAS tanpa BPO 60

Gambar 4.9. Thermogram KAS tanpa penambahan AM (1), penambahan

AM sebanyak 2 phr (2), 4 phr (3), 8 phr (4) dan 16 phr (5) 62 Gambar 4.10. Thermogram DSC tanpa penambahan AM (1), penambahan

AM sebanyak 2 phr (2), 4 phr (3), 8 phr (4) dan 16 phr (5) 64 Gambar 4.11. Spektra FT-IR KAS tercangkok AM dengan kehadiran BPO

yaitu: blanko (1), 2 phr (2), 4 phr (3), 8 phr (4) dan 16 phr (5) 65 Gambar 4.12. Indeks serapan karbonil dengan penambahan AM tanpa

Kehadiran BPO (1) dan dengan kehadiran BPO (2) 66 Gambar 4.13. Reaksi yang mungkin terjadi pada pencangkokan AM

pada KAS dengan inisiator BPO 67

Gambar 4.14. Thermogram TGA gabungan KAS tercangkok AM

dengan kehadiran BPO yaitu: blanko (1), 2 phr (2), 4 phr (3),

8 phr (4) dan 16 phr (5) 68

Gambar 4.15. Thermogram DSC KAS tercangkok AM dengan kehadiran


(18)

Gambar 4.16. Spektra FT-IR KAS tercangkok AM tanpa BPO dengan

penambahan Stirena yaitu: blanko (1), rasio mol AM/St=2:1 (2),

1:1 (3) dan 1:2 (4) 70

Gambar 4.17. Indeks serapan fenil stirena (1) dan karbonil (2) pada berbagai

rasio mol St/AM, tanpa kehadiran BPO 71

Gambar 4.18. Spektra FT-IR KAS yaitu: blanko (1), tanpa St (2) dan

dengan St (3) 72

Gambar 4.19. Indeks serapan karbonil pada pencangkokan AM tanpa BPO

dengan rasio mol St/AM 73

Gambar 4.20. Thermogram TGA KAS tercangkok AM tanpa BPO dengan penambahan Stirena yaitu: blanko (1), rasio mol AM/St=2:1 (2),

1:1 (3) dan 1:2 (4) 75

Gambar 4.21. Thermogram DSC KAS tercangkok AM tanpa BPO dengan penambahan Stirena yaitu: blanko (1), rasio mol AM/St=2:1 (2),

1:1 (3) dan 1:2 (4) 76

Gambar 4.22. Spektra FT-IR KAS tercangkok AM menggunakan BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol AM/St= 2:1 (2),

1:1 (3) dan 1:2 (4) 77

Gambar 4.23. Indeks serapan karbonil pada pencangkokan AM tanpa BPO (1)

dengan BPO (2) 78

Gambar 4.24. Indeks serapan fenil stirena (1) dan karbonil (2) pada berbagai

rasio mol St/AM, dengan kehadiran BPO 79

Gambar 4.25. Indeks serapan karbonil dengan penambahan AM dan

stirena tanpa BPO (1) dan dengan BPO (2) 81 Gambar 4.26. Spektra FT-IR produk reaksi pencangkokan AM pada KAS

dengan kehadiran BPO yaitu: blanko (1), tanpa stirena (2) dan

dengan stirena (3) 82

Gambar 4.27. Spektra FT-IR produk reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan stirena yaitu tanpa BPO (1) dan dengan BPO (2) 82 Gambar 4.28. Spektra FT-IR produk pencangkokan AM pada KAS dengan

penambahan Stirena sebelum dimurnikan (1) dan yang sudah

dimurnikan (2) 83

Gambar 4.29. Reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan penambahan

Komonomer Stirena 83


(19)

rasio mol AM/St= 2:1 (2), 1:1 (3) dan 1:2 (4) 85 Gambar 4.31. Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada

KAS tanpa BPO yaitu: blanko (1), tanpa Stirena (2) dan

dengan stirena (3) 85

Gambar 4.32. Thermogram TGA produk reaksi pencangkokan AM pada KAS dengan kehadiran BPO yaitu: blanko (1), tanpa Stirena (2)

dan dengan stirena (3) 86

Gambar 4.33. Thermogram DSC KAS tercangkok AM menggunakan BPO dengan penambahan stirena yaitu: blanko (1), rasio mol

AM/St= 2:1 (2), 1:1 (3) dan 1:2 (4) 87 Gambar 4.34. Spektra FT-IR produk reaksi pencangkok AM pada KAS

yaitu: blanko (1), kecepatan rotor 70 rpm (2), 80 rpm (3)

dan 90 rpm (4) 88

Gambar 4.35. Indeks serapan karbonil pada berbagai kecepatan rotor 89 Gambar 4.36. Spektra FT-IR produk reaksi pencangkok AM pada KAS

yaitu: 6 menit (1), 8 menit (2) dan 12 menit (3) 90 Gambar 4.37. Indeks serapan karbonil pada berbagai waktu proses 90


(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Komposisi lateks karet alam (Ceylon rubber latex) 8

Tabel 2.2. Standar Indonesian Rubber (SIR) 8

Tabel 2.3. Sifat-sifat Anhidrid Maleat (HSDB, 1995) 24 Tabel 3.1. Spesifikasi produk karet alam siklis Resiprena 35 37 Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam penelitian 38 Tabel 3.3. Alat yang digunakan dalam penelitian 39 Tabel 4.1. Spesifikasi produk karet alam siklis Resiprena 35 51 Tabel 4.2. Spesifikasi Resiprena 35 dan produk KAS tercangkok AM 56


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1. Rancangan penelitian Pencangkokan Anhidrid Maleat Pada Karet Alam Siklis

2. Lampiran 2. Spektrum FT-IR Karet Alam Siklis segar (fresh)

3. Lampiran 3. Spektrum FT-IR Karet Alam Siklis yang sudah diproses di dalam Pencampur Internal

4. Lampiran 4. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 2 phr, tanpa BPO

5. Lampiran 5. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 4 phr, tanpa BPO

6. Lampiran 6. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 8 phr, tanpa BPO

7. Lampiran 7. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 16 phr, tanpa BPO

8. Lampiran 8. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 2 phr, dengan BPO

9. Lampiran 9. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 4 phr, dengan BPO

10. Lampiran 10. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 8 phr, dengan BPO

11. Lampiran 11. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat 16 phr, dengan BPO

12. Lampiran 12. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =2:1 tanpa BPO

13. Lampiran 13. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =1:1 tanpa BPO


(22)

14. Lampiran 14. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =1:2 tanpa BPO

15. Lampiran 15. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =2:1 dengan BPO

16. Lampiran 16. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =1:1 dengan BPO

17. Lampiran 17. Spektrum FT-IR KAS dengan penambahan Anhidrida Maleat dan komonomer Stirena, rasio mol AM/St =1:2 dengan BPO

18. Lampiran 18. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan kecepatan rotor 60 rpm

19. Lampiran 19. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan kecepatan rotor 70 rpm

20. Lampiran 20. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan kecepatan rotor 80 rpm

21. Lampiran 21. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan waktu 6 menit

22. Lampiran 22. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan waktu 8 menit

23. Lampiran 23. Spektrum FT-IR KAS dengan pencangkokan AM dengan waktu 12 menit

24. Lampiran 24. Tabel luas area puncak serapan dan indeks serapan 25. Lampiran 25. Thermogram TGA Karet Alam Siklis segar (fresh)

26. Lampiran 26. Thermogram TGA Karet Alam Siklis setelah diproses di Internal Mixer

27. Lampiran 27. Thermogram DSC Karet Alam Siklis segar (fresh)

28. Lampiran 28. Thermogram DSC Karet Alam Siklis setelah diproses di dalam Internal Mixer


(23)

30. Lampiran 30. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 4 phr 31. Lampiran 31. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 8 phr 32. Lampiran 32. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr 33. Lampiran 33. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 2 phr 34. Lampiran 34. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 4 phr 35. Lampiran 35. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 8 phr 36. Lampiran 36. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr 37. Lampiran 37. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 2 phr

dengan BPO

38. Lampiran 38. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 4 phr dengan BPO

39. Lampiran 39. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 8 phr dengan BPO

40. Lampiran 40. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan BPO

41. Lampiran 41. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 2 phr dengan BPO

42. Lampiran 42. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 4 phr dengan BPO

43. Lampiran 43. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 8 phr dengan BPO

44. Lampiran 44. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan BPO

45. Lampiran 45. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)


(24)

46. Lampiran 46. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)

47. Lampiran 47. Thermogram TGA Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)

48. Lampiran 48. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)

49. Lampiran 49. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)

50. Lampiran 50. Thermogram DSC Karet Alam Siklis penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)

51. Lampiran 51. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)

52. Lampiran 52. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)

53. Lampiran 53. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)

54. Lampiran 54. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)

55. Lampiran 55. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)

56. Lampiran 56. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)


(25)

MODIFIKASI DAN KARAKTERISASI KARET ALAM SIKLIS

(RESIPRENA 35) DENGAN ANHIDRIDA MALEAT SEBAGAI

SUBSTITUEN BAHAN PENGIKAT CAT SINTETIS

ABSTRAK

Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi karet alam siklis (Resiprena 35)

dengan anhidrida maleat untuk meningkatkan kompatibelitasnya sebagai substituen bahan pengikat cat sintetis. Karet alam siklis dimodifikasi dengan pencangkokan

anhidrida maleat dalam fase leleh di dalam pencampur internal dengan kehadiran komonomer stirena dan benzoil peroksida. Pengaruh kecepatan rotor dan waktu reaksi juga dipelajari dengan melalukan percobaan dengan kecepatan rotor 70, 80 dan 90 rpm dengan waktu reaksi masing-masing 6, 8 dan 12 menit. Produk reaksi pencangkokan dipelajari sifat-sifat fisika dan kimianya serta dikarakterisasi dengan Fourier Transformed-Infra Red (FT-IR) untuk mengetahui apakah telah terjadi pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis. Untuk mengetahui sifat thermal produk dikarakterisasi dengan Analisa Thermografimetri (TGA) dan Differential Scanning Chalorimetry (DSC). Dari spektra FT-IR yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1732 cm-1, 1854 cm-1 dan 706 cm-1. Semakin tinggi konsentrasi anhidrida maleat yang direaksikan semakin tinggi derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis yang ditandai dengan semakin tingginya intensitas serapan pada 1732 cm-1 dan 1854 cm-1. Komonomer stirena dapat meningkatkan derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis 185%. Karakterisasi dengan DSC diamati bahwa semakin tinggi derajat pencangkokan anhidrida maleat pada karet alam siklis semakin tinggi suhu transisi gelasnya. Sedangkan karakterisasi dengan TGA memperlihatkan sifat thermal produk pencangkokan tidak berbeda nyata dengan karet alam siklis blanko. Kompatibelitas produk pencangkokan dengan pengikat sintetis poliamida semakin baik dengan meningkatnya derajat pencangkokan anhidrida maleat.


(26)

MODIFICATION AND CHARACTERIZATION OF CYCLIZED

NATURAL RUBBER (RESIPRENA 35) WITH MALEIC

ANHYDRIDE TO ENHANCE ITS COMPATIBILITY

AS SUBSTITUENT FOR SYNTHETIC

PAINT BINDER

ABSTRACT

Modification and characterization of cyclized natural rubber with maleic anhydride has been carried out to enhance its compatiblelity as substituent for synthetic paint binder. Cyclized natural rubber was modified by grafting of maleic anhydride in the melt phase in the internal mixer in the presence of comonomers styrene and benzoyl peroxide. Effect of rotor speed and reaction time were also studied by performing experiment with rotor speeds of 70, 80 and 90 rpm with reaction time: 6, 8 and 12 minutes, resfectively. The physical and chemical properties of grafted products were studied and characterized by Fourier Transformed-Infra Red (FT-IR), Thermographymetry Analysis (TGA) and Differential Scanning Chalorimetry (DSC). FT-IR spectra confirmed that the grafted product of maleic anhydride onto cyclized natural rubber accured by appearance band at 1732 cm-1, 1854 cm-1 and 706 cm-1. The higher concentration of maleic anhydride reacted the higher of grafting degree of maleic anhydride with the high intensity of absorption at 1732 cm-1 and 1854 cm-1. Styrene comonomer increased the grafting degree of maleic anhydride onto cyclized natural rubber up to 185%. Characterization by DSC was observed that the higher of grafting degree of maleic anhydride the higher the glass transition temperature. While the characterization by TGA observed that the thermal properties of grafted product were not significantly different from cyclized natural rubber standard. Compatibility of grafted products with synthetic binders polyamide increased with increasing the grafting degree of maleic anhydride.


(27)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Modifikasi kimia merupakan salah satu cara untuk mendapatkan produk turunan karet alam sehingga dapat dimanfaatkan dalam bidang yang lebih luas. Hal ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan aplikasi karet alam secara langsung yang tidak tahan panas, oksigen, ozon, radiasi, sinar matahari dan kelarutannya dalam pelarut-pelarut hidrokarbon (J. Saelao dan P. Phinyocheep, 2005). Keterbatasan aplikasi karet alam salah satunya diduga akibat keberadaan ikatan rangkap dua karbon-karbon pada struktur kimia cis-1,4-poliisoprena yang merupakan komponen utama karet alam (Flint, C. F., 1938; Nakason, C., 2004 dan Zakir M. O. Rzayev, 2011).

Modifikasi kimia karet alam telah dilakukan dengan reaksi epoksidasi (Chonlada A. dkk., 2008 dan Heping Yu, dkk., 2008), Fluorinasi (Sandra Schlögl dkk., 2011), oksidasi (Jing Zhang dkk., 2010), hidrogenasi (Suwadee K. dkk., 2008), siklisasi (Janssen, 1957; Tumorskii, A. dkk, 1961; Lee, D.F. dkk., 1963; Mirzataheri, 2000 dan Riyajan, S. dkk., 2006) dan pencangkokan atau grafting (Charmondusit K.

dkk., 1998; Nakason, C. dkk. 2004; Eddyanto, 2007; Hinchiranan, N. dkk., 2007 dan Suwadee dkk., 2008).

Modifikasi kimia karet alam dengan reaksi siklisasi telah dilakukan beberapa peneliti yang menghasilkan Karet Alam Siklis/KAS (Cyclized Natural Rubber/CNR),

melibatkan katalis yang berbeda seperti asam p-toluena sulfonat (Janssen, 1954), phosfat/P2O5 (Tumorsski, 1961), Stannic Klorida/SnCl4 ( Lee, D.F., 1963 dan

Mirzataheri, 2000) dan asam sulfat/H2SO4 (Riyajan, 2006) dan juga penggunaan

bahan baku karet, metode serta hasil (yield) yang berbeda.

Pada reaksi siklisasi terjadi pengurangan jumlah ikatan rangkap poliisoprena yang diikuti dengan pembentukan struktur siklis dimana tidak terjadi perubahan rumus empiris karet. Karet produk siklisasi kehilangan sifat elastisitasnya dan


(28)

berubah menjadi material yang keras dan rapuh. Pengurangan jumlah ikatan rangkap yang terjadi dalam reaksi siklisasi bervariasi sekitar 40-80% (Lee, D.F. dkk., 1963).

Struktur kimia KAS memiliki ikatan cincin enam karbon dan sisa ikatan rangkap dua karbon-karbon. KAS merupakan polimer alam non-polar yang berat molekulnya tetap tinggi dan larut dalam pelarut karet dari kelompok pelarut organik/hidrokarbon yang bersifat nonpolar (Mirzataheri, 2000).

Oleh karena KAS merupakan polimer alam yang tidak polar maka sifat adhesinya kurang baik terhadap molekul/permukaan polar. Untuk meningkatkan sifat adhesi KAS terhadap permukaan polar serta memperbaiki stabilitasnya maka dipandang perlu untuk melakukan modifikasi kimia terhadap strukturnya sehingga produk KAS selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam bidang yang lebih luas.

Pencangkokan merupakan teknik yang secara luas dikenal dalam modifikasi material polimer alam maupun sintesis. Dengan teknik pencangkokan dapat dihasilkan produk dengan sifat-sifat yang diinginkan dengan mempertimbangkan sifat-sifat monomer pemodifikasi yang akan digunakan (Zakir M. O. Rzayev, 2011).

Anhidrida Maleat (AM) merupakan monomer reaktif yang banyak digunakan untuk memodifikasi material polimer untuk menghasilkan material teknik, bioteknik dan nanoteknik berkinerja tinggi, baik polimer alam maupun sintesis. Penggunaan

AM telah berhasil memperbaiki sifat-sifat kopolimer cangkok polimer thermoplastik seperti polipropilena (J. Cha dan J. L. White, 2001; Eddiyanto, 2007), polistirena (W. H. Jo dan C. D. Park, 1996), biopolimer dapat terdegradasi (R. Mani, J. Tang dkk., 1998), polisakarida (I. M. Thakore dkk., 2001) karet sintesis (M. Mehrabzade dkk.,

1998) dan karet alam (Nakason, C., dkk., 2004; J. Saelao dan P. Phinyocheep, 2005). Pencangkokan AM pada rantai polimer non-polar telah mengatasi lemahnya adhesi antar muka dengan permukaan polar. Ini tidak hanya meningkatkan hidrofilisitas permukaan polimer untuk kepentingan aplikasi pencetakan (printing)

dan pelapisan (coating) tetapi juga adhesi dan kompatibilitas polimer ini dengan


(29)

terfungsuionalisasi maleat ini juga digunakan sebagai kompatibiliser dalam campuran polimer (S. Cimmino dkk., 1986 dan Y. Kayano dkk., 1998).

Penelitian tentang pencangkokan monomer reaktif pada KAS sejauh penelusuran yang kami lakukan masih sangat terbatas. Pencangkokan AM pada KAS telah dilakukan dalam fase larutan, menggunakan pelarut toluena dengan kehadiran inisiator dikumil peroksida. Berdasarkan hasil karakterisasi produk pencangkokan dengan spektrofotometer FT-IR dilaporkan bahwa pencangkokan AM pada KAS berhasil dilakukan. Penentuan derajat pencangkokan dilakukan dengan metode titrasi dan analisis spektra FTIR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat pencangkokan adalah 0,14% dengan waktu 90 menit (Eddiyanto dkk., 2012).

M. Said Siregar dkk., 2012 melaporkan pencangkokan Metil Metakrilat (MMA) pada KAS juga dalam fase larutan menggunakan pelarut toulena tetapi dengan inisiator benzoil peroksida. Berdasarkan hasil karakterisasi produk pencangkokan dengan spektrofotometer FT-IR dilaporkan bahwa pencangkokan AM pada KAS berhasil dilakukan. Derajat pencangkokan MMA pada KAS meningkat dengan bertambahnya waktu reaksi.

Pencangkokan dengan proses reaktif (reactive processing) dalam fase leleh

menggunakan peralatan pencampur internal (internal mixer) telah dikembangkan oleh

banyak peneliti dengan pertimbangan biaya yang lebih rendah dan peralatan pada pencangkokan AM terhadap polipropilen/PP (S. N. Sathe, 1994; S. H. P. Bettini dkk, 1999; J. Cha dkk, 2001; Jaehyug Cha dan James L. White, 2001; Yılser Guldogan

dkk, 2003; Eddiyanto, 2007) polietilen (W. Heinen dkk, 1998, L. Yong dkk, 2002, B. M. Dorscht dkk, 2003, N. G. Gaylord , 1992) polistirena (G. Moad, 1999) dan karet alam (Nakason, C., 2001).

Bettini dan Agnelli, 1999, melakukan pencangkokan AM pada polipropilena (pp) menggunakan proses reaktif di dalam Haake Toque Rheometer dan melaporkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi monomer AM, inisiator, kecepatan rotor dan waktu reaksi mengakibatkan naiknya derajat pencangkokan AM pada polipropilena.


(30)

Secara umum derajat pencangkokan AM pada rantai polimer adalah rendah, oleh karena AM memiliki reaktifitas rendah yang disebabkan kurangnya densitas elektron ikatan rangkap. Untuk meningkatkan derajat pencangkokan AM pada rantai polimer beberapa peneliti menggunakan monomer penghubung

(comonomer/coagent). Penambahan monomer penghubung dimaksudkan sebagai

elektron donor untuk mengaktivasi monomer AM pada reaksi polimerisasi cangkok. Stirena (St) merupakan monomer penghubung yang telah digunakan untuk meningkatkan derajat pencangkokan AM pada polimer polipropilena (Demin Jia dkk., 2000) dan karet alam (J. Saelao dkk., 2004). Stirena memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk berpolimerisasi dibanding AM secara langsung pada rantai polimer. Komonomer stirena dapat berperan sebagai medium untuk menjembatani antara makroradikal polimer dengan AM sehingga semakin banyak produk pencangkokan yang terbentuk (Demin Jia dkk., 2000).

Peranan komonomer stirena pada pencangkokan AM pada polipropilena sangat nyata meningkatkan derajat pencangkokan yang diperoleh pada perbandingan mol AM dan Stirena 1:1. Stirena sebagai monomer elektron donor, dapat berinteraksi dengan AM melalui kompleks bermuatan membentuk kopolimer Stirena-Anhidrida Maleat (St-AM) yang selanjutnya dapat beraksi menghasilkan kopolimer cangkok AM dengan PP (Demin Jia dkk., 2000). Penambahan 0,1% mol Stirena pada reaksi pencangkokan meningkatkan derajat pencangkokan AM pada PP sebanyak dua kali lipat (J. Saelao dkk., 2004).

Penelitian tentang pencangkokan AM pada KAS dalam fase leleh dan penggunaan komonomer Stirena pada reaksi pencangkokan KAS baik dengan dan tanpa kehadiran inisiator benzoil peroksida belum ada dilaporkan sejauh penelusuran yang dilakukan oleh penulis.

Berdasarkan uraian diatas maka pada penelitian ini akan dilakukan pencangkokan AM pada KAS dalam fase leleh (molten state) di dalam pencampur


(31)

peroksida. Produk penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan resin alam sebagai substitusi pada pemakaian resin sintetis sebagai pengikat (binder) cat.

1.2.Permasalahan

1. Bagaimana reaksi pencangkokan AM pada rantai polimer KAS dengan komonomer stirena dengan dan tanpa kehadiran inisiator benzoil peroksida.

2. Bagaimana peranan komonomer stirena pada reaksi pencangkokan AM pada rantai polimer KAS dengan dan tanpa inisiator benzoil peroksida.

3. Bagaimana karakteristik fisika-kimia KAS tercangkok AM sebagai bahan pengikat cat.

1.3.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui reaksi pencangkokan AM pada rantai polimer KAS dengan komonomer stirena dengan dan tanpa kehadiran inisiator benzoil peroksida. 2. Mengetahui peranan komonomer stirena pada reaksi pencangkokan AM pada

rantai polimer KAS dengan dan tanpa inisiator benzoil peroksida.

3. Mengetahui karakteristik fisika-kimia KAS tercangkok AM sebagai bahan pengikat cat.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi tentang pencangkokan AM pada rantai KAS.

Menjadi salah satu cara meningkatkan nilai tambah produk-produk karet alam dan turunannya.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karet Alam

Karet alam (Natural Rubber/NR), merupakan produk metabolit sekunder yang

dihasilkan oleh lebih dari 2000 jenis spesies tumbuhan. Pada umumnya karet alam komersial yang dikenal diperoleh dengan penyadapan tumbuhan Hevea Brasiliensis

dan sisanya berasal dari tumbuhan semak dan tumbuhan kecil: milkweed (Asclepias spp.), dandelion (Taraxacum spp.) dan Guayule (Andrew Ciesielski, 1999).

Tumbuhan Hevea Brasiliensis telah dikenal oleh bangsa Maya di Amerika

Selatan selama berabad-abad lamanya dengan sebutan Cautchou, pohon menangis.

Kemudian pada 1770 oleh Joseph Priestley menciptakan istilah baru yaitu rubber

(penghapus), karena Cautchouc bisa dipakai sebagai penghapus tulisan pensil, to rub out. Senyawa isoprena merupakan produk degradasi utama karet alam, yang

diidentifikasi pada tahun 1860 seperti yang dipublikasikan oleh J.C.F. Williams pada tahun 1862 di Journal Of Chem. Soc. 15 Part 10 (Stevents, M. P., 2001).

Karet alam dalam bentuk lateks yang diperoleh dari hasil penyadapan merupakan dispersi koloidal dengan massa jenis 0,975 -0,980 g/mL dan pH 6,5 -7, yang terdiri dari komponen karet dan non-karet, seperti protein, lipida, karbohidrat, asam dan beberapa senyawa anorganik. Komposisi ini sangat bervariasi tergantung pada tumbuhan karet sumbernya, seperti pada Tabel 2.1 (Flint, C. F., 1938).

Lateks karet alam yang diperoleh dari hasil sadapan tumbuhan karet pada umumnya diolah menjadi lateks pekat dan karet kering, tergantung penggunaannya. Karet kering merupakan produk utama, sekitar 90% yang dihasilkan dan dikategorikan menjadi beberapa jenis. Di Indonesia, produk karet kering dikenal dengan nama Standard Indonesian Rubber (SIR), SIR 10, SIR 20, SIR 30. Dimana


(33)

angka mengacu pada kandungan maksimum pengotor yang terdapat dalam produk (Thio Goan Loo, 1980).

(a) (b)

Gambar 2.1. Pohon karet alam Hevea Brasiliensis (a) dan lateks karet alam (b)

Gambar 2.2. Tanaman Gua yule yang sedang tumbuh di Yulex Ehrenberg, Amerika Serikat (Jan Van Beilen dkk., 2006)


(34)

Tabel 2.1 Komposisi lateks karet alam (Ceylon rubber latex)

No Komponen Persentase (%)

1 Kandungan karet kering 41,29

2 Protein 2,18

3 Karbohidrat 0,36

4 Senyawa anorganik 0,41

5 Air 55,15

Tabel 2.2. Standar Indonesian Rubber (SIR)

No Uraian SIR 5 SIR 10 SIR 20 SIR 50

1 Kadar kotoran maksimum 0,05% 0,10% 0,20% 0,50%

2 Kadar abu maksimum 0,50% 0,75% 1,00% 1,50%

3 Kadar zat atsiri maksimum 1,0% 1,0% 1,0% 1,0%

4 PRI minimum 60 50 40 30

5 Plastisitas – Po minimum 30 30 30 30

6 Kode warna hijau - merah kuning

Secara kimia, karet alam merupakan senyawa poliisoprena, polimer rantai panjang linier dengan unit berulang (monomer) isoprena, C5H8 yang terdiri atas 95% (w/w)

cis-1,4-poliisoprena, dengan berat molekul rata-rata 1.000.000. Disamping itu ada jenis lain tetapi dalam jumlah sedikit, yaitu karet alam yang disebut getah perca (gutta percha) merupakan trans-1,4-poliisoprena (Flint, C. F., 1938).

(a) (b)

Gambar 2.3. Rumus kimia cis-1,4-poliisoprena (a) dan trans-1,4-poliisoprena (b) CH2

C H3C

C H2C

H

CH2 C H3C

C H2 C


(35)

Pemanfaatan karet alam secara langsung sangat terbatas oleh karena sifatnya yang tidak tahan terhadap panas, oksigen, ozon, radiasi, sinar matahari dan kelarutannya dalam pelarut-pelarut hidrokarbon. Keterbatasan ini diakibatkan oleh terdapatnya ikatan rangkap dua karbon-karbon pada struktur kimia cis-1,4-poliisoprena.

Karet alam pada suhu 0°C sampai 10°C bersifat rapuh, gampang rusak, kabur/gelap. Diatas 20°C lembut, melenting dan diatas 60°C plastis dan lengket. Karet alam tidak larut dalam air, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam bensin, benzen, kloroform, karbon tetraklorida, karbon disulfida serta sedikit larut dalam eter (William Klingensmit dan Brendan Rodgers, 2004).

Karet alam saat ini telah diolah menghasilkan beberapa material yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti ban, balon, sarung tangan karet, benang karet, tabung/pipa/selang, belt conveyor/transmission, seal, kondom, perekat (adhesive), pengikat (binder) dan lain-lain (William Klingensmit dan Brendan

Rodgers, 2004).

2.2.Modifikasi kimia karet alam

Pemakaian karet alam secara langsung dalam kehidupan manusia sangat terbatas oleh karena sifat-sifat karet yang tidak stabil. Untuk meningkatkan pemakaian produk karet alam dalam bidang yang lebih luas maka perlu dilakukan modifikasi kimia terhadap struktur kimia poliisoprena. Modifikasi kimia karet alam yang paling utama adalah terkait dengan ikatan rangkap dua karbon-karbon dan introduksi gugus pemodifikasi (modifier) pada rantai karbon polimer cis-1,4-poliisoprena yang

bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat dan stabilitas karet alam tertentu sehingga dapat diaplikasikan dalam bidang yang lebih luas.

Beberapa modifikasi kimia karet alam yang telah dilakukan adalah dengan epoksidasi ( Takayuki dkk., 2007; Chonlada A. dkk., 2008 dan Heping Yu, dkk., 2008), Fluorinasi (Sandra Schlögl dkk., 2011), hidrogenasi (Suwadee K. dkk., 2008), oksidasi (Jing Zhang dkk., 2010), siklisasi (Janssen,1957; Tomorskii, A dkk.,1961;


(36)

Lee D.F., 1963 ; Mirzataheri, 2000 dan Riyajan dkk., 2006), depolimerisasi (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998) dan pencangkokan/grafting (Charmondusit K. dkk., 1998; Nakason, C. dkk. 2004; Eddyanto, 2007; Hinchiranan, N. dkk., 2007 dan Suwadee dkk., 2008 ). Modifikasi karet alam dengan epoksidasi, depolimerisasi dan siklisasi bahkan berhasil diproduksi secara komersial.

Gambar 2.4. Skema sederhana biosintesa poliisoprena (William K. dan Brendan Rogers, 2004)


(37)

Epoksidasi karet alam menghasilkan karet alam epoksidasi/Epoxidized Natural Rubber (ENR), penelitian tentang karet alam epoksidasi bermula pada tahun 1920-an, seperti yang dipublikasikan tahun 1922 oleh R. Pummerer dan P.A. Burkard pada Uber Kautschuk, Ber. Dtsch. Chem. Ges. 55, 3458 (Si Dong Li dkk., 1997). Tetapi penelitian epoksidasi karet alam berkembang baru pada dua dekade terakhir dan berhasil diproduksi secara komersial dengan nama 25, 50 dan ENR-75, dimana bilangan mengacu pada derajat epoksidasi yaitu 25%, 50% dan 75%.

Epoksidasi karet alam menghasilkan produk yang memiliki gugus epoksi (oxirane) secara acak pada posisi ikatan rangkap poliisoprena. Epoksidasi dapat

dilakukan dalam fase larutan (karet lateks) dengan pereaksi asam perptalat, perbenzoat dan perasetat (Takayuki S. dkk., 2007).

Gambar 2.5. Reaksi epoksidasi karet alam

Perbedaan pereaksi yang digunakan menghasilkan produk akhir yang berbeda sifatnya dan banyaknya gugus epoksi yang terbentuk sangat bervariasi yang tergantung pada kondisi reaksi. Pereaksi yang banyak digunakan adalah perasam

(peracid) menggunakan asam formiat dan hidrogen peroksida pada lateks karet

(Chonlada A. dkk., 2008; Heping Yu, dkk., 2008). Produk karet alam epoksidasi dikenal dengan karet yang tahan terhadap minyak. Sifat produk ini dibanding karet alam adalah memiliki ketahanan minyak (oil resistance) lebih baik, permeabilitas gas

rendah, suhu transisi gelas (Tg) lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik (Seng Neon Gan dan Z.A. Hamid, 1997).

Karet epoksidasi juga meningkat kepolarannya sehingga memiliki kompatibilitas yang baik dengan polimer PVC (Chantara T. R. dan Khairul Zaman,

C H2

C H3C

C H

H2C C

H2 C H3C

C H

H2C C

H2 C H3C

C H

H2C

O


(38)

1999), nylon (Maswanee N. Dkk., 2012) dan karet nitril karboksilasi (Seng Neon Gan dan Z.A. Hamid, 1997).

Modifikasi karet alam juga dapat menghasilkan karet alam cair (Liquid Natural Rubber/LNR), yaitu produk karet alam yang diperoleh dengan proses depolimerisasi menghasilkan oligomer karet alam dengan berat molekul lebih rendah dari polimernya. Karet alam cair merupakan bentuk karet alam yang sudah lama dikenal yaitu pada tahun 1923 ketika pertama kali diproduksi secara komersial dengan nama dagang DPR oleh Hardman (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998).

Secara umum LNR diproduksi dengan cara pemutusan rantai poliisoprena secara oksidatif. Pada awalnya metode yang digunakan untuk membuat LNR adalah dengan mengolah karet alam pada suhu 0-80oC dengan kehadiran garam logam berat yang larut dalam minyak, seperti kobal linoleat atau naftalena sehingga karet alam terdegradasi. Kemudian produk degradasi dilarutkan dalam petroleum eter dengan konsentrasi 20% dan viscositas sekitar 3000 poise pada suhu 25oC. LNR ini agak kental berwarna jingga sampai kuning dan mengandung 10% oksigen (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998).

Berdasarkan analisis LNR mengandung 0,001%-0,6% hidroperoksida, 0,3% carboxyl, 0,6% - l,5% ester, 3,3% - 4,0% aldehida dan 6,0% C=O (gugus fungsi keton). LNR dapat dibuat menjadi padat dengan pemanasan pada suhu 100 oC diudara terbuka. Metode pembuatan LNR dikembangkan selanjutnya dengan degradasi karet alam pada suhu 110-140 oC beberapa jam atau dengan suhu 250-300 oC dengan waktu yang lebih singkat dengan penambahan plastisizer seperti mercaptobenzthiazole (MBT). LNR yang diperoleh dengan metode ini memiliki berat molekul 2000, viskositas 5000-25000 Poise pada 20°C dan mengandung sekitar 1% oksigen (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998).

LNR yang diperoleh dengan metode tersebut diatas masih memiliki ikatan rangkap karbon-karbon pada rantainya sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan


(39)

dapat dengan mudah dicampurkan tanpa konsumsi banyak energi sehingga lebih murah prosesnya dibandingkan karet alam. Pengembangan selanjutnya terhadap pembuatan LNR adalah penggunaan zat tambahan (ingredient) baru seperti

p-quinone dioxime sebagai curing agent, Pb-peroksida sebagai pengisi dan amina sebagai akselerator. Zat-zat tambahan ini mempermudah kerja penanganannya, mengurangi kelengketan dan tahan lama dan yang paling penting adalah bahwa produk ini dapat divulkanisasi pada suhu ruang (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998).

Secara kimiawi degradasi polimer dapat terjadi dengan bantuan senyawa pemutus rantai molekul polimer. Penambahan senyawa pemutus rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium hipoklorit, dikombinasikan dengan hidroksilamin netral sulfat akan menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney rendah dan memiliki daya rekat baik. Secara garis besar depolimerisasi dapat dilakukan dengan mastikasi, pirolisis, fotolisis, dekomposisi kimia (Tanaka, Yasuyuki dkk, 1996).

Depolimerisasi menghasilkan karet dengan viskositas rendah, berat molekul rendah antara 40.000 - 50.000. Pada suhu kamar bentuk cairan sehingga memudahkan dalam proses pengolahan/pencampuran sampai proses akhir pengolahan. Karet alam cair sekaligus dapat berperan seperti plastisizer yang menurunkan waktu dan konsumsi energi pada proses pengolahan produk campurannya. Selanjutnya dapat mengalami ikat silang (cure) dengan mekanisme yang sama seperti karet alam

(William Klingensmit dan Brendan Rodgers, 2004).

Produk ini biasanya diaplikasikan sebagai campuran material ban, keramik, modifier pelumas, bahan dasar polimer pembalut alat elektrik (electrical encapsulants), bahan seal (sealant) dan pemodifikasi aspal (modifier asphalt). Produk

karet alam cair merupakan salah satu produk modifikasi yang berhasil secara komersial tersedia di pasar.


(40)

2.3.Siklisasi Karet Alam

Siklisasi karet alam merupakan reaksi pembentukan cincin enam karbon intramolekuler cis-1,4-poliisoprena menghasilkan karet alam siklis (Cyclized Natural Rubber/CNR), yang dapat terjadi dengan melibatkan senyawa asam atau katalis

Friedel-Craft. Perubahan karet alam menjadi resin/resinifikasi merupakan reaksi dimana terjadi pengurangan jumlah ikatan rangkap poliisoprena yang diikuti dengan pembentukan struktur siklis dan tidak terjadi perubahan rumus empiris karet, C5H8.

Sementara itu berat molekul tetap tinggi dan tetap larut dalam pelarut karet yang menunjukkan tidak terjadi ikat silang (cross link). Karet kehilangan sifat

elastisitasnya dan berubah menjadi material yang keras dan rapuh. Pengurangan jumlah ikatan rangkat yang terjadi dalam reaksi siklisasi bervariasi sekitar 40-90%. Beberapa peneliti sepakat dengan struktur karet alam siklis seperti gambar 2.4.(Lee, 1963)

H2

C C

CH3

C

H2C CH

H2C CH2 H2

C

n

Gambar 2.6. Struktur siklik karet alam siklis

Beberapa peneliti telah berhasil membuat karet alam siklis melibatkan katalis yang berbeda seperti asam p-toluena sulfonat (Janssen, 1954), P2O5 (Tumorsski,

1961), SnCl4 ( Lee, D.F., 1963 dan Mirzataheri, 2000) dan H2SO4 (Riyajan, 2006)

dan juga penggunaan bahan baku karet, metode serta yield yang berbeda. Janssen, 1954 menggunakan karet padatan sebagai bahan baku, jenis RSS 1 dengan metode pencampuran leleh di dalam alat pencampuran internal/internal mixer, yield 85%. Sementara itu penggunaan karet padatan yang dilarutkan dalam pelarut organik dilakukan oleh Tumorsski, (1961); Lee, (1963) dan Mirzataheri, 2000 dengan masing-masing yield 95%, 80% dan 72,6%. Sedangkan Riyajan, 2006 menggunakan


(41)

karet alam lateks non-protein/deproteinized natural rubber (DPNR) dengan yield 86%.

Ikatan rangkap bersifat labil dan mudah dipengaruhi oleh katalis. Reaksi siklisasi dapat terjadi jika ada dua unit ikatan rangkap yang berdekatan bereaksi menghasilkan struktur siklis dengan hadirnya pereaksi/katalis yang sesuai. Siklisasi karet alam disepakati secara umum sebagai tipe reaksi polimerisasi ionik, dimana terjadi protonasi pada ikatan rangkap yang diikuti oleh tahapan propagasi pembentukan struktur siklis dan diakhiri dengan deprotonasi (Lee, 1963). Telah diusulkan mekanisme reaksi molekul-molekul poliisoprena dalam pembentukan cincin enam karbon sebagai mekanisme ion karbonium. Reaksi ini dapat terjadi sepanjang rantai poliisopren pada karet untuk menghasilkan struktur polisiklik (Mirzataheri, 2000).

Gambar 2.7. Mekanisme reaksi siklisasi karet alam (Riyajan dkk., 2006) Sifat produk karet alam siklis bervariasi tergantung pada derajat siklisasi produk yang dihasilkan. Dengan kata lain jumlah ikatan rangkap yang masih terdapat pada produk mempengaruhi sifat karet alam siklis yang dihasilkan. Disamping itu bobot molekul juga berpengaruh terhadap sifat karet alam siklis tersebut.


(42)

Rata-rata ukuran struktur siklis yang terbentuk selama proses siklisasi ditemukan bahwa tidak tergantung pada konsentrasi karet dan katalisnya tetapi ditentukan oleh temperatur reaksi siklisasi. Ikatan rangkap yang masih terdapat pada produk karet alam siklis lebih kecil dari 20% (Lee, D.F., 1963).

n p q

Karet Alam Karet Alam Siklis/ CNR

< 20 % 80%

Gambar 2.8. Reaksi siklisasi karet alam menghasilkan karet alam siklis

2.4. Pencangkokan

Pencangkokan (grafting) merupakan teknik yang secara luas dilakukan untuk

memodifikasi bahan polimer dengan tujuan mendapatkan sifat-sifat tertentu polimer yang diinginkan. Pada reaksi pencangkokan terbentuk ikatan kovalen antar monomer dengan rantai polimer. Teknik pencangkokan telah dilakukan dengan menggunakan inisiator panas (Zhen Yao dkk., 1998), bahan kimia, radiasi, fotokimia, induksi plasma dan enzimatik (A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).

2.4.1. Pencangkokan dengan inisiasi panas

Pencangkokan berlangsung dengan inisiasi panas berlangsung pada suhu 110-150 oC pada pencampur internal (internal mixer). Kopolimerisasi stirena dan Anhidrida

maleat telah dilakukan pada suhu 110-130 oC dalam tanki reaktor dengan pengadukan menghasilkan yield 55% (Zhen Yao dkk., 1998). Peneliti lain juga telah berhasil melakukan kopolimerisasi Anhidrida maleat pada karet alam menggunakan pencampur internal dengan suhu 135 oC dan kecepatan rotor 60 rpm selama 10 menit (Nakason, C. dkk., 2001).


(43)

2.4.2. Pencangkokan dengan inisiasi bahan kimia

Secara garis besar, pencangkokan dengan inisiasi bahan kimia ada dua yaitu mekanisme radikal bebas dan mekanisme ionik. Peranan inisiator sangat penting dalam proses kimia dan menentukan jalur dalam proses pencangkokan.

2.4.2.1.Pencangkokan mekanisme radikal bebas

Radikal bebas dihasilkan dari inisiator dengan pengaruh panas. Kemudian radikal selanjutnya mengabtraksi atom hidrogen polimer subtrat, sehingga terbentuk radikal pada molekul polimer. Selanjutnya monomer bertindak sebagai akseptor radikal membentuk kopolimer cangkok. Kemudian radikal monomer menjadi donor radikal pada monomer tetangganya, begitu seterusnya, seperti mekanisme di bawah ini.

Gambar 2.9. Mekanisme reaksi kopolimerisasi cangkok dengan inisiator radikal bebas (A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).

2.4.2.2.Pencangkokan mekanisme ionik

Pencangkokan juga dapat dilakukan dengan model ionik. Suspensi logam alkali dalam larutan basa Lewis, senyawa organologam dan naftalinida sangat berguna sebagai inisitor untuk tujuan ini. Alkil aluminium (R3Al) dan polimer induk dalam

bentuk halide (ACL) berinteraksi untuk membentuk ion karbonium sepanjang rantai polimer, yang membentuk kopolimer. Reaksi ini berlangsung melalui mekanisme kationik.

ACl + R3Al → A+R3AlCl- A+ + M → AM+-M → kopolimer cangkok


(44)

Pencangkokan juga dapat melalui mekanisme anionik. Sodium-ammonia atau metoksida dari logam alkali membentuk alkoksida dari polimer (PO-Na+), yang bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok.

P-OH + NaOR → PO-Na+ + ROH

PO-+M → POM--M → kopolimer cangkok

2.4.3. Pencangkokan dengan inisiasi radiasi

Pencangkokan radiasi dapat berlangsung denga model ionik dimana terbentuknya ion dengan adanya irradisi berenergi tinggi, yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: kationik dan anionik. Polimer diirradiasi untuk membentuk ion yang kemudian bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok atau bisa juga dengan cara dimana monomer diirradiasi untuk membentuk ion yang kemudian bereaksi dengan polimer membentuk kopolimer cangkok. Mekanisme dengan analogi yang sama dapat terjadi pada pencangkokan radiasi anionik.

Gambar 2.10. Mekanisme reaksi pencangkokan kationik yang diinisiasi melalui polimer (path I) dan monomer (path II) (A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).


(45)

2.4.4. Pencangkokan dengan inisiasi fotokimia

Ketika kromofor yang terdapat pada makromolekul menyerap cahaya akan terjadi eksitasi yang mungkin berdisosiasi membentuk radikal bebas reaktif yang akan menginisiasi reaksi. Jika absorbsi tidak menghasilkan radikal bebas melalui pemecahan ikatan, proses ini dapat dilakukan dengan penambahan fotosintetizer seperti benzofenon, xanthone, Na-2,7-antraquinon sulfonat. Jadi, proses ini dapat berlangsung dengan menggunakan atau tanpa fotosintetizer.

Mekanisme tanpa sensitizer melibatkan terbentuknya radikalbebas pada rantai polimer yang bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok. Pada bagian lain, mekanisme dengan sensitizer terjadi dengan terbentuknya radikal oleh sensitizer yang kemudian mengabstraksi atom hidrogen polimer untuk menghasilkan gugus radikal yang dibutuhkan pada proses pencangkokan.

Gambar 2.11. Mekanisme reaksi pencangkokan fotokimia(A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).


(46)

2.4.5. Pencangkokan dengan inisiasi induksi plasma

Proses utama dalam plasma adalah eksitasi elektron terinduksi, ionisasi dan disossiasi. Kemudian elektron tereksitasi dari plasma memiliki energi yang cukup untuk menginduksi pembelahan dari ikatan kimia dalam struktur polimer membentuk radikal makromolekul kemudian menginisiasi kopolimer cangkok.

2.4.6. Pencangkokan dengan inisiasi enzimatik

Metode ini merupakan metode yang cukup baru. Prinsipnya enzim menginisiasi reaksi grafting kimia/elektrokimia. Contohnya, tirosin dapat mengkonversi fenol menjadi o-kuinon yang reaktif. Kemudian mengalami reaksi non-enzimatik dengan kitosan (Bhattacharya, A. dan B. N. Misra, 2004).

2.5.Pencangkokan monomer Anhidrida Maleat

Anhidrida Maleat (AM) merupakan salah satu monomer polifungsional yang banyak digunakan memodifikasi material polimer untuk menghasilkan material teknik, bioteknik (bioengineering) dan nanoteknik (nanoengineering) berkinerja tinggi (high performance), baik polimer alam maupun sintesis. Penggunaan Anhidrida Maleat

telah berhasil memperbaiki sifat-sifat kopolimer cangkok (graft copolymerization)

polimer thermoplastik seperti poliolefin, polistiren, poliamida dan juga biopolimer dapat terdegradasi (biodegradable polymers), polisakarida dan karet alam dan

sintesis (Zakir M. O. Rzayev, 2011).

Introduksi molekul Anhidrida maleat pada molekul nonpolar senyawa poliolefin dan karet mengatasi kelemahan akan rendahnya energi permukaan polimer ini, meningkatkan hidrofilitas permukaannya sehingga bermanfaat pada aplikasi di bidang pelapisan (coating) dan tinta cetak (printing ink) dan adhesinya terhadap

polimer bersifat polar (poliamida), logam dan serat kaca (glass fiber) (Zakir M. O.

Rzayev, 2011).


(47)

teknik berkemampuan tinggi (high performance engineering materials) dan

nanokomposit dengan menggunakan sistim pereaksi reaktif (reactive extruder systems) dan in situ kompatibelisasi campuran polimer telah sangat berkembang,

bahkan beberapa berhasil secara komersial.

Sejarah pencangkokan Anhidrida maleat pada polyolefin khususnya polipropilen (pp) telah dimulai pada tahun 1969, dan berkembang sampai saat ini baik dalam fase larutan, cairan (molten process) dan padatan (solid phase grafting process). Ide dan Hasegawa telah melakukan pencangkokan Anhidrida maleat pada

polipropilen dalam fase cair menggunakan benzoil peroksida sebagai inisiator dan plastograph Brabender menghasilkan kopolimer cangkok yang kemudian digunakan dalam campuran poliamida dan polipropilen (pp) sebagai pencampuran reaktif (Zakir M. O. Rzayev, 2011).

Untuk mempelajari mekanisme pencangkokan, fungsionalisasi pp dengan Anhidrida maleat telah diakukan penelitian dalam fase larutan (S. N. Sathe dkk., 1994; J. L. White, A. Sasaki, 2003) dan fase leleh (N. G. Gaylord, R. Mehta, 1988; Simmons, W. E. Baker, 1989) menggunakan berbagai jenis sistem ekstruder. Dengan pertimbangan biaya yang lebih rendah dan peralatan maka dipilih metode dengan fase leleh melalui proses reaktif.

Pencangkokan Anhidrida maleat pada low density polietilena (LDPE) dengan kehadiran dikumil peroksida dalam fase cair menghasilkan produk yang kemudian digunakan sebagai kompatibeliser pada campuran polietilen dengan poliamida 66. Juga dilaporkan bahwa reaksi berlangsung dalam pencampur internal dan ekstruder ganda (twin-extruder) dan disampaikan kinetika reaksi pencangkokannya (J. Cha, J.

L. White, 2001).

Pencangkokan Anhidrida maleat pada polimer menggunakan sistim ekstruder screw ganda (twin-screw extruder) sangat menguntungkan untuk memproduksi

material baru secara komersial. Twin-screw extruders berfungsi sebagai reactor aliran kontinu berperan penting dalam produksi material termoplastik berkinerja tinggi (S. N. Sathe dkk., 1994; J. Cha, J. L. White, 2001).


(48)

Penelitian yang penting terkait pencangkokan Anhidrida maleat pada pp adalah penggunaan berbagai jenis ekstruder dan pencampur. Kemudian, fungsionalisasi Anhidrida maleat pada pp dalam fase leleh telah diteliti oleh Gaylord dan Mishra, 1983 dan Ho dkk., 1993 dimana reaksinya berlangsung di dalam pencampur internal Brabender Plasticorder. Konsenrasi AM dan inisiator peroksida berpengaruh terhadap jumlah kopolimer cangkok.

Penelitian pencangkokan AM pada pp menggunakan proses reaktif di dalam Haake torque rheometer diperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya konsentrasi monomer Anhidrida maleat, inisiator, kecepatan rotor dan waktu reaksi mengakibatkan naiknya drajat grafting AM pada pp ( Bettini dan Agnelli, 1999).

Peranan stirena pada pencangkokan AM pada PP sangat nyata meningkatkan derajat grafting yang diperoleh pada perbandingan mol AM dan stirena 1:1. Stirena sebagai monomer electron donor, dapat berinteraksi dengan AM melalui kompleks bermuatan membentuk kopolimer stirena-AM yang selanjutnya dapat beraksi menghasilkan kopolimer cangkok AM-g-PP (Dong and Liu, 2003).

Penambahan stirena sebagai monomer kedua dalam sistim pencampuran fase leleh dapat membantu meningkatkan derajat grafting AM pada PP. Monomer stirena dapat menjembatani jarak antara makroradikal PP dan monomer AM, dimana stirena terlebih dahulu bereaksi dengan makroradikal PP membentuk makroradikal stirena yang lebih stabil untuk selanjutnya bereaksi dengan AM membentuk kopolimer AM-g-PP (Li dkk., 2001).

Pencangkokan AM pada karet alam dapat meningkatkan kompatibilitas antara karet alam dengan elastomer polar dan plastic seperti poliamida.Belakangan ini pencangkokan AM pada karet alam banyak dilakukan dalam fase lelh menggunakan pencampur seperti roll mill dan pencampur internal/internal mixer ( J. Saelao, P.

Phinyocheep, 2005; Demin Jia, 2000).

Penggunaan karet alam terfungsionalisasi AM sebagai kompatibeliser dalam campuran poliamida/karet alam dan karet alam terfungsionalisasi maleat


(49)

diakibatkan oleh terjadinya interaksi intermolekuler antara gugus ujung poliamida atau gugus hidroksil dari makromolekul cassava starch (Nakason, C. dkk., 2001; M. Sclavons dkk., 1996).

2.6.Anhidrida Maleat

Anhidrida Maleat juga dikenal dengan nama lain yaitu: cis-butenadioat Anhidridaa, Anhidridaa toksilat dan dihidro-2,5-dioksofuran. Merupakan senyawa organik yang memiliki rumus molekul C4H2O3. Anhidrida Maleat merupakan padatan tidak

berwarna atau berwarna putih dan memiliki bau yang tajam. Anhidrida Maleat adalah senyawa vinil tidak jenuh, merupakan bahan baku pada sintesa resin poliester, pelapisan permukaan karet, deterjen, bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer dan kopolimer. Anhidrida Maleat mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan etilenik dengan gugus karbonil di dalamnya, yang berfungsi dalam reaksi adisi. Anhidrida Maleat diproduksi secara komersial dengan reaksi oksidasi benzena atau senyawa aromatik lainnya. Anhidrida Maleat dapat dibuat seperti reaksi di bawah ini.

H3C C

O

OH C

O H3C

+

HC C

O OH

HC C OH

O

Asetat Anhidrida Asam Maleat

HC C

O

O

HC C

O

+ 2CH3COOH

Anhidrida Maleat Asam Asetat

Gambar 2.12. Reaksi pembentukan Anhidrida Maleat

Anhidrida Maleat mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan etilenik dengan gugus karbonil di dalamnya ,yang berfungsi dalam reaksi adisi. Anhidrida maleat dapat mengalami reaksi sebagai berikut:

a. hidrolisis menghasilkan asam maleat, cis HO2CCH = CHCO2H.


(50)

c. Anhidrida Maleat merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder.

d. Anhidrida Maleat merupakan dieno Anhidrida Maleat (AM) dapat berfungsi sebagai ligan yang baik untuk kompleks logam bervalensi rendah, misalnya Pt(PPh3)2(MA) dan Fe(CO)4(MA).

Anhidrida Maleat dan senyawa isostruktur analognya secara luas digunakan pada reaksi pembentukan makromolekul dengan struktur linier, bercabang dan penataan ulang untuk menghasilkan material kinerja tinggi, bioteknik dan nano teknik.

Tabel 2.3. Sifat-sifat Anhidrida Maleat (HSDB, 1995)

No Sifat Keterangan

1 Deskripsi Tak berwarna atau padatan putih 2 Rumus Molekul C4H2O3

3 Berat Molekul 98,06 g/mol 4 Titik Didih 202 oC 5 Titik Leleh 52,8 oC

6 Kelarutan Larut dalam air, eter, asetat, kloroform, dioksan, aseton, benzen, toluen dan o-xylen

Gambar 2.13. Struktur kimia senyawa Maleat Anhidridaa dan senyawa isostrukturnya (Zakir M. O. Rzayev, 2011).


(51)

2.7.Inisiator

Selain teknik pencangkokan dengan panas dan radiasi, semua reaksi pencangkokan pada proses grafting dimana konsentrasi inisiator mempengaruhi laju reaksi grafting. Ada berbagai ketergantungan hubungan secara empiris dari efisiensi grafting terhadap konsentrasi inisiator. Jelas bahwa sekali konsentrasi tertentu inisiator terpenuhi, peningkatan jumlah inisiator tidak serta merta meningkatkan konversi dari monomer tercangkok (Krump, H., P. 2005).

Homolisis ikatan peroksida yang lemah membentuk radikal yang sangat reaktif. Inisiator peroksida cukup sering digunakan dalam proses grafting secara kimia. Berikut beberapa alasan menggunakan peroksida sebagai inisiator yaitu : 1. Kecepatan dekomposisi peroksida, proses awal dekomposisi untuk menghasilkan

radikal bebas sangat bergantung pada kondisi reaksi dan variabel proses.

2. Reaktifitas radikal yang dihasilkan melalui pemindahan atom hidrogen dari polimer.

3. Inisiasi radikal terhadap monomer mengarah pada homopolimerisasi. Homopolimerisasi dari monomer reaktif meningkat bersamaan dengan meningkatnya reaktifitas inisiator untuk berpolimerisasi menghasilkan tingkatan rendah dari radikal bebas.

4. Waktu paruh (t1/2) peroksida, hal ini menunjukan laju dekomposisi peroksida

dibawah kondisi reaksi yang khusus termasuk temperatur, sifat fisik dari polimer diantara faktor lainnya.

5. Sifat fisik peroksida, sifat fisik (cair, padat, terserap dalam pembawa padat) dapat menjadi penting untuk pengiriman dan pencampuran termasuk karakteristik fisik lainnya seperti volatilitas, kelarutan, bau dan toksisitasnya (Eddyanto, 2007).

2.8.Benzoil Peroksida

Kebanyakan pemicu yang digunakan secara luas adalah radikal bebas yang dihasilkan dari peruraian peroksida. Benzoil peroksida C14H10O4 mempunyai berat molekul


(52)

larut dalam benzene, eter, aseton, kloroform, titik leleh 104,5 oC (220,1 F); titik dekomposisi 106-108 oC (223-226 F); tekanan uap <1 mmHg pada 20oC; gravitasi spesifik (air=1) 1,3340 pada 25 oC; kelarutan dalam air <1%. Peroksida organik seperti benzoil peroksida merupakan sumber radikal bebas yang kuat. Digunakan sebagai inisiator polimerisasi, katalis dan agen vulkanisir (HSBD, 1995).

O

O O

O

Gambar 2.14. Struktur Benzoil Peroksida

2.9.Ekstrusi menggunakan peralatan Brabender Olasticorder

Ekstruder (extruder) yang digunakan dalam studi ini adalah extruder Brabender

Plasticorder Model PL 2000. Brabender Plasticorder (torque rheometer) telah secara

luas digunakan untuk menentukan sifat-sifat pemrosesan bahan polimer, reologi lelehan polimer pencampuran polimer dan lain-lain. Torque rheometer merupakan peralatan penting untuk mengukur toque secara umum. Torque rheometer merupakan suatu alat dengan ruang pencampuran berjaket yang volumenya sekitar 50 cm3. Pencampuran material dalam ruang pencampuran dilakukan oleh dua pencampur (rotor) horisontal yang memiliki tonjolan. Hambatan oleh material bahan uji terhadap

rotor berputar dalam ruang pencampuran diketahui dengan bantuan keseimbangan dinamometer.

Dinamometer terpasang ke sistem pengukuran mekanik yang tepat yang menunjukkan dan mencatat torsi. Sebuah drive DC thyrister terkontrol digunakan untuk mengontrol kecepatan rotor, sekitar 0 sampai dengan 150 rpm. Suhu ruang pencampuran dikendalikan oleh sirkulasi minyak panas. Suhu dapat bervariasi hingga 300° C. Termokopel dengan perekam temperatur digunakan untuk pengukuran


(53)

temperatur. Berbagai jenis rotor dapat dengan mudah dipasang dan turun karena pengikat dan kopling sistem yang sederhana. Setelah kondisi pengujian (tipe rotor, rpm dan suhu ) diatur, waktu yang cukup diberikan untuk suhu untuk mencapai nilai yang ditetapkan dan menjadi stabil. Selanjutnya bahan dimasukkan ke ruang pencampuran untuk mendapatkan waktu kurva torsi atau plastogram.

Gambar 2.15. Internal Mixer Brabender Plasticorder Model PLE 331

2.10. Karakterisasi 2.10.1.Softening Point

Ketika suatu material seperti es meleleh, maka terjadi perubahan dari padatan menjadi cairan pada satu suhu tertentu yang disebut dengan titik leleh. Beberapa material tidak dapat meleleh dengan kenaikan suhu tetapi menjadi lebih lembut (soft)

tanpa berubah menjadi lelehan. Untuk material/produk yang demikian maka suhu tersebut dikenal dengan suhu softening (softening point). Aspal dan karet alam siklis

merupakan contoh material yang berubah menjadi lebih lembut ketika dinaikkan suhunya. Pada penelitian ini penentuan softening point dilakukan dengan metode Capillary.


(54)

2.10.2.Viskositas

Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu fluida yang menunjukkan besar kecilnya gesekan internal fluida. Viskositas fluida berhubungan dengan gaya gesek antarlapisan fluida ketika satu lapisan bergerak melewati lapisan yang lain. Pada zat cair, viskositas disebabkan terutama oleh gaya kohesi antar molekul. Setiap fluida memiliki besaran viskositas yang berbeda yang dinyatakan dengan massa per volume.Viskositas dapat dengan mudah dipahami dengan meninjau satu lapisan tipis fluida yang ditempatkan di antara dua lempeng logam yang rata. Satu lempeng bergerak (lempeng atas) dan lempeng yang lain diam (lempeng bawah). Fluida yang bersentuhan dengan lempeng ditahan oleh gaya adhesi antara molekul fluida dan molekul lempeng. Dengan demikian, lapisan fluida yang bersentuhan dengan lempeng yang bergerak akan ikut bergerak, sedangkan lapisan fluida yang bersentuhan dengan lempeng diam akan tetap diam. Lapisan fluida yang bergerak mempunyai kelajuan sama dengan kelajuan lempeng yang bergerak, yaitu sebesar v. lapisan fluida yang diam akan menahan lapisan fluida di atasnya karena adanya gaya kohesi. Lapisan yang ditahan itu menahan lapisan di atasnya lagi dan seterusnya sehingga kelajuan setiap lapisan fluida bervariasi dari nol sampai v. Untuk menggerakkan lempeng diperlukan gaya. Untuk membuktikannya, dapat dicoba dengan menggerakan sebuah potongan kaca di atas tumpahan sirup. Semakin kental fluida, semakin besar gaya yang diperlukan untuk mendorong. Pada penelitian ini penentuan viskositas dilakukan dengan metode (Ford 4CCup) In Toluene.

2.10.3.Massa Jenis

Massa jenis adalah bilangan yang menyatakan perbandingan massa dengan volume suatu benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total volumenya. Jika benda homogen yang massa m mempunyai volume V, maka massa jenisnya dapat kita tentukan dengan menggunakan rumus:


(55)

ρ = m / V

Dalam sistem Satuan Internasional (SI), satuan massa jenis dinyatakan dengan kilogram per meter kubik (kg/m3), sedangkan dalam sistem cgs satuan massa jenis adalah gram per sentimeter kubik (g/cm3). Jika dikonversikan, kesetaraan kedua satuan ini adalah 1.000 g/cm3 = 1 kg/m3).

2.10.4.Warna

Warna adalah berwarna Pada penelitian ini penentuan warna dilakukan dengan metode Gadner Scale 1963, in 60% TL.

2.10.5.Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri infra merah/Infra Red (IR) merupakan teknik yang umum digunakan untuk memperoleh informasi struktur molekul suatu senyawa. Daerah serapan inframerah terletak antara daerah tampak dan panjang gelombang mikro, pada kisaran panjang gelombang 0,5-200 µm. Daerah 0,8-2,5 µm disebut inframerah dekat dan daerah 15-200 µm disebut inframerah jauh. Molekul-molekul suatu senyawa mempunyai frekuensi vibrasi yang khas. Gugus fungsional ini mengabsorbsi radiasi infra merah dan menjadi energi vibrasi molekular.

Spektrofotometri inframerah berkaitan dengan interaksi molekul dengan energi radiasi inframerah. Apabila sinar infra merah dilewatkan melalui suatu cuplikan senyawa, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan yang lain akan diteruskan. Molekul-molekul tertentu dalam suatu senyawa akan menyerap sinar infra merah pada frekuensi yang tertentu pula, jika dalam molekul tersebut ada transisi energi. Transisi yang terjadi dalam serapan berkaitan erat dengan perubahan-perubahan vibrasinya. Setiap ikatan dalam molekul mengalami gerakan vibrasi ke depan dan ke belakang yang konstan, rotasi atom, dan sedikit gerakan bengkokan. Ketika molekul mengabsorbsi sinar infra merah, gerakan molekul ini menaikkan


(56)

intensitas. Oleh karena masing-masing frekuensi radiasi berkaitan dengan gerakan spesifik, maka jenis gerakan molekul yang dimiliki oleh sampel dapat dilihat dengan mengukur spektrum infra merahnya. Gugus fungsional yang ada dalam molekul dapat ditentukan dengan menginterpretasikan spektrum inframerah (F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000).

Informasi mengenai struktur suatu senyawa dapat diperoleh dengan mempelajari daerah terjadinya absorbsi gugus fungsional. Daerah yang paling berguna untuk mengenal struktur senyawa adalah daerah 4000-1500 cm-1. Serapan setiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-C, C=C, C=N, dan sebagainya) hanya diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi inframerah. Kisaran serapan yang kecil dapat digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan. Daerah 4000-2500 cm-1 merupakan absorbsi yang disebabkan oleh regangan ikatan N-H, C-H, O-H, serta gerakan kontraksi. Ikatan O-H dan N-H menyerap pada daerah 3600-3300 cm-1 dan regangan ikatan C-H terjadi dekat 3000 cm-1 Daerah antara 2500-2000 cm-1 adalah daerah tempat regangan ikatan rangkap tiga, untuk itu baik nitril ( R-C=N) maupun alkuna keduanya menunjukkan puncak di daerah ini. Daerah dari 2000-1500 cm-1 mengandung serapan ikatan rangkap dua, ikatan C=O, C=N, C=C, menunjukkan serapan di daerah ini. Produk hasil sintesis diharapkan mempunyai serapan C=O, C=C, OH, dan serapan aromatis (Da-Wen Sun, 2009).

Pada dasarnya spektrofotometri FT-IR (Fourier Trasform Infra Red) adalah

sama dengan spektrofotometri IR dispersi, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati contoh.

2.10.6.Analisa Thermal

Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik yang mengukur sifat fisis suatu bahan dan atau hasil-hasil reaksi yang diukur sebagai fungsi temperatur. Pemeriksaan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisme, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, degradasi,


(57)

penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan dan pengawasan kualitas. Pengukuran dalam analisis termal meliputi suhu transisi, termogravimetri dan analisis cemaran.

Gambar 2.16. Peralatan Spektrofotometri Infra Merah Model GALAXY 5000

Karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri. Suatu bahan bila dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut. Teknik analisa termal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) atau kimia (dekomposisi)


(58)

suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas (endotermik) dan pengeluaran panas (eksotermik). Proses termal meliputi antara lain proses perubahan fase (transisi gelas), pelunakan, pelelehan, oksidasi, dan dekomposisi (F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000).

Dalam kaitannya dengan industri, teknik analisa termal digunakan untuk penentuan kontrol kualitas suatu produk/bahan khususnya polimer. Tanpa adanya pengetahuan data-data termal, pemrosesan suatu bahan akan sangat sulit dilakukan. Sifat termal suatu bahan menggambarkan kelakuan dari bahan tersebut jika dikenakan perlakuan termal (dipanaskan/didinginkan). Dengan demikian pengetahuan tentang sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pemrosesan bahan menjadi barang jadi maupun untuk control kualitas.

Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah Analisa Termogravimetrik /Thermographymetric Analysis (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan

berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun waktu dan Kalorimetri Pemindaian Differensial/Differential Scanning Chalorimetry (DSC) yang mengukur perbedaan

suhu, T, antara sampel dengan material referensi yang inert sebagai fungsi dari suhu.

2.10.6.1. Analisa Thermogravimetri

Analisa Thermogravimetri atau Thermographymetric Analysis (TGA) adalah teknik

untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi suhu ataupun waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinu, reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 1. sampel yang digunakan, dengan berat beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1 – 20 0C /menit, mempertahan berat awalnya , Wi, sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti. Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu, Ti – Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf, yang

berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah harga-harga yang sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan


(59)

Gambar 2.17. Skema thermogram reaksi dekomposisi satu atap

Gambar 2.18. Peralatan Thermographymetric Analysis (TGA)

Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf, merupakan harga yang

bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan (ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12 untuk dekomposisi CaCO3; pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~500 0C, namun dalam CO2 tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di atas 900 0C. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang sangat bergantung pada


(60)

kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu dekomposisi pada equilibrium.

Gambar 2.19. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda

2.10.6.2. Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu sampel dibandingkan dengan material referen inert selama perubahan suhu terprogram. Suhu sampel dan referensi akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur kristal pada sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah (apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat eksotermik) suhu referensi.

Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam hal ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg , misalnya 10 mg ) dan peralatan kalor lebih teliti. Berbeda dengan dengan teknik TGA, teknik DSC menggunakan teknik pemanas individual masing-masing untuk sampel dan pembanding seperti diperlihatkan pada Gambar 2.13 (David I. bower, 2002).

Hasil pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh,seperti pada Gambar 2.14. Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas. Bila


(61)

terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel.

Gambar 2.20. Perlatan Differential scanning calorimetry (DSC) TA INSTRUMENTS Q2000

Gambar 2.21. Skematik pengujian dengan DSC

Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas. Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel. Karena itu dalam


(62)

termogram DSC, yakni plot perubahan entalpi (ΔH) terhadap kenaikan suhu, proses eksotermis dinyatakan sebagai – ΔH dan proses endotermis sebagai + ΔH, (Basuki

Wirjosentono, 1995). Karakterisasi sifat thermal dalam penelitian ini menggunakan alat DSC TA INSTRUMENTS Q2000.


(63)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium untuk menghasilkan material baru, kemudian dikarakterisasi dengan melakukan uji sifat fisik dan kimia, SEM, FT-IR dan thermal (TGA dan DSC). Dilakukan di Laboratorium Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan,

Laboratorium Pengawasan Mutu Pabrik Resipren PT Industri Karet Nusantara Medan dan Laboratori d'Enginyeria Paperera i Materials Polímers (LEPAMAP)/Laboratory of Paper Engineering and Polymer Materials, Departement of Chemical and

Agricultural Engineering and Food Science, University of Girona, Spanyol. 3.1 Bahan dan alat

3.1.1. Bahan

Karet alam siklis (Cyclized Natural Rubber/CNR) yang digunakan dalam penelitian

ini adalah produk komersial dengan nama dagang Resiprena 35 (R-35) yang diproduksi oleh Pabrik Resiprena, PT Industri Karet Nusantara, Sei Bamban, Tebingtinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Resiprena 35 memiliki spesifikasi seperti tertera dalam Tabel 4.1.

Tabel 3.1. Spesifikasi produk karet alam siklis Resiprena 35

Jenis parameter Satuan R-35

Softening point (Capillary Method) °C 125-145

Bilangan Asam (Acid Value) mg KOH/gr <5

Warna (Gadner Scale 1963, in 60% TL - Max 13

Viskositas (Ford 4CCup) In Toluene Sec 18-24 Massa Jenis (Specific Gravity) Gr/ ml < 0.98


(64)

Bahan-bahan selengkapnya yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.2

Tabel 3.2 Bahan yang digunakan dalam penelitian.

No Nama Struktur Supplier Keterangan

1 Kalium Hidroksida

KOH P.A Merck 2 Toluena (C6H5)CH3 B.P. 110-111oC P.A Merck 3 Metanol H3C OH B.P. 64-65oC P.A Merck

4 Etanol H3C-CH2-OH P.A Merck

5 Anhidrida Maleat

O

O O

P.A Merck

6 Aseton

H3C C O

CH3

P.A Merck

7 Benzoil Peroksida O O O O P.A Merck purified

8 CNR (Cyclized Natural Rubber)/ Resiprena 35

p q PT IKN

komersial

9 Indikator

Phenolftalein P.A Merck

3.2. Prosedur Kerja

3.2.1. Persiapan Alat Pencampur Internal (internal mixer) Brabender Plasticorder

Reaksi pencangkokan Anhidrida Maleat (AM) pada karet alam siklis dilakukan di dalam pencampur internal Brabender plastograp, Duisberg, Germany, dengan dan tanpa inisiasitor benzoil peroksida serta dengan dan tanpa kehadiran komonomer styrena. Terlebih dahulu diprogram suhu operasional dan kecepatan putar


(65)

rotor pencampur internal sesuai dengan rancangan penelitian yang akan dilakukan (Tabel 3.3). Setelah suhu chamber sesuai dengan yang diprogram, dapat dilihat pada

layar monitor komputer, maka alat pencampur internal telah dapat digunakan untuk selanjutnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.3 Tabel 3.3 Alat yang digunakan dalam penelitian.

No Nama Alat Keterangan

1 Neraca Analitis Mettler Toledo

2 Alat-alat Gelas Pyrex

3 Oven Memmert

4 Alat Pemanas PMC

5 Internal mixer, Brabender

plastograp Duisburg, Germany

6 Spektrofotometer FTIR GALAXY 5000 7 Differential Scanning Calorimetry

(DSC)

Model: TA INSTRUMENTS Q2000

8 Thermographymetry Analysis (TGA)

Mettler Toledo TGA850 9 Agrimsa pelletizer Sant Adria` de Besos, Spain

10 Scanning Electron Microscopy

11 Viskometer FORD 4 CUP

12 LOVIBOND ORBECCO-HELLIG


(1)

Lampiran 51. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)


(2)

Lampiran 52. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)


(3)

Lampiran 53. Thermogram TGA Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)


(4)

Lampiran 54. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:2)


(5)

Lampiran 55. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (1:1)


(6)

Lampiran 56. Thermogram DSC Karet Alam Siklis dengan BPO dan penambahan AM 16 phr dengan Stirena (2:1)