Perilaku Kader tentang Kegiatan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Prapat Janji Kecamatan Buntu Pane Kabupaten Asahan Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku
ini tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan
adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut.
Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Perilaku manusia sangatlah
kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom dalam
Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif,
2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain
ini diukur dari pengetahuan dan sikap.
2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan

akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Penelitian Rogers dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan bahwa sebelum

9
Universitas Sumatera Utara

10

orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers dalam Notoatmodjo
(2007), menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahaptahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui
proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku
itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
2.1.2 Sikap
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri,
orang lain, obyek atau isue. Sikap juga merupakan reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Struktur sikap terdiri atas
3 komponen yang saling menunjang satu sama lain yaitu (Notoatmodjo, 2007):

Universitas Sumatera Utara

11

a. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh
individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype
yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini)
terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
b. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.

Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang
komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu
sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau
kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara
tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk
mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk
tendensi perilaku.
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo,2007):
a. Menerima (receiving); Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding); Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena
dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan. Lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang itu
menerima ide tersebut.


Universitas Sumatera Utara

12

c. Menghargai (valuing); Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga, misalnya seorang mengajak ibu yang lain
(tetangga, saudaranya, dsb) untuk menimbang anaknya ke posyandu atau
mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu telah mempunyai
sikap positif terhadap gizi anak.
d. Bertanggung jawab (responsible); Bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang
paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun
mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.
2.1.3 Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa
tingkatan :

1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
3. Mekanisme (mecanism)

Universitas Sumatera Utara

13

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mancapai praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang antara lain:
1. Imitasi
Tindakan manusia untuk meniru tingkah pekerti orang lain yang berada di
sekitarnya.
2. Sugesti
Seseorang menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman
tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sugesti:
 Hambatan berfikir orang yang memberikan sugesti bersikap over
pandangan, pihak penerima tidak diberi pertimbangan-pertimbangan atau
berfikir kritis.
 Keadaan pikiran yang terpecah-pecah seseorang pikirannya mengalami
kelelahan/kebingungan karena mengahadapi kesulitan-kesulitan sehingga ia
tidak bisa berfikir.
 Otoritas kecenderungan seseorang atau sekelompok orang untuk menerima
pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu dari orang yang dianggap
ahli.

Universitas Sumatera Utara


14

 Mayoritas seseorang menerima saja suatu sikap atau pandangan karena di
dukung atau di sokong oleh orang banyak (mayoritas).
 Will Of Believe sikap menerima pandangan atau sikap orang lain karena
sebelumnya di dalam dirinya telah ada sikap atau pandangan yang sama.
3. Identifikasi
Seseorang ketika ia mulai sadar bahwa di dalam kehidupan ini ada peraturanperaturan yang harus di penuhi,di pelajari atau di taatinya.
4. Simpati
Faktor tertariknya seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau
kelompok orang lain
2.2 Kader Posyandu
2.2.1 Pengertian Kader Posyandu
Kader posyandu, menurut Depkes RI adalah seseorang atau tim sebagai
pelaksana posyandu yang berasal dari dan dipilih oleh masyarakat setempat yang
memenuhi ketentuan dan diberikan tugas serta tanggung jawab untuk
pelaksanaan, pemantauan, dan memfasilitasi kegiatan lainnya (Henniwati, 2008).
Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang terdidik dan terlatih dalam bidang
tertentu yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dan merasa berkewajiban untuk
melaksanakan meningkatkan dan membina kesejahteraan masyarakat dengan rasa

ikhlas tanpa pamrih dan didasarkan panggilan jiwa untuk melaksanakan tugastugas kemanusiaan.
Jumlah kader posyandu lansia disetiap kelompok tergantung pada jumlah
anggota kelompok, volume dan jenis kegiatan yaitu sedikit 3 orang. Kader
sebaiknya berasal dari anggota kelompok sendiri atau bilamana sulit mencari

Universitas Sumatera Utara

15

kader dari anggota kelompok dapat saja diambil dari anggota masyarakat lainnya
yang bersedia menjadi kader (Depkes RI, 2003).
Persayaratan untuk menjadi kader, antara lain: (1) Dipilih dari masyarakat
dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi setempat, (2) Mau dan mampu
bekerja secara sukarela, (3) Bisa membaca dan menulis huruf latin, (4) Sabar dan
memahami usia lanjut (Depkes RI, 2003).
Tugas kader posyandu lansia adalah : 1) Menyiapkan alat dan bahan, 2)
melaksanakan pembagian tugas, 3) Menyiapkan materi/media penyuluhan, 4)
Mengundang ibu-ibu untuk datang ke posyandu, 5) Pendekatan tokoh masyarakat,
6) Mendaftar lansia, 7) Mencatat kegiatan sehari-hari lansia, 8) Menimbang berat
badan dan mengukur tinggi badan lansia, 9) Membantu petugas kesehatan dalam

melakukan pemeriksaan, kesehatan dan status mental, serta mengukur tekanan
darah lansia, 10) Memberikan penyuluhan, 11) Membuat catatan kegiatan
posyandu, 12) Kunjungan rumah kepada ibu-ibu yang tidak hadir di posyandu,
13) Evaluasi bulanan dan perencanaan kegiatan posyandu (Depkes RI, 2003).
2.3 Teori Tentang Penggunaan Pelayanan Kesehatan
Menurut Levey dan Loombo yang dijabarkan oleh Azrul Azwar (1996),
menyatakan

bahwa

pelayanan

kesehatan

adalah

setiap

upaya


yang

diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan
ataupun masyarakat. Dengan kata lain pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan
siapa saja baik bersama ataupun sendiri yang memiliki satu tujuan yaitu
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat luas, keluarga, atau perorangan baik

Universitas Sumatera Utara

16

dari segi pencegahan terjadinya kesakitan atau penyakit, pelayanan kesehatan juga
bisa dilakukan dari segi pengobatan dari sakit dan pemulihan dari kesakitan.
Menurut penelitian Azwar (1996) dalam mencapai kesejahteraan dan
pemeliharaan penyembuhan penyakit sangat diperlukan pelayanan kesehatan yang
bermutu dimana tanpa adanya pelayanan kesehatan yang bermutu dan menyeluruh
di wilayah Indonesia ini tidak akan tercapai derajat kesehatan yang optimal. Dapat
diartikan bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu sangat diperlukan Indonesia

untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik dan kesejahteraan
masyarakat luas, karena pelayanan kesehatan yang baik sangat membantu proses
penyembuhan penyakit.
Penggunaan pelayanan kesehatan tidak perlu diukur hanya dalam
hubungannya dengan individu tetapi dapat diukur berdasarkan unit keluarga.
(Sarwono, 1992).
2.4 Posyandu Lansia
2.4.1 Pengertian Posyandu Lansia
Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan
kesehatan dan keluarga berencana. Posyandu adalah pusat pelayanan keluarga
berencana dan kesehatan yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh
masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam rangka
pencapaian NKKBS (Effendy, 1998).
Menurut Pedoman Pelaksanaan Posyandu Lanjut Usia, Komisi Nasional
Lanjut Usia (2010) disebutkan bahwa Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Lanjut
Usia adalah suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, yang proses
pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama lembaga

Universitas Sumatera Utara

17

swadaya masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta,
organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan kesehatan pada
upaya promotif dan preventif. Disamping pelayanan kesehatan, di Posyandu lanjut
usia juga dapat diberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, ketrampilan,
olahraga dan seni budaya serta pelayanan lain yang dibutuhkan para lanjut usia
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup melalui peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan mereka. Selain itu mereka dapat beraktifitas dan mengembangkan
potensi diri.
Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan bersumberdaya
masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan
bersama masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitik beratkan
pelayanan pada upaya promotif dan preventif. Pemberdayaan masyarakat dalam
menumbuh kembangkan posyandu lansia merupakan upaya fasilitas agar
masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan
upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi,
kondisi kebutuhan setempat (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2007).
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia
lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh
masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan (Dinkes,
2006).
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembentukan posyandu
lansia, misalnya mengembangkan kelompok-kelompok yang telah ada seperti
kelompok arisan lansia, kelompok pengajian, kelompok jemaat gereja, kelompok
senam lansia dan lain-lain (Depkes RI, 2004).

Universitas Sumatera Utara

18

2.4.2 Tujuan Posyandu Lansia
Tujuan pembentukan posyandu lansia menurut Depkes (2006) antara lain :
1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.
2. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan
swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi
antara masyarakat usia lanjut.
Membudayakan hidup sehat, mawas diri, menyediakan layanan kesehatan
yang mudah dijangkau dan murah dilaksanakan (Maryam , 2010).
2.4.3 Sasaran Pembinaan Posyandu Lansia
Sasaran pembinaan posyandu pada lansia dibagi menjadi 2 sasaran yaitu :
1.

Sasaran langsung
Lansia pada sasaran langsung ini terbagi beberapa kelompok lansia yaitu

pra-lansia (usia 45-59 tahun), lansia (usia 60-69), lansia risiko tinggi ( usia >70
tahun) atau lansia berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
2.

Sasaran tidak langsung
Dan sasarana tidak langsung pada pembinaan posyandu pada kelompok

lansia adalah keluarga di mana lansia berada, masyarakat di lingkungan lansia
berada, organisasi sosial yang bergerak di dalam pembinaan kesehatan lansia,
petugas kesehatan yang melayani kesehatan, masyarakat luas (Depkes RI, 2005).
2.4.4 Struktur Organisasi Posyandu Lansia
Struktur organisasi di setiap posyandu lansia sepenuhnya ditentukan oleh
posyandu lansia itu sendiri, sesuai dengan aspirasi yang berkembang di posyandu

Universitas Sumatera Utara

19

lansia (Depkes RI, 2005). Dalam struktur organisasi posyandu lansia akan
ditetapkan Ketua, Sekretaris, Bendahara, beberapa seksi dan kader.
2.4.5 Kader Posyandu Lansia
Kader posyandu dipilih oleh pengurus posyandu lansia dari anggota
masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan
kegiatan posyandu lansia atau bilamana sulit mencari kader dari anggota
posyandu lansia dapat diambil dari anggota masyarakat lainnya yang bersedia
menjadi kader (Depkes RI, 2005).
Persyaratan untuk menjadi kader antara lain :
1. Dipilih dari masyarakat dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi
setempat.
2. Mau dan mampu bekerja secara suka rela.
3. Bisa membaca dan menulis huruf latin.
4. Sabar dan memahami usila (Depkes RI, 2005).
Peran kader lansia antara lain :
1. Melakukan Survey Mawas Diri (SMD) bersama petugas untuk menelaah
pendataan sasaran, pemetaan, mengenal masalah dan potensi.
2. Melaksanakan musyawarah bersama masyarakat untuk membahas hasil
SMD, menyusun rencana kegiatan, pembagian tugas dan jadwal kegiatan.
3. Menggerakkan masyarakat yaitu dengan cara mengajak lansia untuk hadir
dan

berpartisipasi

di

posyandu

lansia,

memberikan

penyebarluasan/penyuluhan informasi kesehatan, menggali dan menggalang
sumber daya termasuk pendanan yang bersumber dari masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

20

4. Melaksanakan kegiatan di posyandu lansia yaitu menyiapkan tempat, alat-alat
dan bahan serta memberikan pelayanan lansia.
5. Melakukan pencatatan (Depkes RI, 2005).
2.4.6 Upaya Kegiatan Posyandu Lansia
Pelaksanaan kegiatan kesehatan usia lanjut secara umum mencakup
kegiatan pelayanan yang berbentuk upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif termasuk rujukannya.
1. Kegiatan Promotif
Meningkatkan semangat hidup bagi lansia agar mereka tetap dihargai dan
tetap berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Upaya
promotif dapat berupa kegiatan penyuluhan.
2. Kegiatan Preventif
Upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit maupun
kompilikasi penyakit yang disebabkan oleh proses penuaan. Upaya preventif
dapat berupa kegiatan Pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur
untuk menemukan secara dini penyakit-penyakit lansia.
3. Kegiatan Kuratif
Upaya yang dilakukan adalah pengobatan dan perawatan bagi usila yang
sakit dan dapat dilakukan melalui fasilitas pelayanan seperti puskesmas
pembantu, puskesmas dan dokter praktek swasta.
4. Kegiatan Rehabilitatif
Upaya mengembalikan fungsi organ yang telah menurun. Upaya ini dapat
berupa memberikan informasi,

pengetahuan dan pelayanan tentang

Universitas Sumatera Utara

21

penggunaan berbagai alat Bantu, mengembalikan kepercayaan pada diri
sendiri dan memperkuat mental penderita.
5. Kegiatan Rujukan
Upaya yang dilakukan untuk mendapatkan pelayanan kuratif dan
rehabilitatif yang memadai dan tepat waktu sesuai kebutuhan. Upaya dapat
dilakukan secara vertikal dari tingkat pelayanan dasar ke tingkat pelayanan
spesialistik di rumah sakit secara horizontal ke sesama tingkat pelayanan
yang mempunyai sarana yang lebih lengkap.
2.4.7 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia
Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu
Lansia seperti pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar
dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun
tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya (Depkes, 2006).
a. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua) menit.
b. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan kemudian dicatat pada grafik Indeks Masa Tubuh (IMT).
c. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
d. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
e. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit
gula (diabetes mellitus).
f. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi
awal adanya penyakit ginjal.

Universitas Sumatera Utara

22

g. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.
h. Penyuluhan Kesehatan (Depkes, 2006).
Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat
seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek
kesehatan dan gizi lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia,
gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran. Untuk kelancaran pelaksanaan
kegiatan di Posyandu Lansia, dibutuhkan, sarana dan prasarana penunjang, yaitu:
tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka), meja dan kursi, alat tulis,
buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa, meteran pengukuran tinggi badan,
stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer, Kartu
Menuju Sehat (KMS) lansia (Depkes, 2006).
2.5 Penyelenggaraan Posyandu Lansia
2.5.1 Waktu Penyelenggaraan
Penyelenggaraan posyandu lansia pada hakikatnya dilaksanakan dalam 1
(satu) bulan kegiatan, baik pada hari buka posyandu maupun di luar hari buka
posyandu sekurang-kurangnya satu hari dalam sebulan. Hari dan waktu yang
dipilih, sesuai dengan hasil kesepakatan. Apabila diperlukan, hari buka posyandu
dapat lebih dari satu kali dalam sebulan (Depkes Provinsi SumateraUtara,2007).
2.5.2 Tempat Penyelenggaraan
Tempat penyelengaran kegiatan posyandu lansia sebaiknya berada pada
lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Tempat penyelengaraan tersebut
dapat di salah satu rumah warga, halaman rumah, balai desa/kelurahan, balai
RW/RT/dusun, salah satu kios di pasar, salah satu ruangan perkantoran atau

Universitas Sumatera Utara

23

tempat khusus yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat yang dapat disebut
dengan nama “Wisma Posyandu” atau sebutan lainnya (Depkes Provinsi Sumatera
Utara,2007).
2.5.3 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Depkes (2006) Posyandu lansia hanya menggunakan sistem pelayanan 3
meja, dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat
badan.
b. Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, Indeks Massa
Tubuh (IMT). Pelayanan kesehatan seerti pengobatan sederhana dan rujukan
kasus juga dilakukan di meja II ini.
c. Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa
dilakukan pelayanan pojok gizi.
2.5.4 Sarana dan Prasarana
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan posyandu lansia, dibutuhkan
sarana dan prasarana penunjang antara lain :
a. Tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka)
b. Meja dan kursi
c. Alat tulis
d. Buku pencatat kegiatan (buku register bantu)
e. Kit lansia, yang berisi : timbangan dewasa, meteran pengukur tinggi badan,
stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer.
f. KMS (kartu menuju sehat) lansia.
g. Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK) lansia (Depkes RI, 2003).

Universitas Sumatera Utara

24

2.6 Lanjut Usia
2.6.1 Pengertian Lanjut Usia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia (Budi Anna Keliat, 1999). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat
(2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Usia lanjut merupakan hal alami yang dapat terjadi pada manusia yang
berumur panjang, usia lanjut bisa juga dikatakan menua ditandai dengan
perubahan-perubahan yang terjadi seperti menjadi pelupa, keriput, gangguan
pendengaran, mulai rabun, dan sebainya.
2.6.2 Klasifikasi Lanjut Usia
Dalam UU No. 13 tahun 1998 dinyatakan bahwa lanjut usia adalah
seseorang yang berusia 60 tahun keatas. Pengelompokan lansia menurut
Departemen Kesehatan meliputi:
a. Kelompok pertengahan umur
Kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).
b. Kelompok usia lanjut dini
Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki
usia lanjut (55-64 tahun).
c. Kelompok usia lanjut
Kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas)
d. Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi

Universitas Sumatera Utara

25

Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang
hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.
Sedangkan menurut WHO lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun.
Menurut Maryam (2008) ada lima klasifikasi pada lansia yaitu :
1.

Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2.

Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3.

Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).

4.

Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).

5.

Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).
Dari klasifikasi-klasifikasi diatas dapat diambil kesimpulan yang sama

yaitu lansia diatas umur 45 tahun sudah dikatakan usia lanjut awal atau
permulaandan sudah dikatakan lansia dari umur 60 tahun keatas.

Universitas Sumatera Utara

26

2.6.3 Karakteristik Lanjut Usia
Menurut Budi Anna Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang
Kesehatan).
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
2.6.4 Tipe Lanjut Usia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000).
Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.

Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

2.

Tipe mandiri
Lansia yang bertipe mandiri biasanya mengganti kegiatan yang hilang
dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan.

Universitas Sumatera Utara

27

3.

Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak
menuntut.

4.

Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.

5.

Tipe bingung
Lansia dengan tipe ini biasanya suka kaget, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen

(kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi, serta tipe putus asa (Maryam, 2008).
2.6.5 Permasalahan Umum Lanjut Usia
a.

Mudah jatuh. Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau
saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Faktor instrinsik yang menyebabkan
mudah jatuh antara lain gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan
sisitem anggota gerak, gangguan sistem saraf pusat, gangguan penglihatan
dan pendengaran, gangguan psikologis, vertigo dan penyakit-penyakit
sistemik. Sedangkan faktor ekstrinsik penyebab jatuh antara lain cahaya
ruangan yang kurang terang, lantai licin, tersandung benda-benda, alas kaki
kurang pas, tali sepatu, kursi roda dan turun tangga.

Universitas Sumatera Utara

28

b.

Kekacauan mental akut. Kekacauan mental pada lansia dapat disebabkan
oleh keracunan, penyakit infeksi dengan demam tinggi, alkohol, penyakit
metabolisme, dehidrasi, gangguan fungsi otak, dan gangguan fungsi hati.

c.

Mudah lelah, disebabkan oleh faktor psikologis berupa perasaan bosan,
keletihan, dan depresi. Faktor organik yang menyebabkan kelelahan antara
lain anemia, kekurangan vitamin, osteomalasia, kelainan metabolisme,
gangguan pencernaan dan kardiovaskuler.

d.

Nyeri dada, dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner, aneurisme
aorta, radang selaput jantung dan gangguan pada sistem pernafasan.

e.

Sesak nafas, terutama saat melakukan aktifitas/kerja fisik, dapat disebabkan
oleh kelemahan jantung, gangguan sistem saluran nafas, berat badan
berlebihan dan anemia.

f.

Palpitasi/jantung berdebar-debar, dapat disebabkan oleh gangguan irama
jantung, keadaan umum badan yang lemah karena penyakit kronis, dan
faktor psikologis.

g.

Pembengkakan kaki bagian bawah, dapat disebabkan oleh kaki yang lama
digantung, gagal jantung, bendungan vena, kekurangan vitamin B1,
penyakit hati dan ginjal.

h.

Nyeri pinggang atau punggung, dapat disebabkan oleh gangguan snedi atau
susunan sendi pada tulang belakang, gangguan pankreas, kelainan ginjal,
gangguan pada rahim, kelenjar prostat dan otot-otot badan.

i.

Gangguan penglihatan dan pendengaran, dapat disebabkan oleh presbiop,
kelainan lensa mata, glukoma, dan peradangan saraf mata. Gangguan

Universitas Sumatera Utara

29

pendengaran dapat disebabkan oleh kelainan degeneratif, misalnya
otosklerosis.
j.

Sulit tidur, dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik seperti lingkungan yang
kurang tenang, dan faktor intrinsik seperti gatal-gatal, nyeri, depresi,
kecemasan dan iritabilitas.

k.

Sukar menahan buang air besar, dapat terjadi karena penggunaan obatobatan pencahar, keadaan diare, kelainan usus besar dan saluran pencernaan.

l.

Eneuresis, sukar menahan buang air kecil atau sering ngompol dapat
disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, radang kandung kemih, kelainan
kontrol pada kandung kemih, kelainan persyarafan kandung kemih serta
akibta faktor psikologis.

m. Berat badan menurun, dapat disebabkan oleh nafsu makan menurun,
penyakit kronis, gangguan saluran cerna, dan faktor-faktor sosioekonomis
(Nugroho, 2000).
2.7 Landasan Teori
2.7.1 Teori Lawrence Green
Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan
adanya

dua

determinan

masalah

kesehatan

tersebut,

yakni

behavioral

factors(faktor perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor non-perilaku
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku,
konsep umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan
beberapa penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Green

Universitas Sumatera Utara

30

(1980). Ia menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu
faktor prediposisi, faktor pendorong dan faktor penguat.
Faktor predisposisi ( predisposing factors ). Faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dsb.
Faktor pemungkin ( enabling factors ). Faktor-faktor yang memungkinkan
atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku
kesehatan, misalnya : Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, dsb.
Faktor penguat ( reinforcing factors ). Faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang tahu dan
mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor yang
termasuk faktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi,
dan tokoh masyarakat (Maulana, 2009).

Universitas Sumatera Utara

31

Faktor Predisposisi :







Karakteristik
Pengetahuan
Sikap
Kepercayaan
Nilai-nilai
Norma

Faktor Pemungkin :





Sarana dan prasarana
Sumber-sumber khusus
yang mendukung dan
keterjangkauan sumber
Fasilitas

Perilaku

Faktor Penguat :




Sikap dan perilaku petugas
Kelompok referensi
Tokoh masyarakat

Sumber : Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003)
Gambar 2.1 Lawrence Green

Universitas Sumatera Utara

32

2.8

Kerangka Konsep
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian maka kerangka konsepsional

dapat digambarkan sebagai berikut :
Faktor Predisposisi :
 Umur
 Pendidikan
 Pengetahuan
 Sikap

Tindakan kader dalam
Faktor Pendukung (Enabling) :
 Akses ke tempat posyandu
lansia

kegiatan posyandu
lansia

Faktor Pendorong
(Reinforcing) :
 Peran Kepala Desa

Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Untuk mengetahui perilaku kader posyandu lansia tentang kegiatan
posyandu lansia, maka kerangka konsep yang digunakan adalah menurut teori
Lawrence Green (1980), akan dilihat bagaimana pengaruh faktor predisposisi,
faktor pendukung dan faktor pendorong terhadap tindakan kader dalam kegiatan
posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Prapat Janji Kecamatan Buntu Pane.

Universitas Sumatera Utara