Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi-Fraksi Daun Beluntas (Pluchea indica (L.) Less.) Terhadap Bakteri Escherichia colidan Bacillus subtilis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian Tumbuhan
2.1.1. Klasifikasi tumbuhan
Menurut Pujowati (2006) klasifikasi dari tumbuhan beluntas sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Bangsa
: Compositales
Suku
: Compositae
Marga
: Pluchea
Spesies
: Pluchea indica (L.) Less
2.1.2. Morfologi tumbuhan
Beluntas adalah tumbuhan perdu kecil, tumbuh tegak, tinggi mencapai 0,52 meter dan kadang-kadang lebih. Percabangannya banyak, berusuk halus,
berambut lembut, daun bertangkai pendek dan letak berseling, helaian daun bulat
telur sungsang, ujung bulat melancip, tepi bergerigi, berkelenjar, panjang 2,5-9
cm, lebar 1-1,5 cm, warnanya hijau terang, dan bila diremas baunya harum.
Bunganya majemuk, keluar dari ketiak daun dan ujung tangkai, cabang-cabang
perbungaannya banyak, bunga bentuk bogol bergagang atau duduk serta berwarna
putih kekuningan sampai ungu. Beluntas memiliki buah seperti bentuk gasing,
kecil, keras, cokelat, sudut-sudut putih. Bijinya kecil dan berwarna coklat
keputihan (Dalimartha, 1999).
4
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Habitat dan daerah tumbuhan
Pluchea indica (L.) Less pada umumnya di Indonesia dikenal dengan
nama beluntas, khususnya bagi masyarakat Sumatra, Jawa dan Madura. Sulawesi
disebut lamutasa dan di Timor disebut lenabou. Dalam pengobatan Cina dikenal
dengan luan yi dan di Eropa dikenal dengan marsh heabane (Hariana, 2005).
Beluntas umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras atau
berbatu atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tumbuhan ini memerlukan cukup
cahaya matahari atau sedikit naungan, banyak ditemukan pada daerah pantai dekat
laut, terdapat sampai 1000 m di atas permukaan laut (Ardiansyah, 2005).
2.1.4. Kandungan kimia beluntas
Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoida, tanin, minyak atsiri,
asam chlorogenik, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Akarnya
mengandung flavonoida dan tanin (Dalimartha, 1999).
2.1.5. Manfaat tumbuhan
Tumbuhan Beluntas dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan dan
bau mulut, kurang nafsu makan, gangguan pencernaan pada anak, TBC kelenjar
(skrofuloderma ), nyeri pada rematik, nyeri tulang, sakit pinggang, demam, dating
haid tidak teratur dan keputihan (Dalimartha, 1999).
2.2. Kandungan Senyawa Kimia
2.2.1. Alkaloid
Alkaloida merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloida
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas
fisiologi yang menonjol, sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang
pengobatan (Harborne, 1987).
5
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Flavonoida
Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida.
Flavonoid berupa senyawa fenol dan telah diketahui memiliki respon terhadap
mikroba (Robinson, 1995). Aktivitasnya dikarenakan kemampuannya membentuk
kompleks dengan protein seluler dan dinding sel bakteri (Cowan, 1999).
2.2.3. Tanin
Tanin pada tanaman merupakan senyawa fenolik yang larut dalam air yang
memiliki berat molekul antara 300-3000 dan menghasilkan reaksi warna biru
dengan besi (III) klorida. Tanin berasal dari bahasa Prancis ‘tanin’ yang
merupakan fenol alami (Khanbabaea, 2001). Secara kimia tanin tumbuhan terbagi
dua, yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisis (Robison,
1995).
Tanin memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein, memiliki
aktivitas sebagai antioksidan, antitumor (Robinson, 1995). Sifat antibakteri tanin
berhubungan dengan kemampuannya membentuk komplek dengan protein bakteri
(Cowan, 1999).
2.2.4. Glikosida
Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai
menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida mudah
terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan
panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).
Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan
menjadi:
a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
O.Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.
6
Universitas Sumatera Utara
b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.
c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
S. Contoh: sinigrin(C10H16NS2K) yang termasuk ke dalam glikosida
glukosinolat dari tumbuhan Brassicaceae.
d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui
jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.
2.2.5. Saponin
Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan
senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi
terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya
yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah
senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam
air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah
merah. Saponin sangat beracun dalam larutan yang sangat encer, untuk ikan dan
tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai
racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai
antimikroba (Robinson, 1995).
2.2.6. Steroid/triterpenoid
Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidropenantren (Harbone, 1987). Triterpenoid adalah senyawa
yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis
masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang
7
Universitas Sumatera Utara
dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne,
1987). Steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3
sehingga steroid sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). Gambar struktur
dasar dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3Struktur dasarsteroid(Robinson, 1995)
2.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan
atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa
metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu:
1.
Cara dingin
a.
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kalipengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi
kinetik
berarti
dilakukan
pengadukan
yang
kontinu
(terus
menerus).Remaserasi berarti dilakukan penyarian berulang dan seterusnya.
b.
Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang
selalubarusampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
8
Universitas Sumatera Utara
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan.
2.
Cara panas
a.
Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
b.
Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40–50oC.
c.
Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan
pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
d.
Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96–98oC)
selama waktu tertentu (15–20 menit).
e.
Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
2.4. Fraksinasi (Ekstaksi Cair-Cair)
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan dibuat
bersentuhan (biasanya dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut
9
Universitas Sumatera Utara
organik), yang tidak tercampurkan. Pada proses ini terjadi pemisahan satu atau
lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Basset, 1994).
Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah,
yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah
selama beberapa menit (Basset, 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi
dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara
kovalen dengan substituent yang bersifat nonpolar atau agak polar. Senyawasenyawa yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan
tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).
Pelarut yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang mempunyai
kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga memudahkan
penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai
kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel
(Rohman, 2007).
2.5. Bakteri
2.5.1. Uraian umum
Bakteri merupakan sekelompok mikroba atau mikroorganisme yang bersel
satu, berkembangbiak dengan membelah diri, karena bentuknya sangat kecil
sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Nama bakteri
berasal
dari
kata
“bakterion”
yang
berarti
tongkat
atau
batang
(Dwidjoseputro,1987). Bakteri pada umumnya terdiri dari tiga bentuk dasar, yaitu:
bentuk bulat (kokus), batang (basilus) dan spiral (Fardiaz, 1992; Pratiwi, 2008).
Berdasarkan reaksi bakteri terhadap pewarnaan Gram, maka bakteri dapat
dibedakan menjadi dua bagian:
10
Universitas Sumatera Utara
a.
Bakteri Gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna utama
(kristal violet)sehingga tampak berwarna ungu tua.
b.
Bakteri Gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna utama (Kristal
violet) ketika dicuci denngan alkohol dan menyerap zat warna kedua sewaktu
pemberian safranin tampak berwarna merah (Suryanto, 2006).
2.5.2. Bakteri Escherichia coli
Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif, aerob atau anaerob
fakulatif, berbentuk batang, tidak bergerak. Escherichia coli biasanya terdapat
dalam saluran cerna sebagai flora normal (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri ini
tumbuh baik pada suhu 37oC, membentuk koloni yang bundar, halus dan tepi rata.
Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada di luar usus atau di lokasi lain
dalam jumlah yang banyak (Jawetz, et al., 2001). Sistematika bakteri Escherichia
coli (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut:
Divisi
: Schizophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacterales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
2.5.3. Bakteri Bacillus subtilis
Bakteri Bacillus subtilisadalah bakteri batang berspora (endospora) yang
bersifat positif Gram dan bersifat aerob. Bacillus subtilisdapat menyebabkan
meningitis, endokarditis, infeksi mata dan lain-lainnya (FKUI., 1993).Berikut
adalah klasifikasi Bacillus subtilis (Madigan, 2005):
11
Universitas Sumatera Utara
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus subtilis
2.6. Fase Pertumbuhan Mikroorganisme
Fase pertumbuhan menurut (Pratiwi, 2008) terbagi menjadi empat macam,
yaitu:
a.
Fase lag (fase adaptasi)
Merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru
dan bakteri belum mengadakan pembiakan. Ciri fase lag adalah tidak adanya
peningkatan jumlah sel tetapi peningkatan ukuran sel.
b.
Fase log
Merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada
kecepatan maksimum tergantung sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru
terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.
c.
Fase stasioner (konstan)
Merupakan fase pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi
keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati.
d.
Fase kematian
Merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat, penyebabnya
adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.
12
Universitas Sumatera Utara
2.7. Faktor Pertumbuhan Mikroorganisme
Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dapat dibedakan menjadi
faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH dan tekanan
osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace elementdan faktor-faktor
pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang ada dalam media pertumbuhan
(Pratiwi, 2008).
2.8. Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan
pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Antimikroba meliputi golongan
antibakteri, antimikotik dan antiviral (Ganiswara, 1995). Senyawa antibakteri
dapat bekerja secara bakteriostatik dan bakterisidal (Pelezar, 1988). Obat yang
digunakan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi pada manusia harus
memiliki sifat toksisitas yang selektif yaitu toksis terhadap bakteri tetapi relatif
tidak toksis terhadap hospes (Ganiswara, 1995). Target kerja antibakteri
(antibiotik) berdasarkan spectrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat
dibedakan menjadi berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik
berspektrum luas (broad spectrum). Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu
menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat
atau membunuh bakteri Gram negatif saja atau Gram positif saja. Sedangkan
antibiotik Gram berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri dari
golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).
Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu
antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding sel, perusakan
membranplasma, penghambatansintesis protein, penghambatan sintesis asam
nukleat, dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008).
13
Universitas Sumatera Utara
a.
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang
menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya
penisiln.
b.
Antibiotik yang merusak membran plasma
Antibiotik yang bersifat merusak membrane plasma umum terdapat pada
antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas
membrane plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B yang melekat pada
fosfolipid membran.
c.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Aminoglikosida merupakan kelompok antibiotik yang gula aminonya
tergabung dalam ikatan glikosida. Antibiotic ini memiliki spektrum luas dan
bersifat bakterisidal dengan mekanisme penghambatan pada sintesis protein.
d.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap
transkripsi dan replikasi mikroorganisme. Yang termasuk antibiotik penghambat
sintesis asam nukleat ini adalah antibiotic golongan kuinolon dan rifampisin.
e.
Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial
Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan
adanya kompetitor berupa antimetobolit, yaitu substansi yang secara kompetitif
menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip
dengan substrat normal bagi enzim metabolism. Contohnya adalah antimetabolit
sulfanilamid dan Para Amino Benzoic Acid(PABA).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba
atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)
14
Universitas Sumatera Utara
dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat
meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya
ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, 1995). Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi
oleh
suatu
bahan
antimikroba,
seperti
mampu
mematikan
mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia
dan hewan, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan
warna, berkemapuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah
didapat (Pelezar, 1988).
2.9. Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba
Pengujian aktivitas bahan antimiroba secara in vitro dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pembagian metode difusi
dan dilusi, yaitu (Pratiwi, 2008):
1.
Metode difusi
a.
Metode disc diffusion (tes Kirbydan Bauer)
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.
b.
E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestinasi MIC (minimuminhibitory
concentration) atau KHM, yaitu konsentrasi minimal satu agen antimkroba untuk
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan
strip plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami
mikroorganime.
15
Universitas Sumatera Utara
c.
Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang telah diletakkan
pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 jenis) lalu
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.
d.
Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dibuat sumur pada media
agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi
agen antimikroba yang akan diuji.
2.
Metode dilusi
Metode dilusi dibagi menjadi dua, yaitu dilusi padat (solid dilution) dan
dilusi cair (broth dilution).
a.
Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)
Metode ini untuk mengukur MIC atau KHM dan MBC atau KBM. Cara
yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada
medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.
b.
Metode dilusi padat/solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid).
2.10. Sterilisasi
Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti proses penghilangan semua jenis
organisme hidup yang terdapat pada atau di dalam suatu benda. Metode sterilisasi
dibagi dua, yaitu: sterilisasi fisik (menggunakan panas), baik panas basah atau
panas kering dan sterilisasi kimia (menggunakan gas atau radiasi) (Pratiwi, 2008).
16
Universitas Sumatera Utara
a.
Sterilisasi panas basah
Strerilisasi panas basah dapat dilakukan pada suhu air mendidh 100oC
selama 10 menit yang efektif untuk sel-sel vegetatif, namun tidak efektif untuk
endospora bakteri. Sterilisasi panas basah menggunakan temperature di atas
100oC dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Proses sterilisasi
dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran
sel mikroorganisme (Pratiwi, 2008), dengan suhu 121oC ( dengan tekanan 15 psi)
selama 15-20 menit (Irianto, 2006).
b.
Sterilisasi panas kering
Metode sterilisasi ini tidak memerlukan air sehingga tidak ada uap air yang
membasahi alat atau bahan yang disterilkan (Pratiwi, 2008). Ada dua metode
sterilisasi panas kering yaitu dengan insenerasi, yaitu pembakaran menggunakan
api dari bunsen dengan temperatur sekitar 350oC dan dengan udara panas oven
dengan temperatur sekitar 160-170oC selama 1-2 jam (Pratiwi, 2008).
17
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian Tumbuhan
2.1.1. Klasifikasi tumbuhan
Menurut Pujowati (2006) klasifikasi dari tumbuhan beluntas sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledonae
Bangsa
: Compositales
Suku
: Compositae
Marga
: Pluchea
Spesies
: Pluchea indica (L.) Less
2.1.2. Morfologi tumbuhan
Beluntas adalah tumbuhan perdu kecil, tumbuh tegak, tinggi mencapai 0,52 meter dan kadang-kadang lebih. Percabangannya banyak, berusuk halus,
berambut lembut, daun bertangkai pendek dan letak berseling, helaian daun bulat
telur sungsang, ujung bulat melancip, tepi bergerigi, berkelenjar, panjang 2,5-9
cm, lebar 1-1,5 cm, warnanya hijau terang, dan bila diremas baunya harum.
Bunganya majemuk, keluar dari ketiak daun dan ujung tangkai, cabang-cabang
perbungaannya banyak, bunga bentuk bogol bergagang atau duduk serta berwarna
putih kekuningan sampai ungu. Beluntas memiliki buah seperti bentuk gasing,
kecil, keras, cokelat, sudut-sudut putih. Bijinya kecil dan berwarna coklat
keputihan (Dalimartha, 1999).
4
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Habitat dan daerah tumbuhan
Pluchea indica (L.) Less pada umumnya di Indonesia dikenal dengan
nama beluntas, khususnya bagi masyarakat Sumatra, Jawa dan Madura. Sulawesi
disebut lamutasa dan di Timor disebut lenabou. Dalam pengobatan Cina dikenal
dengan luan yi dan di Eropa dikenal dengan marsh heabane (Hariana, 2005).
Beluntas umumnya tumbuh liar di daerah kering pada tanah yang keras atau
berbatu atau ditanam sebagai tanaman pagar. Tumbuhan ini memerlukan cukup
cahaya matahari atau sedikit naungan, banyak ditemukan pada daerah pantai dekat
laut, terdapat sampai 1000 m di atas permukaan laut (Ardiansyah, 2005).
2.1.4. Kandungan kimia beluntas
Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoida, tanin, minyak atsiri,
asam chlorogenik, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor. Akarnya
mengandung flavonoida dan tanin (Dalimartha, 1999).
2.1.5. Manfaat tumbuhan
Tumbuhan Beluntas dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan dan
bau mulut, kurang nafsu makan, gangguan pencernaan pada anak, TBC kelenjar
(skrofuloderma ), nyeri pada rematik, nyeri tulang, sakit pinggang, demam, dating
haid tidak teratur dan keputihan (Dalimartha, 1999).
2.2. Kandungan Senyawa Kimia
2.2.1. Alkaloid
Alkaloida merupakan golongan zat sekunder yang terbesar. Alkaloida
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida mempunyai aktivitas
fisiologi yang menonjol, sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang
pengobatan (Harborne, 1987).
5
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Flavonoida
Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida.
Flavonoid berupa senyawa fenol dan telah diketahui memiliki respon terhadap
mikroba (Robinson, 1995). Aktivitasnya dikarenakan kemampuannya membentuk
kompleks dengan protein seluler dan dinding sel bakteri (Cowan, 1999).
2.2.3. Tanin
Tanin pada tanaman merupakan senyawa fenolik yang larut dalam air yang
memiliki berat molekul antara 300-3000 dan menghasilkan reaksi warna biru
dengan besi (III) klorida. Tanin berasal dari bahasa Prancis ‘tanin’ yang
merupakan fenol alami (Khanbabaea, 2001). Secara kimia tanin tumbuhan terbagi
dua, yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisis (Robison,
1995).
Tanin memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein, memiliki
aktivitas sebagai antioksidan, antitumor (Robinson, 1995). Sifat antibakteri tanin
berhubungan dengan kemampuannya membentuk komplek dengan protein bakteri
(Cowan, 1999).
2.2.4. Glikosida
Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai
menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida mudah
terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan
panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).
Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan
menjadi:
a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
O.Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.
6
Universitas Sumatera Utara
b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.
c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
S. Contoh: sinigrin(C10H16NS2K) yang termasuk ke dalam glikosida
glukosinolat dari tumbuhan Brassicaceae.
d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui
jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.
2.2.5. Saponin
Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan
senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi
terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya
yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah
senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam
air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah
merah. Saponin sangat beracun dalam larutan yang sangat encer, untuk ikan dan
tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai
racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai
antimikroba (Robinson, 1995).
2.2.6. Steroid/triterpenoid
Steroid adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidropenantren (Harbone, 1987). Triterpenoid adalah senyawa
yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis
masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang
7
Universitas Sumatera Utara
dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne,
1987). Steroid pada umumnya berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3
sehingga steroid sering juga disebut sterol (Robinson, 1995). Gambar struktur
dasar dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3Struktur dasarsteroid(Robinson, 1995)
2.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan
atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa
metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu:
1.
Cara dingin
a.
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kalipengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi
kinetik
berarti
dilakukan
pengadukan
yang
kontinu
(terus
menerus).Remaserasi berarti dilakukan penyarian berulang dan seterusnya.
b.
Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang
selalubarusampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
8
Universitas Sumatera Utara
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1–5 kali bahan.
2.
Cara panas
a.
Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
b.
Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40–50oC.
c.
Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan
pelarut yang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
d.
Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96–98oC)
selama waktu tertentu (15–20 menit).
e.
Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
2.4. Fraksinasi (Ekstaksi Cair-Cair)
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan dibuat
bersentuhan (biasanya dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut
9
Universitas Sumatera Utara
organik), yang tidak tercampurkan. Pada proses ini terjadi pemisahan satu atau
lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Basset, 1994).
Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah,
yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah
selama beberapa menit (Basset, 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi
dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara
kovalen dengan substituent yang bersifat nonpolar atau agak polar. Senyawasenyawa yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan
tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).
Pelarut yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang mempunyai
kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga memudahkan
penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai
kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel
(Rohman, 2007).
2.5. Bakteri
2.5.1. Uraian umum
Bakteri merupakan sekelompok mikroba atau mikroorganisme yang bersel
satu, berkembangbiak dengan membelah diri, karena bentuknya sangat kecil
sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Nama bakteri
berasal
dari
kata
“bakterion”
yang
berarti
tongkat
atau
batang
(Dwidjoseputro,1987). Bakteri pada umumnya terdiri dari tiga bentuk dasar, yaitu:
bentuk bulat (kokus), batang (basilus) dan spiral (Fardiaz, 1992; Pratiwi, 2008).
Berdasarkan reaksi bakteri terhadap pewarnaan Gram, maka bakteri dapat
dibedakan menjadi dua bagian:
10
Universitas Sumatera Utara
a.
Bakteri Gram positif, yaitu bakteri yang dapat mengikat zat warna utama
(kristal violet)sehingga tampak berwarna ungu tua.
b.
Bakteri Gram negatif, yaitu bakteri yang kehilangan warna utama (Kristal
violet) ketika dicuci denngan alkohol dan menyerap zat warna kedua sewaktu
pemberian safranin tampak berwarna merah (Suryanto, 2006).
2.5.2. Bakteri Escherichia coli
Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif, aerob atau anaerob
fakulatif, berbentuk batang, tidak bergerak. Escherichia coli biasanya terdapat
dalam saluran cerna sebagai flora normal (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri ini
tumbuh baik pada suhu 37oC, membentuk koloni yang bundar, halus dan tepi rata.
Bakteri ini dapat menjadi patogen bila berada di luar usus atau di lokasi lain
dalam jumlah yang banyak (Jawetz, et al., 2001). Sistematika bakteri Escherichia
coli (Dwidjoseputro, 1987) adalah sebagai berikut:
Divisi
: Schizophyta
Kelas
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacterales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
2.5.3. Bakteri Bacillus subtilis
Bakteri Bacillus subtilisadalah bakteri batang berspora (endospora) yang
bersifat positif Gram dan bersifat aerob. Bacillus subtilisdapat menyebabkan
meningitis, endokarditis, infeksi mata dan lain-lainnya (FKUI., 1993).Berikut
adalah klasifikasi Bacillus subtilis (Madigan, 2005):
11
Universitas Sumatera Utara
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus subtilis
2.6. Fase Pertumbuhan Mikroorganisme
Fase pertumbuhan menurut (Pratiwi, 2008) terbagi menjadi empat macam,
yaitu:
a.
Fase lag (fase adaptasi)
Merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru
dan bakteri belum mengadakan pembiakan. Ciri fase lag adalah tidak adanya
peningkatan jumlah sel tetapi peningkatan ukuran sel.
b.
Fase log
Merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada
kecepatan maksimum tergantung sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru
terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.
c.
Fase stasioner (konstan)
Merupakan fase pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan terjadi
keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati.
d.
Fase kematian
Merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat, penyebabnya
adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.
12
Universitas Sumatera Utara
2.7. Faktor Pertumbuhan Mikroorganisme
Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dapat dibedakan menjadi
faktor fisik dan faktor kimia. Faktor fisik meliputi temperatur, pH dan tekanan
osmosis. Faktor kimia meliputi karbon, oksigen, trace elementdan faktor-faktor
pertumbuhan organik termasuk nutrisi yang ada dalam media pertumbuhan
(Pratiwi, 2008).
2.8. Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan
pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Antimikroba meliputi golongan
antibakteri, antimikotik dan antiviral (Ganiswara, 1995). Senyawa antibakteri
dapat bekerja secara bakteriostatik dan bakterisidal (Pelezar, 1988). Obat yang
digunakan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi pada manusia harus
memiliki sifat toksisitas yang selektif yaitu toksis terhadap bakteri tetapi relatif
tidak toksis terhadap hospes (Ganiswara, 1995). Target kerja antibakteri
(antibiotik) berdasarkan spectrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat
dibedakan menjadi berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik
berspektrum luas (broad spectrum). Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu
menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat
atau membunuh bakteri Gram negatif saja atau Gram positif saja. Sedangkan
antibiotik Gram berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri dari
golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).
Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu
antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding sel, perusakan
membranplasma, penghambatansintesis protein, penghambatan sintesis asam
nukleat, dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008).
13
Universitas Sumatera Utara
a.
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang
menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya
penisiln.
b.
Antibiotik yang merusak membran plasma
Antibiotik yang bersifat merusak membrane plasma umum terdapat pada
antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas
membrane plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B yang melekat pada
fosfolipid membran.
c.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Aminoglikosida merupakan kelompok antibiotik yang gula aminonya
tergabung dalam ikatan glikosida. Antibiotic ini memiliki spektrum luas dan
bersifat bakterisidal dengan mekanisme penghambatan pada sintesis protein.
d.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap
transkripsi dan replikasi mikroorganisme. Yang termasuk antibiotik penghambat
sintesis asam nukleat ini adalah antibiotic golongan kuinolon dan rifampisin.
e.
Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial
Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan
adanya kompetitor berupa antimetobolit, yaitu substansi yang secara kompetitif
menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip
dengan substrat normal bagi enzim metabolism. Contohnya adalah antimetabolit
sulfanilamid dan Para Amino Benzoic Acid(PABA).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba
atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM)
14
Universitas Sumatera Utara
dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat
meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya
ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, 1995). Ada beberapa hal yang harus
dipenuhi
oleh
suatu
bahan
antimikroba,
seperti
mampu
mematikan
mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia
dan hewan, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan
warna, berkemapuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah
didapat (Pelezar, 1988).
2.9. Metode Pengujian Aktivitas Antimikroba
Pengujian aktivitas bahan antimiroba secara in vitro dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pembagian metode difusi
dan dilusi, yaitu (Pratiwi, 2008):
1.
Metode difusi
a.
Metode disc diffusion (tes Kirbydan Bauer)
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.
b.
E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestinasi MIC (minimuminhibitory
concentration) atau KHM, yaitu konsentrasi minimal satu agen antimkroba untuk
dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan
strip plastic yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami
mikroorganime.
15
Universitas Sumatera Utara
c.
Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang telah diletakkan
pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada
bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 jenis) lalu
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba.
d.
Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dibuat sumur pada media
agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi
agen antimikroba yang akan diuji.
2.
Metode dilusi
Metode dilusi dibagi menjadi dua, yaitu dilusi padat (solid dilution) dan
dilusi cair (broth dilution).
a.
Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution)
Metode ini untuk mengukur MIC atau KHM dan MBC atau KBM. Cara
yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada
medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.
b.
Metode dilusi padat/solid dilution test
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid).
2.10. Sterilisasi
Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti proses penghilangan semua jenis
organisme hidup yang terdapat pada atau di dalam suatu benda. Metode sterilisasi
dibagi dua, yaitu: sterilisasi fisik (menggunakan panas), baik panas basah atau
panas kering dan sterilisasi kimia (menggunakan gas atau radiasi) (Pratiwi, 2008).
16
Universitas Sumatera Utara
a.
Sterilisasi panas basah
Strerilisasi panas basah dapat dilakukan pada suhu air mendidh 100oC
selama 10 menit yang efektif untuk sel-sel vegetatif, namun tidak efektif untuk
endospora bakteri. Sterilisasi panas basah menggunakan temperature di atas
100oC dilakukan dengan uap yaitu menggunakan autoklaf. Proses sterilisasi
dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran
sel mikroorganisme (Pratiwi, 2008), dengan suhu 121oC ( dengan tekanan 15 psi)
selama 15-20 menit (Irianto, 2006).
b.
Sterilisasi panas kering
Metode sterilisasi ini tidak memerlukan air sehingga tidak ada uap air yang
membasahi alat atau bahan yang disterilkan (Pratiwi, 2008). Ada dua metode
sterilisasi panas kering yaitu dengan insenerasi, yaitu pembakaran menggunakan
api dari bunsen dengan temperatur sekitar 350oC dan dengan udara panas oven
dengan temperatur sekitar 160-170oC selama 1-2 jam (Pratiwi, 2008).
17
Universitas Sumatera Utara