Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan (Physalis minima L.) Terhadap Bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia coli Dan Salmonella typhimurium
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Gambar Tanaman Ceplukan, Daun dan
Serbuk Simplisia ... 42
2. Hasil Identifikasi/Determinasi Tanaman Ceplukan ... 44
3. Bagan Karakteristik Daun dan Simplisia ... 45
4. Hasil Pemeriksaan Makroskopik... 46
5. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik ... 47
6. Perhitungan dan Hasil Karakteristik Simplisia ... 48
7. Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk Simplisia ... 54
8. Bagan Pembuatan Ekstrak Daun Ceplukan ... 55
9. Bagan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan ... 56
10. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan ... 57
11. Gambar Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan ... 58
(2)
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Ceplukan
(Physalis minima L.) Terhadap Bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia coli
Dan Salmonella typhimurium
Abstrak
Program anjuran pembuatan TOGA (Tanaman Obat Keluarga) dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan tanaman obat. Jenis tanaman yang dianjurkan salah satunya adalah ceplukan. Peneliti memperoleh informasi di kelurahan Batang beruh kecamatan Sidikalang kabupaten Dairi provinsi Sumatera utara bahwa masyarakat setempat mempergunakan daun ceplukan untuk mengobati masalah pencernaan terutama untuk penyakit disentri dengan meminum air rebusan daun ceplukan 2-3 kali sehari.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan (Physalis minima L.). Tahapan kerja meliputi pengumpulan sampel, karakteristik simplisia, penapisan fitokimia, pembuatan ekstrak etanol dan uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia coli dan
Salmonella typhimurium dengan metode difusi menggunakan pencadang logam.
Karakteristik serbuk simplisia daun ceplukan diperoleh kadar air 7,32%, kadar sari yang larut dalam air 8,49%, kadar sari yang larut dalam etanol 11,72%, kadar abu total 8,51% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,93%. Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia daun ceplukan menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.
Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol yang efektif terhadap bakteri
Shigella dysenteriae, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium berturut-turut
adalah konsentrasi 90 mg/ml, 70 mg/ml, dan 90 mg/ml dengan diameter daerah hambat berturut-turut 14,75 mm, 14,6 mm, dan 15,9 mm. Konsentrasi hambat minimum (KHM) terhadap bakteri Shigella dysenteriae, Salmonella typhimurium
dan Escherichia coli berturut-turut adalah 50 mg/ml, 50 mg/ml dan 40 mg/ml.
Kata kunci: Daun ceplukan, Karakteristik, Ekstrak etanol daun ceplukan,
Antibakteri, Shigella dysenteriae, Escherichia coli, Salmonella typhimurium
(3)
Test the Antibacterial Activity of Etanol Extract Leaves Ceplukan (Physalis
minima L.) for Shigella dysenteriae, Escherichia coli and Salmonella typhimurium
Abstract
TOGA (Tanaman Obat Keluarga) Programme’s conducted by the government to increase the utilization of medicinal plants. The various types of plants that recommended is ceplukan. The researchers obtained information the district of Batang beruh Sidikalang, Dairi, North Sumatra province that community use leaves ceplukan to treat digestive problems, especially for dysentery diseases by drinking boiled water ceplukan leaves 2-3 times a day.
This research was conducted to test the antibacterial activity of ethanol extract from ceplukan (Physalis minima L.) leaves. Stage work includes collecting samples, characteristic, phytochemical screening, ethanol extract and test the antibacterial activity for bacteria Shigella dysenteriae, Escherichia coli and Salmonella typhimurium by diffusion method using metal reservoir. Characteristic results of leaves simplex are determination of water content was 7,32%, water soluble extract concentration 8,49%, ethanol soluble extract 11,72%, total ash 8,51%, and acid insoluble ash 0,94%. The result of phytochemical screening of leaves simplicia showed the presence of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, glycosides and steroids/triterpenoids.
Test results antibacterial activity of ethanol extract effective for Shigella
dysenteriae at a concentration 90 mg/ml, Escherichia coli at a concentration 70
mg/ml, and for Salmonella typhimurium at concentration 90 mg/ml with ratation inhibition zone diameters of 14,75 mm; 14,6 mm; and 15,9 mm. Minimum inhibitory concentration (MIC) for Shigella dysenteriae, Salmonella typhimurium
and Escherichia coli ratation was 50 mg/ml, 50 mg/ml and 40 mg/ml.
Key words: Leaves ceplukan, Characteristic, Ethanol extract of leaves ceplukan,
Antibacterial, Shigella dysenteriae, Escherichia coli, Salmonella typhimurium
(4)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar belakang
Sumber daya alam obat tradisional merupakan aset nasional yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Indonesia sebagai suatu negara dengan wilayah yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana potensi sumber daya tumbuhan yang ada merupakan suatu aset berharga dan sebagai modal dasar dalam upaya pemanfaaatan dan pengembangannya untuk menjadi komoditi yang kompetitif (Depkes RI, 2007).
Upaya pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan pemanfaatan tanaman obat dilakukan melalui program anjuran pembuatan TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Dalam usaha pembuatan TOGA dipilih tanaman yang bermanfaat bagi pengobatan, mudah didapat dan digunakan. Tanaman yang dianjurkan salah satunya adalah ceplukan. Ceplukan mudah tumbuh ditanah yang subur, gembur, dan tidak tergenang air (Pitojo, 2002).
Daun dan batang ceplukan mengandung saponin, flavonoid, dan juga polifenol (Depkes RI, 1994). Buah ceplukan berkhasiat sebagai obat gusi berdarah, obat bisul dan obat mulas (Depkes RI, 2000). Daunnya berkhasiat sebagai obat bisul, obat bengkak, dan peluruh air seni (Depkes RI, 1994). Saponin yang terkandung dalam ceplukan memberikan rasa pahit dan berkhasiat sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus besar. Flavonoid dan polifenol berkhasiat sebagai antioksidan (Anonim, 2009).
Penulis memperoleh informasi bahwa pemanfaatan tanaman ceplukan telah digunakan oleh masyarakat di kelurahan Batang Beruh, kecamatan Sidikalang,
(5)
kabupaten Dairi, provinsi Sumatera Utara untuk mengobati masalah pencernaan terutama untuk penyakit disentri dengan meminum air rebusan daun ceplukan 2-3 kali sehari.
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan nyeri pada perut bagian bawah, panas tinggi, menggigil, hilang nafsu makan, malas, sakit kepala, lemah, buang air besar yang encer secara terus menerus (diare), dan tinja bercampur lendir, nanah dan darah.
Bakteri Escherichia coli, Vibrio cholerae, Campylobacter jejuni, Shigella
dysenteriae, Salmonella sp, Bacillus cereus, Clostridium perferingens, Vibrio haemolyticus, Clostridium difficile, Yersinia enterolitica, Klebsiella pneumoniae
merupakan penyebab terjadinya penyakit diare yang juga dapat menyebabkan disentri (Gibson, J.M, 1996).
Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri gram negatif yang
habitat alaminya berada pada sistem usus manusia. Beberapa organisme misalnya
Escherichia coli menjadi patogen ketika mencapai jaringan di tempat yang kurang
umum seperti pada saluran air kemih, kelenjar prostat dan tempat lain. Sedangkan
Salmonella dan Shigella merupakan patogen yang opportunistik dimana infeksi
terjadi ketika daya pertahanan pada inang tidak sempurna khusus pada bayi atau usia tua (Cappuccino, J and Sherman, 1987).
Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella
dysenteriae, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium. Penelitian ini
meliputi karakterisasi simplisia, penapisan fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun ceplukan dan pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan.
(6)
1.2Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu : 1. Apakah karakteristik simplisia daun ceplukan dapat diidentifikasi
2. Apakah kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun ceplukan
3. Apakah ekstrak etanol daun ceplukan mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Escherichia coli, Shigella dysenteriae dan Salmonella
typhimurium
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dibuat hipotesis yaitu:
1. Simplisia daun ceplukan dapat diidentifikasi dan mempunyai karakteristik tertentu.
2. Kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun ceplukan adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid.
3. Ekstrak etanol daun ceplukan mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
Escherichia coli, Shigella dysenteriae dan Salmonella typhimurium.
1.4 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik simplisia daun ceplukan.
2. Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun ceplukan.
(7)
3. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Escherichia coli, Shigella dysenteriae dan Salmonella
typhimurium
1.5Manfaat
Manfaat penelitian yang dilakukan adalah:
1. Hasil karakteristik simplisia daun ceplukan yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan simplisia.
2. Sebagai sumber informasi mengenai kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun ceplukan.
(8)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Tumbuhan ceplukan (Physalis minima L.) diklasifikasikan sebagai berikut (Pitojo, 1969):
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Physalis
Spesies : Physalis minima L.
Sinonim : Halicacabus indicus Rumphius 2.1.2 Habitat ceplukan
Ceplukan cocok tumbuh di tanah yang subur, gembur, dan tidak tergenang air. Kondisi lapisan tanah bagian atas sangat berpengaruh terhadap kesuburan ceplukan. Ceplukan tumbuh ditanah yang kosong, ceplukan yang tumbuh liar biasanya bersama dengan tanaman lain seperti ditempat yang ditanami kacang tanah, kedelai, atau tanaman jagung yang masih muuda. Kadangkala ceplukan ditemukan tumbuh di tepi hutan, tegalan kering, tepi selokan dan beberapa tempat lain. Tumbuhan ceplukan mudah dan banyak ditemukan pada musim hujan. Oleh karena itu tanaman ceplukan cocok dibudidayakan di daerah yang agak basah atau
(9)
lindung. Ceplukan dapat hidup di dataran rendah hingga dataran dengan ketinggian sekitar 1.500 m dari permukaan laut. Jenis Physalis minima lebih menyukai tumbuh didataran tinggi yang sejuk, dengan suhu berkisar 15-300C dengan curah hujan hampir merata dan tanah cukup basah.
2.1.3 Nama daerah
Di Indonesia, ceplukan banyak dikenal dengan berbagai nama Daun boba (Ambon), daun kopo-kopo atau daun loto-loto (Makasar), daun boba atau daun lato-lato (sumatra), leletop (sumatra timur), melayu (ceplukan), cecendet atau cicindet (sunda), keceplokan (kangean), yoryoran (madura), kopok-kopokan atau ciciplukan (bali).
2.1.4 Morfologi Tumbuhan Ceplukan (Physalis minima L.)
Ceplukan merupakan herba yangmemiliki akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji. Akar tunggang dan serabut, berbentuk bulat, dan berwarna putih, percabangannya tumbuh melebar kesamping dan bahkan sebagian mendatar hingga menyentuh tanah, tingginya bisa mencapai 2 m, percabangan terjadi pada daun keenam hingga kesepuluh (Anonim, 2010). Daun berwarna hijau, permukaan berbulu, bentuk meruncing, berurat jelas, tulang daun menyirip, daun bergerigi pada bagian tepinya, ujung daun meruncing, pangkal daun runcing, panjang daun 5-12 cm dan lebar 4-7 cm, daun tipis, cepat layu, berbau langu, dan rasanya sangat pahit. Panjang tangkai daun berkisar 2-3 cm, dan berwarana hijau. Bunga berbentuk tunggal muncul dari ketiak daun yang terdiri dari tangkai bunga, kelopak bunga menyerupai terompet, mahkota bunga berwarna kuning berbentuk lonceng, tangkai sari dan tangkai putik. Setelah terjadi persarian pada bunga, bakal buah tumbuh menjadi buah, kulit buah semula berwarna hijau keputihan
(10)
akan berubah menjadi hijau tua. Biji ceplukan berstruktur keras dengan panjang kurang dari 1 mm, berwarna coklat muda (Pitojo, 2002).
2.1.5 Kandungan Kimia
Daun dan batang ceplukan mengandung saponin, flavonoid, dan juga polifenol (Depkes RI, 1994).
2.1.6 Manfaat Tumbuhan Ceplukan
Buah ceplukan berkhasiat sebagai obat gusi berdarah, obat bisul dan obat mulas (Depkes RI, 2000). Daunnya berkhasiat sebagai obat bisul, obat bengkak, dan peluruh air seni (Depkes RI, 1994). Akar ceplukan dapat digunakan sebagai obat cacing yang berada di rongga perut, seduhan akar ceplukan dapat digunakan sebagai obat sakit demam. Saponin yang terkandung dalam ceplukan memberikan rasa pahit dan berkhasiat sebagai anti tumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker usus besar. Flavonoid dan polifenol berkhasiat sebagai antioksidan (Anonim, 2009).
2.2 Ekstraksi 2.2.1 Pengertian
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung pada simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 1995).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
(11)
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas (Ditjen POM, 1995). Cairan penyari yang digunakan air, etanol dan campuran air etanol (Ditjen POM, 1979).
2.2.2 Metode Ekstraksi
Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi: 1. Cara dingin
i. Maserasi, adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
ii. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
2. Cara panas
i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
(12)
iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk tujuan membunuh atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada suatu objek atau spesimen.
Cara-cara sterilisasi yaitu:
a. Sterilisasi dengan bahan kimia, contoh: senyawa fenol dan turunannya. Desinfektan ini digunakan misalnya untuk membersihkan area tempat bekerja.
b. Sterilisasi kering, digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri, tabung reaksi. Cara ini cocok untuk alat-alat gelas karena tidak ada pengembunan dan tetes air.
c. Sterilisasi basah, biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam autoklaf. Media biakan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara ini. Autoklaf merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi, dengan meningkatnya suhu air maka tekanan udara akan bertambah dalam autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan dengan meningkatnya tekanan di atas
(13)
tekanan udara normal, titik didih air meningkat. Biasanya pemanasan autoklaf berada pada suhu 1210 C selama 15 menit.
d. Filtrasi bakteri, digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai atau tidak tahan panas. Metode ini didasarkan pada proses mekanik yaitu menyaring semua bakteri dari bahan dengan melewatkan larutan tersebut melalui lubang saringan yang sangat kecil.
e. Incenerasi, yaitu sterilisasi dengan pemanasan atau pembakaran pada api langsung. Misalnya untuk sterilisasi jarum ose dan pinset (Beisher, L, 1991).
2.4 Bakteri
2.4.1 Uraian Umum
Bakteri termasuk dalam golongan procaryotes, ukurannya sangat kecil (dalam ukuran mikron) sehingga hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop. Bakteri memiliki inti sel yang terdiri atas DNA dan RNA namun tidak memiliki pembungkus inti. Dinding selnya terdiri atas peptidoglikan, berkembang biak dengan membelah diri (binary fission), dapat dibiakkan pada perbenihan buatan serta dapat dihambat dengan antibiotika. Beberapa bakteri ada yang dapat bergerak aktif karena memiliki flagella (Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya, 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh: 1. Zat makanan (nutrisi)
Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi,
(14)
tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya.
2. Keasaman dan kebasaan (pH)
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5-7,5, namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat alkali.
3. Temperatur
Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 0-30oC, temperatur optimum adalah 10-20oC.
b. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 5-60oC, temperatur optimum adalah 25-40oC.
c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 50-100oC, temperatur optimum adalah 55-65oC.
4. Oksigen
Beberapa spesies bakteri dapat hidup dengan adanya oksigen dan sebaliknya spesies lain akan mati. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, bakteri dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Aerobik yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
(15)
c. Anaerobik fakultatif yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen.
d. Mikroaerofilik yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen.
5. Tekanan osmosa
Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri.
6. Kelembaban
Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembab. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya (Pelczar et al, 1988).
2.4.2 Morfologi bakteri
Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil
Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk menyerupai batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun berbentuk rantai pendek atau panjang. Bentuk basil dapat dibedakan atas:
- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul.
- Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul. - Streptobasil yaitu basil yang bergandengan panjang dengan kedua ujung
tajam.
Contoh: Escherichia coli, Bacillus anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella
(16)
b. Bentuk kokus
Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan. Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas:
- Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.
- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan merupakan suatu untaian.
- Streptokokus yaitu kokus yang bergandeng-gandengan panjang berupa rantai.
- Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.
Contoh: Monococcus gonorhoe, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus lactis,
Staphylococcus aureus, Sarcina luten.
c. Bentuk spiral
Dapat dibedakan atas:
- Spiral yaitu bentuk yang menyerupai spiral atau lilitan. - Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.
- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.
Contoh: Spirillum, Vibrio cholerae, Spirochaeta palida (Volk and Wheeler, 1989).
(17)
2.4.3 Fase Pertumbuhan Bakteri
Bakteri mengalami pertumbuhan melalui beberapa fase, yaitu:
1) Fase lag
Pada saat dipindahkan ke media yang baru, bakteri tidak langsung tumbuh dan membelah, meskipun kondisi media sangat mendukung untuk pertumbuhan. Bakteri biasanya akan mengalami masa penyesuaian untuk menyeimbangkan pertumbuhan.
2) Fase log
Selama fase ini, populasi meningkat dua kali pada interval waktu yang teratur. Jumlah koloni bakteri akan terus bertambah seiring lajunya aktivitas metabolisme sel.
3) Fase tetap
Pada fase ini terjadi kompetisi antara bakteri untuk memperoleh nutrisi dari media untuk tetap hidup. Sebagian bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel bakteri yang hidup menjadi tetap.
4) Fase kematian
Pada fase ini, sel bakteri akan mati lebih cepat daripada terbentuknya sel baru. Laju kematian mengalami percepatan yang eksponensial (Lee, J, 1983).
(18)
2.4.4 Media Pertumbuhan Bakteri
Pembiakan bakteri dalam laboratorium memerlukan media yang berisi zat hara serta lingkungan pertumbuhan yang sesuai bagi bakteri. Zat hara diperlukan untuk pertumbuhan, sintesis sel, keperluan energi dalam metabolisme dan pergerakan. Lazimnya, media biakan mengandung air, sumber energi, zat hara sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen. Dalam bahan dasar media dapat pula ditambahkan faktor pertumbuhan berupa asam amino dan vitamin. Media biakan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:
I. Bedasarkan asalnya, media dibagi atas:
1) Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat.
2) Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui secara terperinci dan menggunakan bahan yang terdapat di alam. Contohnya: ekstrak daging, pepton (Lay, BW, 1994).
II. Berdasarkan kegunaannya, dapat dibedakan menjadi: 1) Media selektif
Media selektif adalah media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembang biakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembang biakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi.
(19)
2) Media diferensial
Media ini digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar.
3) Media diperkaya
Media ini digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit (Irianto, K, 2006).
III. Berdasarkan konsistensinya, dibagi atas (Irianto, K, 2006): 1) Media padat/ solid
2) Media semi solid 3) Media cair
2.4.5 Metode Isolasi Biakan Bakteri a) Cara gores
Ose yang telah steril dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang diencerkan, lalu dibuat serangkaian goresan sejajar yang tidak saling menutupi di atas permukaan agar yang telah padat.
b) Cara sebar
Suspensi mikroorganisme yang telah diencerkan diinokulasikan secara merata dengan menggunakan hockey stick pada permukaan media padat. c) Cara tuang
Pengenceran inokulum yang berturut-turut diletakkan pada cawan petri steril dan dicampurkan dengan medium agar cair, lalu dibiarkan memadat. Koloni yang berkembang akan tertanam di dalam media tersebut (Stanier, RY et al, 1982).
(20)
2.4.6 Pengukuran Aktivitas Antimikroba
Penentuan kepekaan bakteria patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba.
a. Metode Dilusi
Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz et al, 2001).
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al, 2001).
(21)
2.4.7 Bakteri Escherichia coli
Berikut sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1998): Divisi : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang
dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakultatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20-400 C, optimum pada 370C.
Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam
usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare (Anonim, 2009).
(22)
2.4.8 Bakteri Shigella dysenteriae
Berikut sistematika bakteri Shigella dysenteriae (Dwidjoseputro, 1998): Divisi : Bacteriophyta
Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysenteriae
Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik,
berbentuk batang yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar 0,5-0,7 mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C (Anonim, 2010). Bakteri ini dapat menyebabkan disentri basiler. Disentri adalah salah satu dari berbagai gangguan pencernaan yang ditandai dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lendir (Pelczar et al, 1988).
2.4.9 Bakteri Salmonella typhimurium
Berikut sistematika bakteri Salmonella typhimurium (Dwidjoseputro, 1998):
Divisi : Bacteriophyta Kelas : Bacteria Bangsa : Eubacteriales Suku : Bacteriaceae Genus : Salmonella
(23)
Bentuk tubuh dari Salmonella typhimurium adalah batang lurus pendek dengan panjang 1-1,5 mikrometer. Tidak membentuk spora, bersifat gram negatif. Biasanya bergerak motil dengan menggunakan flagella dan kadang menjadi bentuk non-motilnya. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu optimum sekitar 370C. Biasanya memproduksi asam dan gas dari glukosa, maltosa, mannitol dan sorbitol, tetapi tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa. Tidak membentuk indol dan gelatin cair. Salmonella typhimurium dapat menyebabkan penyakit tifus yang ditandai dengan demam, mual, muntah, diare dan hilangnya nafsu makan (Anonim, 2009).
(24)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2010 di Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara Medan.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karakteristik simplisia, penapisan fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun ceplukan dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia coli, dan
Salmonella typhimurium. Penentuan aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun
ceplukan dilakukan dengan metode difusi agar. Prinsip metode ini adalah menggunakan media padat dan pencadang, kemudian hambat pertumbuhan mikroba ditentukan dengan cara mengukur diameter daerah bening disekitar pencadang.
3.3 Alat dan bahan 3.3.1 Alat
Seperangkat alat perkolator, neraca kasar (Ohaus), neraca listrik (Mettler Toledo), rotary evaporator (Haake D), freeze dryer (Modulio), alat destilasi, alat-alat gelas, aluminium foil, pipet serologi, eksikator (Fischer Scientific), krus porselin, mikroskop (Olympus), objek glass, deck glass, oven listrik (Fischer Scientific), penangas air, tanur (Ney M 525 Series II), blender (National), autoklaf
(25)
(Webeco), cawan petri, pencadang logam, inkubator (Fischer Scientific), spatula, lemari pendingin (Toshiba), lemari pengering, lampu spiritus, jarum ose, pinset,
hot plate (Fisons), lampu bunsen, jangka sorong.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah daun ceplukan, bahan-bahan kimia berkualitas pro analisis, kecuali dinyatakan lain: asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, amil alkohol, asam nitrat pekat, etil asetat, eter, timbal (II) asetat, α-naftol, besi (III) klorida, bismuth (III) nitrat, benzen, metanol, isopropanol, iodium, kalium iodida, kloroform, natrium sulfat anhidrat, n-heksan, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, etanol (hasil destilasi), air suling, larutan fisiologis NaCl 0,9% steril, Nutrient Agar (NA), Mueller Hinton Agar (MHA), bakteri Shigella dysenteriae (ATCC No.25931) , Escherichia coli (ATCC No.25922), dan Salmonella typhimurium (ATCC No.29231).
3.4 Pembuatan larutan pereaksi 3.4.1 Larutan pereaksi Mayer
Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.4.2Larutan pereaksi Dragendorff
Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
(26)
3.4.3Larutan pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.4.4Larutan pereaksi Liebermann-Burchard
Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan pereaksi ini harus dibuat baru (Harborne, 1987).
3.4.5Larutan pereaksi Molish
Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1980).
3.4.6Larutan pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)
Sebanyak 1g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml kemudian disaring (Depkes RI, 1995).
3.4.7Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).
3.4.8Larutan pereaksi asam klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1979).
3.4.9Larutan pereaksi kloralhidrat
Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes RI, 1995).
(27)
3.5 Penyiapan bahan tumbuhan 3.5.1 Pengumpulan tumbuhan
Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkannya dengan daerah lain. Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah daun ceplukan. Daun ceplukan diambil dari ladang jagung di daerah Batang Beruh, kecamatan Sidikalang, kabupaten Dairi, provinsi Sumatera Utara. Gambar tanaman ceplukan, daun ceplukan dan simplisia daun ceplukan dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 42 dan 43.
3.5.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara Medan. Hasil identifikasi tanaman dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 44.
3.5.3 Pengolahan bahan tumbuhan
Daun ceplukan segar dibersihkan dari pengotoran dengan menggunakan air bersih yang mengalir, selanjutnya ditiriskan, ditimbang berat basahnya yaitu 1,9 kg. Daun ceplukan selanjutnya dikering anginkan lalu ditimbang berat kering simplisia yaitu 0,480 kg. Selanjutnya simplisia diserbuk menggunakan blender, disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.
3.6 Pemeriksaan karakteristik simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1995; WHO, 1992). Bagan karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 45.
(28)
3.6.1 Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia daun ceplukan dengan cara memperhatikan bentuk, bau, warna dan rasa. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada lampiran 4 tabel 1 halaman 46.
3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia dilakukan sebagai berikut: sejumlah serbuk simplisia diletakkan merata di atas objek gelas yang telah ditetesi larutan kloralhidrat, ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop pada berbagai perbesaran. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 47.
3.6.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotrop. Kedalam labu alas bulat di masukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, destilasi selama 2 jam, biarkan menjadi dingin selama 30 menit dan volume air dalam tabung penampung dibaca. Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur yaitu 2 tetesan per detik sampai sebagian air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penampung dibiarkan dingin sampai sama dengan suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, dibaca volume air. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).
(29)
3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml campuran air dan kloroform (2,5 ml kloroform dalam air sampai 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata dan telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995). 3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring, 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).
3.6.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar pada suhu 600oC sampai arang habis. Selanjutnya didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (WHO, 1992).
(30)
3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu dan dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijar pada suhu 600oC sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (WHO, 1992). Perhitungan karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 48-52. Hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 53.
3.7 Penapisan fitokimia serbuk simplisia
Penapisan fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. 3.7.1 Pemeriksaan alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :
a. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Daragendorf
Alkaloida dianggap positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan diatas (Depkes RI, 1995).
(31)
3.7.2 Pemeriksaan flavonoid
Sebanyak 10 g serbuk simplisia dirimbang lalu ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil 5 ml kemudian ditambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol , dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).
3.7.3 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin ( Depkes RI, 1995).
3.7.4 Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966). 3.7.5 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96 % dan 3 bagian volume air suling (7:3), direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali
(32)
dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform P dan 2 bagian volume isopropanol. Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50 oC. Sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol, kemudian diambil 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida (Depkes RI, 1995).
3.7.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroid/triterpenoid (Harborne, 1987).
Hasil pemeriksaan penapisan fitokimia serbuk daun ceplukan dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 54.
3.8 Pembuatan ekstrak
Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Cara kerja: sebanyak 300 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana tertutup, tuangi cairan penyari sampai semua simplisia terendam sempurna dan diaduk lalu dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Pindahkan massa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, tuangi cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, tutup perkolator dan biarkan selama 24 jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, ditambahkan
(33)
berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan hingga bila 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh diuapkan dengan alat rotary evaporator pada tekanan rendah dengan suhu tidak lebih dari 50oC dan dipekatkan menggunakan freeze dryer (Depkes RI, 1979). Ekstrak etanol daun ceplukan yang dipeoleh adalah 74,4 g. Bagan pembuatan ekstrak dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 55.
3.9Sterilisasi alat
Sterilisasi untuk alat-alat yang digunakan antara lain:
1. Alat-alat yang terbuat dari gelas dibungkus dengan kertas perkamen, disterilkan menggunakan oven pada suhu 160o C selama 2 jam.
2. Alat-alat jenis lainnya seperti pencadang, pipet mikro, media disterilkan di autoklaf pada suhu 121oCselama 15 menit.
3. Jarum ose dan pinset disterilkan dengan cara dibakar pada lampu spiritus. 4. Sebelum mulai daerah sekitar pengerjaan disemprot dengan etanol 70%
dan dibiarkan selama 15 menit sebelum digunakan.
5. Meja dibersihkan dari debu dan dilap menggunakan cairan desinfektan. 3.10 Pembuatan media
3.10.1 Nutrient Agar (NA)
Komposisi: Beef extract 3,0 g
Peptone 5,0 g
Agar 15,0 g
Cara pembuatan: ditimbang sebanyak 23 g serbuk nutrient agar kemudian disuspensikan dalam erlenmeyer dengan air suling yang ditambahkan sedikit demi
(34)
sedikit hingga 1000 ml, dipanaskan sebentar sambil sekali-kali diaduk sampai terbentuk larutan jernih. Tutup erlenmeyer dengan kapas yang dilapisi aluminium foil. Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121o C tekanan 2 atm selama 15 menit.
3.10.2 Mueller Hinton Agar (MHA)
Komposisi: Beef infusion form 300 g Casein hydrolysate 17,5 g
Starch 1,5 g
Agar 17 g
Cara pembuatan: ditimbang sebanyak 38 g serbuk MHA disuspensikan dalam erlenmeyer dengan air suling yang ditambahkan sedikit demi sedikit hingga 1000 ml, dipanaskan hingga mendidih sambil sekali-kali diaduk sampai terbentuk larutan jernih. Tutup erlenmeyer dengan kapas yang dilapisi aluminium foil. Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121o C tekanan 2 atm selama 15 menit. 3.10.3 Larutan NaCl 0,9%
Komposisi : Natrium Klorida 0,9 g Air suling ad 100 ml
Cara pembuatan: ditimbang 0,9 g NaCl kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC tekanan 2 atm selama 15 menit (Depkes RI, 1979).
(35)
3.11 Pembuatan stok kultur
Masing-masing sebanyak satu ose dari biakan murni bakteri Shigella
dysenteriaei, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium digoreskan dengan
metode sinambung pada permukaan Nutrien Agar miring (± 450C), ditutup mulut tabung reaksi dengan kapas. Diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37o C. 3.12 Pembuatan inokulum
Bakteri hasil inkubasi diambil dengan menggunakan jarum ose steril kemudian disuspensikan ke dalam 10 ml NaCl 0,9% steril, kemudian dihomogenkan dengan vorteks hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar Mc Farland (konsentrasi 108 CFU/ml). Dipipet 0,1 ml inokulum dan ditambahkan larutan NaCl 0,9% steril didapat konsentrasi 106 CFU/ml.
3.13 Pembuatan konsentrasi ekstrak
Cara kerja: sebanyak 5 g ekstrak kental ditimbang seksama, dilarutkan dalam 5 ml etanol 96% dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Tambahkan etanol 96% hingga garis tanda dan diperoleh konsentrasi ekstrak 500 mg/ml. Selanjutnya larutan tersebut diencerkan kembali dengan etanol 96% hingga didapat ekstrak etanol dengan konsentrasi 400 mg/ml, 300 mg/ml, 200 mg/ml, 100 mg/ml, 90 mg/ml, 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml, 50 mg/ml, 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml.
(36)
3.14 Uji aktivitas antibakteri dan penetapan KHM ekstrak etanol daun ceplukan
Sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri konsentrasi 106 CFU/ml dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian ditambahkan 15 ml media MHA cair (45-500C), lalu dihomogenkan dan didiamkan hingga media memadat. Selanjutnya di atas permukaan media diletakkan pencadang logam menggunakan pinset. Sebanyak 0,1 ml larutan ekstrak dengan konsentrasi 500 mg/ml sampai 10 mg/ml masing-masing diteteskan kedalam lubang. Sebagai kontrol diteteskan 0,1 ml larutan etanol 96%. Ditutup cawan petri dan dibungkus. Didiamkan selama 10-15 menit kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Setelah itu diukur diameter hambat pertumbuhan bakteri pada daerah bening di sekitar media menggunakan jangka sorong. Percobaan ini dilakukan dua kali. Bagan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 56. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 57, dan gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 58.
(37)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi tanaman menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan pada penelitian adalah Physalis minima L. suku Solanaceae.
Pemeriksaan makroskopik terhadap simplisia daun ceplukan yaitu daun berkerut, berwarna coklat kekuningan, berbau langu, dan rasanya pahit.
Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia menunjukkan adanya sel epidermis atas dan bawah dengan stomata tipe anisositik, berkas pembuluh, kristal kalsium oksalat bentuk roset, rambut penutup dan rambut kelenjar.
Karakteristik simplisia daun ceplukan diperoleh kadar air 7,32%, kadar sari yang larut dalam air 8,49%, kadar sari yang larut dalam etanol 11,72%, kadar abu total 8,51% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,93%. Kadar air yang diperoleh telah memenuhi persyaratan MMI, yakni tidak lebih dari 10%. Apabila kadar air simplisia lebih besar dari 10% maka simplisia tersebut akan mudah ditumbuhi kapang pada saat penyimpanan sehingga mutu simplisia akan menurun (Gunawan dan Mulyani., 1995).
Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia daun ceplukan menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.
Penentuan aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan dilakukan dengan metode difusi agar. Metode ini dipilih karena lebih praktis namun tetap memberikan hasil yang diharapkan. Prinsip metode ini adalah menggunakan media padat dan pencadang, kemudian hambat pertumbuhan mikroba ditentukan dengan cara mengukur diameter daerah hambat pertumbuhan. Daerah hambat
(38)
pertumbuhan mikroba adalah daerah jernih di sekeliling pencadang. Pengukuran daerah hambat pertumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak daun ceplukan dengan konsentrasi 500 mg/ml sampai 10 mg/ml terhadap bakteri Shigella dysenteriae, Escherichia
coli dan Salmonella typhimurium menunjukkan adanya efek antibakteri yang
berbeda ditandai dengan adanya zona hambat (daerah bening) di sekitar pencadang. Kepekaan ketiga jenis bakteri terhadap ekstak etanol daun ceplukan berbeda-beda. Konsentarsi 500mg/ml menunjukkan diameter yang lebih besar dibanding konsentrasi yang lebih rendah. Semakain tinggi konsentrasi ekstrak etanol akan menghasilkan diameter daerah hambat yang semakin besar pula (Dwidjoseputro, 1998).
Menurut Ditjen POM (1995), diameter daerah hambatan yang memuaskan lebih kurang 14 mm sampai 16 mm. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan yang efektif pada bakteri Shigella dysenteriae pada konsentrasi 90 mg/ml dengan diameter daerah hambat 14,75 mm, pada bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 70 mg/ml dengan diameter daerah hambat 14,6 mm, dan pada bakteri Salmonella typhimurium pada konsentrasi 90 mg/ml dengan diameter daerah hambat 15,9 mm.
(39)
Data dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini
Tabel 4.1 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak daun ceplukan terhadap bakteri
Shigella dysenteriae, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium
No
Konsentrasi Ekstrak Etanol
mg/ml
Shigella dysenteriae
Escherichia coli
Salmonella typhimurium
D* D* D*
1 500 19,75 21,6 22,1
2 400 18,1 20,75 20,9
3 300 17,55 20,0 19,8
4 200 16,2 18,6 17,6
5 100 15,25 17,2 16,7
6 90 14,75 16,25 15,9
7 80 12,2 14,95 13,3
8 70 10,25 14,6 11,2
9 60 9,55 13,6 10,2
10 50 7,15 11,5 6,8
11 40 - 8,85 -
12 30 - - -
13 20 - - -
14 10 - - -
Keterangan:
D* : Diameter rata-rata
(40)
Konsentrasi terkecil yang dapat menghambat dari ekstrak daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae ialah 50 mg/ml sedangkan terhadap bakteri
Salmonella typhimurium adalah 50 mg/ml dan pada bakteri Escherichia coli adalah 40mg/ml.
Dari hasil percobaan ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ceplukan lebih efektif terhadap bakteri Escherichia coli dibandingkan pada Shigella
dysenteriae dan Salmonella typhimurium.
Aktivitas suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba tersebut (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). Hal ini terlihat dari diameter hambat ekstrak etanol daun ceplukan terhadap ketiga bakteri uji dengan konsentrasi 500 mg/ml yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Efek penghambat pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zat aktif terlarut dalam ekstrak daun ceplukan yang bersifat sebagai antibakteri.
Pada daun ceplukan terdapat kandungan alkaloida, flavonoid, saponin, tanin, glikosida dan steroid. Golongan senyawa tanin dan flavonoid daun ceplukan diduga memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Anonim, 2009)
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol terbesar di alam. Fenol sendiri merupakan salah satu antiseptik dengan khasiat bakterisid dan fungisid. Mekanisme kerjanya berdasarkan denaturasi protein sel bakteri hingga akhirnya menyebabkan kematian sel (Achmad, S, 1986).
Tanin hampir terdapat di semua bagian tumbuhan seperti akar, kulit batang, daun, kulit buah, buah dan biji. Tanin mempunyai sifat sebagai adstrigent
(41)
yang dapat menciutkan selaput lendir sehingga mampu mengganggu permeabilitas membran sel. Pada akhirnya sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup dan menyebabkan matinya sel. Dalam bidang pengobatan tanin digunakan untuk mengatasi diare, hemostatik (menghentikan pendarahan) dan wasir (Tyler et al, 1976). Tanin mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, efek antibakteri dari tanin muncul melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim dan destruksi atau inaktivasi materi genetik (Masduki, 1996).
(42)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun ceplukan diperoleh kadar air 7,32%, kadar sari yang larut dalam air 8,49%, kadar sari yang larut dalam etanol 11,72%, kadar abu total 8,51% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,93%.
Hasil pemeriksaan penapisan fitokimia serbuk simplisia daun ceplukan menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.
Ekstrak etanol daun ceplukan mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan yang efektif pada bakteri
Shigella dysenteriae pada konsentrasi 90 mg/ml dengan diameter daerah hambat
14,75 mm, pada bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 70 mg/ml dengan diameter daerah hambat 14,6 mm, dan pada bakteri Salmonella typhimurium pada konsentrasi 90 mg/ml dengan diameter daerah hambat 15,9 mm. Konsentrasi hambat minimum (KHM) terhadap bakteri Shigella dysenteriae adalah 50 mg/ml, terhadap bakteri Salmonella typhimurium dengan konsentrasi hambat minimum 50 mg/ml dan terhadap bakteri Escherichia coli dengan konsentrasi hambat minimum 40 mg/ml.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan pengujian terhadap toksisitas ekstrak daun ceplukan (Physalis minima L.) sehingga dapat dibuat formulasinya untuk pemakaian peroral sebagai obat antidisentri.
(43)
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. (1986). Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Penerbit Karunika. Halaman 192.
Anonim. (2009). Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Indonesia. Diakses 10 November 2010.
Beisher, L. (1991). Microbiology in Practice. A self Instructional Laboratory
Course. New York: Ed Harper Collins Publisher.
Cappuccino, J and Sherman, N. (1987). Microbiology: A Laboratory Manual. Fourth Edition. New York: Addison-Wesley Publishing Company. page. 60, 139, 186, 471.
Depkes RI. (1980). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 94-98. Depkes RI. (1994). Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 179
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Cetakan Keenam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 195-199. Depkes RI. (2000). Inventaris Tanaman Obat Indonesia (II). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 179-180.
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman. 5, 9-11. Depkes RI. (2007). Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. Halaman. 6, 9.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 9.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 896.
Dwidjoseputro. (1998). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit D. Jambatan. Halaman 38.
Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants,
Journal of Fharmaceutical Sciences. Volume 55. Number 3. Chicago:
Reheis Chemical Company. Page. 262-264.
Gibson, J.M. (1996). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Jakarta: Penerbit EGC. Halaman 23-25.
(44)
Gunawan, D. Dan Mulyani, S. (1995). Ilmu Obat Alam. Cermin Dunia kedokteran. Halaman 9-13.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Terbitan Kedua. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 49. Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid Satu.
Bandung: Penerbit Yrama Widya. Hal. 16-18, 21-22.
Jawetz, E et al. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Kedua puluh. Jakarta: Penerbit EGC. Hal. 239-240, 259.
Lay, BW. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 67-71.
Lee, J. (1983). Microbiology. First Edition. USA: The Barnes and Nobel Outline Series. p. 57-58.
Masduki, (1996). Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap
S. aureus dan E. coli. Jakarta: Penerbit Cermin Dunia Kedokteran.
Halaman 23-24.
Pelczar, MJ. Chan, ECS dan Crieg, NR. (1988). Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerjemah: Ratna Siri, dkk. Cetakan pertama. Jilid Dua. Jakarta: Penerbit UI Press.
Pitojo, S. (2002). Ceplukan Herba Berkhasiat Obat. Penerbit Kanisius. Halaman 11, 21-24.
Stanier, RY. Adelberg, EA dan Ingraham, JL. (1982). Dunia Mikrobe I. Penerjemah: Agustin Wydia, dkk. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Hal. 23-25.
Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya. (2003). Bakteriologi Medik. Cetakan Pertama. Malang: Bayu Media Publishing.
Tyler, E. Brady, LR. Robber JE. (1976). Pharmocognosy. 9th Edition. Philadelphia: Lea and Febiger Publisher. Halaman 197-200.
Volk, WA dan Wheeler, MF. (1989). Mikrobiologi Dasar. Penerjemah: Soenartono Adisoemarto. Edisi Kelima. Jilid Dua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 94-104.
World Health Organization. (1992). Quality Control Methods For Medicinal
(45)
Lampiran 1
A
B
Gambar 1. Tanaman ceplukan dan daun ceplukan
Keterangan A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.) B : Daun ceplukan
(46)
Lampiran 1 (Lanjutan)
A
B
Gambar 2. Simplisia dan serbuk simplisia Keterangan A : Simplisia daun ceplukan
(47)
Lampiran 2
(48)
Lampiran 3
Dicuci, ditiriskan dan sortasi basah Ditimbang beratnya
Dilakukan uji makroskopik dan mikroskopik
Dikeringkan dalam lemari pengering
Ditimbang beratnya Dilakukan uji makroskopik
Dihaluskan hingga menjadi serbuk, diayak
Ditimbang beratnya
Dilakukan uji mikroskopik dan penetapan kadar (air, sari larut air, sari larut etanol, abu total, abu tidak larut dalam asam)
Gambar 3. Bagan karakteristik daun ceplukan Daun segar
Simplisia
Serbuk simplisia
Karakteristik simplisia
(49)
Lampiran 4
Tabel 1. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun ceplukan
No Organoleptis Hasil
1 Bentuk Daun berkeriput, berbentuk oval berlekuk pada bagian tepinya, panjang 5-12 cm, lebar 4-7 cm
2 Bau Berbau langu
3 Rasa Pahit
(50)
Lampiran 5
1
2 3
4
5
Gambar 4. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun ceplukan pada perbesaran 10x40
Keterangan :
1. Berkas pembuluh
2. Kristal kalsium oksalat bentuk roset 3. Stomata tipe anisositik
4. Rambut penutup 5. Rambut kelenjar
(51)
Lampiran 6
6.1 Penetapan kadar air
Kadar Air = x100%
a. Berat sampel I = 5,004 g
Volume air = 0,3 ml
Kadar air = 100%
004 , 5 3 , 0
x = 5,99 % b. Berat sampel II = 5,003 g
Volume air = 0,4 ml
Kadar air = 100%
003 , 5 4 , 0
x = 7,99 % c. Berat sampel III = 5,003 g
Volume air = 0,4 ml
Kadar air = 100%
003 , 5 4 , 0
x = 7,99 %
Kadar air rata-rata = 7,32%
3 % 99 , 7 % 99 , 5 = +
Volume Air (ml) Berat Sampel (g)
(52)
6.2 Penetapan kadar sari larut air
Kadar sari larut air = 100% 20
100 x x
a. Berat sampel I = 5,001 g
Berat sari = 0,105 g
Kadar sari larut air = 100% 10,49 20 100 001 , 5 105 , 0 = x x g g %
b. Berat sampel II = 5,003 g Berat sari = 0,074 g
Kadar sari larut air = 100% 7,39 20 100 003 , 5 074 , 0 = x x g g % c. Berat sampel III = 5,001 g
Berat sari = 0,076 g
Kadar sari larut air = 100% 7,59 20 100 001 , 5 076 , 0 = x x g g %
Kadar sari rata-rata = 8,49%
3 % 59 , 7 % 39 , 7 % 49 , 10 = + +
Berat Sari (g) Berat Sampel (g)
(53)
6.3 Kadar sari larut etanol
Kadar sari larut etanol = 100% 20
100 x x
a. Berat sampel I = 5,001 g Berat etanol = 0,117 g
Kadar sari larut etanol = 100% 11,69 20 100 001 , 5 117 , 0 = x x g g % b. Berat sampel II = 5,001 g
Berat sari = 0,118 g
Kadar sari larut etanol = 100% 11,79 20 100 001 , 5 118 , 0 = x x g g % c. Berat sampel III = 5,002 g
Berat sari = 0,117 g
Kadar sari larut etanol = 100% 11,69 20 100 002 , 5 117 , 0 = x x g g %
Kadar sari rata-rata = 11,72%
3 % 69 , 11 % 79 , 11 % 69 , 11 = + +
Berat Sari (g) Berat Sampel (g)
(54)
6.4 Penetapan kadar abu total
Kadar abu total = x100% a. Berat sampel I = 2,0006 g
Berat abu = 0,1706 g
Kadar abu total = 100% 8,53
0006 , 2 1706 , 0 = x g g % b. Berat sampel II = 2,0005 g
Berat abu = 0,1687 g
Kadar abu total = 100% 8,43
0005 , 2 1687 , 0 = x g g % c. Berat sampel III = 2,0005 g
Berat sari = 0,1715 g
Kadar abu total = 100% 8,57 0005 , 2 1715 , 0 = x g g %
Kadar abu total rata-rata = 8,51%
3 % 57 , 8 % 43 , 8 % 53 , 8 = + +
Berat Abu (g) Berat Sampel (g)
(55)
6.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Kadar abu tidak larut asam = x100% a. Berat sampel I = 2,0006 g
Berat abu = 0,0191 g
Kadar abu tidak larut asam = 100% 0,95 0006 , 2 0191 , 0 = x g g % b. Berat sampel II = 2,0005 g
Berat abu = 0,0182 g
Kadar abu tidak larut asam = 100% 0,90 0005 , 2 0182 , 0 = x g g % c. Berat sampel III = 2,0005 g
Berat sari = 0,0192 g
Kadar abu tidak larut asam = 100% 0,95 0005 , 2 0192 , 0 = x g g %
Kadar abu tidak larut asam rata-rata = 0,90% 3 % 95 , 0 % 90 , 0 % 95 , 0 = + +
Berat Abu (g) Berat Sampel (g)
(56)
Lampiran 6 (Lanjutan)
Tabel 2. Hasil Karakteristik Simplisia Daun ceplukan (Physalis minima L.)
No Penetapan/ parameter Kadar (%)
Persyaratan MMI (Physalis
angulata L.)
1 Kadar air 7,32 -
2 Kadar sari yang larut dalam air 8,49 Tidak kurang dari 5% 3 Kadar sari yang larut dalam etanol 11,72 Tidak kurang
dari 2%
4 Kadar abu total 8,51 Tidak lebih
dari 16% 5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,93 Tidak lebih
(57)
Lampiran 7
Tabel 3. Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia daun ceplukan
No Golongan senyawa kimia Hasil
1 Alkaloid +
2 Flavonoid +
3 Saponin +
4 Tanin +
5 Glikosida +
6 Steroid +
Keterangan : + memberikan hasil ─ tidak memberikan hasil
(58)
Lampiran 8
Direndam dalam bejana tertutup dengan etanol 96% selama 3 jam
Dipindahkan ke dalam perkolator Dituangi etanol 96% secukupnya
Didiamkan selama 24 jam, selanjutnya dibuka kran perkolator dan dibiarkan
cairan menetes dengan kecepatan
1ml/menit
Tambahkan cairan penyari berulang-ulang secukupnya hingga tersari sempurna
Diuapkan dengan rotary evaporator dan dikering bekukan dengan freeze dryer
Gambar 5. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun ceplukan
Serbuk simplisia (300 g)
Hasil rendaman
Ekstrak kental (74,4 g)
Ampas
Etanol 96% Ekstrak cair
(59)
Lampiran 9
Diambil dengan jarum ose steril Ditanam pada media NA miring
Diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
Disuspensikan dalam 10 ml NaCl 0,9% steril. Divorteks hingga diperoleh kekeruhan yang
sama dengan standar Mc. Farland 0,5
Dipipet 0,1 ml ke dalam tabung reaksi Ditambahkan 9,9 ml NaCl 0,9% steril dan
divorteks hingga homogen
Dipipet 0,1 ml ke dalam cawan petri Dituang 15 ml MHA steril cair (45-500 C),
dibiarkan memadat
Diletakkan pencetak logam (Punch hole) pada media, diteteskan 0,1 ml larutan ekstrak
Diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
Diukur diameter zona hambat yaitu daerah bening di sekitar media
Gambar 6. Bagan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan Biakan murni bakteri
Stok kultur bakteri
Suspensi bakteri 108 CFU/ml
Suspensi bakteri 106 CFU/ml
Hasil inkubasi
(60)
Lampiran 10
Tabel 4. Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak daun ceplukan terhadap bakteri
Shigella dysenteriae, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium
Konsentrasi Diameter hambat (mm)
No
Ekstrak
etanol Shigella E. coli Salmonella
mg/ml D I D II D* D I D II D* D I D II D*
1 500 19,8 19,7 19,75 21,5 21,7 21,6 22,3 21,9 22,1
2 400 18,2 18,0 18,1 21,0 20,5 20,75 21,0 20,8 20,9
3 300 17,5 17,6 17,55 20,2 19,8 20,0 19,9 19,7 19,8
4 200 16,0 16,4 16,2 18,9 18,3 18,6 17,4 17,8 17,6
5 100 15,2 15,3 15,25 17.4 17,0 17,2 16,8 16,6 16,7
6 90 14,5 15,0 14,75 16.2 16,3 16,25 15,8 16 15,9
7 80 12,4 12,0 12,2 15 14,9 14,95 13,5 13,1 13,3
8 70 10,2 10,3 10,25 14,6 14,6 14,6 11,3 11,0 11,2
9 60 9,4 9,7 9,55 13,5 13,7 13,6 10,0 10,3 10,2
10 50 7,5 6,8 7,15 11 12 11,5 6,9 6,7 6,8
11 40 - - - 8,7 9,0 8,85 - - -
12 30 - - - -
13 20 - - - -
14 10 - - - -
Keterangan:
D I : diameter pengamatan pertama D II: diameter pengamatan kedua D* : diameter rata-rata
(61)
Lampiran 11
A
B
Gambar 7.1 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae
Keterangan:
A. Konsentrasi 500 mg/ml B. Konsentrasi 400 mg/ml
(62)
Lampiran 11 (Lanjutan)
C
D
Gambar 7.2 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae
Keterangan:
C. Konsentrasi 300 mg/ml D. Konsentrasi 200 mg/ml
(63)
Lampiran 11 (Lanjutan)
E
F
Gambar 7.3 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae
Keterangan:
E. Konsentrasi 100 mg/ml F. Konsentrasi 90 mg/ml
(64)
Lampiran 11 (Lanjutan)
G
H
Gambar 7.4 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Shigella dysenteriae
Keterangan:
G. Konsentrasi 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml dan 50mg/ml H. Konsentrasi 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml
(65)
Lampiran 11 (Lanjutan)
A
B
Gambar 7.5 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Escherichia coli
Keterangan:
A. Konsentrasi 500 mg/ml B. Konsentrasi 400 mg/ml
(66)
Lampiran 11 (Lanjutan)
C
D
Gambar 7.6 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Escherichia coli
Keterangan:
C. Konsentrasi 300 mg/ml D. Konsentrasi 200 mg/ml
(67)
Lampiran 11 (Lanjutan)
E
F
Gambar 7.7 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Escherichia coli
Keterangan:
E. Konsentrasi 100 mg/ml F. Konsentrasi 90 mg/ml
(68)
Lampiran 11 (Lanjutan)
G
H
Gambar 7.8 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun terhadap bakteri
Escherichia coli
Keterangan:
G. Konsentrasi 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml dan 50 mg/ml H. Konsentrasi 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml
(69)
Lampiran 11 (Lanjutan)
A
B
Gambar 7.9 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
(70)
Lampiran 11 (Lanjutan)
C
D
Gambar 7.10 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
C. Konsentrasi 300 mg/ml D. Konsentrasi 200 mg/ml
(71)
Lampiran 11 (Lanjutan)
E
F
Gambar 7.11 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
C. Konsentrasi 100 mg/ml D. Konsentrasi 90 mg/ml
(72)
Lampiran 11 (Lanjutan)
G
H
Gambar 7.12 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
G. Konsentrasi 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml dan 50 mg/ml H. Konsentrasi 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml
(1)
E
F
Gambar 7.7 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Escherichia coli
Keterangan:
E. Konsentrasi 100 mg/ml F. Konsentrasi 90 mg/ml
(2)
Lampiran 11 (Lanjutan)
G
H
Gambar 7.8 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun terhadap bakteri
Escherichia coli
Keterangan:
G. Konsentrasi 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml dan 50 mg/ml H. Konsentrasi 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml
(3)
A
B
Gambar 7.9 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
A. Konsentrasi 500 mg/ml B. Konsentrasi 400 mg/ml
(4)
Lampiran 11 (Lanjutan)
C
D
Gambar 7.10 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
C. Konsentrasi 300 mg/ml D. Konsentrasi 200 mg/ml
(5)
E
F
Gambar 7.11 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
C. Konsentrasi 100 mg/ml D. Konsentrasi 90 mg/ml
(6)
Lampiran 11 (Lanjutan)
G
H
Gambar 7.12 Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun ceplukan terhadap bakteri Salmonella typhimurium
Keterangan:
G. Konsentrasi 80 mg/ml, 70 mg/ml, 60 mg/ml dan 50 mg/ml H. Konsentrasi 40 mg/ml, 30 mg/ml, 20 mg/ml dan 10 mg/ml