Proposal Robby

Proposal Penelitian

IDENTIFIKASI MUTU FISIK BERAS BERDASARKAN CIRI FISIK
MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA (IMAGES PROCESSING) DAN
METODE MULTI-LAYER PERCEPTRONS (MLP)

Oleh:
ROBBY HARIYANTO
1405106010054

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2018

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Beras (Oryza sativa L.) adalah sumber utama makanan untuk energi yang dikonsumsi
hampir setengah dari populasi dunia. Ini adalah sumber penting vitamin, unsur mineral dan
asam amino esensial (Sadeghi et al 2013). Karena ini adalah makanan pokok untuk melayani

banyak generasi dan berabad-abad di dunia, kebutuhan akan produksi dan konsumsinya
meningkat dari hari ke hari. Menurut sensus Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan
Bangsa-Bangsa (FAO), total produksi beras di dunia telah meningkat dari 570 juta ton pada
tahun 2002 menjadi 720 juta ton pada tahun 2012. Produksi padi di Aceh sendiri dari tahun
2012 sampai 2015 yaitu 1.788.738 ton, 1.956.940 ton, 1. 820.062 ton dan 2.331.046 ton
(BPS, 2016).
Beras yang ada di pasar berasal dari berbagai varietas. Perbedaan varietas beras
berkorelasi dengan mutu dan cita rasa (Singh et al. 2005, Correa et al. 2007). Karakter beras
penting diketahui untuk proses perakitan varietas baru (Rathi et al. 2010), penyimpanan,
penanganan, dan pengolahan lebih lanjut (Varnamkhasti et al. 2007). Pada industri beras
yang modern, identifikasi sifat fisik beras bermanfaat dalam aspek pengendalian mutu
(quality control) dan jaminan mutu (quality assurance). Konsumen tertentu menginginkan
jaminan mutu beras yang dikonsumsinya. Sifat fisik beras merupakan karakter yang
termudah dan tercepat untuk diidentifikasi.
Proses pemutuan beras sangat penting untuk dilakukan sebelum beras dipasarkan.
Sampai saat ini proses pemutuan beras masih dilakukan secara manual (visual) yang
dilakukan oleh para ahli yang berpengalaman, namun cara ini memiliki kelemahan : 1)
Adanya faktor subjektif dari pengamat (ahli); 2) Kondisi fisik dan psikologis pengamat yang
menyebabkan tidak konsistennya hasil pemutuan; dan 3) Waktu yang dibutuhkan untuk
proses pemutuan relatif lebih lama (Somantri at al., 2013). Berangkat dari permasalahan

tersebut dibutuhkan suatu alternatif cara pemutuan fisik beras yang lebih cepat, konsisten,
akurat dan mudah pengoperasiannya, sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja
identifikasi mutu fisik beras.
Penelitian identifikasi varietas beras menggunakan pengolahan citra digital menjadi
penting karena dapat digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi varietas beras.
Manfaat penting yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah data hasil identifikasi dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses pengendalian dan jaminan mutu produk beras yang

akan dipasarkan, khususnya kemurnian varietas. Peningkatan kemampuan perangkat keras
dan perangkat lunak menyebabkan pengolahan citra digital juga banyak diterapkan untuk
mengukur atau mengidentifikasi biji-bijian selain beras seperti gandum, jagung, dan lainlainnya.
Pada penelitian sebelumnya yaitu “Identifikasi Mutu Fisik Beras Dengan
Menggunakan Teknologi Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan”. Dimana pada
penelitian itu menggunakan 5 jenis varietas beras, yaitu Cirata, Inpari 13, Inpari 19, Way
apo buru dan muncul cilamaya (Somantri at al., 2013).
Pada penelitian sebelumnya, yaitu “Penentuan Kualitas Giling Beras Menggunakan
Analisis Citra”. Dimana pada penelitian itu menggunakan varietas beras inpari 13 saja dan
menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN) (Somantri at al., 2014).
Pada penelitian sebelumnya, yaitu “Identifikasi Varietas Berdasarkan Warna dan
Tekstur Permukaan Beras Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf

Tiruan”. Dimana pada penelitian itu menggunakan 3 varietas beras, yaitu Basmati, Inpari 1,
Sintanur (Adnan at al., 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beras dari beberapa varietas, yaitu
Ciherang, Sanbei dan Sigupai menggunakan analisis warna, bentuk dan tekstur berdasarkan
metode pengolahan citra digital. Kombinasi analisis warna dan tekstur ini kemudian
digunakan sebagai parameter masukan dan diolah lebih lanjut menggunakan metode MultiLayer Perceptrons (MLP) untuk menentukan parameter masukan dengan tingkat akurasi
paling tinggi.

1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dijadikan obyek penelitian dalam tugas akhir ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah mutu beras dapat ditentukan dengan menggunakan teknologi images processing
berdasarkan sifat fisiknya?
2. Bagaimana mengidentifikasi pemutuan beras berdasarkan warna RGB, ukuran, bentuk ?
3. Apakah sama hasil mutu tiap varietas beras yang menggunakan teknologi images
processing?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat pemutuan beras dengan
berdasarkan aspek warna, bentuk dan ukuran menggunakan pengolahan citra dan metode

Multi-Layer Perceptrons (MLP).
Tujuan yang lebih khusus adalah:
1. Mengembangkan algoritma pengolahan citra untuk melakukan analisis parameter visual
beras menggunakan kamera.
2. Menentukan hubungan tingkat mutu dengan parameter visual beras berdasarkan
pengolahan citra.
3. Memberikan solusi alternatif untuk analisis kualitas yang meminimalkan waktu dan
biaya yang diperlukan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
1. Penelitian ini dilakukan pada beras varietas Ciherang, Sigupai dan Sanbei.
2. Pengukuran dilakukan menggunakan Images Processing dengan Metode MultiLayer Perceptrons (MLP)
3. Pengolahan data menggunakan aplikasi halcon

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membangun sebuah system
aplikasi perangkat lunak komputer yang dapat melakukan pemutuan fisik beras dengan
menggunakan teknik pengolahan citra digital khususnya metode Multi-Layer Perceptrons
(MLP). Manfaat lain dari penelitian ini adalah menghasilkan alat bantu dalam bidang

pertanian dan perdagangan terutama bagi inspektur pemeriksa untuk mengklasifikasi
kualitas beras berdasarkan ciri fisik berbasis pengolahan citra digital.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Beras
Beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah padi hasil
tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau
sebagian lembaga dan lapisan berkatulnya telah dipisahkan baik berupa beras utuh, beras
kepala, beras patah, maupun menir (SNI 6128:2015).
Menurut Tjitrosoepomo 2004, klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut.
Regnum

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub Divisio


: Angiospermae

Classis

: Monocotyledoneae

Ordo

: Poales

Familia

: Graminae

Genus

: Oryza

Species


: Oryza sativa L.

2.2 Mutu Fisik Beras
Setiap negara memiliki standar mutu beras yang ditetapkan sesuai dengan
kepentingannya. Di Indonesia, standar mutu beras tercantum dalam SNI 6128:2015, yang
berlaku untuk beras giling. Komponen mutu di dalamnya mencakup persyaratan umum yang
bersifat kualitatif dan persyaratan khusus yang bersifat kuantitatif.
Berdasarkan SNI 6128:2015 secara umum beras harus bebas hama dan penyakit,
bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, bebas dari campuran dedak dan bekatul, bebas
dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen. Persyaratan kuantitatif
khusus mencakup: derajat sosoh, kadar air, beras kepala, butir patah, butir menir, butir
merah, butir kuning/rusak. Butir kapur, benda asing dan butir gabah. Persyaratan khusus
terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu.
NO.

Komponen Mutu


Satuan
Premium

1

Derajat sosoh (min)

(%)

100

Kelas Mutu
Medium
1
2
95
90

3
80


2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kadar air (maks)
Beras kepala (min)
Butir patah (maks)
Butir menir (maks)
Butir merah (maks)
Butir
kuning/rusak
(maks)
Butir kapur (maks)

Benda asing (maks)
Butir gabah (maks)

(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)

14
95
5
0
0
0

14
78
20

2
2
2

14
73
25
2
3
3

15
60
35
5
3
5

(%)
(%)
(butir/
100g)

0
0
0

2
0,02
1

3
0,05
2

5
0,2
3

Sumber : SNI 6128:2015

Beras utuh merupakan butir beras yang tidak ada patah sama sekali. Beras kepala
merupakan butir beras dengan ukuran lebih besar atau sama dengan 0,8 bagian dari butir
beras utuh. Butir patah merupakan butir beras dengan ukuran lebih besar dari 0,2 sampai
dengan lebih kecil 0,8 bagian dari butir beras utuh. Butir menir merupakan butir beras
dengan ukuran lebih kecil dari 0,2 bagian butir beras utuh (SNI 6128:2015).
Kualitas mutu fisik beras seperti derajat sosoh, butir patah, butir utuh, butir menir
dipengaruhi oleh penanganan pasca panen. Sebetulnya tidak hanya penanganan penurunan
kualitas hasil panen, tetapi juga faktor-faktor lain sebelum panen tersebut dilakukan. Seperti
misalnya sifat genetika dari varietas yang ditanam, mudah rebah atau tidak, mudah rontok
atau tidak dan sebaga inya, perlakuan agronomik sebelum tanam, seperti umur bibit di
pesemaian, kondisi lingkungan dan lain sebagainya (Sulardjo, 2014).

2.3 Images Processing
2.3.1 Definisi Images Processing
Citra merupakan suatu representasi kemiripan atau imitasi dari suatu obyek atau
benda. Citra digital merupakan gambar dua dimensi yang dihasilkan dari gambar/citra
analog dua dimensi yang kontinu menjadi gambar/citra diskrit (digital) melalui proses
sampling dan kuantisasi. Citra kontinu (analog) diperoleh dari sistem optik yang menerima
sinyal analog, seperti mata manusia dan kamera analog. Sampling merupakan proses
digitalisasi terhadap citra kontinu menggunakan alat pemindai atau kamera digital dengan
cara mengambil nilai diskrit koordinat ruang (x,y) dengan melewatkan citra melalui grid
(celah). Sedangkan kuantisasi merupakan proses pengelompokkan nilai tingkat keabuan
citra kontinu ke dalam beberapa level atau merupakan proses membagi skala keabuan
menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu harga bilangan bulat (integer) (Sujito,
2016).

Berdasarkan hasil sampling dan kuantisasi, citra digital disusun dari sekumpulan titik
dalam matrik M baris dan N kolom. Setiap pasangan indeks baris dan kolom dalam matrik
tersebut menyatakan suatu titik pada citra. Setiap titiknya memiliki nilai yang menyatakan
nilai kecerahan titik tersebut. Titik-titik pada citra dinamakan sebagai elemen citra atau pixel
(picture elemen). Citra digital sebagai fungsi intensitas cahaya dua-dimensi f(x,y) dimana x
dan y menunjukkan koordinat spasial, dan nilai f pada suatu titik (x,y) sebanding dengan
brightness (gray level) dari citra di titik tersebut. Citra digital dapat dideskripsikan seperti
berikut (Kadir, 2013).

Gambar 1. Representasi Citra Digital dan Nilai Kecerahan Pixel Penyusun

Citra digital dapat mengalami penurunan kualitas karena adanya derau (noise). Derau
merupakan gambar atau sekumpulan pixel yang mengganggu kualitas citra. Derau dapat
disebabkan oleh gangguan fisik (optik) pada alat akuisisi maupun secara disengaja akibat
proses pengolahan yang tidak sesuai. Salah satu contoh derau adalah bintik gelap dan terang
yang muncul secara acak yang menyebar pada citra maupun latar belakangnya. Bintik acak
ini disebut dengan derau salt & pepper. Perbaikan citra yang mengalami penurunan kualitas
karena adanya derau, dapat dilakukan dengan cara memanipulasi dan memodifikasi citra
dengan berbagai cara. Perbaikan citra semacam ini disebut dengan istilah pengolahan citra
digital (Adnan, 2013).
Menurut (Mahale at al 2014), cara sederhana dari Images processing meliputi
gambar diambil menggunakan kamera warna. Gambar minimal harus berukuran 640 X 380
piksel. Gambar yang diambil tersimpan di desktop menggunakan kabel USB. Setelah

menyimpan gambar pada algoritma pengolahan citra desktop diterapkan di atasnya.
Kemudian dilanjutkan berdasarkan metode apa yang ingin diginakan.
Citra digital dapat dikuantifikasi menggunakan aplikasi pengolahan citra digital
untuk mendapatkan data warna yang meliputi R, G, B dan data tesktur beras yang meliputi
ASM, kontras, korelasi, IDM, dan entropi yang digunakan sebagai parameter masukan
(Adnan, 2013).

2.3.2 Format Citra Digital
Menurut Sujito dan Yunus (2016), terdapat 3 (tiga) jenis citra yang umum digunakan dalam
pengolahan citra digital. Ketiga jenis citra tersebut yaitu:
1. Citra berwarna
Citra berwarna, atau biasa dinamakan citra RGB, merupakan jenis citra yang
menyajikan warna dalam bentuk komponen warna R (red/merah), G (green/hijau), dan B
(blue/biru). Setiap titik atau pixel pada citra warna memiliki nilai warna yang dinyatakan
dalam nilai parameter R, G dan B. Setiap parameter warna menggunakan 8 bit yang nilainya
berkisar antara 0 sampai dengan 255.
2. Citra berskala keabuan (grayscale)
Citra berskala keabuan (grayscale) merupakan citra yang direpresentasikan dengan
nilai gradasi dari warna hitam ke warna putih. Gradasi warna dalam citra grayscale
menghasilkan efek warna abu-abu. Warna keabuan dinyatakan dengan nilai intensitasnya
yang berkisar antara 0 sampai dengan 255. Nilai 0 menyatakan hitam pekat dan nilai 255
menyatakan putih terang.
3. Citra biner.
Citra biner merupakan citra yang setiap piksel dinyatakan dengan nilai 0 atau 1. Nilai
0 menyatakan warna hitam pekat dan nilai 1 menyatakan warna putih terang (tidak mengenal
gradasi warna keabuan). Citra jenis ini banyak dipakai dalam pemrosesan citra tertentu,
misalnya untuk kepentingan memperoleh tepi bentuk, jumlah, keliling dan luasan suatu
objek dalam suatu citra.

2.3.3 Thresholding
Thresholding, yaitu proses pemisahan citra berdasarkan batas nilai tertentu. Proses
tersebut akan mengubah warna menjadi citra biner. Tujuan proses thresholding adalah untuk
membedakan objek dengan latar belakangnya (Somantri et al., 2014).

Salah satu metode yang sering digunakan dalam pengolahan citra digital atau image
processing adalah thresholding citra. Thresholding citra adalah suatu metode yang
digunakan untuk memisahkan antara obyek dan backgroundnya. Thresholding merupakan
teknik yang sederhana dan efektif untuk segmentasi citra. Proses thresholding sering disebut
dengan proses binerisasi. Pada beberapa aplikasi pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan
threshold terhadap citra gray level untuk dapat menjadi citra biner (citra yang memiliki nilai
level keabuan 0 atau 255) (Shu-kai, 2007). Sebuah citra hasil proses thresholding dapat
disajikan dalam histogram citra untuk mengetahui penyebaran nilai-nilai intensitas piksel
pada suatu citra/bagian tertentu dalam citra sehingga untuk citra bimodal, histogram dapat
dipartisi dengan baik (segmentasi objek dengan background) dan dapat ditentukan nilai
threshold-nya.

2.4 Multi-layer Perceptron (MLP)
Jaringan multi-layer perceptron (MLP) merupakan salah satu model jaringan syaraf
tiruan (JST) yang memiliki bobot acak dari pelatihan backpropagation (BP) (Rahardiani et
al 2017). Multilayer Perceptron adalah topologi paling umum dari Jaringan Saraf Tiruan, di
mana perceptron-perceptron terhubung membentuk beberapa lapisan (layer). Sebuah MLP
mempunyai lapisan masukan (input layer), minimal satu lapisan tersembunyi (hidden layer),
dan lapisan luaran (output layer). Arsitektur JST ditunjukkan pada Gambar 2 (Negnevitsky,
2005).

Gambar 2. Arsitektur JST

Multi-layer Perceptron (MLP) jaringan saraf digunakan untuk analisis ukuran,
bentuk, dan jenis varietas sampel beras. Tiga belas ciri morfologi yang ditetapkan sebagai
variabel input untuk jaringan saraf sedangkan variabel keluaran yang baik ukuran, bentuk,
atau berbagai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem veloped de- mampu
mengidentifikasi ukuran sampel biji-bijian dan bentuk dengan akurasi rata-rata keseluruhan
98,76 dan 96,67%, masing-masing (Mousavi Rad et al. 2012).
Metode yang paling banyak digunakan dalam pembelajaran atau pelatihan MLP
adalah propagasi balik (back-propagation). Terdapat empat langkah yang harus dilakukan
dalam metode ini yaitu inisialisasi (initialization), aktivasi (activation), pelatihan bobot
(weight training), dan iterasi (iteration). Pada langkah inisialisasi, nilai awal bobot dan
ambang batas (threshold) ditentukan secara acak namun dalam batasan tertentu. Pada
tahapan aktivasi, diberikan masukan dan nilai keluaran yang diharapkan (desired output).
Proses penyesuaian bobot terjadi pada tahap pelatihan bobot, nilai luaran sebenarnya (actual
output) dibandingkan dengan desired output dan dilakukan penyesuaian bobot. Langkah
kedua dan ketiga diulangi sampai dengan tercapai kondisi yang ditentukan (Purwaningsih,
2016).
Algoritma MLP merupakan algoritma yang mengadopsi cara kerja jaringan saraf
pada makhluk hidup. Algoritma ini terkenal handal karena proses pembelajaran yang mampu
dilakukan secara terarah. Pembelajaran algoritma ini dilakukan dengan pengupdatean bobot
balik (back propagation). Penetapan bobot yang optimal akan berujung pada hasil prediksi
yang tepat (Setiadi, 2012).
MLP terdiri dari input layer, satu atau lebih hidden layer, dan output layer. Berikut
penjelasan masing-masing layer: (Vercellis, 2009)
a. Input layer
Input layer untuk menerima nilai masukan dari tiap record pada data. Jumlah simpul
input sama dengan jumlah variabel prediktor.
b. Hidden layer
Hidden layer mentransformasikan nilai input di dalam network. Tiap simpul pada
hidden layer terhubung dengan simpul-simpul pada hiden layer sebelumnya atau dari
simpul-simpul pada input layer dan ke simpul-simpul pada hidden layer berikutnya atau ke
simpul-simpul pada output layer. Jumlah hidden layer bisa berapa saja.
c. Output layer

Garis yang terhubung dengan Output layer berasal dari hidden layer atau input layer
dan mengembalikan nilai keluaran yang bersesuaian dengan variable prediksi. Keluaran dari
output layer biasanya merupakan nilai floating antara 0 sampai 1 (Kusrini & Luthfi, 2009).
Langkah pembelajaran dalam algoritma backpropagation adalah sebagai berikut
(Myatt, 2007):
1. Inisialisasi bobot jaringan secara acak (biasanya antara -0.1 sampai 1.0)
2. Untuk setiap data pada data training, hitung input untuk simpul berdasarkan nilai
input dan bobot jaringan saat itu
3. Berdasarkan input dari langkah dua, selanjutnya membangkitkan output untuk
simpul menggunakan fungsi aktifasi sigmoid
4. Hitung nilai Error antara nilai yang diprediksi dengan nilai yang sesungguhnya
5. Setelah nilai Error dihitung, selanjutnya

dibalik ke layer sebelumnya

(backpropagated). Untuk menghitung nilai Error pada hidden layer
6. Nilai Error yang dihasilkan dari langkah sebelumnya digunakan untuk memperbarui
bobot relasi.

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Juni 2018. Tempat pelaksanaan
penelitian di Laboratorium Instrumentasi dan Energi, Program Studi Teknik Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kamera penangkap citra,
komputer, dan alat peraga serta software jenis Halcon. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah beras jenis varietas Ciherang, Sanbei dan Sigupai

3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Bahan
Masing-masing varietas beras ini dilakukan sortasi untuk memisahkan beras menjadi
beberapa kriteria, yaitu butir utuh, beras kepala, butir menir, butir patah, butir merah, butir
kuning, butir gabah dan benda asing.
Tabel 2. Definisi untuk masing-masing kriteria mutu fisik beras
No
Mutu Fisik
1 Beras utuh
2 Beras Kepala
3

Butir patah

4

Butir menir

5

Butir kuning

6
7

Butir gabah
Benda asing

Sumber: SNI 6128:2015

Keterangan
Butir beras yang tidak ada patah sama sekali
Butir beras dengan ukuran lebih besar atau sama dengan 0,8 bagian
dari butir beras utuh
Butir beras dengan ukuran lebih besar dari 0,2 sampai dengan lebih
kecil 0,8 bagian dari butir beras utuh
Butir beras dengan ukuran lebih kecil dari 0,2 bagian butir beras utuh
Beras yang berwarna kuning, kuning kecoklat-coklatan dan kuning
semu akibat proses fisik atau aktifitas mikroorganisme
Butir padi yang sekamnya belum terkelupas
Benda-benda selain beras

Gambar 3. Bagian-bagian beras (SNI 6128:2008)

3.3.2 Pengambilan Gambar
Peralatan yang digunakan adalah webcam, kotak pengambilan citra, lampu PL 5 watt
2 buah, dan seperangkat komputer. Jarak kamera dengan objek adalah 20 cm. Sejumlah butir
beras diletakkan di atas background dan diatur supaya tidak terjadi tumpang tindih, kamera
diletakkan tegak lurus dengan bahan uji disertai penerangan yang memadai, terlihat pada
Gambar 4.

Kamera dihubungkan
dengan komputer

.
Gambar 4. Peralatan pengolahan citra digital untuk identifikasi mutu fisik beras

3.3.3 Pengolahan Citra
Setelah diperoleh gambar kemudian dilakukan pengolahan citra untuk mendapatkan
parameter yang diperlukan baik untuk proses training maupun proses validasi. Proses
training ini dilakukan terus menerus hingga tercapai data input optimal dan data input yang
sudah dicapai tersebut digunakan sebagai bahan untuk sistem pemrograman aplikasi.
Proses pengolahan citra dimulai dengan tahapan thresholding, yaitu proses
pemisahan citra berdasarkan batas nilai tertentu. Proses tersebut akan mengubah warna
menjadi citra biner. Tujuan proses thresholding adalah untuk membedakan objek dengan
latar belakangnya. Tahap selanjutnya adalah proses penghitungan nilai-nilai parameter
antara lain R, G, B, RGB rata-rata (color value), luas, keliling, panjang, hue (corak),
saturation (kejenuhan) dan intensity (HSI) dari tiap-tiap piksel citra beras, baik beras utuh,
beras kepala, butir patah, butir menir, maupun gabah.
a. Pengukuran parameter RGB (red, green dan blue).
Paramater RGB diperoleh dari tiap-tiap pixel warna pada citra butir beras yang
merupakan nilai intensitas untuk masing-masing warna merah, hijau, dan biru. Nilai ratarata dari R, G dan B dijumlahkan untuk mendapatkan color value atau RGB rata-rata.
Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan
rumus sebagai berikut :


=

��







�+�+�

=

=

................................................................................................... (1)



�+�+�


�+�+�

................................................................................................ (2)

.................................................................................................. (3)

b. Pengukuran parameter luas, keliling dan panjang setiap butir beras.
Parameter luas, keliling dan panjang dari setiap butir beras diukur dengan mengubah

citra ke dalam bentuk hitam putih. Sedangkan luas obyek dihitung dengan cara menghitung
jumlah piksel yang berwarna putih. Dari pengukuran luas obyek ini didapatkan hasil sebaran
nilai luas obyek dari masing-masing ukuran butir beras. Keliling obyek ditentukan
berdasarkan jumlah piksel yang membatasi obyek dengan latar belakang. Prosedur
pelacakan piksel yang membatasi obyek dengan latar belakang dilakukan dengan cara
membandingkan warna piksel obyek dengan latar belakang. Piksel obyek berwarna putih
dan piksel latar belakang berwarna hitam, maka piksel-piksel putih yang berbatasan dengan
piksel-piksel hitam merupakan piksel terluar dari obyek. Sehingga keliling dapat dihitung

dari penjumlahan pikselpiksel terluar. Dari pengukuran keliling obyek ini didapatkan hasil
sebaran nilai keliling obyek dari masing-masing ukuran butiran beras.
Panjang obyek diperoleh dari pengukuran jarak pada masing-masing piksel terluar
terhadap piksel terluar yang lain dari obyek tersebut. Nilai jarak tersebut kemudian
dibandingkan untuk mencari jarak yang paling panjang. Penentukan panjang digunakan
metode jarak Euclidian. Jarak diperoleh dengan mengalikan jumlah piksel dengan ukuran
piksel. Hasil pengukuran panjang obyek akan diperoleh hasil sebaran nilai panjang obyek
dari masing-masing ukuran butir beras. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur
panjang adalah:
] =√

], [

� [



+



........................................................... (4)

c. Penghitungan parameter hue (corak), saturation (kejenuhan) dan intensity
(intensitas).
Nilai parameter HSI (Hue, Saturation, Intensity) dihitung dengan persamaan (5), (6),
dan (7). Intensity dihitung dengan menjumlahkan nilai intensitas warna merah, hijau, dan
biru (RGB) setiap pixel dari citra sehingga diperoleh algoritma untuk citra abu-abu.
cos

=

=

=



√ �−�
�+�+�

�+�+�

�−�−�

+ �−� �−�

min

..............................................................................(5)

, , � ...............................................................................(6)

.............................................................................................................(7)

3.3.4 Penyusunan Model Multi-Layer Perceptron (MLP)
Arsitektur MLP yang dibangun terdiri dari tiga lapisan (layer), yaitu input layer,
hidden layer, dan output layer. Data yang digunakan sebagai masukan pada input layer
adalah data parameter yang berasal dari pengolahan citra, jumlah noda pada input layer
sebanyak 10 unit, yaitu berupa intensitas warna merah (R), hijau (G), biru (B), RGB ratarata (Color Value), luas, keliling, panjang, dan HSI. Output layer terdiri dari 7 unit yaitu,
butir utuh, beras kepala, butir menir, butir patah, butir merah, butir kuning, butir gabah dan
benda asing.. Sedangkan jumlah noda pada hidden layer adalah sebanyak (2*n)= 20 noda.
Data-data parameter yang dihasilkan pada pengolahan citra merupakan input dalam
jaringan syaraf tiruan. Algoritma yang digunakan dalam jaringan jaringan syaraf tiruan
adalah algoritma backpropagation dengan laju pembelajaran (learning rate) 0,3 dan Logistic
Const 0,5. Menurut Rich dan Knight (1983), algoritma pelatihan backpropagation adalah
sebagai berikut:

1. Inisialisasi.
a. Normalisasi data input xi dan data target tk dalam range (0,1).
b. Seluruh pembobot (wij dan yjk) awal diberi nilai random antara -1,1.
c. Inisialisasi aktivasi thresholding unit, x0 = 1 dan h0 = 1.
2. Aktivasi unit-unit dari input layer ke hidden layer dengan fungsi:
ℎ =

dimana:

−∑

+

..................................................................................................... (8)

wij = pembobot w yang menghubungkan node unit ke-i pada input layer dengan noda
ke-j pada hidden layer.
3. Aktivasi unit-unit dari hidden layer ke output layer dengan fungsi:
=

dimana :

+

−� ∑



.................................................................................................. (9)

σ = Konstanta logistik (logistic contant).
vjk = Pembobot v yang menghubungkan node unit ke-j pada hidden layer dengan noda
ke-k pada output layer.
4. Menghitung error dari unit-unit pada output layer (δk) dan penyesuaiandengan bobot vjk
� =

=

dimana:



� −

...................................................................................... (10)

� � + (�� ℎ ) ...................................................................................... (11)

tk = target output pada noda ke-k
β = konstanta laju pembelajaran
vjk old = pembobot vjk sebelumnya.
5. Menghitung error dari unit-unit pada hidden layer (j) dan menyesuaikannya dengan
bobot Wij
� =ℎ
=

−ℎ ∑ �

� � + ��

..................................................................................... (12)
........................................................................................ (13)

6. Training set (learning) dihentikan jika yk mendekati tk Proses pembelajaran juga dapat
dihentikan berdasarkan error. Salah satu persamaan untuk nilai error adalah dengan
menggunakan Root Mean Square Error (RMSE).
� � = √∑�=

�−



...................................................................................... (14)

����� % =

∑�=

Keterangan:

� −�


% .......................................................................... (15)



Pi = nilai dugaan output ulangan ke-i
ai = nilai aktual output ulangan ke-i
n

= jumlah contoh data

7. Pengulangan (iterasi).
Keseluruhan proses ini dilakukan pada setiap contoh dari setiap iterasi sampai
sistemmencapai keadaaan optimum. Iterasimencakup pemberian contoh pasangan input dan
output, perhitungan nilai aktivasi danperubahan nilai pembobot.

3.3.5 Validasi Model
Validasi dilakukan sebagai proses pengujian kinerja jaringan terhadap contoh yang
belum diberikan selama proses training. Kinerja jaringan dapat dinilai berdasarkan nilai
RMSE (Root Mean Square Error) pada proses generalisasi terhadap contoh data inputoutput baru, nilai RMSE dapat dinotasikan sebagai:

dimana :

� �=

√∑�= �−


............................................................................. (16)

p : nilai prediksi yang dihasilkan oleh jaringana
a : nilai target yang diberikan pada jaringan.
n : jumlah contoh data pada set data validasi
Proses validasi dilakukan dengan memasukkan nilai data contoh set input-output
yang diberikan selama proses training. Jika MLP telah berhasil selama proses pelatihan dan
validasi maka sistem tersebut sudah dapat digunakan untuk aplikasi selanjutnya.

START

Persiapan Bahan dan Sampel

Penentuan jarak kamera,
penyinaran dan latar belakang

Sesuai?

Pengambilan citra

Penentuan parameter mutu fisik beras

Program pengolahan citra
R, G, B, Color value, Luas,
Keliling, Panjang, HSI

Sesuai?

Training

Penentuan bobot

Validasi

Sesuai?

SELESAI

Gambar 5. Diagram alir prosedur penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Adnan; suhartini dan B. Kusbiantoro. 2013. Identifikasi Varietas Berdasarkan Warna dan
Tekstur Permukaan Beras Menggunakan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan
Syaraf Tiruan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. Merauke.

Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2016. Produktivitas Tanaman Padi dan Palawija Aceh.
Aceh.

Badan Standarisasi Nasional. (2008). SNI 6128. 2008. Beras. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. (2015). SNI 6128. 2015. Beras. Jakarta.

Correa, P.C., F.S.D. Silva, C. Jaren, P.C.A. Junior, and I. Arana. 2007. Physical and
mechanical properties in rice processing. Journal of Food Engineering 79: 137-142.

Kadir, A. dan A. Susanto. 2013. Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Yogyakarta: Andi
Offset.

Kusrini, & Luthfi, E. T. (2009). Algoritma Data Mining. Yogyakarta: Andi Publishing.

Mousavi R. S., Akhlaghian T. F. and Mollazade K. (2012) Application of imperialist
competitive algorithm for feature selection: a case study on bulk rice classification.
Int J Comput Appl 40:41–48

Myatt, Glenn J. (2007). Making Sense of Data: A Practical Guide to Exploratory Data
Analysis and Data Mining. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Negnevitsky, M. 2005. Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2nd ed.).
Pearson Education.

Purwaningsih, N. 2016. Penerapan Multilayer Perceptron Untuk Klasifikasi Jenis Kulit
Sapi Tersamak. Jurnal TEKNOIF. Vol. 4 No. 1, ISSN: 2338-2724.

Rahardiani, N. O., Wayan F. N., dan Indriati I. 2017. Optimasi Bobot Multi-Layer
Perceptron Menggunakan Algoritma Genetika Untuk Klasifikasi Tingkat Resiko
Penyakit Stroke. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer,
vol. 2, no. 8, p. 2352-2360, ISSN 2548-964X.

Rathi, S., R.N.S. Yadav, and R.N. Sarma. 2010. Variability in grain quality characters of
upland rice of Assam, India. Rice Science 17(4): 330-333.

Rich, E. and Knight, K. (1983). Artificial Intelligent. Second Edition. McGraw-Hill Inc.
Singapore.

Sadeghi M, Nasrnia E, Masoumi A, Hemmat A (2013) Head rice yield response to low and
high drying and tempering conditions. Int Agrophys 27:219–223.

Setiadi, A. 2012. Penerapan Algoritma Multilayer Perceptron Untuk Deteksi Dini Penyakit
Diabetes. Paradigma Vol. XIV. NO. 1.
Shu-Kai S., and Yen L. 2007. “A multi- level thresholding approach using a hybrid optimal
estimation algorithm”. Pattern Recognition Latters., vol. 28, pp. 662-669
Singh, N., L. Kaur, N.S. Sodhi, and K.S. Sekhon. 2005. Physicochemical, cooking and
textural properties of milled rice from diûerent Indian rice cultivars. Food Chemistry
89: 253–259.

Somantri, A. S., E. Darmawati., I. W. Astika. 2013. Identifikasi mutu fisik beras dengan
menggunakan teknologi pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Jurnal
Pascapanen. 10(2): 95-103.

Somantri, A. S., Miskiyah., Sigit N. 2014. Penentuan Kualitas Giling Beras Menggunakan
Analisis Citra. Jurnal Standardisasi Volume 17 Nomor 1, Hal 47 – 58

Sujito dan M. Yunus. 2016. Pemutuan Fisik Beras Dengan Teknik Pelabelan Flood Filling
Dan Pengukuran Parameter Rgb Citra Digital. Jurnal Informatika Merdeka Pasuruan
Vol.1, No.3. e-ISSN. 2503-1945

Sulardjo. 2014. Penanganan Pascapanen Padi. Magistra No. 88 Th. XXVI. ISSN 0215-9511

Tjitrosoepomo, Gembong.2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta

Varnamkhasti, M., G. Hossein, H. Mobli, A. Jafari, S. Rafiee, M. Heidarysoltanabadi, and
K. Kheiralipour. 2007. Some engineering properties of paddy (var. Sazandegi). Int.
J. Agri. Biol. 9(5): 763-766.

Vercellis, C. (2009). Business Intelligent: Data Mining and Optimizzation for Decision
Making. Southern Gate, Chichester, West Sussex, United Kingdom : John Wiley &
Sons Ltd