Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba (Studi Deskriptif di Desa Tomok Parsaoran Kecamatan Simanindo)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

1.1.

Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban seorang warga negara

untuk memberikan kontribusinya kepada pencapaian tujuan bersama.Sehingga
mereka diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembangunan dengan
menyumbangkan inisiatif dan kreatifitasnya.Sumbangan inisiatif dan kreatifitas dapat
disampaikan dalam rapat kelompok masyarakat atau pertemuan-pertemuan, baik yang
bersifat formal maupun informal. Dalam rapat kelompok atau pertemuan itu, akan
saling memberi informasi antara pemerintah dengan masyarakat. Jadi dalam
partisipasi terdapat komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan antara
sesama anggota masyarakat.
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam
proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan
dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi,
serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Sumaryadi, 2010:
46). Dalam penelitian ini, partisipasimasyarakat yang dimaksud adalah tindakan atau

kegiatan yang dilakukan masyarakat untuk untuk ikut berperan serta berkontribusi
dalam perencanaan dan pembangunan kawasan pariwisata di Danau Toba di Desa
Tomok. Pembangunan akan berhasil jika masyarakat ikut berpartisipasi, karena salah
satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat lokal

18

Universitas Sumatera Utara

dalam program pembangunan di daerah mereka. Masyarakat diikut sertakan dalam
rapat atau pengambilan keputusan terhadap program perencanaan pembangunan
kawasan pariwisata Danau Toba di Desa Tomok Parsaoran, sehingga masyarakat bisa
menyampaikan aspirasi dan melihat langsung program pembangunan apa yang akan
di lakukan di desa mereka serta akan mengetahui program itu bisa diterapkan atau
tidak dengan mereka.
Secara umum ada 2 (dua) jenis definisi partisipasi yang beredar dimasyarakat,
menurut Loekman Soetrisno (1995 : 221-222),yaitu :
1.

2.


Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap
rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam defenisi
ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya
pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan
pembangunan.
Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah di capai.
Ukuran tinggi dan rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak
hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya
pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut
menentukan arah dan tujuan proyek yang akan di bangun di wilayah
mereka.

2.1.2. Bentuk-Bentuk Partisipatif
Menurut Davis (dalam Sastropoetro, 1988 : 16), bentuk-bentuk partisipasi
masyarakat dapat dilihat sebagai berikut, yaitu :
a.

b.
c.

Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa.
Sumbangan spontan berupa uang dan barang.
Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari
sumbangan individu / instansi yang berada diluar lingkungan tertentu
(dermawan, pihak ketiga).

19

Universitas Sumatera Utara

d.

e.
f.
g.
h.


Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari, dan dibiayai seluruhnya oleh
komuniti (biasanya diputuskan oleh rapat komuniti, antara lain, rapat desa
yang menentukan anggarannya).
Sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli
setempat.
Aksi massa.
Mengadakan pembangunan dikalangan keluarga desa sendiri.
Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.

Kemudian Davis juga mengemukakan jenis-jenis partisipasi masyarakat seperti
yang dikutip oleh Sastropoetro (1988 : 16), yaitu sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pikiran (psychological participation).
Tenaga (physical participation).

Pikiran dan tenaga (psychological dan physical participation).
Keahlian (participation with skill).
Barang (material participation).
Uang (money participation).

2.1.3. Teori Partisipasi Arnstein
Partisipasi menurut Arnstein (1969) adalah sebagai kekuatan yang dimiliki
oleh masyarakat untuk mengatasi persoalannya pada masa kini guna mencapai
kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Dijelaskan bahwa partisipasi
merupakan redistribusi kekuatan, yang memungkinkan kaum terpinggirkan secara
ekonomi dan politik untuk dilibatkan dalam perencanaan pembangunan masa depan.
Makna partisipasi yang mengacu pada pendapat Arnstein adalah kekuatan yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mengatasi persoalannya pada masa kini guna
mencapai kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang.

20

Universitas Sumatera Utara

Sherry R. Arnstein (dalam Rosyida, 2011) memberikan model delapan anak

tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on ladder of Citizen Participation). Hal
ini bertujuan untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat.
Tabel 1.2 Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein
No

Tangga/Tingkatan
Partisipasi

HakekatKesertaan

1

Manipulasi
(Manipulation)

Permainan oleh
pemerintah

2


Terapi (Therapy)

3

Pemberitahuan
(Informing)

4

Konsultasi
(Consultation)

Sekedar agar
masyarakat tidak
marah/sosialisasi
Sekedar
pemberitahuan
searah/sosialisai
Masyarakat
didengar tapi tidak

selalu dipakai
sarannya

TingkatanPembagianKekuasa
an

Tidak ada partisipasi

5

Penentraman
(Placation)

Saran masyarakat
diterima tapi tidak
selalu dilaksanakan

6

Kemitraan

(Partenrship)

Timbal balik
dinegoisasikan

7

Pendelegasian
Kekuasaan
(Delegated Power)

Masyarakat diberi
kekuasaan (sebagian
atau seluruh
program)

8

Kontrol Masyarakat
(Citizen Control)


Sepenuhnya
dikuasai oleh
masyarakat

Tokenimse/Sekedar justifikasi
mengiyakan

Tingkat kekuasaan ada di
masyarakat

21

Universitas Sumatera Utara

Partisipasi masyarakat atau keterlibatan masyarakat yang berlaku universal
adalah kerjasama seseorang ataupun suatu kelompok (masyarakat) secara aktif dalam
berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung pada seluruh tahapan.
Adapun tahapan dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan
menurut Cohen dan Uphoff (1979) dapat dijabarkan sebagai berikut yaitu :

a. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan.
b. Tahap partisipasi dalam perencanaan pembangunan.
c. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan.
d. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan.
e. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan.
1. Tahap perencanaan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam
rapat-rapat. Proses perencanaan bermaksud untuk melihat sejauh mana kesadaran
masyarakat dalam memberikan penilaian dan menentukan pemilihan sesuai dengan
kebutuhan mereka sendiri. Seringkali pengambilan keputusan dalam perencanaan
yang dilakukan oleh stakeholders hanya terpusat pada orang-orang yang memiliki
kekuasaan, seperti pihak perusahaan yang lebih merasa mampu dari segala bidang,
sedangkan masyarakat cenderung diabaikan bahkan tidak dilibatkan dalam proses ini,
padahal dalam proses perencanaan, keputusan yang dihasilkan sangat bergantung
pada keberhasilan aktivitas kemudian. Apabila masyarakat diikutsertakan sebagai
subyek dan mampu mengambil keputusan mandiri maka akan lebih baik untuk
keberlanjutan programnya.

22

Universitas Sumatera Utara

2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab
inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini
digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran,
bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota. Tahap pelaksanaan
juga seringkali diartikan sebagai tahap implementasi, bahwa pada tahap ini partisipasi
tidak hanya bernilai sebuah tindakan nyata, namun dapat pula secara tidak langsung
memberikan masukan untuk perbaikan program dan membantu melalui sumber daya.
Tahap pelaksanaan partisipatif sangat berbeda dengan top down dan bottom up,
namun partisipasi dapat berupa gabungan dari kedua pendekatan tersebut, seperti
yang bekerja bukanlah hanya pihak perusahaan, namun bersama merumuskan
kebutuhan kemudian membangun hal yang diperlukan. Seperti contoh pelaksanaan
top down hanya mengikuti instruksi dari pihak tertentu baik instansi atau perusahaan
tanpa secara langsung mengikuti kebutuhan dari masyarakat sehingga banyak
pelaksanaan pembangunan yang menjadi sia-sia dan tidak berkelanjutan.
3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini
merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan
proyek selanjutnya. Evaluasi merupakan kemampuan masyarakat dalam menilai baikburuknya, berhasil-tidak berhasil, dan efektif-tidak efektifnya suatu program. Pada
tahapan ini masyarakat setingkat lebih memahami kegunaan dan kerugian dari suatu
program yang diberikan sehingga mereka dapat menyusun dan mengeksekusi solusi
atas penilaian mereka. Evaluasi juga dapat menilai sejauhmana keberhasilan dan
keefektifan program yang mereka lakukan, sehingga mereka dapat menentukan
secara mandiri dan sadar apakah mereka harus melanjutkan atau meninggalkan
23

Universitas Sumatera Utara

kegiatan tersebut. Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam cenderung lebih sesuai
konteks dengan permulaan difasilitasi oleh orang luar. Apabila evaluasi dilakukan
oleh pihak lain hal ini tentunya menunjukkan belum munculnya partisipasi dari
masyarakat sendiri.
4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi
masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan
melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat
proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Pada tahapan ini
masyarakat sudah mampu merasakan keberhasilan dari program yang telah mereka
lakukan. Mereka juga dapat mengukur hasil yang mereka peroleh dengan potensi
sendiri yang mereka miliki.
Dalam penelitian ini, yang saya ingin teliti adalah pada tahapan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba.
Pembangunan kepariwisataan partisipasi masyarakat merupakan bagian penting
dalam perkembangan destinasi wisata, sebab sebagai salah satu faktor penentu serta
sekaligus indikator keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan. Nilai modal sosial
yang terkandung dalam partisipasi masyarakat merupakan salah satu yang
membentuk pengembangan pariwisata. Peran masyarakat dapat ditumbuhkan dan
digerakkan melalui usaha-usaha pariwisata serta pengembangan komunikasi sosial
yang sehat, yang dilakukan melalui dialog dan bersifat terbuka, terarah, jujur, bebas
dan bertanggung jawab. Dialog yang demikian akan melahirkan gagasan serta
pandangan untuk pembangunan tetap berjalan dan berkeadilan. Untuk itu

24

Universitas Sumatera Utara

pembangunan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat
dan sekitarnya secara langsung.

2.2

Perencanaan Pembangunan Pariwisata
Kebijakan pariwisata memberikan filsafat dasar untuk pembangunan dan

menentukan arah pengembangan pariwisata di destinasi tersebut untuk masa depan.
Sebuah destinasi dapat dikatakan akan melakukan pengembangan wisata jika
sebelumnya sudah ada aktivitas wisata. Dalam pelaksanaan pengembangan,
perencanaan merupakan faktor yang perlu dilakukan dan dipertimbangkan. Menurut
Inskeep (dalam Hidayat, 2011)terdapat beberapa pendekatan yang menjadi
pertimbangan dalam melakukan perencanaan pariwisata, diantaranya:
1. Continous Incremental, and Flexible Approach, dimana perencanaan dilihat
sebagai proses yang akan terus berlangsung didasarkan pada kebutuhan
dengan memonitor feed back yang ada.
2. System Approach, dimana pariwisata dipandang sebagai hubungan sistem dan
perlu direncanakan seperti dengan teknik analisa sistem.
3. Comprehensive Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem diatas,
dimana semua aspek dari pengembangan pariwisata termasuk didalamnya
institusi elemen dan lingkungan serta implikasi sosial ekonomi, sebagai
pendekatan holistik.
4. Integrated Approach, berhubungan dengan pendekatan sistem dan
keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan sebagai
sistem dan keseluruhan dimana pariwisata direncanakan dan dikembangkan
sebagai sistem yang terintegrasi dalam seluruh rencana dan total bentuk
pengembangan pada area.
5. Environmental and sustainable development approach, pariwisata
direncanakan, dikembangkan, dan dimanajemeni dalam cara dimana sumber
daya alam dan budaya tidak mengalami penurunan kualitas dan diharapkan
tetap dapat lestari sehingga analisa daya dukung lingkungan perlu diterapkan
pada pendekatan ini.
6. Community Approach, pendekatan menekankan pada pentingnya
memaksimalkan keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan proses
pengambilan keputusan pariwisata, untuk dapat meningkatkan yang
diinginkan dan kemungkinan, perlu memaksimalkan partisipasi masyarakat
25

Universitas Sumatera Utara

dalam pengembangan dan manajemen yang dilaksanakan dalam pariwisata
dan manfaatnya terhadap sosial ekonomi.
7. Implementable Approach, kebijakan pengembangan pariwisata, rencana, dan
rekomendasi diformulasikan menjadi realistis dan dapat diterapkan, dengan
tehnik yang digunakan adalah teknik implementasi termasuk pengembangan,
program aksi atau strategi, khususnya dalam mengidentifikasi dan
mengadopsi.
8. Application of systematic planning approach, pendekatan ini diaplikasikan
dalam perencanaan pariwisata berdasarkan logika dari aktivitas.

Godfrey & Clarke (113) menyatakan bahwa terdapat dua strategi untuk
perencanaan pembangunan pariwisata, yaitu :
1. Goal
Goal berarti mengembangkan potensi pariwisata di daerah tertentu.Goals
biasanya termasuk aspek-aspek seperti meningkatkan kepuasan pengunjung,
diversifikasi pasar pariwisata, meningkatkan kontribusi pariwisata kepada
ekonomi lokal, dan mengembangkan potensi pariwisata suatu daerah.
2. Objectives
Menentukan atraksi-atraksi baru yang dapat dikembangkan. Mendorong
masyarakat untuk membangun penginapan/homestay. Objectives adalah lebih
spesifik (khusus) dan berhubungan dengan tindakan-tindakan yang aktual.
Objectives bertujuan untuk mengarahkan tindakan yang akan membantu
mencapai goal-goal pembangunan. Jadi objectives harus lebih realistis, dapat
diukur dan mampu dicapai dalam jangka waktu yang ditentukan.
Menurut Godfrey & Clarke “Goals and Objectives” yang realistis adalah inti
untuk pengembangan pariwisata yang sukses.Tourism Action Steps menyangkut
siapa, apa, dimana dan bagaimana yang menjelaskan bagaimana caranya goals and
objectives akan dilaksanakan. Tindakan pariwisata menyatakan apa yang akan
dilakukan, kapan akan dilakukan dan oleh siapa. Tourism Action Steps harus jelas dan
mempunyai jangka waktu yang ditentukan dan tujuan yang diharapkan.Pelaksanaan
tindakan itu dapat didelegasikan secara individu atau berkelompok.
2.3.

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
26

Universitas Sumatera Utara

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan
pelaksanaan perencanaan pembangunan dari bawah secara partisipatif. Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa menjabarkan lebih
lanjut mengenai posisi desa dalam konteks otonomi daerah –termasuk kewajiban desa
untuk membuat perencanaan dengan mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004
tersebut.
Payung hukum untuk pelaksanaan Musrenbang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
secara teknis pelaksanaannya diatur dengan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam
Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap
tahun. Untuk Musrenbang desa, kemudian diterbitkan Permendagri Nomor 66 Tahun
2007 tentang Perencanaan Desa yang memuat petunjuk teknis penyelenggaraan
Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM Desa) 5 tahunan dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan.
Musrenbang adalah forum perencanaan (program) yang diselenggarakan oleh
lembaga publik, yaitu pemerintah desa, bekerjasama dengan warga dan para
pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang yang bermakna akan mampu
membangun kesepahaman tentang kepentingan dan kemajuan desa, dengan cara
memotret potensi dan sumber-sumber pembangunan yang tersedia baik dari dalam
maupun luar desa.

27

Universitas Sumatera Utara

Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu saja dari tiga
komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau
berfungsi. Karena itu, Musrenbang juga merupakan forum pendidikan warga agar
menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan.

2.3.1. Peserta Musrenbang Desa
Pelaksanaan Musrenbang desa sebaiknya diumumkan secara terbuka minimal
7 hari sebelum Hari-H sehingga warga masyarakat siapa pun dapat saja
menghadirinya sebab forum ini adalah milik warga masyarakat desa.Komposisi
peserta.Musrenbang desa akan lebih ideal apabila diikuti oleh berbagai komponen
masyarakat (individu atau kelompok) yang terdiri atas:
a. Keterwakilan wilayah (dusun/kampung/RW/RT);
b. Keterwakilan

berbagai

sektor

(ekonomi/pertanian/kesehatan/pendidikan/

lingkungan);
c. Keterwakilan kelompok usia (generasi muda dan generasi tua);
d. Keterwakilan kelompok sosial dan perempuan (tokoh masyarakat, tokoh adat,
tokoh agama, bapak-bapak, ibu-ibu, kelompok marjinal);
e. Keterwakilan 3 unsur tata pemerintahan (pemerintah desa, kalangan
swasta/bisnis, masyarakat umum);
f. Serta keterwakilan berbagai organisasi yang menjadi pemangku kepentingan
dalam upaya pembangunan desa.

28

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Mekanisme Musrembang Desa

Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
menyebutkan bagaimana mekanisme Musrembang Desa sebagai berikut :
1. Pembukaan dan perumusan tata tertib Musrenbang: 30 menit.
2. Pemaparan dan diskusi panel narasumber: 75-90 menit.
3. Pemaparan dan pembahasan draft Rancangan Awal RKP Desa: 45 menit.
4. Penyepakatan prioritas kegiatan per urusan/bidang pembangunan: diskusi
kelompok 60 menit dan pleno 60 - 90 menit.
5. Pemilihan Tim Delegasi desa: 30 menit.
6. Penandatangan berita acara Musrenbang desa dan penutupan: 15 - 30 menit.

2.4

Penelitian Terdahulu
penelitian yang dilakukan Bappeda Yogjakarta pada tahun 2007 di objek

wisata Tamansari dan Prawirotaman mengatakan sudah ada inisiatif dari beberapa
orang dan belum menjadi kekuatan komunitas yang terorganisir dengan baik.
Multyplayer effect dari keberadaan Tamansari, masyarakat dan sekitarnya terdapat
komunitas perajin Batik dan sanggar Tari. Namun, komunitas-komunitas yang ada di
Tamansari tidak dimanajemen dengan baik, sehinnga perannya sekedar sebagai
penunjang kegiatan pariwisata di situs Tamansari. Sementara untuk kasus
Prawirotaman, peran serta masyarakat untuk terlibat didalam pariwisata masih sangat
rendah. Hubungan masyarakat setempat dengan pengelola hotel, agen wisata, guide
juga sangat buruk. Para pengelola wisata itu tidak pernah melibatkan masyarakat

29

Universitas Sumatera Utara

dalam pengembangan kampung internasional tersebut. Bagi para pengelola, kampung
Prawirotaman adalah ladang bisnis yang independent dari keterlibatan penduduk
lokal. Penduduk lokal disisi lain, adalah bagian terpisah dari industri pariwisata yang
berlangsung di kampung tersebut.
Akibatnya, para pengelola tidak berupaya melibatkan penduduk lokal dalam
bisnis wisata mereka. Adapun model pengembangan pariwisata yang diinginkan oleh
masyarakat yaitu model kampung budaya. Sebab masyarakat di sekitar Tamansari
sudah memiliki potensi dan modal budaya (cultural capital) yang beragam seperti
kerajinan batik tradisional, gejog lesung, wayang kulit, pandai besi dan lain-lain,
maka ada beberapa metode yang perlu dilakukan, yakni pertama, menyadarkan
masyarakat bahwa seluruh kegiatan pariwisata yang ada di Tamansari adalah wisata
budaya (cultural tourism) lintas sektor. Kedua, mengidentifikasi batasan-batasan
kegiatan pariwisata tradisional guna menyediakan pengalaman dan interaksi budaya
yang lebih beragam dan berjangkauan luas. Ketiga, melakukan desain baru untuk
memperbaiki

yang

sudah

ada

guna

menciptakan

pengalaman-pengalaman

berpariwisata. Keempat, mengaitkan pengembangan wisata dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Kelima, menciptakan suatu produk sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan pariwisata. Keenam, menciptakan produk-produk wisata lain
berbekal modal budaya untuk memperoleh kemandirian dan kesejahteraan ekonomi
sendiri.
Sedangkan model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang efektif
untuk dikembangkan di prawirotaman adalah model kampung internasional yang
memerlukan adanya dorongan yang dari pemerintah dan operator pariwisata (decision
30

Universitas Sumatera Utara

maker) untuk mengajak dan melibatkan masyarakat setempat dalam mengelola dan
mengambangkan kampung internasional Prawirotaman. Oleh karena itu, masyarakat
berharap pengambil kebijakan di tingkat eksekutif dan legislatif mau memperhatikan
inisiatif dan potensi lokal yang ada. Pemerintah dan dinas terkait, selaku pelaksana
kebijakan, diharapkan menjadi fasilitator bagi munculya partisipasi masyarakat lokal
dalam pengembangan kampung internasional tersebut. Dalam hal ini, pemerintah
misalnya menfasilitasi masyarakat setempat untuk kursus bahasa asing, pelatihan
manajemen pariwisata, pelatihan guide, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan
pariwisata. Potensi ekonomi yang dapat dikembangkan di kampung Prawirotaman
tersebut misalnya menciptakan unit-unit usaha kecil yang dikemas secara menarik
dan menjadi bagian dari daya tarik kampung Prawirotaman. Pihak pengelola wisata
dapat membantu permodalan dan promosi unit ekonomi masyarakat tersebut.
Sebaliknya, unit eknomi masyarakat juga membantu mempromosikan keberadaan dan
keunikan hotel, guest house, kafe dan lainnya secara terpadu.

31

Universitas Sumatera Utara