Deteksi dan Analisis Ekspresi Transgen (PhGH) Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Transgenik F3

6

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Teknologi Molekuler Dalam Akuakultur
Saat ini keamanan pangan telah menjadi isu hangat di masyarakat baik di
dalam maupun di luar negeri. Produksi akuakultur diharapkan dapat ditingkatkan
beberapa kali lipat untuk memenuhi kebutuhan pangan berupa ikan dimasa-masa
mendatang akibat peningkatan populasi manusia. Intensitas dan kapasitas
produksi diharapkan meningkat dengan menggunakan pendekatan bioteknologi.
Salah satu teknik modern yang diduga akan menjadi sarana yang berguna dalam
pengembangan akuakultur adalah teknologi transfer gen. Teknik ini telah
diaplikasikan pada spesies yang memiliki nilai ekonomis (Alimuddin dkk., 2003).
Untuk meningkatkan keberlanjutan budidaya, umumnya dilakukan
pembiakan secara selektif untuk mengembangkan strain yang tampil baik di
penangkaran. Sayangnya, keberlanjutan berbagai sektor industri secara negatif
dipengaruhi oleh inbreeding, wabah penyakit, produksi rendah dan kualitas
daging yang rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan pengembangan
strain ikan berkualitas tinggi yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi,
tahan terhadap penyakit dan memiliki nilai gizi tinggi (Ding dkk., 2015).
Pengenalan teknik molekuler di samping metode bioteknologi yang lebih

tradisional telah memasok sumber daya untuk meningkatkan produksi secara
signifikan dalam dunia akuakultur. Kekayaan informasi yang diberikan oleh
berbagai proyek genom dan kemajuan dalam genomik fungsional dan teknologi
transgenik telah menambahkan sumber daya baru untuk bidang bioteknologi.
Potensi aplikasi pendekatan baru khusus untuk bioteknologi akuakultur bisa
membawa kita lebih dekat untuk mencapai tuntutan pertumbuhan dunia

7

akuakultur. Termasuk peningkatan kebutuhan produksi pangan secara global,
penemuan dan pengembangan sumber daya alam yang baru serta kesadaran akan
penurunan keanekaragaman hayati dan efek merugikan masyarakat modern
terhadap lingkungan (Melamed dkk., 2002).
Biologi dan Taksonomi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah
sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia


Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Ordo

: Ostariophysi

Family

: Clariidae

Genus

: Clarias


Spesies

: Clarias gariepinus

Clarias gariepinus didistribusikan secara luas di Afrika dan asia. Habitat
utamanya adalah danau yang tenang, sungai dan rawa-rawa di daerah yang banjir
secara musiman. Di alam ikan ini bersifat omnivora, makan bahan tanaman,
plankton, anthropods, moluska, ikan, reptil dan amfibi (Vitule dkk, 2006).
Clarias gariepinus adalah ikan air tawar yang ditemukan di daerah tropis
Afrika Barat. Mereka tersebar luas di Asia dan Afrika dan mereka mendiami
sebagian danau, kolam dan sungai. Makanan utama dari spesies ini adalah
plankton, larva serangga, siput, krustasea, cacing dan ikan kecil. Spesies Clarias
keluarga Clariidae biasa disebut "Mudfish" dan terpisah dari nila. Clarias adalah
spesies ikan yang paling berbudaya di Nigeria dan ikan ini umumnya kuat,

8

mereka memiliki organ pernapasan aksesori, terdiri dari ruang udara yang berisi
berisi dua struktur arborescent terletak di busur branchial keempat, yang
dilindungi oleh tulang rawan dan ditutupi oleh jaringan vaskuler yang dapat

menyerap oksigen langsung dari atmosfer. Spesies ikan ini memungkinkan
mereka mentolerir kondisi air yang buruk di mana spesies ikan budidaya lainnya
tidak dapat bertahan hidup (Ulufayo, 2009).
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan budidaya tergantung pada
padat tebar, bibit lele dumbo cenderung tampil lebih baik di kepadatan penebaran
425 ikan per m dibandingkan dengan padat tebar tinggi 850 dan 1.275 ikan per m,
oleh karena itu mungkin tidak menguntungkan untuk benih stok C. gariepinus
pada kepadatan tebar sangat tinggi (Akinwole dkk, 2014).
Kombinasi faktor fisik, kimia dan faktor biologis, seperti perubahan
tingkat air, kimia, pH, suhu, kejelasan dan kecepatan aliran, peningkatan jumlah
tanaman marjinal, perubahan kimia terkait dan akses ke daerah pemijahan yang
cocok merupakan penentu untuk memicu pemijahan lele (Yalcin dkk, 2001).
Sumber ikan (liar atau kolam), jenis kelamin, masa aklimatisasi dapat
mengerahkan beberapa pengaruh terhadap beberapa karakteristik hematologis
Clarias gariepinus sehingga perlu untuk memperhitungkan faktor-faktor tersebut
dalam penilaian dan pelaporan indeks hematologis (Gabriel dkk, 2004).
Teknologi Transgenesis
Transfer gen pertama kali berhasil dilakukan pada ikan dilaporkan dari
China pada pertengahan 1980-an. Sejak itu, transfer gen telah dicapai dalam
banyak spesies akuakultur dan negara lainnya yang kebanyakan targetnya

melibatkan hormon pertumbuhan gen. Set kromosom dan manipulasi sex yang

9

intensif diselidiki di tahun 1970-an dan 1980-an di beberapa spesies dan masih
sedang disempurnakan. Hal ini mulai mempengaruhi industri selama tahun
1980an. Teknik molekuler (penanda DNA dan manipulasi gen) secara intensif
diselidiki sejak pertengahan 1980-an dan kemudian mencapai aplikasi pertama
pada pertengahan 1990-an (Hulata, 2001).
Transgenesis

merupakan

teknik

rekayasa

genetik

dengan


cara

mengintroduksi gen pengode karakter unik yang dapat memberikan nilai tambah
bagi organisme target (Alimuddin dkk., 2008). Sebagai contoh, transfer gen
pengode hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) untuk meningkatkan laju
pertumbuhan ikan coho salmon (Onconhyncus kisutch) hingga beberapa kali lipat
(Devlin dkk, 1994), gen cecropin terhadap channel catfish (Ictalarus punctatus)
(Dunham, 2002) atau lisozim terhadap ikan zebra (Brachydanio rerio) (Yazawa
dkk, 2005) untuk meningkatkan resistensi terhadap bakteri pathogen, dan protein
antibeku (antifreeze protein) terhadap ikan atlantic salmon (Salmo salar) (Du
dkk., 1992) dan ikan coho salmon (Oncorhyncus kisutch) (Devlin dkk., 1995)
untuk meningkatkan daya tahan terhadap suhu dingin.
Saat ini memungkinkan untuk memperkenalkan setiap gen asing yang
menarik ke dalam genom tanaman dan hewan melalui teknologi transfer gen.
Ketika gen terintegrasi, diwariskan dan diekspresikan maka organisme transgenik
tersebut memperoleh genotipe baru dan fenotipe tergantung pada sifat dan
kekhasan dari gen yang diintroduksikan serta kekuatan dari promotor untuk
mendorong ekspresi dari gen tersebut (Hew dan Garth, 2001).
Dari berbagai teknik molekuler yang tersedia sejauh ini nampaknya

transgenesis akan menjadi salah satu teknologi yang paling signifikan. Produksi

10

organisme hasil rekayasa genetika atau GMO dalam beberapa kasus
dikombinasikan dengan bentuk-bentuk perbaikan genetik menawarkan peluang
yang cukup besar untuk lebih efisien dan lebih efektif dalam budidaya di berbagai
spesies (Beardmore dan Joanne, 2003).
Pengembangan dan penerapan teknologi penanda DNA sudah digunakan
dalam bidang lain seperti sistematika molekuler, genetika populasi, biologi
evolusi, ekologi molekuler, genetika konservasi, dan pemantauan keamanan
makanan laut. Hal tersebut pasti akan berdampak pada industri akuakultur dengan
cara yang tak terduga. Studi populasi dan genetika konservasi mengubah peran
penting bidang pembenihan dan budidaya yang dijalankan untuk pembesaran dan
pemulihan stok ikan liar (Liu dan Cordes, 2004).
Budidaya merupakan salah satu industri yang paling cepat berkembang di
seluruh dunia pertanian. Salah satu faktor yang paling penting untuk budidaya
berkelanjutan adalah pengembangan strain budaya berkinerja tinggi. Manipulasi
genom menawarkan metode yang kuat untuk mencapai pemuliaan ikan secara
cepat dan terarah yaitu metode pemuliaan ikan dengan berbasis teknologi

transgenik. Metode ini menawarkan peningkatan efisiensi, presisi dan
prediktabilitas

dalam

perbaikan

genetik

atas

metode

tradisional

serta

kemungkinan akan memainkan peran utama di masa pembiakan genetik pada ikan
(Ding dkk., 2015).
Diprediksi bahwa pada tahun 2030 penduduk di seluruh dunia akan

melebihi delapan miliar orang, dengan demikian perikanan dan akuakultur
tradisional tidak akan mampu memenuhi permintaan manusia terhadap ikan. Studi
pada pemuliaan hormon pertumbuhan (GH) ikan transgenik telah dikembangkan

11

dengan baik. Oleh karena itu, pertumbuhan ikan transgenik yang ditingkatkan
mungkin dapat menjadi hewan transgenik yang dikomersialkan untuk produksi
pangan (Zhong dkk., 2012).
Teknologi transgenik dapat digunakan dala berbagai bidang dan fungsi
antara lain untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan, kontrol kematangan
seksual, kemandulan dan diferensiasi seks, meningkatkan kelangsungan hidup
dengan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit terhadap patogen, beradaptasi
dengan lingkungan yang ekstrim seperti tahan terhadap suhu dingin, mengubah
karakteristik biokimia dari dalam daging untuk meningkatkan kualitas gizi dan
mengubah jalur biokimia atau metabolik untuk meningkatkan pemanfaatan
pangan (Hew dan Garth, 2001).
Kekuatan yang mendorong dalam penerapan teknologi transgenik pada
ikan adalah keinginan untuk menghasilkan induk yang secara genetik unggul
untuk produksi pangan. Kemajuan dalam penerapan teknologi transgenik terhadap

ikan budidaya sudah sangat cepat. Potensi ekonomi yang menguntungkan dari
teknologi transgenik tersebut terhadap bidang budidaya sangatlah penting. Isolasi
dan konstruksi gen untuk sifat yang diinginkan dan mentransfer gen tersebut ke
dalam tubuh induk dapat memberikan lompatan atau kelebihan dibanding seleksi
dan pemuliaan metode tradisional. Selain itu, sifat-sifat baru tidak muncul dalam
genom dapat ditransfer dari spesies tertentu, sehingga memungkinkan produksi
fenotipe baru (Fletcher dan Peter, 1991).
Pengembangan teknik editing genom memungkinkan untuk memodifikasi
beberapa gen di lokasi yang tepat dengan efisiensi tinggi dan dalam waktu
singkat. Karakteristik ini membuat pendekatan yang cocok untuk meningkatkan

12

strain budidaya. Lebih penting lagi, proses ini didasarkan pada perbaikan DNA
homologi yang terarah, sehingga tidak membawa elemen DNA asing, melainkan
memodifikasi DNA endogen itu sendiri. Oleh karena itu, bila dikombinasikan
dengan manipulasi PGC (primordial germ cell) spesifik dan teknik manipulasi
genom konvensional (seperti manipulasi poliploidi), teknik ini harus membuat
pembudidayaan ikan (dan hewan lainnya) menjadi lebih efisien, lebih tepat dan
lebih dapat diprediksi (Ding dkk,. 2015).

Pengembangan penanda genetik berbasis DNA memiliki dampak
revolusioner pada genetika hewan. Secara teori penanda DNA digunakan untuk
mengamati dan memanfaatkan variasi genetik di seluruh genom. Penanda genetik
populer di masyarakat akuakultur termasuk allozymes, DNA mitokondria, RFLP,
RAPD, AFLP, mikrosatelit, SNP, dan EST marker. Penerapan penanda DNA
telah memungkinkan suatu kemajuan yang pesat dalam penyelidikan variabilitas
genetik dan inbreeding dalam bidang budidaya, pemilihan induk, spesies dan
identifikasi strain serta pembangunan peta genetik dengan resolusi tinggi untuk
spesies akuakultur (Liu dan Cordes, 2004).
Teknik Transfer Gen
Perkembangan teknologi ilmiah mempercepat penelitian ilmiah dan
mengubah yang "tidak mungkin" menjadi "mungkin". Meskipun komersialisasi
ikan transgenik menghadapi masalah non-ilmiah yang signifikan, saat ini belum
ada bukti konklusif dari masalah keamanan terkait dengan komersialisasi
organisme hasil rekayasa genetika (GMO). Namun demikian, perlu dilakukan
evaluasi jangka panjang serta keamanan sebelum hewan GM diotoriasi ke pasar
komersial. Selain transgenesis, baru-baru ini mengembangkan teknik editing

13

genom menyediakan alat yang sangat besar yang berharga untuk pembibitan ikan.
Dalam waktu dekat, pengenalan editing genom dalam pembudidayaan ikan
konvensional akan memungkinkan peneliti untuk secara langsung dan tepat
meningkatkan sifat-sifat tertentu tanpa mempengaruhi sifat-sifat lainnya. Karena
pendekatan ini tidak lagi menggunakan fragmen gen eksogen, melainkan
memodifikasi informasi genetik itu sendiri sehingga layak untuk memainkan
peran utama dalam masa depan pemuliaan genetik ikan dan pengembangbiakan
hewan lain (Ding dkk., 2015).
Penggunaan teknologi transgenesis di Indonesia untuk memproduksi ikan
lele tumbuh cepat dimulai sejak tahun 2008. Ada dua teknik dalam transfer gen
yaitu dengan teknik elektroforasi dan mikroinjeksi. Penggunaan metode
mikroinjeksi pada embrio ikan lele memiliki kelemahan antara lain yaitu
memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi dalam aplikasinya, telur yang
diinjeksi seringkali pecah dan menempel pada jarum mikroinjeksi, dan jumlah
embrio yang berhasil menetas dan hidup sampai menjadi dewasa sangat rendah
dibandingkan dengan jumlah telur yang dihasilkan ikan lele sehingga peluang
mendapatkan induk ikan lele yang mampu mentransmisikan transgen pada
anakannya sangat rendah (Dewi dkk., 2013).
Penggunaan teknik elektroforasi dibandingkan dengan mikro injeksi,
teknik transfer gen melalui elektroforasi dengan menggunakan media sperma
relatif lebih mudah dan efisien, karena ribuan telur dapat diproses dalam waktu
bersamaan dengan menggunakan teknik fertilisasi buatan (Cheng dkk., 2002).
Mikroinjeksi DNA asing ke dalam inti oosit atau sitoplasma telur yang
dibuahi merupakan metode yang paling umum digunakan untuk memproduksi

14

ikan transgenik. Hasil percobaan menggunakan teknik ini mendukung keyakinan
bahwa strain ekonomis penting ikan dapat dikembangkan menggunakan transfer
gen. Cara ini terlalu memakan waktu dan membutuhkan tenaga kerja yang intensif
untuk digunakan dalam menghasilkan sejumlah besar ikan. Saat ini juga telah
banyak delakukan transfer gen dengan menggunakan media sperma dan metode
elektroforasi (Xie dkk, 1993). Elektroporasi merupakan alternatif yang meredakan
banyak masalah ini dan memiliki potensi untuk melakukan transfer gen lebih
efisien (Hostetler dkk., 2003).
Beberapa penelitian pembentukan strain ikan transgenik telah berhasil
dilakukan pada ikan dengan menggunakan beberapa metode yaitu ikan kerapu
tikus (Cromileptes Altivelis) transgenik dengan metode elektroporasi dan
mikroinjeksi (Subyakto dkk., 2010), ikan medaka (Oryzias latipes) transgenik
dengan metode particle gun (Kinoshita dkk., 2003) dan ikan kakap silver (Sparus
sarba ) transgenik dengan metode transfeksi (Lu dkk., 2002).
Sperma memiliki kelebihan dalam bertindak sebagai media transfer gen,
karena sperma menggunakan vektor alami dalam mentransfer gen. Sel sperma
telah digunakan sebagai vektor transfer gen pada ikan. Masuknya konstruksi gen
ke dalam sperma dapat dipermudah dengan penggunaan elektroporator dan
efektifitas transfer gen dengan elektroporasi sperma sangat dipengaruhi kondisi
listrik dan parameter biologi (Faqih, 2011).
Pemanfaatan teknik transfer gen dalam peningkatan laju pertumbuhan
melalui teknik elektroforasi dengan media transfer sperma telah berhasil
dilakukan pada ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ikan lele dumbo yang
diintroduksikan gen PhGH memiliki bobot badan yang lebih bervariasi serta

15

terdapat individu ikan lele dengan bobot hampir duakali lipat dibandingkan bobot
rata-rata populasi ikan lele normal (non transgenik) (Dewi dkk., 2013).
Sekali gen asing terintegrasi ke dalam genom resipien, gen tersebut akan
diwariskan ke keturunannya melalui germ line. Sebagai contoh, tingkat
pertumbuhan dapat dipercepat dengan mengintroduksi gen yang mengkodekan
hormon pertumbuhan yang mensintesa peptida hormon pertumbuhan dalam
jumlah yang besar dan daya tahan terhadap suhu dingin dapat diperoleh dengan
memasukkan gen yang mengkodekan protein antibeku (antifreeze protein) dari
ikan yang hidup di temperatur subzero (Alimuddin dkk., 2003).
Lebih dari 35 jenis spesies ikan yang berbeda telah digunakan dalam studi
transfer gen sejak ikan transgenik pertama kali dibentuk. Keturunan ikan
transgenik telah dihasilkan dengan memanfaatkan hormon pertumbuhan (GH)
yang ditransmisikan melalui beberapa germ-line (Wei dan Zhu, 2010). Lokalisai
produk gen memiliki fungsi yang kritis, sehingga kontrol lokasi transgen
merupakan teknik penting dalam studi transgenik (Tanaka dan Masato, 2001).
Hormon Pertumbuhan (GH)
GH adalah salah satu dari beberapa gen yang saat ini digunakan dalam
pemuliaan ikan transgenik (Wei dan Zhu, 2010). Gen pengontrol hormon
pertumbuhan (growth hormone, GH) merupakan gen target yang paling banyak
digunakan dalam transgenik ikan. Introduksi gen hormon pertumbuhan (GH) pada
ikan telah berhasil diaplikasikan dalam rangka peningkatan kecepatan
pertumbuhan (Parenrengi dkk., 2009).
Hormon pertumbuhan (GH) adalah hormon yang diproduksi pluripotent
oleh kelenjar hipofisis di teleosts seperti dalam vertebrata lainnya. GH membawa

16

aksinya dengan mengikat reseptor pass-transmembran tunggal dan reseptor GH
(GHR) pada jaringan target (Reinecke dkk., 2005).
Sifat

biologis

hormon

pertumbuhan

(GH)

adalah

pleiotropic,

menggambarkan pertumbuhan, mobilisasi energi, perkembangan gonad, nafsu
makan dan perilaku sosial. Dengan demikian, pengaturan jaringan untuk GH
bersifat kompleks dan mencakup banyak endokrin dan faktor lingkungan yang
sesuai untuk keadaan fisiologis yang beragam dimana GH terlibat. Pada ikan,
kontrol neuroendokrin GH bersifat multifaktorial dengan beberapa inhibitor dan
stimulator sekresi hipofisis GH (Canosa dkk., 2006).
Sifat biologis GH tidak hanya untuk mengendalikan pertumbuhan tetapi
juga perkembangan gonad. GH merupakan faktor penting dalam perkembangan
seksual dari berbagai spesies. Dalam ikan mas betina, penerapan berbagai
konsentrasi steroid yang berbeda pada kultur primer sel hipofisis menyebabkan
pelepasan GH. Intinya, mempelajari sifat-sifat perkembangan reproduksi dan
gonad dari GH ikan transgenik memberikan parameter fisik populasi untuk
mengevaluasi keamanan lingkungan. GH Ikan transgenik menyediakan sebuah
sistem yang berguna untuk mempelajari mekanisme interaksi antara somatotropic
dan sumbu gonadotropic ikan (Wei dan Zhu, 2010).
Ikan Lele Transgenik
Beberapa keturunan ikan transgenik telah dihasilkan melalui teknik
transfer gen hormon pertumbuhan (GH) diantaranya yaitu gold fish (Carrasius
auratus L) (Zhu dkk., 1985), zebra fish (Bayer dan Jose, 1992),

ikan nila

(Oreochromis niloticus) (Kobayashi dkk., 2007), coho salmon (Devlin dkk.,
1994), ayu fish (Plecoglossus altivelis) (Cheng dkk., 2002), ikan medaka (Oryzias

17

latipes) (Inoue dkk., 1990; Murakami dkk., 1994; Ono dkk., 1997), ikan kerapu
tikus (Cromileptes Altivelis) (Subyakto dkk., 2010), ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) (Dewi dkk., 2013).
Proses dari produksi hewan transgenik terdiri atas beberapa tahapan secara
ringkas yaitu identifikasi gen yang diinginkan (gen target), isolasi gen target,
amplifikasi gen target untuk memproduksi beberapa kopi, penggabungan gen
target dengan promoter yang tepat dan sekuens poly serta insersi kedalam
plasmid, multiplikasi plasma di dalam bakteri dan recovery konstruksi kloning
untuk injeksi, transfer konstruksi kedalam jaringan resipien, integrasi gen kedalam
jaringan resipien, ekspresi gen pada genom resipien, dan pewarisan gen pada
generasi selanjutnya (Beardmore dan Porter, 2003).
Pembentukan strain ikan lele C.gariepinus cepat tumbuh dilakukan
melalui program seleksi dan transgenesis. Program seleksi dilakukan pada
karakter pertumbuhan menggunakan metode seleksi individu, dengan target
peningkatan laju pertumbuhan 30% dan tingkat inbreeding rendah. Transgenesis
dilakukan melalui penyisipan gen pengkode hormon pertumbuhan ikan patin siam
(PhGH) menggunakan metode elektroporasi dengan media transfer sperma
dengan target peningkatan laju pertumbuhan 100% dan FCR rendah (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2012).
Pembentukan strain ikan lele tumbuh cepat generasi F0 dilakukan dengan
menggunakan teknologi transgenesis melalui metode elektroforasi. Konstruksi
gen yang digunakan adalah all fish yang tersusun dari gen GH yang berasal dari
patin siam (PhGH) dan

promoter β-aktin dari ikan mas. Hasil penelitian

18

menunjukkan bahwa gen PhGH mampu terinsersi dan terekspresi pada ikan lele
dumbo generasi F0 (Dewi dkk., 2013).
Deteksi Transgen
DNA mreupakan sebuah polimer panjang yang tidak bercabang yang
terdiri dari empat subunit yang berbeda yaitu deoksiribonukleotida yang
mengandung adenin basa nitrogen (A), sitosin (C), guanin (G) dan timin (T). Basa
nitrogen dapat dibagi menjadi dua kategori kimia yaitu A dan G merupakan purin,
T dan C adalah pirimidin. Subunit biasanya disebut sebagai nukleotida, asam
nukleat atau pasangan basa (basa dalam kasus DNA untai tunggal). Setiap
nukleotida mengandung gula pentosa (5-carbon-ring) dan basa nitrogen. Kelima
(5-prime atau 5 ') karbon dari ring pentosa terhubung ke ketiga (3-prime, atau 3')
karbon dari ring pentosa berikutnya melalui gugus fosfat dan basa nitrogen tetap
keluar dari gula phosphate. Orientasi 5 '/ 3' ini menunjukkan polaritas sepanjang
untai DNA, dimana semua nukleotida dalam untai yang sama diatur dengan cara
yang sama. Dengan konvensi urutan DNA dibaca dari 5 'ke 3' sehubungan dengan
polaritas untai. Sebuah molekul DNA terdiri dari dua untai nukleotida terikat
bersama oleh ikatan hidrogen (Chapman dan Hall, 1995).
Ekspresi Transgen
Ekspressi gen dianalisis dengan mengukur level mRNA dan protein.
Messenger RNA dari gen asing dapat dideteksi menggunakan probe (fragment
DNA yang diberi label radioaktif biasanya berupa

35

P) dan protein dengan cara

immunodeteksi dengan menggunakan antibodi. Akan tetapi kedua metode ini
membutuhkan banyak waktu dan relatif kompleks. Oleh karena itu, untuk

19

mengembangkan promoter/enhanser yang baik diperlukan suatu metode yang
sederhana dan cepat untuk mendeteksi ekspresi gen (Alimuddin dkk., 2003).
Modifikasi gen endogen melalui rekombinasi homolog (penargetan gen)
pada ikan akan menjadi alat yang sangat ampuh untuk pemuliaan genetik dan
studi dasar ekspresi gen dan untuk memahami fungsi dari produk gen (Yoshizaki
dkk., 2000). Pembentukan metode untuk mengintroduksikan gen eksogen ke
dalam suatu organisme untuk menurunkan gen eksogen ke generasi selanjutnya
dan untuk mengarahkan ekspresi yang sesuai dari gen eksogen adalah salah satu
kriteria dasar dan sangat diperlukan untuk suatu organisme (Tanaka dkk
Kinoshita, 2001).
Mekanisme gen eksogen diintegrasikan ke dalam genom inang telah
menjadi topik utama penelitian transgenik. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa
transgen terintegrasi secara acak dan beragam ke dalam ikan. Jumlah susunan
salinan transgen memberikan pengaruh represif pada ekspresi. Beberapa
penelitian melaporkan penurunan pada level ekspresi per copy melalui
peningkatan

jumlah

copy,

sementara

dengan

penurunan

jumlah

copy

menghasilkan peningkatan pada ekspresi transgen (Wei dan Zhu, 2010).
Gen yang ditransfer akan direplikasi tanpa mengalami integrasi ke dalam
genom resipien pada awal perkembangan embrio (Iyengar dkk., 1996). Setelah
mengalami beberapa pembelahan sel, beberapa gen asing tersebut terintegrasi
secara acak di genom resipien di salah satu blastomer yang diikuti dengan
pembentukan concatemer. Gen asing terintegrasi stabil di dalam sel resipien, dan
dalam bentuk ekstrakromosomal terdegradasi oleh endogenous nuclease
(Alimuddin dkk., 2003).

20

Ekspresi gen asing atau transgen yang diintroduksi adalah dikontrol oleh
suatu urutan DNA yang disebut promoter. Kemampuan promoter dalam
mengendalikan ekspresi gen asing yang diintroduksi merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan transgenesis. Jenis promoter yang digunakan akan
menentukan letak, waktu dan tingkat ekspresi transgen. Dalam hubungannya
dengan tempat aktivitasnya, promoter dapat dibedakan menjadi promoter yang
aktif di mana-mana (ubiquitous), dan promoter yang aktif pada jaringan tertentu
seperti hanya aktif di hati, otak atau di gonad saja. Hal lain yang diduga
menyebabkan tingginya ekspresi transgen adalah terekspresinya plasmid-plasmid
DNA, tetapi seiring dengan fase perkembangan larva, plasmid-plasmid DNA
tersebut ikut terdegradasi (Alimuddin dkk., 2008).
Ekspresi transgen b-aktin pada ikan mas (Cyprinus carpio) masih tetap
terlihat pada larva, sekitar 71,61% ± 6,76% larva mengekspresikan transgen,
tetapi ekspresi tersebut tidak spesifik pada suatu organ, karena promoter b-aktin
memiliki sifat yang dapat aktif pada semua jaringan/ sel otot (Alimuddin et al.,
2008). Gen b-actin yang berasal dari ikan mas dikendalikan oleh beberapa unsur
regulasi. Unsur promotor proksimal mengarahkan tingkat ekspresi yang cukup
tinggi, sehingga dapat digunakan dalam transfer gen pada ikan (Liu dkk., 1990).
Gen b-actin merupakan protein yang melimpah di hampir semua semua
tipe sel, menunjukkan bahwa promoter ini sangat aktif dan serbaguna. Pada
beberapa jenis ikan, ekspresi terdapat juga dikulit, insang dan jaringan peripheral
(sekeliling tubuh) lainnya (Alimuddin dkk., 2003).
Gen b-actin diatur pada tingkat transkripsi oleh faktor protein trans-acting
yang mengikat urutan DNA cis-acting dalam bagian promotor. Meskipun gen

21

aktin diekspresikan dalam seluruh jaringan, gen aktin individu menunjukkan
spesifitas jaringan dan perkembangan dalam ekspresinya. Gen b-aktin dinyatakan
dalam jenis sel tertentu, mungkin karena perbedaan pengikatan faktor transkripsi
untuk elemen regulasi gen (Liu dkk., 1990).
Introduksi gen pengkode karakter yang diharapkan ke ikan harus bisa
ditranskripsi dan ditranslasi secara akurat dalam ikan resipien. Namun demikian,
pengontrolan ekspresi gen pada ikan masih belum banyak diketahui sebagai akibat
dari belum banyaknya gen ikan yang diklon dibandingkan dengan vertebrata
tingkat

tinggi.

Oleh

karena

itu,

umumnya

peneliti

menggunakan

promoter/enhanser yang diperoleh dari vertebrata lainnya atau dari virus yang
menginfeksinya (Alimuddin dkk., 2003).
PCR dan analisis sekuensing menunjukkan bahwa gen asing yang
terintegrasi dalam ikan mas transgenik adalah head-to-head dan head-to-tail.
Transgen diekpresikan tergantung pada jumlah salinan transgen. Semakin sedikit
jumlah salinan transgen terintegrasi di kromosom inang, maka semakin tinggi
efisiensi ekspresi transgen. Jumlah salinan transgen yang rendah juga akan
mengakibatkan transmisi transgen tetap stabil pada germ-line melalui generasi
yang berbeda. Namun, ukuran hewan transgenik tidak berkorelasi dengan baik
dengan jumlah salinan transgen (Wei dan Zhu, 2010).
Karena integrasi transgen terjadi secara acak, lokasi penyisipan transgen
tidak dapat diketahui dengan tepat. Jumlah salinan di lokasi penyisipan juga tidak
dapat dikontrol, yang mengarah untuk menurunkan rasio fungsional integrasi dan
efisiensi yang lebih rendah dari ekspresi transgen. Proses integrasi secara acak
merupakan racun bagi ikan target. Ekspresi transgen tidak dapat dikonfigurasikan

22

saat ikan transgenik diproduksi dengan metode konvensional. Membentuk
generasi ikan transgenik yang stabil dengan sifat yang diinginkan untuk budidaya
merupakan tugas yang sulit. Dengan demikian, target dan kontrol ekspresi
transgen dalam ikan telah menjadi fokus penelitian dalam beberapa tahun terakhir
(Wei dan Zhu, 2010).
Ekstraksi DNA/RNA
Ekstraksi DNA merupakan prosedur rutin dalam analisis molekuler.
Jumlah dan kualitas DNA hasil ekstraksi bervariasi tergantung dari spesies yang
digunakan sehingga mempengaruhi analisis lebih lanjut seperti hibridisasi DNA,
pemotongan DNA dengan enzim restriksi maupun analisis dengan Polymerase
Chain Reaction (PCR) (Pharmawati, 2009).
Ekstraksi untuk mendapatkan DNA berkualitas tinggi merupakan satu
kaidah dasar yang harus dipenuhi dalam analisis molekuler. Masalah-masalah
dalam ekstraksi DNA masih merupakan hal penting yang perlu diatasi
(Restu, 2012).
Amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction)
Reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensialsuatu sekuen
nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Pada awal perkembangannya metode ini
hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, tetapi kemudian
dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melipatgandakan
dan melakukan kuantitasi molekul mRNA melalui teknik Reverse Transcriptase
PCR (RT-PCR). Konsep teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian tertentu
sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu primer

23

yang digunakan, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi
mengawali sintesis rantai DNA dalam reaksi berantai polimerase (Yuwono,
2006).
Primer PCR merupakan oligonukleotida yang berperan sebagai inisiasi
amplifikasi molekul DNA. Dengan keberadaan primer PCR tersebut, maka gen
target akan teramplifikasi sepanjang reaksi PCR berlangsung. Untuk merancang
primer spesifik tersebut diperlukan data sekuen gen yang menyandikan protein
sejenis dengan fragmen yang akan diamplifikasi melalui PCR (Aris dkk., 2013).
Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan yaitu
fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer yaitu suatu
sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk
mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yaitu
terdiri atas dATP, dTCP, dGTP, dTTP dan (4) enzim DNA polimerase yaitu
enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang
juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono, 2006).
Reaksi penggandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan denaturasi DNA
template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded)
akan terpisah menjadi rantai tunggal (singgle stranded). Denaturasi DNA
dilakukan pada suhu 950C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi
550C sehingga primer akan menempel (annealing) pada cetakan yang telah
terpisah menjadi rantai tunggal. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan
pada suhu yang lebih rendah (370C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu
penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (550C),
spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan

24

efisiensinya akan menurun. Reaksi tersebut diulangi sampai 25-30 siklus sehingga
pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda dalam
jumlah yang lebih banyak. Banyaknya siklus amplifikasi yang digunakan
tergantung dari jumlah konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi
(Yuwono, 2006).
Pada umumnya PCR dilakukan dengan mengulangi siklus pelipatgandaan
sebanyak 20-30 siklus. Akan tetapi, banyaknya siklus yang diperlukan tergantung
terutama pada konsentrasi awal molekul DNA target yang akan dilipatgandakan.
Siklus yang terlalu banyak justru akan meningkatkan konsentrasi produk yang
tidak spesifik, sedangkan siklus yang terlalu sedikit akan mengurangi kuantitas
produk yang diharapkan (Yuwono, 2006).
Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA
sebagai cetakan maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse
transcription) terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul cDNA
(complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai
cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi
ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis,
maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik. Teknik RTPCR memerlukan enzim transkriptase balik (reverse transcriptase). Enzim
transkriptase balik adalah enzim DNA polimerase yang menggunakan molekul
RNA sebagai cetakan untuk mensintesis molekul DNA (cDNA) yang
komplementer dengan molekul RNA tersebut (Yuwono, 2006).
Elektroforesis

25

Teknik elektroforesis gel agarosa digunakan untuk menganalisis DNA
hasil amplifikasi. Proses ini dilaksanakan dalam larutan penyangga TBE (TrisBorat-EDTA).

Pewarnaan

DNA

hasil

elektroforesis

dilakukan

dengan

menggunakan larutan etidium bromida. Setelah diwarnai, gel kemudian
divisualisasi melalui ultraviolet transilluminator. Untuk menentukan ukuran
fragmen DNA, digunakan penanda berat molekul yang dinyatakan dengan
pasangan basa (basepair = bp). Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pita
fragmen DNA pada gel agarosa setelah pewarnaan dan dilakukan visualisasi
(Rosilawati dkk., 2002).