Studi Perancangan Bangunan Amaliun Food Court Ditinjau Berdasarkan Kinerja Aspek Fungsional

(1)

BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH DAN KEBUTUHAN PADA

BANGUNAN

2.1 Deskripsi Bangunan Amaliun Food Court

Penelitian yang dilakukan pada penulisan tesis ini adalah suatu evaluasi kinerja dari bangunan akibat adanya perubahan penggunaan setelah masa pembangunan.Evaluasi kinerja bangunan akibat perubahan pada masa penggunaan yang menjadi studi kasus bahasan adalah Amaliun Food Court yang merupakan sebuah lembaga komersial dengan keberadaan lokasi di Jl. Amaliun no 3 Kelurahan Kota Matsum, Kecamatan Medan Kota, Medan.

Bangunan Amaliun Food Court menempati lahan dengan luas area 1000 m2 dengan luas bangunan 1500 m2. Berdasarkan kondisi ini, maka bangunan Amaliun Food Court merupakan bangunan tunggal dengan jumlah lantai dua yang melaksanakan aktivitas jasa komersial berupa restoran/penjualan makanan dan minuman dengan sistem retail food court pada lantai satu (Gambar 2.1) dan denah lantai (Gambar 2.2) melaksanakan jasa penyewaan ruang serba guna. Sementara status kepemilikan bangunan Amaliun Food Court adalah Swasta dengan status penggunaan lahan adalah Status HakMilik (SHM).


(2)

Gambar 2.1 Denah Lantai 1

Gambar 2.2 Denah Lantai 2

Area retail pedagang

Area pengunjung food court

Ruang Serba

Akses turun ke lantai 1 Panggung

Ruang persiapan/ tranportasi vertikal

Tranportasi vertikal servis di lantai 1

Lobby Ruang Serba Guna dan akses ke lantai 2

Area retail pedagang

Ruang persiapan/ tranportasi vertikal

Tranportasi vertikal servis di lantai 1


(3)

Berdasarkan gambar denah diatas untuk mendukung fisik bangunan Amaliun Food Court menggunakan sistem struktur kolom dan balok. Sistem struktur kolom dan balok pada bangunan menggunakan material struktur baja dengan material dinding yang menggunakan bata. Adapun sistem sirkulasi vertikal menggunakan tangga manual yang terletak disalah satu sisi bangunan. Orientasi bangunan selatan dan utara serta timur sehingga pencahayaan merata sepanjang hari setiap tahun untuk bangunan.

Pada awal berdirinya Amaliun Food Court di tahun 2009 direncanakan memiliki 2 aktivitas utama yaitu: bisnis makanan dengan sistem food court dan bisnis penyewaan gedung berupa Ruang Serba Guna. Adapun untuk aktivitas food court retail penjual makanan dan minuman dipersiapkan untuk 12 losd dengan kapasitas pengunjung sekitar 100 orang. Sementara Ruang Serba Guna dapat berkapasitas 150 -200 orang. Hal lain adalah adanya bangunan disisi utara yang digunakan sebagai area servis yang melayani bangunan utama Amaliun Food Court.

Seiring dengan berjalannya waktu terjadi perkembangan aktivitas di Amaliun Food Court. Perkembangan aktivitas/kegiatan tersebut adalah retail penjual makanan yang menggunakan losd (awal) 9 dan losd (tambahan) 10 serta 3 item losd awal yang disatukan menjadi area bar minuman. Diletakannya area bar minuman pada area losd menjadikan area bar ditengah area duduk pengunjung digunakan sebagai area promosi. Perkembangan kegiatan ini tidak didukung dengan keberadaan bangunan yang baru namun menggunakan area tepi bangunan (teras dan pedestrian).


(4)

Penggunaan ruang dalamperkembangan kegiatan kurang memperhatikan aspek fungsionalsecara sirkulasi, perletakan aktivitas dan ruang maupun hubungan ruang yang terjadi serta kenyamanan penggun

dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Denah Perubahan Aspek Fungsional Area Teras dan Pedestrian

Menjadi Area Perkembangan

Area Pedestrian dan Parkir Roda 2 Menjadi Duduk Pengunjung (Perkembangan)

Penggunaan ruang dalamperkembangan kegiatan kurang memperhatikan aspek fungsionalsecara sirkulasi, perletakan aktivitas dan ruang maupun hubungan ruang yang terjadi serta kenyamanan pengguna. Kondisi perubahan aspek fungsional ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Denah Perubahan Aspek Fungsional Losd Awal Area Bar menjadi Area Display/pameran Area Teras dan Pedestrian

Menjadi Area Perkembangan

Area Pedestrian dan Parkir Menjadi Duduk Pengunjung (Perkembangan)

Losd Awal Menjadi Area Bar Minuman Penggunaan ruang dalamperkembangan kegiatan kurang memperhatikan aspek fungsionalsecara sirkulasi, perletakan aktivitas dan ruang maupun hubungan ruang a. Kondisi perubahan aspek fungsional ini

Gambar 2.3 Denah Perubahan Aspek Fungsional Losd Awal Area Bar menjadi Area Display/pameran


(5)

Struktur Organisasi sumber daya manusia bangunan Amaliun Food Court pada Gambar 2.4 tidak memiliki banyak tingkatan maupun bagian. Bagian yang ada hanya merupakan usaha pelayanan dalam upaya pelaksanaan aktivitas. Baik pelaksanaan aktivitas pedagang makanan maupun pengunjung yang akan menikmati makanan.

Gambar 2.4 Struktur Organisasi Sumber Daya Manusia Amaliun Food Court Sumber daya manusia yang melayani aktivitas bangunan Amaliun Food Court secara tingkatan struktur organisasi hampir sepenuhnya beraktivitas pada area food court. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.4 diatas dimana pengunjung berhubungan dan dilayani oleh bagian kebersihan, pramusaji, kasir serta pedagang makanan/minuman (retail). Supervisor yang ada harus mengawasi kegiatan para

Pemilik/Owner/1

Manager Operasional/1

Supervisor Servis/1 Supervisor Bar/1 Supervisor Administrasi dan Keuangan/1 Pelayan/Pramusaji

untuk aktivitas retail dan kebersihan/30

Pelayan/Pramusaji

untuk aktivitas bar/8 Administrasi dan Pegawai Keuangan/5

Tenant/Retail/19


(6)

bawahannya agar pengunjung tetap terlayani dengan baik. Sementara para pedagang retail dianggap sebagai bagian yang sejajar dengan para supervisor dari bagian struktur organisasi sehingga langsung bertanggung jawab/berurusan dengan manager opersional dan akan dilayani oleh setiap anggota dari bagian yanga ada.

Kegiatan yang ada pada bangunan Amaliun Food Court secara umum dikendalikan oleh manager operasional. Baik dari operasional administrasi maupun pelayanan publik. Manager operasional adalah motor yang bertanggung jawab langsung kepada pemilik proyek Amaliun Food Court. Hal ini terlihat dari struktur organisasi dimana retail/tenant langsung berhadapan dengan manager operasional dan menyelesaikan biaya sewa kepada bagian administrasi.

Berdasarkan deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwasanya hirarki organisasi yang ada serta hubungan yang terjadi dalam fungsi/kegiatan menentukan sejauh mana suatu bagian dapat melayani dan berinteraksi. Hal ini dapat digambarkan bahwa bagian service dan bar bertugas melayani urusan pelayanan pengunjung tanpa membedakan retail yang ada.Hal ini sedikit berbeda dengan bagian administrasi yang berhubungan dengan pengunjung hanya melalui seorang staff kasir dimana dapat juga berhubungan dan mengawasi tenant/retail yang ada.

2.2 Kerangka Pendekatan dan Metode Identifikasi Masalah dan Kebutuhan. Penelitian ini akan melihat bagaimana aspek fungsional pada bangunan Amliun Food Court yang mengalami perkembangan aktivitas/kegiatan sebagai masalah yang


(7)

akan dievaluasi kinerjanya. Diagram Kerangka konseptual pada Gambar 1.1. yang ada dalam Bab Pendahuluan menjadi dasar dalam menjabarkan bagaimana penelitian ini akan dilakukan. Kerangka pendekatan identifikasi masalah dan kebutuhan berdasarakan hal tersebut diatas dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Diagram Kerangka Pendekatan Identifikasi Masalah dan Kebutuhan. Kerangka pendekatan diatas akan mengatasi masalah dengan evaluasi kinerja bangunan berdasarkan kinerja saat ini yang mengalami perubahan. Perubahan yang

Lingkaran Hidup Bangunan Amaliun Food Court/Proses Disain

Implementasi Pasca Huni

Perencanaan

Penggunaan bangunan mengalami perubahan aspek fungsional dalam akomodasi kegiatan dimana jumlah retail menjadi 19 tanpa penambahan area sehingga menggunakan area duduk pengunjung sebagai pelaksanaan retail yang bertambah jumlahnya.

Bangunan Amaliun Food Court direncanakan dengan dengan aspek fungsional yang

mengakomodasi kegiatan/aktivitas penjualan makanan dengan sistem food court sebanyak 12 retail dan 1 bar minuman untuk melayani 150-200 titik duduk pengunjung.

Identifikasi Aspek Fungsional perancangan bangunan (Amaliun Food) dalam mengakomodasi kegiatan (retail pedagang yang berkembang). Bagaimana evaluasi kinerja aspek fungsional agar tetap dalam mengakomodasi perkembangan aktivitas retail .

BPE pada area food court dengan menyatukan persepsi pengguna dan perencana berdasarkan pemetaan matriks sehingga kinerja


(8)

terjadi dibandingkan dengan kinerja awal mengalami masalah dalam mengakomodasi kenyamanan pelaksanaan aktivitas retail yang mempengaruhi kondisi kenyamanan pengguna/pengunjung. Perubahan kinerja ini dibahas dalam penelitian ini dalam bentuk studi terhadap disain perancangan bangunan yang aspek fungsional berupa pengakomodasian aktivitas retail.

2.3 Identifikasi Kinerja Aspek Fungsional 2.3.1 Bangunan dalam Arsitektur.

Bangunan oleh Vitruvius dimaknai memiliki tiga fungsi (utilitas,vermisitas, venusitas) dimana salah satunya adalah utilitas/utility(fitnes for purpose/ketepatan guna) yaitutask (tugas/ guna) yang harus di penuhi oleh suatu bangunan. Sementara secara umum dari segi pengertian fungsi dapat dibagi menjadi:

1. Pengertian umumbagi para ahli bahasa (Linguist) adalah pendekatan pada studi bahasa yang berkenan dengan fungsi yang ditunjukan oleh bahasa, terutama dalam hal kejadian (informasi yang berhubungan), ekspresi (mengindikasi suasana hati), dan pengaruh keahlian.

2. Pengertian umum bagi para sosiologis (Linguistik) adalah teori tentang hubungan bagian-bagian dalam masyarakat keseluruhan yang satu dengan yang lain. Pendekatannya terkemuka dalam pekerjaan sosiolog pada abad sekarang ini khususnya bagi mereka yang melihat masyarakat sebagai organisme.


(9)

3. Pengertian Arsitekturalnya adalah dimana suatu bentuk bangunan harus diperoleh dari fungsi yang harus dipenuhinya, aspek skematis dan teknis dari mordernisasi arsitektural (rasionalisme), yang pendirian teoritisnya yang lebih luas juga membentuk pertanyaan simbolik,filsafat, politik, sosial dan ekonomi.

Beberapa tokoh yang berkecimpung dalam bidang arsitektur maupun diluar melontarkan beberapa fungsi yang dapat di jalankan oleh bangunan dalam arsitektur. Salah satunya menurut Geoffrey Broadhint ada enam fungsi yang dapat di jalankan oleh bangunan dalam arsitektur yaitu:

1. Environmental Filter (Modifier of the phsycal climate). Bangunan bisa mengkontrol iklim. Bangunan berfungsi sebagai penyaring terhadap iklim di luar(filter). Bangunan dapat membuat kita merasa aman dan nyaman untuk melaksanakan aktifitas kita. Kita dapat menentukan ruangan yang mana yang harus dekat dan mana yang harus dijauhkan.

2. Bangunan sebagai wadah kegiatan (Container of activities) yang menempatkannya pada tempat tertentu.

3. Investasi modal (Capital invesment) yang merubah nilai lahan (Changer of land value) dimana bangunan dapat memberikan nilai lebih pada tapak dan dapat menjadi sumber investasi.


(10)

4. Fungsi simbolis (Symbolic function) yang mengimplikasi pada budaya (implication cultural) dimana dalam pengertian ini bangunan dapat memberikan nilai simbolik, khususnya keagamaan dan budaya.

5. Pembentuk Perilaku (Behaviour Modifier) dimana bangunan dapat mengubah kebiasaan dan perilaku sesuai dengan suasana ruang.

6. Fungsi Estetika (Aesthetic Function) dimana bangunan akan menyenangkan jika tampak cantik (pursuit of delight) sesuai dengan model/fashion saat ini (fashionable).

Berdasarkan jabaran diatas dimana Geoffrey Broadhint memahami fungsi sebagai sesuatu yang di pancarkan dan diinformasikan melalui panca indra kita. Jabaran fungsi ini memiliki perbedaan dengan jabaran yang dilakukan oleh Larry R. Ligo.Fungsi menurut Larry R. Ligo adalah sebagai tugas atau pekerjaan ataupun efek-efek yang dapat ditimbulkan dalam arsitektur. Larry R.Ligo memunculkan lima fungsi yang dapat dijalankan oleh arsitektur untuk menjawab fungsi sebagai konsep. Kelima fungsi bangunan menurut Larry R. Ligo (dari Concepts of Function of The Twentieth Century Architecture) adalah:

1. Structural Articulation (artikulasi structural) menunjuk pada pengupasan dalam design, dari material struktur dan metode sebuah bangunan (misalnya fungsi material dan metode maupun pada artikulasi exterior bangunan dengan variasi kegiatan yang terkandung di dalamnya.


(11)

2. Physical function (fungsi fisik). Meliputi control dari lingkungan dan akomodasi bangunan terhadap aspek-aspek fisik dari tujuan yang diinginkan, aspek-aspek seperti pola jalan dan fleksibilitas dari pengaturan ruang.

3. Phychologycal function (fungsi Psikologi). Mengacu kepada feelings (perasaan atau rasa) dimana bangunan-bangunan itu berbaur dengan pengamat- pengamatnya, penghuni/pemakai dan pengkritikannya, termasuk penyakit-penyakit psikologis seperti vertigo, clausphobia, kebingungan arah (direction), kenyamanan fisik atau kurangnya rasa dan emosi yang spesifik/khas.

4. Social function (fungsi Sosial). Mengacu kepada kongkritisasi dari institusi social dan karakteristik yang bernilai budaya atau masa tertentu.

5. Cultural/existential function (fungsi budaya/keberadaan). Mengacu kepada kongritisasi dati nilai-nilai universal atau struktur subconcius dari spatial dan orientasi psikologi yang berhubungan lebih kepada esensi kemanusiaan dari pada hidup manusia dalam suatu waktu dan tempat tertentu.

Jhon Lang dan Walter Moleski dalam buku Functionalism Revisited membahas bagaimana suatu lingkungan buatan (arsitektur) dalam satu seting area (disain) terencana. Setting yang didisain berupa bangunan menurut Lang dan Moleski dipandang dari sudut pandang perilaku pengguna. Perilaku pengguna umumnya dipengaruhi oleh psikologi dan budaya, namun kebutuhan dasar alami manusia adalah


(12)

bersifat universal sehingga bangunan harus didisain tidak hanya berdasarkan kebutuhan tetapi juga melihat bagaimana perilaku ketika bangunan digunakan dan akan ditanggapi. Hal ini menjadikan fungsi bangunan yang dipengaruhi oleh perilaku dibagi dan dibahas dalam dua bagian utama yaitu:

1. Fungsi Dasar (Basic Functions).

Fungsi dasar membahas akomodasi dari aktivitas, tempat tinggal dan menyehatkan lingkungan;Keamanan fisik dan psikologi dan keamanan; Arsitektur, Keamanan finansial, dan Keuntungan; Identitas dan Masyarakat; Identitas, Individualisme, dan Keunikannya; Bangunan sebagai tanda dan simbol status.

2. Fungsi Tambahan (Advanced Functions).

Fungsi Tambahan membahas the cognitive function of Architecture;Experiental Aesthetics and Intellectual Aesthetics.

2.3.2 BPE (Building Performance Evaluation/Evaluasi Kinerja Bangunan)

Sebuah proses desain bangunan yang rasional dengan menggunakan umpan balik dari evaluasi berkelanjutan dapat disimpulkan sebagai loop(Gambar 2.6), dimana informasi umpan balik melalui evaluasi yang terus menerus, mengarah terhadap informasi asumsi desain yang lebih baik, dan pada akhirnya untuk solusi yang lebih baik. Penggunaan proses tersebut oleh pengambil keputusan dapat membuat keputusan desain yang lebih baik dan lebih menginformasikan orientasi dari


(13)

pengguna. Para pengambil keputusan dapat mengakses informasi dari bangunan jenis tertentu yang evaluasi penelitiannya sebaiknya dikumpulkan dan selanjutnya disimpan dan diperbarui dalam sisem database.

Gambar 2.6 Proses Loop BPE

Berada pada lingkungan yang selalu berubah dimana manusia seperti makhluk hidup lainnya, merupakan organisme dinamis dalam menyesuaikan diri,dimana sifat hubungan interaktif antara orang dan lingkungan adalah wakil dari konsep sistem yang sangat berguna. Secara khusus, pendekatan sistem penelitian lingkungan mempelajari dampak dari tindakan manusia pada lingkungan fisik, baik yang dibangunmaupun alami, dan sebaliknya. BPE telah membangun tradisi dimana ini


(14)

adalah adalah multi-disiplin dan menghasilkan penelitian sebagian besar terapan yang sampai saat ini tidak memiliki kerangka teori yang koheren.

Sifat sistem umpan balik dasar dibahas oleh von Foerster (1985). Hal ini selanjutnya dibahas dalam konteksindustri bangunan (Preiser, 1991, 2001),perencana strategis,programmer, desainer,atau pemimpin proses lain adalah merupakan efektor atau pengemudi sistem (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Sistem Umpan Balik

Dalam konteks BPE, ini bisa menjadi orang yang bertanggung jawab untuk setiap atau semua fase membangun pengiriman, termasuk evaluator, yang membuat perbandingan antara hasil yang dirasakan atau dialami oleh pengguna, dan tujuan proyek dinyatakan sebagai kinerja kriteria. Dalam hal desain bangunan, tujuan dan


(15)

kriteria kinerja biasanya dokumen dalam program fungsional atau singkat, dan membuat eksplisit melalui kinerja lan mengukur,sebagai lawan spesifikasi untuk solusi tertentu dan sistem perangkat keras, pemilihan yang merupakan domain dari desainer.

2.4 Identifikasi Evaluasi Kinerja

2.4.1 Sistem Evaluasi KinerjaBangunan

Kebutuhan manusia yang timbul dari kebutuhan pengguna berupa bentuk interaksi dengan setting pengaturan yang dalam lingkungan binaandidefinisikan ulang sebagai tingkat kinerja. Hal ini sangat analogis dengan hierarki kebutuhan manusia(Maslow, 1948) yaitu: aktualisasi diri, cinta, harga diri, keselamatan, dan kebutuhan fisiologis, dengan rincian tripartit jabaran pengguna yang bekerja sama dalam kebutuhan dan kinerja terhadap kriteriatiga kategori untuk mengevaluasi kualitas bangunan yang telah didalilkan berabad lalu olehArsitek Romawi Vitruvius. Evaluasi kualitas bangunan menurut dalil Vitruvius adalah utility, fitness and puspose, delight merupakan sejarahpendekatan untuk menetapkan prioritas pada pembangunan kinerja dan pada saat sekarang telah berubah menjadi sebuah sistem hierakial kebutuhan pengguna antara lain oleh Lang dan Burnette (1974), dan disintesis menjadikerangka kelayakhunian kerangka oleh Preiser (1983) dan Vischer (1989). Tiga levels prioritas yang ditampilkan dalam Gambar2.8 ini adalah:(1)Kesehatan, keselamatan dan kinerja keamanan; (2) Fungsional, efisiensi dan alur kerja kinerja; (3) Kinerja psikologis, sosial, budaya dan estetika.


(16)

Gambar 2.8 Level Prioritas Kinerja Bangunan

Setiap kategori tujuan diatas meliputi subtujuan masing-masing. Pada tingkat pertama, salah satu subtujuan mungkinkeselamatan; di tingkat kedua subtujuannya fungsi, efektif dan efisien proses kerja, ruang yang memadai, dan kondisi daerah fungsional terkait; dan, ditingkat ketiga untuk sejumlah subtujuan termasuk privasi, rangsangan sensorik, dan estetika, tingkat kinerja berinteraksi. Mereka juga mungkin bertentangan satu sama lain sehingga membutuhkan resolusi agar efektif.

Ketiga bagian tersebut seperti Gambar 2.8yang menunjukkan tiga tingkat hirarki juga paralel dari kategori standar dan pedoman yang tersedia untuk membangun bagi desainer dan profesional. Tingkat1berkaitan dengan kode bangunan dan proyek-proyek standar keselamatan hidup harus dipatuhi. Tingkat 2mengacu pada pengetahuan ketentuan yang bernilai seni tentang jenis dan sistem bangunan, sebagaimana dicontohkan oleh lembaga tertentu mengenai panduan desain atau karya


(17)

referensi seperti Time Saver Standar: Arsitektural Desain Data (Watson, Crosbie, dan Callender, 1997), atau Architect’s Desain Room Data Handbook (Stitt, 1992). Level 3 berkaitan dengan pedoman desain berbasis penelitian, yangkurang dikodifikasikan, namun demikian sama pentingnya bagi desainer.

Sistem hirarki ini berkaitan dengan unsur-unsur bangunan dan pengaturan untuk membangun pengguna dankebutuhan dan harapan mereka. Dalam menerapkan pendekatan ini, lingkungan fisik dianggap sebagai lebih dari sekedar sebuah bangunan atau shell karena fokus pada pengaturan dan ruanguntuk kegiatan tertentu yang terlibat dalam oleh pengguna. Elemen sistem kinerja bangunan berikut efek variabel, dapat dilihat sebagai hirarki naik dari kecil- skala besar , atau dari bawah ketingkat yang lebih tinggi dari abstraksi seperti terlihat pada Gambar 2.9 .


(18)

Banyak pemangku kepentingan, selain desainer dan insinyur, berpartisipasi dalam penciptaan danpenggunaan bangunan, termasuk investor, pemilik, operator, staf pemeliharaan dan mungkin yang palingpenting adalah pengguna akhir, yaitu orang-orang yang sebenarnya yang menempati dan menggunakan bangunan. Sementara istilahevaluasi mengandung kata 'nilai', karena itu evaluasi penghuni harus menyatakan secara eksplisitnilaiyang dipanggil/dievaluasi ketika menilai kinerja bangunan. Sebuah evaluasi juga harus menyatakanyang nilai-nilainya mendominasi dalam konteks di mana kinerja sebuah bangunan diukur.

Kerangka BPE mengacu pada model peningkatan mutu berkelanjutan untuk mencakupdesain dan kinerja teknis bangunan, dan memberikan kontribusi untuk pembangunan pengetahuan didesain dan konstruksi industri. Pendekatan ini komprehensif untuk membangun evaluasi kinerja yang berlaku untuk semua jenis fasilitas. Pada jenis bangunan tertentu dengan lokasi dan konteks budaya, kinerja yang diharapkan daribangunan perlu didefinisikan dan dikomunikasikan kepada orang-orang yang memprogram, desain, dan yang pada akhirnya mengoperasikan fasilitas. Penting untuk diingat bahwa teknis fisik dan kinerja bangunan secara langsung terkait dengan kualitas bangunan yang dirasakan oleh penghuni.Hal ini berati bahwa persepsi penghuni adalah menjadi signifikan sebagai atribut dari bangunan yang yangdidefinisikan oleh tindakan independen ketika bangunan dievaluasi. Perancang harus memuat desain yang dievaluasiberdasarkankesesuaian dengan bagaimana disain itu digunakan dan bukan pada bagaimana tampilannya.


(19)

Berikutnya adalah enam tahap evaluasi kinerja bangunan (BPE) yangdisajikan sebagai kategori untuk menentukan kinerja kuantitatif dan kualitatif yang diharapkan padaberbagai jenis skala lingkungan terbangun pada Gambar 2.10. Hal ini didasarkan pada jenis dan jumlahpengguna, pola ruang digunakan, kesehatan, keselamatan dan keamanan kriteria yang diharapkan, kriteria fungsional,kriteria sosial, psikologis dan budaya, kondisi lingkungan ambien, relativitas hubungan spasial, kriteria peralatan, kriteria kode, persyaratan khusus, dan terakhir, namun harus diingat adalah perkiraan kebutuhan ruang (Preiser, Rabinowitz, dan White, 1988). BPE merupakan sebuah konsep awal dalam memvalidasi standar kinerja yang mungkin sudah ada, atau yang harusdikembangkan untuk jenis bangunan tertentu.

Gambar 2.10 Kategori Tahapan BPE

Sementara dalam pengadaan bangunan masa lalu dipandang linear dimana proses produk yang berorientasi hanya pada akhir tertentu. Kerangka integratif adalah


(20)

model dinamis, berkembang dan non mekanik (Petzinger, 1999),yang dapat digambarkan sebagai pita/helixyang akan terus berkembang untuk pengetahuan tentang kinerja bangunan.Sebagaimana dinyatakan diatas yang mencoba untuk menghormati sifat kompleks evaluasi kinerja dalammembangun proses pengadaan serta di seluruh siklus hidup bangunan. Kerangka BPE mendefinisikan pengadaan bangunan dan siklus hidup dari perspektif semua pihak yangterlibat dengan bangunan. Seiring waktu dan dengan berfokus pada kondisi pendataanyang berulang adalah evaluasinegosiasi bangunan, diharapkan bahwa pengetahuan tentang membangun kinerja akan akuratdalam membangun database jenis tertentu dan tempat transaksi informasi (Gambar 2.10).

Kriteria kuantitatif dan kualitatif kinerja bangunan yang mewakili hasil atau produk yang diharapkanhasil dari proses pengadaan bangunan, serta membangun kinerja selama siklus hidupnya, merupakan model yang menjadi acuan. Gambar 2.11 ini menunjukkan enam sub tahapan, masing-masingmemiliki internal yang meninjau dan umpan balik loop dan terhubung dengan ketentuan pengetahuan yang terkandung pada gedung dengan jenis database tertentu sebagai pedoman yang diterbitkan serta kelayakan keahlian yang berada di area khusus.


(21)

(22)

2.4.2 Metode Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court

Definisi pengukuran kinerja, oleh konsensus dalam komunitas manajemen bisnis, dapat didefinisikan sebagai mengukur efisiensi dan efektivitas dari suatu tindakan (Neely et al., 1995). Efisiensi dan efektivitas berhubungan, sebagai konsep, untuk Best Practice (efisiensi): mengejar kesempurnaan dari pendekatan tertentu, dan Best Value(efektivitas): mengejar yang paling ekonomis (dalam arti luas) pendekatan. Berdasarkan pertimbangan efisensi dan efektivitas kualitas disain bangunan dalam menghadapi perkembangan aspek fungsional ditelaah agar menghasilkan suatu perhitungan kinerja bangunan setelah digunakan pada jangka waktu tertentu.Evaluasi kinerja yang dilakukan terhadap aspek fungsional bangunan Amaliun Food Court menggunakan metode komparasi dalam konsep BPE. Konsep BPE adalah upaya untuk mengevaluasikinerja bangunan agar tetap optimal setelah digunakan. Komparasi yang dilakukan adalah kondisi yang akan menggunakan strategi pemecahan masalah apakah lebih mendekati kriteria perancangan awal Amaliun Food Court dengan kondisi saat ini yang terjadi.

Evaluasi Kinerja Bangunan pada bangunan Amaliun food court terkonsentrasi pada level fungsional yang merupakan hasil studi perancangan terhadap pengakomodasian kegiatan (retail food court yang mengalami penambahan jumlah). Evaluasi Kinerja Bangunan pada diagram alurnya memiliki dua sifat tujuan yaitu: medium term dimana strategi yang dijabarkan berupaya mengoptimalkan kinerja, dan long term yang akan menjadi masukan bagi perencana maupun investor dalam proyek


(23)

sejenis. Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court akan distudi perancangannya berdasarkan aspek fungsional (akomodasi retail food court) dalam lingkup kinerja teknis (letak dan sirkulasi), fungsi (luasan) serta behavioral/perilaku (interaksi pedagang dan pengunjung) berdasarkan diagram pada Gambar 2.9 diatas dalam skala ruangan dengan masukan dari pengguna (pengunjung sebagai masukan dan harapan kinerja karena pedagang hanya menempati area retail berdasarkan petunjuk pemilik/pengelola).

Upaya memperoleh strategi pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan pendapat pengguna (pengunjung) terhadap aspek fungsional pengakomodasian kegiatan retail yang optimal terhadap kriteria standar disain pada kondisi awal (hasil dari rencana pemilik dengan standar arsitek). Hubungan terhadap dua kondisi ini diperoleh dengan mengadakan analisa numerical weighting pada rencana awal serta dari pengguna dengan mengadakan quisioner. Kedua hasil numerical weighting ini ditemukan dalam sistem matriks agar diperoleh masukan yang dapat memenuhi harapan pengguna dan pemilik yang telah direncanakan dengan standar arsitek.Penelitian akan kinerja pasca bangunan digunakan untuk melihat apakah perkembangan aspek fungsional masih bisa ditanggulangi oleh bangunan tersebut. Bila aspek fungsional masih dapat dilakukan berdasarkan standard minimal dari kenyamanan dan keamanan pengguna maka kinerja bangunan masih baik. Namun bila tidak maka perlu diadakan pertimbangan terhadap aspek fungsional karena bangunan sudah tidak bisa melayani kegiatan/aktivitas yang layak.


(1)

Banyak pemangku kepentingan, selain desainer dan insinyur, berpartisipasi dalam penciptaan danpenggunaan bangunan, termasuk investor, pemilik, operator, staf pemeliharaan dan mungkin yang palingpenting adalah pengguna akhir, yaitu orang-orang yang sebenarnya yang menempati dan menggunakan bangunan. Sementara istilahevaluasi mengandung kata 'nilai', karena itu evaluasi penghuni harus menyatakan secara eksplisitnilaiyang dipanggil/dievaluasi ketika menilai kinerja bangunan. Sebuah evaluasi juga harus menyatakanyang nilai-nilainya mendominasi dalam konteks di mana kinerja sebuah bangunan diukur.

Kerangka BPE mengacu pada model peningkatan mutu berkelanjutan untuk mencakupdesain dan kinerja teknis bangunan, dan memberikan kontribusi untuk pembangunan pengetahuan didesain dan konstruksi industri. Pendekatan ini komprehensif untuk membangun evaluasi kinerja yang berlaku untuk semua jenis fasilitas. Pada jenis bangunan tertentu dengan lokasi dan konteks budaya, kinerja yang diharapkan daribangunan perlu didefinisikan dan dikomunikasikan kepada orang-orang yang memprogram, desain, dan yang pada akhirnya mengoperasikan fasilitas. Penting untuk diingat bahwa teknis fisik dan kinerja bangunan secara langsung terkait dengan kualitas bangunan yang dirasakan oleh penghuni.Hal ini berati bahwa persepsi penghuni adalah menjadi signifikan sebagai atribut dari bangunan yang yangdidefinisikan oleh tindakan independen ketika bangunan dievaluasi. Perancang harus memuat desain yang dievaluasiberdasarkankesesuaian dengan bagaimana disain itu digunakan dan bukan pada bagaimana tampilannya.


(2)

Berikutnya adalah enam tahap evaluasi kinerja bangunan (BPE) yangdisajikan sebagai kategori untuk menentukan kinerja kuantitatif dan kualitatif yang diharapkan padaberbagai jenis skala lingkungan terbangun pada Gambar 2.10. Hal ini didasarkan pada jenis dan jumlahpengguna, pola ruang digunakan, kesehatan, keselamatan dan keamanan kriteria yang diharapkan, kriteria fungsional,kriteria sosial, psikologis dan budaya, kondisi lingkungan ambien, relativitas hubungan spasial, kriteria peralatan, kriteria kode, persyaratan khusus, dan terakhir, namun harus diingat adalah perkiraan kebutuhan ruang (Preiser, Rabinowitz, dan White, 1988). BPE merupakan sebuah konsep awal dalam memvalidasi standar kinerja yang mungkin sudah ada, atau yang harusdikembangkan untuk jenis bangunan tertentu.

Gambar 2.10 Kategori Tahapan BPE

Sementara dalam pengadaan bangunan masa lalu dipandang linear dimana proses produk yang berorientasi hanya pada akhir tertentu. Kerangka integratif adalah


(3)

model dinamis, berkembang dan non mekanik (Petzinger, 1999),yang dapat digambarkan sebagai pita/helixyang akan terus berkembang untuk pengetahuan tentang kinerja bangunan.Sebagaimana dinyatakan diatas yang mencoba untuk menghormati sifat kompleks evaluasi kinerja dalammembangun proses pengadaan serta di seluruh siklus hidup bangunan. Kerangka BPE mendefinisikan pengadaan bangunan dan siklus hidup dari perspektif semua pihak yangterlibat dengan bangunan. Seiring waktu dan dengan berfokus pada kondisi pendataanyang berulang adalah evaluasinegosiasi bangunan, diharapkan bahwa pengetahuan tentang membangun kinerja akan akuratdalam membangun database jenis tertentu dan tempat transaksi informasi (Gambar 2.10).

Kriteria kuantitatif dan kualitatif kinerja bangunan yang mewakili hasil atau produk yang diharapkanhasil dari proses pengadaan bangunan, serta membangun kinerja selama siklus hidupnya, merupakan model yang menjadi acuan. Gambar 2.11 ini menunjukkan enam sub tahapan, masing-masingmemiliki internal yang meninjau dan umpan balik loop dan terhubung dengan ketentuan pengetahuan yang terkandung pada gedung dengan jenis database tertentu sebagai pedoman yang diterbitkan serta kelayakan keahlian yang berada di area khusus.


(4)

(5)

2.4.2 Metode Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court

Definisi pengukuran kinerja, oleh konsensus dalam komunitas manajemen bisnis, dapat didefinisikan sebagai mengukur efisiensi dan efektivitas dari suatu tindakan (Neely et al., 1995). Efisiensi dan efektivitas berhubungan, sebagai konsep, untuk Best Practice (efisiensi): mengejar kesempurnaan dari pendekatan tertentu, dan

Best Value(efektivitas): mengejar yang paling ekonomis (dalam arti luas) pendekatan.

Berdasarkan pertimbangan efisensi dan efektivitas kualitas disain bangunan dalam menghadapi perkembangan aspek fungsional ditelaah agar menghasilkan suatu perhitungan kinerja bangunan setelah digunakan pada jangka waktu tertentu.Evaluasi kinerja yang dilakukan terhadap aspek fungsional bangunan Amaliun Food Court menggunakan metode komparasi dalam konsep BPE. Konsep BPE adalah upaya untuk mengevaluasikinerja bangunan agar tetap optimal setelah digunakan. Komparasi yang dilakukan adalah kondisi yang akan menggunakan strategi pemecahan masalah apakah lebih mendekati kriteria perancangan awal Amaliun Food Court dengan kondisi saat ini yang terjadi.

Evaluasi Kinerja Bangunan pada bangunan Amaliun food court terkonsentrasi pada level fungsional yang merupakan hasil studi perancangan terhadap pengakomodasian kegiatan (retail food court yang mengalami penambahan jumlah). Evaluasi Kinerja Bangunan pada diagram alurnya memiliki dua sifat tujuan yaitu:

medium term dimana strategi yang dijabarkan berupaya mengoptimalkan kinerja, dan


(6)

sejenis. Evaluasi Kinerja Bangunan Amaliun Food Court akan distudi perancangannya berdasarkan aspek fungsional (akomodasi retail food court) dalam lingkup kinerja teknis (letak dan sirkulasi), fungsi (luasan) serta behavioral/perilaku (interaksi pedagang dan pengunjung) berdasarkan diagram pada Gambar 2.9 diatas dalam skala ruangan dengan masukan dari pengguna (pengunjung sebagai masukan dan harapan kinerja karena pedagang hanya menempati area retail berdasarkan petunjuk pemilik/pengelola).

Upaya memperoleh strategi pemecahan masalah dilakukan dengan menghubungkan pendapat pengguna (pengunjung) terhadap aspek fungsional pengakomodasian kegiatan retail yang optimal terhadap kriteria standar disain pada kondisi awal (hasil dari rencana pemilik dengan standar arsitek). Hubungan terhadap dua kondisi ini diperoleh dengan mengadakan analisa numerical weighting pada rencana awal serta dari pengguna dengan mengadakan quisioner. Kedua hasil

numerical weighting ini ditemukan dalam sistem matriks agar diperoleh masukan

yang dapat memenuhi harapan pengguna dan pemilik yang telah direncanakan dengan standar arsitek.Penelitian akan kinerja pasca bangunan digunakan untuk melihat apakah perkembangan aspek fungsional masih bisa ditanggulangi oleh bangunan tersebut. Bila aspek fungsional masih dapat dilakukan berdasarkan standard minimal dari kenyamanan dan keamanan pengguna maka kinerja bangunan masih baik. Namun bila tidak maka perlu diadakan pertimbangan terhadap aspek fungsional karena bangunan sudah tidak bisa melayani kegiatan/aktivitas yang layak.