Analisis Pragmatik Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL "KITCHEN", STUDI
PRAGMATIK DAN SEMIOTIK

2.1

Defenisi Novel
Novel berasal dari bahasa italia Novella. Secara harfiah, Novella berarti

sebuah "barang baru yang kecil" dan kemudian diartikan sebagai "cerita pendek
dalam bentuk prosa" (Abram dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dewasa ini Novella
mengandung pengertian yang sama dengan istilah Novellete dalam bahasa inggris,
yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu
panjang, namun tidak terlalu pendek.
Novel adalah salah satu jenis karya fiksi yaitu menyajikan berbagai
macam kisah yang membuat pembaca ikut merasakan jalan cerita yang abadi
dalam novel tersebut. Fiksi merupakan suatu penceritaan terhadap suatu peristiwa
yang pernah terjadi dalam khayalannya. Menurut Altenbernd dan lewis dalam
Nurgiyantoro (1995:2) mengartikan bahwa fiksi adalah prosa naratif yang bersifat
imajinatif,


namun

biasanya

masuk

dan

mengandung

kebenaran

yang

mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia.
Menurut Nurgiyantoro (1995:3) fiksi menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Fiksi
merupakan hasil dialog, kentemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan

dan kehidupan. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan

tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.
Novel merupakan suatu bentuk karya sastra prosa yang menyajikan tokohtokoh dengan watak masing-masing dan berbeda dari tokoh satu dengan yang
lainnya, sehingga dapat menyuguhkan alur cerita yang menarik untuk dibaca oleh
pembaca terutama tentang gambaran kehidupan masyarakat. Novel adalah
karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengn orang-orang disekitarnya dengan menonjolkan watak dan sikap
setiap perilaku (Depdikbud, 1995:694).
Semi (1993:32) mengungkapkan bahwa novel adalah karya sastra yang
mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan
pemusatan kehidupan yang tegas. Ungkapan tegang dan tegas mengindikasikan
bahwa karya sastra novel akan menampakan sebuah kehidupan yang tegang
dimana didalamnya memunculkan suatu masalah/persoalan sebagai ide cerita dan
tegas, disini dituliskan dalam bahasa yang sederhana dengan tujuan mudah
dipahami.
Novel sebagai sebuah karya sastra menawarkan sebuah dunia, dunia berisi
model. Kehidupan yang ideal, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai
unsur intrinsik seperti plot/alur, penokohan, latar dan sudut pandang tentunya juga
bersifat imajinatif. Semua itu walau bersifat nonekstensial (dengan sengaja
dikreasikan oleh pengarang) namun dibuat mirip, diimitasikan dan dianalogikan
dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa sehingga tampak

sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro,1995:4).

Nurgiyantoro (1995: 18-19) membagi novel dalam dua kategori, yaitu
novel populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang populer pada
masanya dan banyak penggemarnya, khusunya pembaca dikalangan remaja. Ia
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel
populer umumnya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman. Novel populer
cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih
populer pada masa sesudahnya.
Novel serius adalah novel yang sanggup memberikan serba kemungkinan.
Untuk membaca novel serius, untuk memahaminya dengan baik, diperlukan daya
konsentrasi yang tinggi dan disertai dengan kemampuan untuk itu. Pengalaman
dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini diungkapkan
sampai ke inti hakikat kehidupan yang universal. Novel serius disamping
memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan untuk memberikan pengalaman yang
berharga kepada pembaca atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi dan
merenungkan


secara

lebih

sunggh-sungguh

tentang

permasalahan

yang

dikemukakan.
Novel "Kitchen" ini termasuk kedalam novel serius. Dimana pengarang
mengangkat nilai yang mungkin dihadapi oleh masyarakat/pembaca sehingga
pembaca mengetahui isi-isi pesan yang terdapat dalam novel ini.

2.2

Resensi Novel "Kitchen"


2.2.1

Tema
Menurut Fannie (2001,203-204) tema merupakan gagasan ide, pikiran

utama pokok pembicaraan didalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam
kalimat pernyataan. Tema adalah makna yang terkandung dari sebuah cerita,
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
terkandung didalam teks sebagai struktur semantik dan menyangkut persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan (Nurgiyantoro,1995:67).
Dalam sebuah karya sastra tema kadang tidak dengan mudah ditemukan,
karena tak jarang harus melakukan kegiatan membaca dan memahami seluruh
bacaan terlebih dahulu untuk menemukan sebuah tema. Harus memulai
pengamatan yang jeli, menghubungkan setiap persoalan yang ada, mencari faktafakta yang terdapat dalam cerita dan menghubungkannya dengan persoalan,
mempelajari karakter-karakter dan sikap para tokoh, dan kemudian baru
menyimpulkan tema.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tema yang diangkat dalam novel
"Kichen" ini adalah seorang gadis sebatang kara yang bernama Mikage yang
sangat mencintai dapur sebagai tempat untuk menenangkan dirinya ketika
masalah menerpa. Setelah kematian neneknya, Mikage tinggal bersama keluarga

Tanabe sampai Mikage mendapatkan tempat tinggal yang baru. Sewaktu Mikage
tinggal disana Mikage mendapatkan perhatian yang hangat dari Yuichi dan Eriko,
hingga pada akhirnya Mikage dan Yuichi memiliki perasaan yang lain yaitu cinta.
Kepeduliaan, perhatian dan saling memahami antara Mikage dan Yuichi membuat

mereka sulit untuk berpisah. Walaupun pada akhirnya mereka harus berpisah
karena pekerjaan namun, Mikage selalu menyempatkan diri untuk menelpon
Yuichi untuk mengetahui bagaimana keadaan Yuichi.
2.2.2

Alur/Plot
Menurut Aminuddin (2000:83) Alur atau Plot adalah jalan cerita yang

berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan satu
sama lain menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Peristiwa
yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain, peristiwa yang lain
tersebut akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya
sampai peristiwa itu berakhir.
Menurut Tasrif dalam Nurgiyantoro (1995:149-150) membedakan tahapan
plot menjadi lima bagian, kelima tahapan itu adalah sebagai berikut :

1.

Tahap Situation yang artinya tahap penyituasian, tahap yang terutama

berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang
terutama berfungsi untuk menjadi landasan cerita yang dikisahkan pada tahap
berikutnya.
2.

Tahap generating circumstances yang artinya tahap pemunculan konflik

(masalah-masalah) dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik yang
mulai dimunculkan.

3.

Tahap Rising action yang berarti tahap peningkatan konflik. Konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa yang

menjadi inti cerita.
4.

Tahap Climax yang berarti tahap klimaks, konflik atau pertentangan-

pertentangan yang terjadi yang diakui dan ditimpahkan para tokoh mencapai titik
puncak.
5.

Tahap Denouement (tahap penyelesaian) yaitu konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
Alur Menurut Bahrudin,dkk (2006:14) yaitu :
a.

Alur maju atau progresif yaitu pengungkapan cerita dari sudut peristiwa-

peristiwa yang terjadi pada masa kini kemasa yang akan datang.
b.


Sorot balik atau Regresif yaitu pengungkapan cerita dari sudut peristiwa-

peristiwa yang terjadi sebelumnya atau masa lampau ke masa kini.
c.

Alur campuran yaitu pengungkapan cerita kadang-kadang peristiwa terjadi

pada masa kini dan masa lampau kemudian kembali menceritakan masa kini.
Berdasarkan uraian cerita diatas, alur dalam novel "Kitchen" adalah alur
campuran. Cerita novel ini tidak berurutan dari awal namun dimulai di masa kini,
dan kemudian ke masa lalu dan kembali lagi kemasa depan.
2.2.3

Latar (Setting)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan tempat lingkungan sosial yang terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan, (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216).
Latar dalam cerita sangat mempengaruhi pembentukan tingkah laku dan cara

berpikir tokoh. Menurut Nurgiyantoro (1995:227), latar dapat dibedakan dalam
tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial-budaya. Ketiga unsur itu masingmasing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara
sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya.
2.2.3.1Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah fiksi atau non fiksi. Unsur yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama yang jelas.
Dalam novel “Kitchen”, lokasi tempat berlangsungnya cerita adalah
dapur.
[“sambil membagi bahan-bahan makanan ke dalam mangkuk sesuai
dengan jumlah peserta kelas kami merebus air dalam jumlah yang banyak ,
menimbang berat bahan makanan. Kami masih akan mengerjakan banyak tugas
remeh-temeh lain hingga pukul 15.00 nanti.”] halaman 93
[“ berdiri didalam ruangan memasak ditembus oleh cahaya matahari
senja, aku hanya bisa tertawa di dalam hati”] halaman 99

2.2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi atau non fiksi. Latar waktu

mengacu pada hari, tanggal, bulan, tahun bahkan zaman tertentu yang
melatarbelakangi cerita tersebut. Latar waktu novel “Kitchen”14.00 lewat.
[“di dalam ruangan besar yang bermandikan cahaya matahari dari
jendela, meja besar yang dilengkapi dengan oven dan kompor tampak berderetderet, mengingatkanku pada ruang yang biasa dipakai untuk kelas PKK. Sambil
bergosip, kami bekerja dengan riang. Saat itu sudah lewat pukul 14.00. tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk dengan keras”]. Halaman 93
2.2.3.3 Latar Sosial
Latar atau setting adalah penggambaran situasi, tempat, dan waktu serta
suasana terjadinya peristiwa (Aminuddin, 2000:94). Latar atau setting yang
disebut juga sebagai landasan tempat, hubungan, waktu, dan lingkungan sosial
tempat

terjadinya

peristiwa-peristiwa

yang

diceritakan

(Abrams

dalam

Nurgyantoro, 1995:216).
[“ saat itu pukul 01.00 dini hari. Aku tersentak bangun mendengar suara telepon
yang berdering di tengah kegelapan. Aku mengangkat gagang telepon tanpa
menangkap apa yang sebenarnya dia bicarakan, sehingga yang muncul
dipikiranku yang baru bangun adalah adegan film perang. “Yuichi? kau
berbicara apa sih?” tanyaku. Setelah jeda sejenak Yuichi akhirnya berkata. “
mama.... ah, seharusnya aku menyebut dia papa. Dia dibunuh.”

[“ kapan... kejadiannya? Baru saja?” tanyaku, tanpa tahu dari mana suaraku
berasal dan apa yang sebenarnya kuucapkan. “ bukan, sudah agak lama. Orangorang-orang di bar juga sudah selesai mengadakan upacara pemakaman kecilkecilan. maafkan aku... bagaimanapun aku merasa tidak sanggup menyampaikan
berita ini kepadamu.”] [halaman 58-59]
Dari cuplikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cerita novel
“Kitchen” ini terjadi di sebuah bar di Jepang yaitu Tokyo. Rangkaian peristiwa
terjadi di apartemen, bar dan dapur. Di apartemen, bar dan dapur banyak terjadi
peristiwa-peristiwa yang menunjukan nilai-nilai pragmatik yang terkandung
didalam novel "Kitchen". Nilai-nilai pragmatik itu adalah ketegaran, kesabaran,
kepeduliaan dan kasih sayang.
Latar sosial-budaya menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan soial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat
berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah dan tinggi
(Nurgiyantoro, 1995: 233-234).
2.2.4

Penokohan (Perwatakan)
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam

ceritanya dan bagaimana pula perilaku tokoh-tokoh tersebut. Dalam penokohan
ada dua hal penting, yaitu pertama berhubungan dengan teknik penyampaian dan

yang kedua adalah berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang
ditampilkan. Kedua hal ini memiliki hubungan yang sangat erat karena
penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh
tersebut (Aminuddin, 2000:79).
Sedangkan tokoh dalam cerita menurut Abram dalam Nurgiyantoro adalah
orang-orang yang ditampilakan dalam suatu karya naratif, atau drama yang
ditafsirkanpembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
(Nurgiyantoro,

1995:165).

Melalui

tokoh

cerita,

penulis

juga

dapat

menyampaikan pesan, amanat, moral atau sesuatu yang memang ingin
disampaikan oleh pembaca (Nurgiyantoro, 1995:167).
Penokohan dalam novel “Kitchen” adalah sebagai berikut:
1. Mikage Sakurai adalah tokoh utama dalam novel "Kitchen" yang merupakan
seorang anak yang tegar dan penuh kesabaran dalam menjalani hidup. Serta
memiliki rasa kasih sayang kepada Yuichi.
2. Yuichi Tanabe adalah seorang pria yang dingin yang punya sifat sangat
perhatian dan kepedulian kepada Mikage Sakurai.
3. Eriko adalah seorang ibu transgender yang ramah dan mempunyai kasih sayang
yang besar terhadap istri dan anaknya, Yuichi.
4. Chika adalah rekan kerja Eriko yang memiliki sifat peduli terhadap Yuichi dan
hubungannya dengan Mikage. Semenjak Eriko meninggal dunia Chika menjadi
salah satu orang yang sangat perhatian terhadap hidup Yuichi.

5. Sotaro adalah mantan pacar Mikage yang punya sifat penuh semangat dalam
hidup.
2.2.5

Sudut Pandang

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 248) sudut pandang atau view of
point menyaran pada cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Menurut Aminuddin (2000 : 96) sudut pandang adalah kedudukan atau
posisi pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain, posisi pengarang
menempatkan dirinya dalam cerita tersebut dan dari titik pandang ini, pembaca
mengikuti jalan ceritanya dan memahami temanya. Ada beberapa jenis sudut
pandang (point of view):
1. Pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian disebut
sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.
2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut
melibatkan diri dalam cerita. Akan tetapi, ia mengangkat tokoh utama. Dalam
posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.
3. Pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita. Disini pengarang
menceritakan orang lain dalam segala hal.
Dalam hal ini, sudut pandang pengarang Mikage Sakurai dalam novelnya
“Kitchen” adalah sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Banana Yoshimoto

adalah sebagai pengarang novel dan menceritakan kisahnya sendiri yang menjadi
tokoh bawahan atau sampingan.
2.3

Studi Pragmatik dan Pendekatan Semiotik dalam Sastra

2.3.1

Studi Pragmatik
Pendekatan

pragmatik

yang

digunakan

dalam

menelaah

sastra

dikemukakan oleh Abrams. Abrams dalam Fannie (2001:100), mengemukakan
bahwa dalam menelaah sastra terdapat empat model pendekatan yang dapat
diterapkan, yaitu :
1. Telaah dari sudut pandang karya sastra itu sendiri yang merupakan produk
pengarang (Pendekatan Objektif)
2. Telaah dari sudut pengarangnya (Pendekatan Ekspresif)
3. Telaah dari keterhubungan ide, perasaan, atau peristiwa-peristiwa yang
mendasari karya yang ditelaah, baik secara langsung atau tidak langsung yang
secara esensial dasarnya merupakan satu tiruan (Pendekatan Mimesis)
4. Telaah dari sudut pandang pembaca atau penerima karya sastra (Pendekatan
Pragmatik)
Pendekatan pragmatik sastra memandang karya sastra sebagai sarana
untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan,
moral, agama dan tujuan pendidikan lainnya. Dengan kata lain, pragmatik sastra
bertugas sebagai pengungkap tujuan yang dikemukakan para pengarang untuk
mendidik masyarakat pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran dan

pesan-pesan yang diberikan kepada pembaca, maka semakin baik dan bernilai
tinggi karya sastra tersebut (Abrams dalam Pradopo, 2002:67).
Menurut Teeuw dalam Endraswara (2008:71) kajian pragmatik selalu
memunculkan persoalan yang berkaitan dengan masalah pembaca, yaitu apa yang
dilakukan pembaca dengan karya sastra, apa yang dilakukan karya sastra dengan
pembacanya serta apakah tugas dan batas kemungkinan pembaca sebagai pemberi
makna. Hal ini berhubungan dengan manfaat pragmatik sastra terhadap fungsifungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya
sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan melalui peranan pembaca dalam
memahami karya sastra. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan
pendekatan pragmatik adalah memberikan manfaat terhadap pembaca. Dengan
mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang
dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik diantaranya adalah berbagai
tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra.
Jika dikaitkan oleh pandangan Wellek dan Warren dalam Siswanto
(2008:30), yang mengatakan bahwa fungsi sastra adalah gabungan dari Dulce
“manis, menyenangkan” dan Utile “berguna,bermanfaat”, penelitian terhadap
tujuan atau fungsi sastra mengarah kepada fungsi Utile bukan Dulce. Hal ini
didasari oleh anggapan karya sastra mengandung tujuan atau manfaat, yaitu
membina, mendidik pribadi pembaca.
2.3.2

Pendekatan Semiotik
Menurut Pradopo dalam Endraswara (2008:119) semiotik adalah ilmu

tentang tanda-tanda. Saussure dalam Nurgiyantoro (1995:43) berpendapat bahwa

bahasa sebagai sebuah sistem tanda memiliki dua unsur yang tak terpisahkan yaitu
signifier dan signified, signifiant dan signifi, atau penanda dan petanda dimana
wujud penanda (signifiant) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf
tulisan, sedangkan petanda (signifie) berupa gagasan, konseptual atau makna yang
terkandung dalam pertanda tersebut.
Semiotik menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan
kebudayaan merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturanaturan dan konvensi yang memungkinkan tanda tersebut mempunyai arti.Tanda
itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting.
Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua,
tanda harus menunjukkan pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan
mewakili dan menyajikan ( Endraswara , 2008:63 )
Pragmatik sangat berhubungan dengan semiotik, karena hubungan
pragmatik merupakan hubungan makna dan pelambangan. Ia dipakai untuk
mengkaji, misalnya, signifiant tertentu mengacu pada signifie tertentu, baris-baris
kata dan kalimat tertentu mengungkapkan makna tertentu, peristiwa-peristiwa
tertentu mengingatkan peristiwa-peristiwa yang lain, melambangkan gagasan
tertentu atau menggambarkan suasana kejiwaan tokoh (Todorov dalam
Nurgiyantoro, 1995: 47).
Dengan demikian, uraian tentang kajian semiotik yang berupa notasi
simbol-simbol kemudian dicoba untuk menjelaskan fungsi dan maknanya. Dalam
hal ini, kajian semiotik ini penulis pergunakan untuk dapat menjelaskan makna
dalam novel “Kitchen”.

2.4

Sistem Nilai dalam Masyarakat Jepang

2.4.1

Prinsip Moral Jepang dalam Konfusionisme
Ajaran konfusianisme mulai masuk ke Jepang pada abad ke-6. Ajaran

ini mulai masuk ke Jepang ketika pangeran shotoko mengirim wakil-wakilnya
untuk belajar di China. Sepulang dari China mereka membawa banyak ilmu
pengetahuan China salah satunya adalah ajaran konfusianisme. Nilai-nilai
konfusius menjadi jiwa dan karakter Jepang hingga kini dan menjadikan jepang
sebagai Negara maju.
Masyarakat Jepang masih memegang erat nilai-nilai konfusianisme yang
mengajarkan etika/moral dan mementingkan akhlak yang mulia. Ajaran ini
merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajarkan bagaimana seharusnya
manusia bertingkah laku. Bagi masyarakat Jepang ajaran konfusianisme ini
dianggap penting sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan, terutama yang
berhubungan dengan alam dan manusia. (Nosco dalam chang and kalmanson
,2010:57) .
1.

Ren (Cinta kasih/kasih sayang)

Menurut

konfusius

manusia

yang

bermartabat

adalah

manusia

yang memiliki “Ren”. Konsep Ren merupakan pusat kualitas moral manusia,
intisari dari cinta terhadap sesama, perikemanusiaan, hati nurani, keadilan, halus
budipekerti, dan kasih sayang. Cinta kasih itu adalah mengendalikan diri pulang
kepada kesusilaan dan tergantung kepada usaha diri sendiri. Seseorang yang
berperi cinta kasih rela menderita lebih dahulu dan membelakangkan keuntungan.
Seseorang yang berperi cinta kasih ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang

lain pun tegak; ingin maju maka berusaha orang lain pun maju. Sikap saling
mengasihi mendasari seseorang yang memiliki Ren pastilah mempunyai
kemampuan yang baik dalam memikirkan keadaan orang lain dan juga mampu
mengetahui apa yang tidak diinginkan oleh orang lain karena ia lebih dahulu
mengetahui hal apa yang tidak diinginkan terjadi pada dirinya. (Saputra: 2002)
2.

Zhong Shu (Setia)

Zhongartinya perilaku yang tepat, berlandaskan suara hati nurani dengan
mewujudkan dalam segala tindakan. Zhong bertindak sesuai dengan cinta dan
kebaikan, tanpa pamrih dan dengan tulus. Setia kepada seseorang berarti selalu
membimbingnya. Zhong juga berarti kepatuhan/ketaatan kesetian terhadap tuhan,
atasan, teman, kerabat, hubungan dan negara. Shu merupakan tindakan bagaimana
mengaktualisasikan Ren sebagai cinta. Perikemanusiaan mengutamakan sikap
tenggang rasa. Jadi Shu artinya sebagai perbuatan tenggang rasa yang disesuaikan
dengan suara hati nurani/ sanubari. Maka seorang yang sudah kehilangan hatinya
tentu sudah kehilangan kemampuannyauntuk tenggang rasa. Manusia harus
melihat dirinya agar dapat mengerti orang lain dan mengarahkan manusia untuk
bertindak sesuai dengan cinta dan kebaikan, dengan tulus menghormati orang
lain. Prinsip Zhong-shu sekaligus merupakan prinsip Ren, sehingga pengalaman
Zhong-shu berarti mengamalkan Ren yang mengakibatkan pelaksanaan tanggung
jawab

serta

kewajiban

seseorang

dalam

masyarakat.(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/51921/4/Chapter%20
II.pdf)

Penulis menggunakan nilai konfusionisme yang mengajarkan tentang
akhlak dan moral dalam kehidupan yang dicerminkan dalam kehidupan percintaan
masyarakat di Jepang. Hal inilah yang membuat penulis merasa kasih sayang dan
kesetiaan tokoh Mikage, Yuichi dan Eriko dapat ditiru oleh masyarakat zaman
sekarang dalam hubungan percintaan.
Untuk mengetahui nilai pragmatik yang ada dalam isi cuplikan novel,
maka penulis menggunakan pendekatan semiotik. Semiotik adalah ilmu atau tanda
metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed dalam Nurgiyantoro 1995:40).
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan yang mungkin tanda-tanda
tersebut mempunyai arti. Dengan pendekatan ini penulis dapat menafsirkan segala
tanda

yang

merujuk

adanya

nilai-nilai

kasih

sayang,

kepedulian

dankesabaranyang terdapat dalam novel "Kitchen" yang diprediksikan dapat
menjadi cerminan yang baik bagi pembaca.
2.5

Biografi Pengarang
Banana Yoshimoto adalah novelis Jepang yang memiliki nama asli

Mahoko Yoshimoto. Ia dilahirkan di Tokyo pada tanggal 24 Juli 1964. Ia memilih
untuk mempublikasikan namanya dengan memakai nama Banana, karena ia
sangat menyukai bunga pisang. Banana Yoshimoto dilahirkan dikeluarga sastra,
ayahnya, Tataki Yoshimoto adalah seorang kritikus sastra yang terkenal, penyair,
dan komentator yang terkenal, karya-karyanya sangat terkenal pada gerakan
pemuda radikal Jepang pada tahun 1960. Sedangkan adiknya Haruko Yoiko
adalah seorang kartunis yang cukup terkenal di Jepang. Mereka dibesarkan
dikeluarga yang liberal dan belajar nilai kemerdekaan diusia muda.

Meskipun sukses Banana Yosimoto Tetap tampil sederhana dimuka
umum, dan kesederhanaanya menjadikan dia seorang novelis yang sukses. Tak
banyak yang tahu mengenai masalah pribadinya, sampai ia menikah dengan
suaminya yang bernama Hiroshi Tahata, dan pada tahun 2003 Ia melahirkan
seorang anak. Banana Yoshimoto memulai karirnya sebagai penulis sambil
bekerja sebagai pelayan disebuah restoran golf-klub di Jepang pada tahun 1987.
Setiap hari ia menyampatkan waktu untuk menulis dikomputernya, minimal
setengah jam dalam sehari. Penulis Amerika Stephen King merupakan pengaruh
besar dalam karirnya, dan memberikan inspiransi

terutama dari cerita-cerita

horornya. Melalui novelnya-novelnya ia memperoleh beberapa penghargaan yaitu
6th newcomer writers prize pada bulan November 1987, Umitsubame pertama
novel hadiah, dan Izumi Kyoka Literary prize ke 16 pada buln Januari 1988 untuk
novel Kitchen.