Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

FISOLOGI NYERI
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of

Pain (IASP, 1979)adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak
menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
potensial terjadi kerusakan jaringan3,4.Sebagai mana diketahui bahwa
nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan
yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh
genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam
menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik
sepenuhnya

dan

tes


laboratorium

mengarahkan

kita

pada

kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama
pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan
pasien dengan gangguan komunikasi2,3,34,35,36.
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia)
atau pascabedah harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna,
karena dampak dari nyeri itu akan menimbulkan Metabolic Stress Respon
(MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat
kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya
perubahan fisiologi dan psikologi seperti1,2,3,37,38 :




Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur



dan putus asa



kepekaan luka

Perubahan neurohumoral : peripheral hiperalgesia, peningkatan

Plastisitas neural (cornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi
sehingga meningkatkan kepekaan nyeri




Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi,
takikardi

Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, peningkatan kadar
gula darah, katabolisme

Gambar 1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan
nyeri akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan
oleh proses pembedahan atau trauma39.

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama
akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif
dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi
pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia
(prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan leukotrien)
oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang
dilepaskan ini berperan pada proses transduksi dari nyeri34,35,36,40.
2.2

MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya

kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan

oleh stimulus noxious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif.
Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak,
thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan,
maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif
menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak36,41.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga
stimulus nonnoxious atau noxious ringan yang mengenai bagian yang
meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan
derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi36,41.
2.2.1 Sensitisasi Perifer
Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan
melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+,
pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan
growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang
nosiseptor

(nociceptor


activators)

dan

komponen

lainnya

akan

menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers)41,42.

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi
ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai
komponen

yang


menyebabkan

sensitisasi

akan

muncul

secara

bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia
tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer
akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi41,42.

Peripheral Sensitisation

Tissue Damage

Inflamation


Symphatetic Terminals

Sensitising ‘soup’
Hydrogen ions Histamine

Purines

Leucotrienes

Noradrenaline Potassium ions

Cytokines

Nerve growth factor

Bradykinin

Neuropeptides


Prostaglandins 5-HT

High threshold nociceptor
Transduction sensitivity
Low threshold nociceptor

Gambar 2. Mekanisme sensitisasi perifer42.

2.2.2 Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral
dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri
setelah cedera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent) 41.
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem
saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input
(kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah keruskan jaringan
yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif kedalam medulla

spinalis, ini akan menjadi jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi
hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus
non noxious dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi
sensitif rangsangan nyeri41.
2.3

NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit,

otot,

persendian,

viseral

dan

vaskular.

Nosiseptor-nosiseptor


ini

bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious yang berasal dari
kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan
normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki
energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).
Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke central
nervous system (CNS) untuk interpretasi nyeri5,36,43,44.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan
lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke
pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan
reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.

Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal
tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan
jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya
menimal.

Mula


datang

nyeri

pada

jaringan

karena

iskemi akut

berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri
terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai
20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit5,36,44.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada
stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus
yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai
aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa
diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika
daerah

sekitar

terjadi

inflamasi

dan

produk-produknya.

Allodynia

mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan
mekanoreseptor A-beta5,36,44.
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain
hanya sebagai reseptor nyeri karena organ internal jarang terpapar pada
keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong,
membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur
viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau
spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya
dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi5,36,44.
2.4

PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis

kompleks

yang

disebut

sebagai

nosiseptif

(nociception)

yang

merefleksikan 4 proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi,

modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer
sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)3,5,38,45.
2.4.1 Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noxious diubah ke impuls elektrikal pada
ujung nervus. Suatu stimuli kuat (noxiousstimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor
meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan
karena

trauma

baik

trauma

pembedahan

atau

trauma

lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang
akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkan zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi
perifer3,5,38,43,45.
2.4.2 Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke
medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke
traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain
itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls
disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di korteks serebri dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri3,5,38,43,45.
2.4.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf
pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara
sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses

ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin,
endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada
kornu posterior medulla spinalis. Di mana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
sangat subjektif pada setiap orang3,5,38,43,45.
2.4.4 Proses Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan
suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik3,5,38,43,45.

Gambar 3. Pain Pathway44.
2.5

MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan

sentral. Golongan obat Non Steroid Anti Inflammation Drug (NSAID)/ Anti
Inflamasi Non Steroid (AINS) bekerja diperifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat
dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis
medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter
dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi3,5.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat
yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin
yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses
inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain
itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap
rangsangan nyeri (nosiseptif)3,5.
Enzim siklooksigenase (cyclooxygenase = COX) adalah suatu
enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat.
Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi
mediator prostaglandin, di mana hal ini menghasilkan kedua efek yakni
baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus
lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX
dihubungkan dengan 2 isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.
COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi
platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya,
COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma
(otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan

kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi
sentral3,5,35.
2.6

KLASIFIKASI NYERI
Kejadian nyeri unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik

tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan,
depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu
dirasakan. Subjektivitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri
dan mengerti mekanisme nyeri. Salah satu pendekatan dengan
mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi
(nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (pascabedah, kanker)3,5.
2.6.1 Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi
yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting
stimulus istirahat. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan
sampai 7 hari4. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai
malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan.
Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi
sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ
dysfunction, atau infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Nyeri
kronik mungkin mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri
kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati)
sering tidak disertai patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik
yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) membuat
pengobatan menjadi lebih sulit4,5,34,35.
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda
dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat,
diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul. Guarding biasa dijumpai
pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul

ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau
tidaknya nyeri5,34,35.
2.6.2 Nosiseptifdan Nyeri Neuropatik
Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan
kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi
pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang
nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik
opioid atau non opioid3,4,5,34,35.
Nyeri neuropatik

merupakan

nyeri yang ditimbulkan akibat

kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada system saraf pusat
yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer dan biasanya
digambarkan

dengan

rasa

terbakar

dan

menusuk.

Pasien

yang

mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik
terhadap analgesik opioid3,4,5,34,35.
2.6.3 Nyeri Viseral
Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah
permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan
dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral,
menstruasi, dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri
viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otototot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses
inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan
dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus,
menggerogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila
organ padat terkena.5,34,35

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen,
spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu,
saluran empedu, atau ureter. Distensi pada organ lunak terjadi nyeri
karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi
pembuluh darah karena distensi berlebih dari jaringan5,34,35.
Impuls nyeri yang bersal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem
saraf simpatis, dimana impuls dari esofagus, trakea dan faring melalui
aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam
pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri
dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia
cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari empat dan lima
ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord
melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab impuls nyeri yang berasal
dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard. Parenkim otak,
hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun, bronkus dan pleura
parietal sangat sensitif pada nyeri5,34,35.
2.6.4 Nyeri Somatik
Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,
mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,
jaringan subkutan, membrane mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan
peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi
peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding
parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus
spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana
dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada
peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum
viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri
parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak3,5,34,35.

Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi
darinyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang
sama. Sebagai contoh, impuls nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi
melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis
lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar kae daerah
umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai
tambahan, impuls nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi
apendiks menyentuh dinding abdomen, impuls – impluls ini melewati
nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk
berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran
kanan bawah5,34,35.
2.7

PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan

terapi nyeri pascabedah yang efektif. Skala penilaian nyeri dan
keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri
harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan
menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan3,5,46.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang
ini3,4,46,47,48,49,50:
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,
dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini
berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anakanak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang
tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 4. Wong Baker Faces Pain Rating Scale
2. Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan
skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 5. Verbal Rating Scale
3. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,
dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan
dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0
menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri
yang hebat.

Gambar 6. Numerical Rating Scale
4. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948
yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis
(0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri
hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih
gampang,

efisien

dibandingkan

dan

dengan

lebih
skala

mudah
lainnya.

dipahami

oleh

Penggunaan

penderita

VAS

telah

direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara
luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa kata sehingga
kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan
kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat
menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm
dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai
target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS> 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga
perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic).

Gambar 7. Visual Analogue Scale
2.8

PENANGANAN NYERI
Penanganan nyeri pascabedah yang efektif harus mengetahui

patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat
dilakukan

dengan

cara

farmakoterapi

(multimodal

analgesia),

pembedahan, juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik
non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi)4,37.
2.8.1 Farmakologis
Modalitas analgetik pascabedah termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal
dan opioid intraspinal3.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu
pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obatobatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri pascabedah3,4.

Tabel 1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri4.
Non-opioid analgesics

Paracetamol
NSAIDs, Including COX-2 inhibitors
Gabapentin, pregabalin

Weak opioids

Codeine
Tramadol
Paracetamol combined with codeine or
tramadol

Strong opioids

Morphine
Diamorphine
Pethidine
Piritramide
Oxycodone

Adjuvants

Ketamine
Clonidine

Tabel 2. Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenis
operasi4.
Mild

Moderate

Severe

Intensity Pain

Intensity Pain

Intensity Pain

For example:

For example:

For example:

Inguinal hernia

Hip Replacement

Thoracotomy

Varices

Hsterectomy

Upper Abdominal Surgery

Laparoscopy

Jaw Surgery

Aortic Surgery
Knee Replacement

1. Paracetamol and
wound infiltration
with local
anesthetics
2. NSAIDs (unless
contraindicated)
and:
3. Epidural local
analgesia or major
peripheral nerve or
plexus block or
opioid injection (IV
PCA)
1. Paracetamol and wound infiltration with local
anesthetics
2. NSAIDs (unless contraindicated) and:
3. Peripheral nerve or plexus block (single shot or
continuous infusion) or opioid injection (IV
PCA)
1. Paracetamol and wound infiltration with local anesthetics
2. NSAIDs (unless contraindicated) and:
3. Regional block anesthesia
Add weak opioid or rescue analgesia with small increments of
intravenous strong opioid if necessary

2.8.1.1

Multimodal Analgesia

Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik
yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek
analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping
dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Di mana
multimodal analgesi melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada
ketiga proses perjalanan nyeri, yakni3,4,37,38,51:







Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS
Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional)
Peningkatan proses modulasi dengan opioid
Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan

dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan
opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada
pasien-pasien yang mengalami nyeri pascabedah ditingkat sedang
sampai berat4. Analgesia multimodal selain harus diberikan secepatnya
(early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early
ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi oral secepatnya (early
alimentation)51.
2.8.1.2

Preemptive Analgesia

Preemptive analgesia artinya mengobati nyeri sebelum terjadi,
terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan pembedahan
(prabedah). Pemberian analgesia sebelum onset dari rangsangan nyeri
untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri
selanjutnya. Preemptif analgesia mencegah kaskade neural awal yang
dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan
hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara
demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan
dengan keluhan nyeri pascabedah tanpa memakai cara preemptive
analgesia. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak,
maupun dikombinasikan dengan opioid atau NSAID lainnya, dilakukan 20
– 30 menit sebelum tindakan operasi3,38,45,52,53,54,55.

2.8.1.3

Patient Control Analgesia (PCA)

Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu
sendiri dengan memakai alat (pump), dosis dan cara sudah diterangkan
dan dipraktekkan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA bisa
diberikan dengan cara Intravenous Patient Control Analgesia (IVPCA)
atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), hanya dengan cara ini
memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun tindakannya3,38,52.
2.8.1.4. Ketamin
Identifikasi

dari

reseptor

N-methyl-D-aspartate

(NMDA)

dan

perannya dalam persepsi nyeri membawa ketertarikan baru banyak klinisi
khususnya praktisi nyeri untuk memulai penelitian baru terhadap ketamin
sebagai analgesia multimodal dalam penanganan nyeri.61
2.8.1.4.1. Farmakologi Ketamin
Ketamin,

2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone,

pertama kali disintesis pada tahun 1963 oleh Stevens dan pertama sekali
digunakan pada manusia pada tahun 1965 oleh Corssen dan Domino.62
Obat larut dalam lemak ini memiliki berat molekul 238g/mol, pKa 7,5 dan
digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer levogyrous s(+) ketamin.62

Gambar 8. Sruktur bangun ketamin63

Ketamin memiliki atom karbon asimteris sehingga ketamin memiliki
2 isomer optikal yaitu S(+)-ketamin dan isomer dextrogyrous R(-)-ketamin.
S(+)-ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer R(-)-ketaminuntuk
penanganan nyeri, dan dalam dosis yang sama lebih sedikit menimbulkan
perubahan psikis dan agitasi daripada yang bentuk rasemik dan
dextrogyrous. S(+)-ketamin dua kali lebih poten dari rasemik dalam
mencegah spinalcord central sensitization. 3,5,62
Ketamin dapat diberikan melalui oral, intramuscular, intravena dan
epidural. Ketamin memiliki bioavaibilitas 93% dan waktu paruh sampai 186
menit. Karena sangat liposoluble ketamin memiliki volume distribusi besar
mencapai 3L/kg.62 Plasma puncak setelah pemberian intravena terjadi
dalam waktu 1 menit, intramuscular dalam waktu 5 menit dan pemberian
secara oral dalam waktu 30 menit.64 Ketamin terdistribusi ke organ yang
memiliki perfusi tinggi seperti otak di mana konsentrasi puncak mencapai
4 sampai 5 kali kadar di plasma. Selanjutnya, peningkatan aliran darah
otak oleh ketamin mampu memfasilitasi penghantaran obat dan
meningkatkan pencapaian konsentrasi tinggi di otak. Kemudian, ketamin
diredistribusi dari organ yang perfusinya baik ke tempat yang perfusinya
kurang baik.5 Ketamin mengalami metabolisme konjugasi di hati melalui
enzim sitokrom P 450.63
Ketamin memiliki hepatic clearance rate yang tinggi (1 liter/menit)
dan distribusi volume yang besar (3 liter/kg) yang menyebabkan waktu
eliminasi 2 sampai 3 jam. Norketamin adalah metabolit ketamin yang
masih aktif, potensi analgesinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin,
dan pada akhirnya metabolit tadi dihidroksilasi dan dikonjugasi menjadi
larut air sampai akhirnya diekskresikan melalui urin.5 Norketamin muncul
2-3 menit setelah pemberian ketamin dan mencapai kadar puncak 30
menit kemudian. Norketamin dapat bertahan hingga 5 jam setelah
pemberian ketamin.65 Hal ini mungkin dapat menjelaskan bahwa waktu
eliminasi yang panjang 2-3 jam disertai

dengan adanya norketamin

membuat efek analgesia ketamin dapat lebih panjang.65 Ketamin memiliki
kelarutan lemak yang tinggi sehingga obat ini gampang melewati sawar
darah otak. Ketaminmemiliki ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu
paruh tercapai dalam 10 menit.65
2.8.1.4.2. Mekanisme Kerja Ketamin
Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat (otak dan sumsum
tulang belakang) dan menurut beberapa penelitian ketamin memiliki
aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada reseptor NMDA pada
bagian kutub kalsium. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan hambatan
influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran kalsium adalah sebagai
second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui pelepasan
neurotransmitter nyeri yang lain.3,5
Blok pada NMDA reseptor adalah cara kerja utama dari ketamindi
susunan saraf pusat dan medula spinalis. Sebagai tambahan bahwa
ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang bertindak
sebagai

neurotransmitter

eksitatori

yang

berperan

sebagai

neurotransmitter nyeri. Mekanisme yang lain ketamin berikatan dengan
reseptor opioid yaitu mu dan kappa.Interaksi ini terjadi sangat kompleks.
Afinitas ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari
ikatannya terhadap reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon
yang merupakan antagonis opioid tidak mengantagonis efek analgetik dari
ketamin. Ada bukti juga bahwa reseptor seperti monoaminergik,
muskarinik dan nikotinik menjadi tempat ikatan ketamin sekaligus ketamin
menimbulkan efek takikardi dan bronkodilator.3,5,63

2.8.1.4.3. Efek Ketamin Pada Fungsi Organ
Ketamin memiliki kombinasi efek kardiovaskular yang unik,
biasanya dikaitkan dengan takikardi, peningkatan tekanan darah, dan
peningkatan cardiac output. Mekanisme tepat munculnya respon simpatik
yang dimediasi sentral ini masih belum diketahui. Namun, pada absennya
kontrol otonom, ketamin memiliki efek langsung depresi miokard, yang
biasanya dikesampingkan oleh respon sentral ini. Dimungkinkan untuk
mengurangi efek yang tidak diinginkan ini dengan cara memberikan
ketamin

sebagai

infus

berkala

dan

penggunaan

bersama

benzodiazepine.63
Ketamin memiliki efek minimal pada pusat pernapasan, meskipun
penurunan sementara ventilasi dapat terjadi setelah pemberian bolus.
Ketamin menyebabkan relaksasi otot polos bronkial, sehingga ketamin
memiliki peran khusus pada pasien asma. Ketamin meningkatkan sekresi
saliva, yang dapat menghasilkan potensial masalah pada anak-anak
dengan menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian atas. Meskipun refleks
menelan, batuk, bersin, dan refleks muntah relatif utuh dengan ketamin,
tetapi aspirasi dapat terjadi selama pasien terbius dengan ketamin.63
Sering

dilaporkan

adanya

bunyi

sonor

pada

penggunaan

ketaminyang disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi
karena posisi saluran napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut
dapat dikelola secara sederhana hanya dengan melakukan reposisi
kepala pasien. Laringospasme yang sebenarnya dapat terjadi pada
penggunaan ketaminyang disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh
instrumentasi atau sekret. Sekret dapat dikurangi dengan memberikan
premedikasi glycopyrrolate.63
Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan
ketaminyaitu perubahan mood dan penggambaran diri sendiri, sensasi
mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium. Mimpi-mimpi dan

ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting untuk
mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamintersebut dan efek ini
muncul 5-30 % dari penggunaan ketamin.63 Kejadian emergence reaction
lebih tinggi terkait faktor-faktor seperti meningkatnya usia, perempuan,
pasien yang sering bermimpi, pemberian intravena yang cepat dan dosis
besar.63 Ketamin telah diamati dapat mengaktifkan psikosis pada pasien
dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat adanya reaksi psikotik jangka
panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan sebelumnya. Premedikasi
dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction, seperti midazolam
(0,07-0,1 mg kg/bb), diazepam ( 0,15 - 0,3 kg/bb ), dan lorazepam ( 2-4
mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila
digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.63
Ketamin menghasilkan apa yang disebut sebagai anestesia
'disosiatif'

yang

elektrofisiologi

digambarkan
antara

sistem

sebagai

disosiasi

thalamo-neokorteks

fungsional
dan

dan
limbik.

Electroencephalogram (EEG) menunjukkan aktivitas theta yang dominan
dan menghilangnya irama alfa. Keadaan klinis unik yang dihasilkan oleh
ketamin adalah keadaan kataleptik di mana mata tetap terbuka dengan
tatapan nystagmus yang lambat, sedangkan refleks kornea dan cahaya
tetap utuh. Berbagai tingkat hipertonus dan sesekali gerakan yang tidak
terkait dengan stimulus nyeri tercatat pada keadaan anestesi yang
adekuat untuk pembedahan. Studi-studi menunjukkan aktivitas eksitatori
baik di thalamus dan sistem limbik tanpa bukti klinis aktivitas kejang
setelah pemberian ketamin. Dengan demikian, ketamin mungkin tidak
menyebabkan kejang pada pasien dengan gangguan kejang, dan pada
kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa ketamin memiliki
sifat anti kejang dan bahkan neuroprotektif.63
Analgesia terjadi pada konsentrasi di darah lebih rendah daripada
dosis sedasi. Hal ini berlaku untuk ketamin yang rasemik dan untuk S-(+)ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak, dan

tekanan

intrakranial.

Pengaruh

S-(+)-ketamin

pada

Intra

Cranial

Pressure(ICP) belum diketahui. Ketamin belum terbukti memiliki efek
buruk pada hati dan sistem ginjal. Tekanan intraokular sedikit meningkat
setelah pemberian ketamin. Ketamin menghasilkan peningkatan tonus
otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun telah digunakan dengan
aman pada miopati dan hipertermia maligna. Efek bervariasi dijumpai
pada tonus uterus. Efek lainnya termasuk emesis, ruam sementara, dan
agitasi.63
2.8.1.4.4. Penggunaan Klinis Ketamin
Campuran rasemik komersial ketamin adalah campuran setara R () dan S (+) isomer

tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan

pengawet, benzathonium hidroclorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia
dalam 5 dan 25 mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat
diberikan intravena, intramuscular, oral, rektal, dan untuk epidural pada
sediaan bebas pengawet. Dosis tergantung pada rute pemberian dan efek
terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik secara oral
(diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi
atau intravena dengan dosis yang lebih kecil yang diberikan segera
sebelum induksi. Dosis induksi anestesi ketamin yaitu 0.5–1.5 mg/kg
intravena atau 4–10 mg/kgbb intramuscular. Dosis pemeliharaan untuk
anestesi 10-30 mcq/kg/menit intravena. Sedasi analgesia 0.2–0.75 mg/kg
intravena

atau

2–4 mg/kgbb intramuscular diikuti infus berkala 5–20

mcg/kg/menit.63
Ketamin dapat digunakan untuk sedasi sekaligus analgesia pada
prosedur-prosedur singkat. Munculnya emergence reaction kurang intens
pada anak-anak, sehingga dapat digunakan untuk kedua sedasi maupun
anestesi umum dalam prosedur seperti kateterisasi jantung, radioterapi,
radiologi investigasi, dan penggantian perban luka bakar. Sayangnya,
tidak terdapat informasi mengenai berapa kali pengulangan pemberian

ketamin masih dapat diberikan secara aman. Secara umum, hanya dosis
subanestetik diperlukan untuk prosedur minor.63
Ketamin dapat digunakan sebagai suplemen intravena (IV) atau
intramuskular (IM) selama anestesi regional. Hal ini juga dapat diberikan
melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk
memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah
digunakan bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas
sedasi.63 Dosis rendah ketamin didefenisikan sebagai dosis ketamin yang
diberikan ≤ 2 mg/kg bila diberikan intramuscular atau diberikan ≤ 1 mg/kg
bila diberikan secara intravena atau epidural. Untuk pemberian kontinu
intravena ketamin dosis rendah didefinisikan sebagai rerata infus ≤ 20
mcg/kg/menit.21 Dosis rendah ini sering digunakan untuk suplementasi
anestesi yang lain. Sumber lain menyebutkan bahwa analgesia ketamin
dapat dicapai dalam dosis 0,2-0,5mg/kg/ intravena.63 Efek anestesi
ketaminsebagai NMDA antagonis mencegah sensitisasi sentral terhadap
rangsangan nyeri hebat. Ketamin adalah satu-satunya NMDA antagonis
yang tersedia dan penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kecil
ketaminyang

diberikan

perioperatif

dapat

mengurangi

kebutuhan

analgetik opioid pascaoperasi (rata-rata 40-60%).63 Pasien yang diberikan
ketamin juga mengalami PONV yang lebih sedikit.66
Ketamin telah digunakan secara ekstensif pada penggantian
perban luka bakar, pembiusan debridement dan prosedur pencangkokan
kulit pada anak-anak dan orang dewasa. Namun reaksi toleransi bisa
terjadi pada pasien dengan penggunaan ketamin berulang. Pasien
dengan gangguan kardiorespirasi (kecuali penyakit jantung iskemik)
merupakan kandidat utama untuk diberikan ketamin. Pengalaman yang
luas dengan ketamin pada anak dengan katerisasi jantung telah
menunjukkan efektifitas penggunaan ketamin dengan kejadian aritmia
yang kurang dari anestesi umum lainnya.63

Ketamin mungkin berbahaya pada pasien dengan fungsi cadangan
ventrikel kanan yang terbatas dan peningkatan tahanan vaskular
pulmonal. Pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif, ketamin
(rasemik) dapat berguna karena memiliki efek bronkodilator dan analgesia
mendalam yang memungkinkan pemberian oksigen inspirasi yang lebih
besar.

Ketaminjika

dikombinasikan

dengan

benzodiazepine

atau

benzodiazepine dengan opioid, menurunkan takikardia yang tidak
diinginkan, hipertensi dan juga reaksi psikomimetik pascaoperasi. Teknik
ini menghasilkan gangguan hemodinamik minimal, analgesia yang
mendalam, amnesia dan pemulihan tanpa efek samping yang berarti.63
Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaineuntuk
meningkatkan durasi analgesia anestesi kaudal, tanpa mempengaruhi
intensitas analgesik. Minat penggunaan ketamin ini tumbuh pesat dan
dalam survei terbaru, 32% dari anestesi pediatrik Inggris melaporkan
penggunaan ketaminepidural.63
Secara

historis,

telah

diyakini

bahwa

ketamin

merupakan

kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial,
namun adanya laporan tentang efek neuroregeneratif telah menghasilkan
penelitian dalam topik ini.67 Ketamin dapat mencegah influks ion kalsium
abnormal atau akumulasi glutamat melalui interaksi dengan reseptor
NMDA. Peningkatan aliran darah otak setelah pemberian ketamin kurang
dari peningkatanCerebral Metabolic Rate of O2 (CMRO2). S-(+)-ketamin
mengurangi atau mempertahankan metabolisme serebral pada sebagian
besar wilayah otak (studi eksperimental).68
Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular,
penelitian telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi
leukosit selama hipoksemia atau sepsis.69 Ketamin menekan produksi
sitokin pro-inflamasi dalam darah manusia in vitro. Dalam sebuah studi
tentang efek isomer berbeda pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam

mengurangi adhesi neutrofil, sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek
negatif yaitu memperburuk kebocoran ke jaringan sekitarnya dari
pembuluh darah coroner.

2.8.1.5

FENTANIL

2.8.1.5.1. Struktur, Rumus Bangun
Fentanil merupakan agonis opioid sintetis derivat fenilpiperidin yang
strukturnya menyerupai meperidin. Sebagai analgesik, fentanil 75 – 125
kali lebih poten dibandingkan dengan morfin.5

Gambar 9.Rumus bangun Fentanil
2.8.1.5.2. Penggunaan Klinis Fentanil
Dalam praktek klinis, fentanil diberikan dalam rentang dosis yang
luas. Dosis 1 – 2 μg/kg intravena diberikan untuk memberikan efek
analgesi. Fentanil dosis 2 – 20 μg/kg intravena dapat diberikan untuk
mengurangi respon kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi dan
intubasi endotrakhea karena cara kerjanya yang memblok rangsang nyeri,
depresi tonus simpatis sentral dan aktivasi tonus vagal. Fentanil dengan
dosis 2 – 20 μg/kg intravena juga dapat digunakan untuk mengatasi
perubahan mendadak akibat stimulasi saat pembedahan. Sementara
dosis besar fentanil 50 – 150 μg/kg intravena digunakan dalam surgical
anesthesia sebagai obat anestesi tunggal.5
Fentanil dosis besar sebagai anestetik tunggal mempunyai
keunggulan stabilnya hemodinamik dikarenakan a) tidak adanya efek
langsung depresi jantung, b) tidak adanya pelepasan histamine, c) supresi
respon stress akibat pembedahan. Kelemahan penggunaan fentanil

sebagai agen anestesi tunggal termasuk a) gagalnya pencegahan respon
sistem saraf simpatik akibat rangsang nyeri hebat akibat pembedahan, b)
kemungkinan

sadarnya

pasien,

c)

kemungkinan

depresi

nafas

pascabedah.5

2.8.1.5.3 Farmakokinetik
Pemberian dosis tunggal fentanil intravena mempunyai mula kerja
lebih cepat dan durasi yang lebih singkat dibandingkan morfin. Onset yang
cepat ini menunjukkan bahwa fentanil mempunyai sifat larut lemak yang
tinggi sehingga mudah melalui sawar darah otak. Sedangkan untuk
durasinya yang singkat menunjukkan redistribusi cepat ke jaringan lemak,
otot skeletal, serta paru-paru, hal ini dikaitkan dengan menurunnya kadar
konsentrasi fentanil di plasma. Paru juga berperan sebagai tempat
penyimpanan yang besar dan inaktif dari fentanil, dengan perkiraan 75%
dari dosis inisial fentanil ditangkap saat melewati paru pertama kali.
Fungsi non respirasi dari paru ini membatasi jumlah inisial obat yang
mencapai sirkulasi sistemik dan dapat memainkan peran besar dalam
profil farmakokinetik fentanil. Ketika beberapa dosis fentanil intravena
diberikan atau ketika obat ini diberikan secara infus kontinu, saturasi
progresif dari jaringan ini terjadi. Hasilnya, konsentrasi plasma fentanil
tidak menurun secara cepat, dan durasi analgesia, sama halnya dengan
depresi ventilasi, bisa memanjang.5
Fentanil dimetabolisme melewati proses N-demethylation yang
akan menghasilkan norfentanil, dimana struktur dari norfentanil ini mirip
dengan struktur normeperidin. Norfentanil diekskresi melalui ginjal dan
dapat ditemukan di urin selama 72 jam setelah pemberian dosis tunggal
fentanil intravena. Kurang dari 10% fentanil dieksresikan tidak berubah di
urine. Aktivitas farmakologi dari metabolit fentanil dipercaya minimal.5

Meskipun fentanil mempunyai masa kerja singkat, namun fentanil
mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang daripada morfin,
yang menunjukkan fentanil mempunyai kecepatan distribusi yang lebih
besar. Hal ini disebabkan karena daya kelarutan lemaknya yang besar
sehingga mudah masuk ke jaringan dibandingkan morfin yang kurang
larut dalam lemak. Setelah bolus intravena, fentanil terdistribusi cepat ke
jaringan yang kaya pembuluh darah. Lebih dari 80% dari dosis yang
diinjeksikan keluar dari plasma

Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Parasetamol 1 gr/6 jam Intravena dan Ketorolak 30 mg/6 jam Intravena Untuk Penanganan Nyeri Paska Pembedahan Seksio Sesaria Dengan Anestesi Regional Blok Subaraknoid

1 60 119

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 19

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 2

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 10

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 6

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 16

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 22

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 4

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 14

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

1 1 27