Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Seiring dengan meningkatnya jumlah dan jenis operasi yang sehari-

hari dikerjakan saat ini, manajemen nyeri akut adalah aspek penting dari
perawatan

anestesi

perioperative.

Meskipun

pengetahuan

tentang


penanganan nyeri akut pascabedah mengalami kemajuan yang sangat
pesat, tetapi dari hasil penelitian Apfelbaum dkk tahun 2003 pada 250
pasien di Amerika Serikat yang menjalani pembedahan, terdapat sekitar
80% pasien mengalami nyeri akut pascabedah, dan hampir 25% dari
pasien yang menerima pengobatan pereda nyeri mengalami efek samping
yang mengganggu.1 Hal ini sejalan dengan penelitian Sommer dkk tahun
2007 melaporkan prevalensi nyeri pascabedah di University Hospital
Maastrict Belanda pada 1490 pasien pascabedah yang menerima
penatalaksanaan nyeri sesuai protokol standar, hasilnya 41%, 30%, 19%,
16%, 14% pasien mengalami nyeri sedang dan berat pada hari ke 0,1,2,3,
dan 4, berurutan. Prevalensi nyeri sedang dan berat pada grup bedah
abdomen didapati tinggi pada hari 0-1 sebesar 30-55%. Pada grup bedah
ekstremitas, prevalensi nyeri sedang dan berat didapati tinggi pada
keseluruhan hari ke 1-4 sebesar 20-71%, dan pada grup bedah tulang
belakang didapati sebesar 30-64%.2
Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita
karena setelah berkurangnya efek obat anestesi, penderita akan
merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif, derajat dan kualitas nyeri yang
ditimbulkan oleh suatu rangsang yang sama akan berbeda antara satu
penderita dengan penderita lainnya. Kurangnya perhatian, pengetahuan

dan keterampilan tenaga medik merupakan hambatan utama pengelolaan
nyeri pascabedah yang tepat, dosis analgetik sering tidak tepat dan masih

ditambah rasa ketakutan terjadinya depresi pernafasan pada pemberian
analgetik opioid.3,4
Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat
subjektif yang melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak
menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau
potensial terjadi kerusakan pada jaringan.3,4 Nyeri apabila tidak diatasi
akan berdampak negatif pada penderita pascabedah seperti kegelisahan
(gangguan tidur), imunosupresi, hiperglikemi, perubahan hemodinamik
(hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas sehingga menyebabkan
kekurangmampuan

untuk

batuk

dapat


mempermudah

terjadinya

atelektase, ketakutan mobilisasi akan meningkatkan resiko komplikasi
tromboemboli

dan

meningkatkan

pelepasan

katekolamin

yang

menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase
katabolik,


menurunkan

aliran

darah

ke

ekstremitas

inferior

dan

menurunkan sirkulasi darah ke splanchnicus. Keadaan-keadaan tersebut
diatas akan mengakibatkan penyembuhan yang lambat, gangguan
mobilisasi, faktor resiko untuk menjadi nyeri kronik, jangka waktu rawatan
di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya
pengobatan.3,4,5
Walau banyak tipe analgesia dan tipe protokol telah ditawarkan

untuk mengatasi nyeri pascabedah, kelemahan dari manajemen nyeri
yang efektif tetap terdapat pada banyak pasien. Opioid merupakan pilihan
utama untuk terapi nyeri pada pasien yang mengalami nyeri pascabedah
tingkat sedang dan berat, bersama dengan terapi adjuvan, seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), parasetamol, gabapentin, dan
tekhnik regional, yang akan mengurangi konsumsi opioid.
Fentanil bersama analognya sufentanil dan alfentanil adalah opioid
yang paling banyak digunakan saat ini. Fentanil memiliki rasio potensi 100
kali

lebih

kuat

dari

morfin.6South

African

Society


of

Anesthesiologistmengeluarkan panduan dosis kontinu rata-rata fentanil
yang digunakan untuk nyeri pascabedah adalah 1-5 mcg/kg/jam.7
Pada penelitian van Lesberghe dkk tahun 1994 didapati pemberian
fentanil kontinu intravena dosis 1 mcg/kg/jam mempunyai derajat kontrol
nyeri yang sama dibanding dosis yang sama melalui jalur epidural dan
jalur transdermal dengan dosis 75 mcg/jam, tetapi jalur intravena
mempunyai keunggulan di mana pada jalur transdermal didapati mula
kerja yang lebih lama dan pada jalur epidural didapati konsentrasi plasma
yang terus meningkat pada 48 jam pertama sampai rentang konsentrasi
yang menyebabkan depresi pernafasan.8
Akan tetapi pemberian opioid dibatasi karena efek sampingnya
seperti depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, pruritus.9,10 Pada
penelitian Kurihara dkk tahun 2008 dengan pemberian infus kontinu
fentanil dosis 1 mcg/kg/jam didapati analgesi yang adekuat pascaoperasi
laparatomy pada lebih 90% pasien anak tanpa didapati kejadian
desaturasi dan depresi nafas, tetapi kejadian muntah masih terdapat tinggi
sekitar 14,3% dan angka sedasi dalam lebih tinggi lagi sekitar 19%.11

Opioid merupakan obat yang paling populer digunakan pada 24
jam pertama pascabedah selama pasien masih puasa, tetapi beberapa
pasien menolak metode pemberian opioid. Sementara beberapa yang
lainnya, sudah menjadi addiksi oleh pemberian opioid sebelumnya dan
menjadi resisten pada dosis opioid yang umum digunakan.12
Obat lain yang juga digunakan sebagai obat manajemen nyeri
pascabedah adalah ketamin. Ketamin telah ditunjukkan sangat berguna
dalam mereduksi nyeri akut pascabedah, dan telah digunakan sebagai
analgesi pada sejumlah intervensi pembedahan dengan berbagai rute
pemberian termasuk oral, intramuskular, intrathecal, subkutan, intravena,
dan topical.13

Ketamin adalah antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA)
yang dikatakan mampu memberikan kontrol nyeri pascabedah di antara
analgetik lainnya. Minat akan penggunaan ketamin di antara klinisi yang
mengelola nyeri akut telah mengalami peningkatan akhir-akhir ini sebagai
suatu adjuvan dalam manajemen nyeri akut. Memblok reseptor NMDA
mampu meningkatkan efikasi opioid dan mengurangi perkembangan
sindrom nyeri kronik. Pada dosis yang lebih tinggi ketamin menjadi obat
anestesi yang memberi suatu keadaan yang disebut anestesia dissosiatif,

yang menyebabkan efek samping seperti halusinasi, mimpi buruk, mual,
pening, dan pandangan kabur, tetapi pada dosis yang lebih rendah,
ketamin bisa digunakan sebagai agen analgesia.14 Efek samping ini
tergantung dosis, dan sangat jarang terjadi bila ketamin diberikan dengan
bolus intravena dosis

Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Parasetamol 1 gr/6 jam Intravena dan Ketorolak 30 mg/6 jam Intravena Untuk Penanganan Nyeri Paska Pembedahan Seksio Sesaria Dengan Anestesi Regional Blok Subaraknoid

1 60 119

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 19

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 2

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 34

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 6

Perbandingan Efektifitas Ketamin Dosis 0,12 Mg Kg Jam Dan Fentanil Dosis 1 Mcg Kg Jam Kontinu Intravena Untuk Penanganan Nyeri Pascabedah

0 0 16

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 22

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 4

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 14

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

1 1 27