Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB IV

BAB IV
ANALISA PENGGUNAAN ALAT MUSIK DI JEMAAT GPM SOYA
KLASIS PULAU AMBON

A. Pendahuluan
Penggunaan alat musik dalam jemaat dan Negeri Soya merupakan bagian
dari keutuhan sebuah peribadahan maupun ritual adat. Terkait dengan persoalan
penggunaan alat musik dalam jemaat GPM Soya, maka hal yang ditemukan
berdasarkan hasil penelitian adalah bahwa penggunaan alat musik dalam adat
adalah alat musik tradisional seperti: tahuri, tifa, gong, totobuang dan suling
bambu. Dalam gereja, alat-alat musik tradisional tersebut mengalami perubahan
dan penambahan. Alat musik tradisional yang dipakai dalam gereja hanyalah
suling bambu, yang hanya dipakai pada saat tata-tata ibadah tertentu jika
diperlukan.. Sedangkan alat musik modern yang kini dipakai sebagai pengiring
proses ibadah maupun acara gereja lainnya adalah seperti berikut; keyboard,
gitar dan terompet. Hal ini dianggap sebagai satu kemajuan yang diharapkan
gereja sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi pelayanan maupun jemaat
di Negeri Soya.
Perubahan alat musik dalam gereja telah dilakukan sejak lama dan
mendapat respons yang baik dari jemaat GPM Soya. Sedangkan dalam adat,
perubahan alat musik tidak terjadi sama sekali, masih tetap menggunakan alatalat musik tradisional yang sejak dulu dipakai oleh para leluhur. Pada bagian ini,


64

akan dilakukan proses identifikasi berdasarkan pikiran Emile Durkheim dan
Mircea Eliade tentang penggunaan alat musik dalam adat dan gereja.
Fenomena yang terjadi di Negeri Soya ini, seperti yang telah diuraikan
dalam bab III merupakan salah satu fenomena yang cukup diperhatikan oleh
pemerintah Negeri maupun pihak gereja di jemaat GPM Soya. Adat dan gereja
merupakan wadah di mana masyarakat melakukan aktivitas maupun ritual
sebagai perwujudan kesetiaan terhadap para leluhur maupun upaya untuk
melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat dan jemaat di Negeri Soya.

B. Analisa Alat Musik dalam Adat

 Mengapa Alat Musik dalam Adat Tidak Berubah?
Alat musik tradisional merupakan bagian integral dari komunitas adat.
Adat tidak dapat dilepas pisahkan dengan alat musik, hal ini dikarenakan alat
musik tradisional ada hubungannya dengan adat istiadat dan penyembahan
kepada leluhur sebagai bentuk kesetiaan masyarakat karena alat-alat musik
tradisional tersebut yang dipakai oleh para leluhur sejak masa lampau. Alat

musik tradisional dalam adat di Negeri Soya, memiliki kaitan erat dengan para
leluhur. Alat musik yang dipakai yakni: tifa, totobuang, tahuri, gong dan suling
bambu awalnya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja atau yang profan, tetapi
karena alat-alat musik tradisional tersebut digunakan oleh masyarakat dan untuk
hal-hal yang dianggap sakral, maka dengan sendirinya ia menjadi yang sakral.

65

Bagi Emile Durkheim, Yang Sakral memiliki pengaruh luas, menentukan
kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat, sedangkan Yang
Profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan
keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas pribadi atau pun
kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan keluarga.1
Durkheim menjelaskan semua yang berhubungan dengan masyarakat serta
segala sesuatu yang menjadi sakral dengan sendirinya karena masyarakat
tersebut.
Dalam solidaritas mekanik pun, bagi masyarakat primitif atau masyarakat
yang tradisional, adat itu menguasai kehidupan mereka secara keseluruhannya.
Dengan demikian, maka alat musik tradisional digunakan karena ada aturan adat
sehingga masyarakat Negeri Soya meskipun sudah ada di era modern, akan

tetapi ketaatannya terhadap para leluhur masih tetap kuat sehingga mereka masih
tetap menggunakan alat musik tradisonal sebagai pelengkap sebuah ritual adat
dalam masyarakat Negeri Soya.
Lebih dari itu, alat musik tradisional yang dipakai tidak saja berhubungan
dengan masyarakat, tetapi juga dengan para leluhur. Dengan kata lain,
masyarakat sekarang setia dan hormat kepada para leluhur dengan cara
melestarikan alat-alat musik tradisional yang dipakai dalam adat. Alat musik
tradisional dipakai karena mengingatkan masyarakat Negeri Soya kepada
leluhur, di mana alat musik yang awalnya biasa saja tetapi ketika sudah ada
hierophany maka ia akan menjadi sakral dengan sendirinya. Alat musik
1

Emile Durkheim, The Elemantary Forms of The Religious Life,...,47.

66

tradisonal selalu dipakai agar mereka selalu percaya bahwa ada hubungannya
dengan sesuatu yang mereka percaya atau supranatural.
Pemikiran Mircea Eliade dapat dipakai untuk menggambarkan situasi
adat di Negeri Soya. Bagi Eliade, di tengah-tengah masyarakat ada dua wilayah

yang terpisah; wilayah Yang Sakral dan wilayah Yang Profan. Yang Profan
adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara teratur,
acak dan sebenarnya tidak terlalu penting. Sementara Yang Sakral adalah
wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan
dan teramat penting. Bila Yang Profan itu mudah hilang dan terlupakan, hanya
bayangan, sebaliknya Yang Sakral itu abadi, penuh substansi dan realita. Yang
Profan adalah tempat di mana manusia berbuat salah, selalu mengalami
perubahan dan terkadang dipenuhi kekacauan. Yang Sakral adalah tempat
dimana segala keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat berdiamnya roh
para dan leluhur.2
Berdasarkan uraian penggunaan alat musik tradisional dalam adat dalam
bab III yang menyatakan bahwa alat musik tradisional yang dipakai dalam adat
tidak dapat berubah dengan alat musik modern apapun, karen alat musik
tradisional sudah ada sejak para leluhur. Hal ini sebagai wujud kesetiaan
terhadap para leluhur yang telah mendahului masyarakat Negeri Soya. Adat
selalu berhubungan dengan para leluhur sehingga barang-barang yang dipakai
dalam ritual-ritual adat selalu mengingatkan masyarakat terhadap para leluhur,

2


Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, tr. Willard R.
Trask (New York: Harcount, Brace World, 1956), 8-113.

67

sehingga alat-alat musik tradisional tersebut tidak pernah berubah. Sakral yang
dimaksudkan oleh Eliade ialah sesuatu yang ada di dalam tatanan kehidupan
masyarakat adat yang bersifat sakral bukan merupakan pembentukan masyarakat
adat itu sendiri melainkan leluhur yang mengsakralkan segala sesuatu yang
berkaitan dengan adat.
Ketika berbicara tentang sesuatu yang dibuat sakral oleh leluhur itu
berarti sampai kapanpun hal tersebut akan dianggap sakral. Masyarakat Negeri
Soya juga tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika prosesi atau
ritual adat sedang berlangsung. Hal-hal yang tidak diinginkan itu seperti:
kerasukan ataupun jatuh sakit secara tiba-tiba.
Bagi masyarakat Maluku terkhususnya masyarakat Negeri Soya, apapun
yang dipakai oleh leluhur ketika masa mereka juga harus dipakai oleh
masyarakat hingga sekarang ini sebagai wujud kesetiaan dan penghormatan
kepada leluhur. Kesakralan adat sudah mendarah daging bagi orang Maluku.
Oleh sebab itu, menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk melestarikan

kebudayaan, kekayaan adat serta pemaknaannya bagi setiap generasi Maluku
dalam hal ini alat musik tradisional.
Berdasarkan hasil wawancara, adat juga mampu mendamaikan konflik
kemanusiaan di Maluu, seperti: ikatan pela maupun ikatan gandong yang sangat
kuat dan tidak dapat dipisahkan atau dihancurkan oleh apapun termasuk konflik
di Maluku. Adat dianggap sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Negeri Soya
dan masyarakat Maluku secara umum. Sehingga tidak heran jika alat musik

68

tradisional dalam adat tidak dapat berubah dengan alat-alat musik lainnya seperti
alat-alat musik modern.

C. Analisa Alat Musik dalam Gereja

 Mengapa Alat Musik dalam Gereja berubah?
Gereja merupakan salah satu sarana penting dalam kehidupan jemaat di
Negeri Soya. Gereja dan adat di Negeri Soya hidup berdampingan dan tidak ada
perselisihan di antaranya. Hal ini dikarenakan masyarakat Negeri Soya adalah
juga jemaat GPM Soya sehingga tidak heran jika gereja dipandang sebagai

identitas kekristenan mereka. Jika dalam adat penggunaan alat musik tradisional
tidak berubah, hal yang berbeda ditemukan dalam gereja, di mana alat musik
tradisional yang dulunya dipakai sebagai pelengkap ritual ibadah, kini telah
mengalami perubahan atau dengan kata lain telah di ganti dengan alat-alat musik
modern.
Hal ini dianggap baik-baik saja dan tidak punya masalah apapun
mengenai perubahan alat musik tradisional tersebut. Tidak dapat disangkal,
orang Maluku memiliki identitas ganda yakni sebagai masyarakat adat juga
sebagai masyarakat beragama. Orang Maluku dalam hal ini masyarakat Negeri
Soya tidak bisa dilepas pisahkan dari identitas mereka sebagai anak-anak adat
karena sebelum diperkenalkan kepada agama formal mereka terlahir dalam
komunitas agama suku.

69

Berbicara tentang agama suku berarti memiliki kaitan erat dengan
keberadaan adat dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat sekalipun mereka
yang ada di dalam

masyarakat itu sendiri telah terkontaminasi bahkan


memberikan diri sepenuhnya terhadap apa yang mereka yakini dalam agama.
Dengan bahasa yang sederhana, masyarakat Negeri Soya ialah orang beragama
akan tetapi mereka tetap memikul identitas diri mereka sebagai komunitas
masyarakat adat yang sudah diwariskan oleh leluhur.
Namun seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teeknologi,
maka seolah penggunaan alat musik tradisional yang dulunya dipakai juga dalam
gereja sekarang telah mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksudkan ialah,
alat musik yang dipakai dalam ibadah di gereja ialah alat musik modern. Alat
musik dalam gereja mengalami perubahan karena alat musik dipahami sebagai
suatu hal yang tidak ada hubungannya dengan para leluhur melainkan dengan
Kristus yang bagi masyarakat Negeri Soya adalah sesuatu yang baru datang dan
baru dikenal setelah agama suku sehingga bagi mereka, alat musik bisa saja
berubah dan mengalami perubahan.
Alat musik dalam gereja bisa berubah, karena bagi penulis kekristenan
bukan menjadi milik khusus masyarakat Negeri Soya. Kekristenan belum
dimiliki oleh masyarakat Negeri Soya sebagaimana yang mereka miliki dalam
adat. Kekristenan belum menjadi jati diri masyarakat Negeri Soya dan sewaktuwaktu bisa berubah karena tidak berkaitan dengan para leluhur, di mana alat
musik tradisional tersebut di pakai sejak para leluhur.


70

Kekristenan dianggap sebagai sesuatu yang diadopsi dari daerah luar atau
barat. Alat musik modern seperti organ, gitar dan terompet juga dianggap
sebagai alat musik yang tidak ada hubungannya dengan para leluhur. Tetapi,
berbeda dengan adat. Penggunaan alat tradisional dalam adat tidak pernah
berubah hingga kini. Sebab bagi masyarakat Maluku apa yang dipakai oleh
leluhur dahulu harus tetap dipakai dan tidak bisa dirubah sampai kapapun.
Masyarakat Negeri Soya ialah masyarakat adat juga beragama. Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Negeri Soya menjalankan tugas dan peran
mereka sebagai masyarakat adat bahkan juga masyarakat yang beragama.
Agama dalam hal ini komunitas Gereja, telah mengalami perubahan dalam hal
penggunaan alat musik tradisional. Jika dahulu alat musik yang dipakai oleh
Gereja juga merupakan alat musik yang dipakai oleh adat. Sekarang tidak lagi.
Misalnya: tahuri sudah digantikan dengan terompet, alat musik yang lebih
modern.
Penggunaan alat musik modern berdasarkan hasil penelitian yang
dituangkan dalam bab III yang dinyatakan dan didukung oleh salah seorang
narasumber


yaitu

bapak

B.P

bahwa

Gereja

harus

terbuka

terhadap

perkembangan zaman serta tidak menutup kemungkinan alat musik modern yang
dipakai saat ini akan digantikan oleh alat musik lainnya berdasarkan
perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Sehingga bagi Gereja, mereka
harus terbuka untuk setiap perkembangan dan perubahan tersebut. Berdasarkan

pola pemahaman seperti ini dapat dikatakan bahwa penggunaan alat musik
tradisional dalam gereja bagi masyarakat Negeri Soya memiliki kekuatan
71

supranatural atau sesuatu yang dipercaya memiliki kekuatan karena tidak
berhubungan dengan para leluhur.
Akan tetapi, analisa ini lebih tepat terhadap penggunaan alat musik
tradsisonal di dalam Gereja yang telah mengalami perubahan tersebut penulis
identifikasikan ke dalam teori Emile Durkheim tentang konsep sakral dan profan
yang sudah dipaparkan sebelumnya dalam bab II. Mengapa Gereja harus
berubah dalam penggunaan alat musik? Berdasarkan konsep sakral, Durkheim
hanya merefleksikan keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas
pribadi atau pun kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan
keluarga.
Artinya juga bahwa alat-alat musik tradisional yang dipakai dalam
masyarakat akan menjadi sakral dengan sendirinya karena berhubungan dengan
masyarakat itu sendiri. Sehingga alat musik tradisional yang semula dianggap
yang profan oleh gereja, kini tetap dianggap sebagai hal yang profan karena
tidak bersentuhan atau disepakati oleh masyarakat untuk menjadikannya yang
sakral, juga seperti yang dikatakan oleh Eliade bahwa yang profan adalah
sesuatu yang mudah hilang, terlupakan dan yang tidak berhubungan langsung
dengan para leluhur sehingga tidak menjadi yang sakral dan dapat mengalami
perubahan sesuai perkembangan yang ada, maka alat musik yang digunakan oleh
gereja dianggap sebagai yang profan.

72

Kesadaran kolektif akan mengalami perubahan perspektif sesuai dengan
perkembangan-perkembangan yang terjadi. Dengan kata lain, bahwa alat-alat
musik tradisional yang dulunya dipakai dalam gereja, kini mengalami perubahan
penggunaan karena terjadi pula perubahan kesadaran kolektif masyarakat
terhadap realitas penggunaan alat-alat musik tradisional dalam gereja di Negeri
Soya. Disini yang menjadi kata kunci adalah komunitas dan gereja. Yang Sakral
tersebut memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan
seluruh anggota masyarakat.3

3

Ibid., 47.

73

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Psiko-Teologis tentang Musik dalam Ibadah Minggu di Jemaat GKMI Salatiga T2 752014023 BAB IV

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Pak tentang Sikap Gereja Protestan Maluku (GPM) Jemaat Bethel Ambon terhadap Kenakalan Remaja

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon)

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendidikan Hidup Berkeluarga (Studi tentang Penyelenggaraan Pendidikan Pranikah di Klasis Kota Ambon Gereja Protestan Maluku) T2 752013001 Bab IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Sosio-Teologis terhadap Konsep Dosa Turunan Menurut Jemaat Gereja Protestan Maluku Soya, Ambon

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah

0 0 1