Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne T1 712009001 BAB IV
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang ada di dalam Bab I, II, dan III, dapat disimpulkan bahwa makna
yang diucapkan oleh Pdt. Izaak Samuel Kijne “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban
orang Papua, Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak
dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”, telah
mengalami pergesaran makna.
Dikatakan mengalami pergeseran makna pada masa sekarang dikarenakan pemaknaan
kalimat ini sudah tidak sesuai dengan situasi dan maksud yang sebenarnya dari Kijne. Orang
Papua pada masa sekarang memaknai kalimat ini untuk bagaimana dapat memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat marginalisasi yang terjadi. Kata-kata ini digunakan
sebagai penyemangat dan juga sebagai jalan untuk bagaimana meluruskan keinginan tersebut.
Kalimat yang dikeluarkan Kijne ini diyakini oleh orang Papua dikarenakan Kijne yang
merupakan utusan zending tersebut telah dianggap sebagai nabi bagi orang Papua yang banyak
membuat perubahan bagi peradaban di Papua.
Makna sebenarnya dari memimpin diri sendiri menurut Pdt. Izaak Samuel Kijne adalah
bagaimana orang Papua mampu untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan
masyarakatnya dalam berbagai bidang. Latar belakang dari perkataan ini, murni bertujuan untuk
membentuk peradaban baru bagi orang Papua melalui pendidikan. Zending bertujuan ketika
orang Papua memiliki peradaban yang baru yang berasal dari penididikan, orang Papua dapat
lepas dari Belanda. Belanda pada saat itu mempunyai pemikiran untuk menguasai Papua, tetapi
zending yang merupakan orang asli Belanda juga menginginkan bahwa orang Papua akan
memimpin dirinya sendiri dan terlepas dari Belanda yang pada saat itu berada bersama-sama
dengan orang Papua.
Bila dilihat dari konteks orang Papua yang berada dalam marginalisasi pada masa sekarang,
makna tersebut mulai mengalami pergeseran makna kearah politik. Tetapi yang dimaksudkan
oleh Kijne sebenarnya adalah murni untuk membentuk sebuah peradaban baru melalui
Pendidikan. Dalam hal ini ada tiga aspek yang paling mendasar yang perlu dicatat untuk
membentuk perdaban baru di Papua saat itu, yaitu: Injil, Pendidikan dan Peradaban. Melalui
ketiga hal ini, Kijne mencoba untuk membentuk peradaban orang Papua menuju ke arah yang
lebih baik dan penuh keteraturan.
Cara sebenarnya bagi orang Papua untuk dapat menjadi pemimpin bagi dirinya dan
bangsanya sendiri adalah dengan melihat kata-kata ini sebagai cambuk bagi dirinya. Bagi orang
yang sedang dalam masa pendidikan, kata-kata berhikmat ini dipakai menjadi doa baginya untuk
menjadi pemimpin. Bagi para pemimpin, kata-kata ini harus dilihat sebagai motivasi positif dan
berkat bagi yang sedang memimpn seperti apa yang Kijne maksudkan.
Orang Papua yang sedang belajar untuk memimpin berarti harus memiliki akhlak, moral dan
etika pribadi yang menunjukan ciri kepemimpinan. Orang Papua yang diberi kesempatan untuk
menjadi pemimpin bagi banyak orang, haruslah menjadi pemimpin yang baik bukan merusak
dirinya sendiri dan orang lain, apalagi melupakan bangsanya sendiri. Perlu di tegaskan bahwa
pada masa sekarang, setiap orang dapat dengan bebas memberi makna terhadap perkataan Kijne
tersebut tergantung situasi dan kondisi yang dirasakan.
B. Saran
Memimpin diri sendiri telah mengalami pergeseran makna dalam pandangan orang Papua.
Dalam hal ini orang Papua perlu lebih memaknai lagi apa maksud sebenarnya dari makna
kalimat ini. Kalimat ini pada dasarnya bersifat menyeluruh di dalam semua bidang. Bagaimana
orang Papua nantinya dapat menjadi pemimpin. Karena hanya orang Papua yang mampu
memimpin dirinya dan masyarakatnya. Ini adalah hal yang paling hakiki yang dimiliki oleh
semua orang. Ketika orang Papua ingin menjadi Pemimpin, hal yang paling penting dari
kepemimpinan yang harus diingat adalah takut akan Tuhan. Dengan Takut akan Tuhan dengan
sendirinya akan membuat manusia mengenal kasih.
Ketika kasih dimiliki oleh orang Papua maka tidak akan ada marginalisasi yang terjadi
seperti sekarang ini. Kasih juga menembus perbedaan dan akan menghilangkan pengelompakan
berdasarkan suku yang diciptakan dan yang terjadi di Papua sekarang ini. Pengelompokan itulah
yang akan membuat perpecahan bagi orang Papua. Hal ini perlu disikapi secara langsung dan
menyeluruh oleh orang Papua, untuk menciptakan Papua yang hidup bersatu dalam
kepemimpinan yang majemuk.
Saran penulis kepada pemimpin di Papua, haruslah melihat kebutuhan dari masyarakat
dengan bijak, sehingga tidak akan adanya orang yang meminta lebih kepada hal yang bersifat
separatis dan mengacaukan orang Papua. Selanjutnya, kepada Sinode Gereja Kristen Injili di
Tanah Papua perlu melihat hal ini juga. Gereja yang tidak terlepas dari Pekabaran Injil, haruslah
tetap menyatakan suara kenabian di tengah situasi politik yang terjadi di Tanah Papua. Gereja
harus tetap tampil dan memberikan pemahaman yang terarah terhadap hal yang menyimpang ini
dan tidak menjadi pembela kepada satu pihak dan mengesampingkan pihak yang lain. Gereja
harus merangkul para pemimpin di Papua untuk mengingatkan kembali cita-cita awal
manusiawi, yang telah dibuat oleh zending dan membentuk jati diri orang Papua untuk bisa
menjadi pemimpin yang melayani dengan kasih.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang ada di dalam Bab I, II, dan III, dapat disimpulkan bahwa makna
yang diucapkan oleh Pdt. Izaak Samuel Kijne “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban
orang Papua, Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak
dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”, telah
mengalami pergesaran makna.
Dikatakan mengalami pergeseran makna pada masa sekarang dikarenakan pemaknaan
kalimat ini sudah tidak sesuai dengan situasi dan maksud yang sebenarnya dari Kijne. Orang
Papua pada masa sekarang memaknai kalimat ini untuk bagaimana dapat memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat marginalisasi yang terjadi. Kata-kata ini digunakan
sebagai penyemangat dan juga sebagai jalan untuk bagaimana meluruskan keinginan tersebut.
Kalimat yang dikeluarkan Kijne ini diyakini oleh orang Papua dikarenakan Kijne yang
merupakan utusan zending tersebut telah dianggap sebagai nabi bagi orang Papua yang banyak
membuat perubahan bagi peradaban di Papua.
Makna sebenarnya dari memimpin diri sendiri menurut Pdt. Izaak Samuel Kijne adalah
bagaimana orang Papua mampu untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan
masyarakatnya dalam berbagai bidang. Latar belakang dari perkataan ini, murni bertujuan untuk
membentuk peradaban baru bagi orang Papua melalui pendidikan. Zending bertujuan ketika
orang Papua memiliki peradaban yang baru yang berasal dari penididikan, orang Papua dapat
lepas dari Belanda. Belanda pada saat itu mempunyai pemikiran untuk menguasai Papua, tetapi
zending yang merupakan orang asli Belanda juga menginginkan bahwa orang Papua akan
memimpin dirinya sendiri dan terlepas dari Belanda yang pada saat itu berada bersama-sama
dengan orang Papua.
Bila dilihat dari konteks orang Papua yang berada dalam marginalisasi pada masa sekarang,
makna tersebut mulai mengalami pergeseran makna kearah politik. Tetapi yang dimaksudkan
oleh Kijne sebenarnya adalah murni untuk membentuk sebuah peradaban baru melalui
Pendidikan. Dalam hal ini ada tiga aspek yang paling mendasar yang perlu dicatat untuk
membentuk perdaban baru di Papua saat itu, yaitu: Injil, Pendidikan dan Peradaban. Melalui
ketiga hal ini, Kijne mencoba untuk membentuk peradaban orang Papua menuju ke arah yang
lebih baik dan penuh keteraturan.
Cara sebenarnya bagi orang Papua untuk dapat menjadi pemimpin bagi dirinya dan
bangsanya sendiri adalah dengan melihat kata-kata ini sebagai cambuk bagi dirinya. Bagi orang
yang sedang dalam masa pendidikan, kata-kata berhikmat ini dipakai menjadi doa baginya untuk
menjadi pemimpin. Bagi para pemimpin, kata-kata ini harus dilihat sebagai motivasi positif dan
berkat bagi yang sedang memimpn seperti apa yang Kijne maksudkan.
Orang Papua yang sedang belajar untuk memimpin berarti harus memiliki akhlak, moral dan
etika pribadi yang menunjukan ciri kepemimpinan. Orang Papua yang diberi kesempatan untuk
menjadi pemimpin bagi banyak orang, haruslah menjadi pemimpin yang baik bukan merusak
dirinya sendiri dan orang lain, apalagi melupakan bangsanya sendiri. Perlu di tegaskan bahwa
pada masa sekarang, setiap orang dapat dengan bebas memberi makna terhadap perkataan Kijne
tersebut tergantung situasi dan kondisi yang dirasakan.
B. Saran
Memimpin diri sendiri telah mengalami pergeseran makna dalam pandangan orang Papua.
Dalam hal ini orang Papua perlu lebih memaknai lagi apa maksud sebenarnya dari makna
kalimat ini. Kalimat ini pada dasarnya bersifat menyeluruh di dalam semua bidang. Bagaimana
orang Papua nantinya dapat menjadi pemimpin. Karena hanya orang Papua yang mampu
memimpin dirinya dan masyarakatnya. Ini adalah hal yang paling hakiki yang dimiliki oleh
semua orang. Ketika orang Papua ingin menjadi Pemimpin, hal yang paling penting dari
kepemimpinan yang harus diingat adalah takut akan Tuhan. Dengan Takut akan Tuhan dengan
sendirinya akan membuat manusia mengenal kasih.
Ketika kasih dimiliki oleh orang Papua maka tidak akan ada marginalisasi yang terjadi
seperti sekarang ini. Kasih juga menembus perbedaan dan akan menghilangkan pengelompakan
berdasarkan suku yang diciptakan dan yang terjadi di Papua sekarang ini. Pengelompokan itulah
yang akan membuat perpecahan bagi orang Papua. Hal ini perlu disikapi secara langsung dan
menyeluruh oleh orang Papua, untuk menciptakan Papua yang hidup bersatu dalam
kepemimpinan yang majemuk.
Saran penulis kepada pemimpin di Papua, haruslah melihat kebutuhan dari masyarakat
dengan bijak, sehingga tidak akan adanya orang yang meminta lebih kepada hal yang bersifat
separatis dan mengacaukan orang Papua. Selanjutnya, kepada Sinode Gereja Kristen Injili di
Tanah Papua perlu melihat hal ini juga. Gereja yang tidak terlepas dari Pekabaran Injil, haruslah
tetap menyatakan suara kenabian di tengah situasi politik yang terjadi di Tanah Papua. Gereja
harus tetap tampil dan memberikan pemahaman yang terarah terhadap hal yang menyimpang ini
dan tidak menjadi pembela kepada satu pihak dan mengesampingkan pihak yang lain. Gereja
harus merangkul para pemimpin di Papua untuk mengingatkan kembali cita-cita awal
manusiawi, yang telah dibuat oleh zending dan membentuk jati diri orang Papua untuk bisa
menjadi pemimpin yang melayani dengan kasih.