Proposal Disertasi S3 terkini.doc (1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Etika merupakan salah satu bidang keilmuan yang sudah dikenal sejak
zaman Socrates.1 Etika adalah sebentuk gagasan yang merumuskan tentang
kelaziman

tertentu

kehidupannya.

yang seharusnya dilakoni

Dengan

kata

lain,

etika,


oleh manusia dalam

sebagai

cabang

filsafat,

membicarakan soal-soal praktis kehidupan. Menurut Richard Lindsay, ada
dua bentuk pertanyaan etika; yaitu bagaimana seharusnya manusia
berprilaku?, dan apakah ada kebenaran obyektif moralitas?2
Dua pertanyaan di atas menyangkut dua bentuk etika, yaitu etika
normatif dan meta-etika. Ada banyak macam etika yang kini semakin spesifik
dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika
profesi dan sebagainya. Agama pun demikian. Agama, yang memiliki sistem
etika sendiri, menjawab sekaligus dua pertanyaan Richard Lindsay di atas.
Etika agama juga bersifat praktis. Kebenaran objektif etika agama terletak
pada reward and punishment-nya.
Sebelum melangkah kepada etika dalam konteks keagamaan, khususnya

Islam — seperti

dalam pembahasan penelitian

ini, perlu terlebih dahulu

dijelaskan wacana etika di dunia Barat. Ada 3 (tiga) mazhab besar filsafat etika
Barat; Pertama, Hedonism—yang menganggap “kenikmatan” sebagai ukuran
etis. Kedua, adalah Hukum Moral—Prinsip Universalitas dan Kemanusiaan
sebagai tujuan dan bukan sekadar sarana, tokohnya adalah Immanuel Kant
1

Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 107.
Dikutip dari A. N. Baqirshahi, “Dasar-Dasar Nilai Moral: Studi Komparatif atas
Pandangan Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Muthahhari” dalam Jurnal Al-Huda, Volume I
Nomor 2, 2002, h. 97.
1
2

(1724- 1804). Dan ketiga, adalah Realisasi Diri – self virtue sebagai tujuan,

dengan tokohnya Plato dan Aristoteles.3 Istilah Humanisme di kemudian hari
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang menganggap bahwa
ukuran etis adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Persoalan etika merupakan persoalan kemanusiaan universal yang
senantiasa muncul dalam setiap dimensi ruang dan waktu. Itulah sebabnya
dalam setiap kurun waktu tertentu muncul tokoh yang memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai etika di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara. 4
Memasuki era modern, persoalan etika tetap menjadi bagian penting
dari sekian banyak persoalan kemanusiaan yang senantiasa harus dicermati
secara serius. Sebab seiring dengan modernitas, kemajemukan (pluralitas)
manusia-pun semakin meningkat. Dunia modern kemudian memunculkan
konsep-konsep etika tertentu, namun juga sebaliknya dapat mencabut alasanalasan

untuk

sungguh-sungguh

menerima


konsep-konsep

tersebut.

Modernitas membutuhkan suatu etika, moralitas tertentu atau malah membuat
etika atau atau moralitas menjadi mustahil.5
Bila dicermati, perkembangan budaya masyarakat modern adalah
masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota
masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi
lebih pada prinsip-prinsip fungsional-pragmatis dan ekonomis. Imbasnya

3

Lihat Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Persoalan-Persoalan
Filsafat, Penerjemah; M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 147 – 154.
4
Termasuk di dalamnya adalah diutusnya para Nabi dan Rasul. Di antara tujuan penegakan
nilai-nilai etika tersebut adalah untuk terwujudnya keharmonisan hidup manusia. Keharmonisan
ini penting mengingat kondisi manusia yang sangat majemuk, baik dari segi kultur, bahasa, ras,
agama, maupun pola pikir dan prilakunya, pen.)

5
Ross Pole, Morality and Modernity (London: Routledge & Kegan Paul, 1991), h. 1.
2

adalah terjadinya pemudaran faktor Tuhan atau agama dalam pertimbangan
perilaku umat manusia.6
Pengingkaran terhadap faktor Tuhan dalam kehidupan keseharian ini
bukan tanpa resiko. Resiko yang datang menghadang adalah krisis etika atau
moral. Hidup kemudian terasa tidak bermakna sekalipun secara material
melimpah dan tercukupi kebutuhan fisik. Artinya dampak modernisasi yang
paling terasa adalah degradasi moral.7 Manusia modern tampaknya tidak lagi
memikirkan aspek etika dalam berbagai aspek kehidupannya.
Di sisi lain sebagian masyarakat Barat yang sudah jenuh dengan
kehidupan amoral, merasa perlu untuk kembali pada kehidupan yang
bermoral. Akan tetapi tampaknya mereka sudah tidak percaya lagi pada
agama, yang menurut mereka telah kehilangan artinya dan telah kehilangan
kekuatan untuk dapat menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Sehingga
nilai-nilai kehidupan tidak perlu bersumber dari suatu yang adi alami
(Tuhan), melainkan dari dalam diri manusia sendiri. 8 Di sini tampaknya etika
memiliki dimensi penting untuk dapat dijadikan alternatif dalam menjawab

atau mengatasi degradasi manusia modern tersebut.
Melihat gejala di atas tampaknya kajian terhadap etika dapat dipakai
sebagai alternatif untuk memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan
moral-spiritual kemanusiaan. Dengan pertimbangan etika, kemungkinan
orang tidak akan terjebak kepada hal-hal yang lahir saja tetapi biasa
menyeimbangkan dengan yang lain, yakni moralitas agama. Di sinilah letak
hubungan antara etika dan agama, di mana keduanya memberikan solusi
keseimbangan dan harmonisasi antara lahir dan batin.
6

Taufik Adnan Amal (Penyunting), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur
Rahman (Bandung: Mizan, 1987), h. 13.
7
Ibid., h. 16.
8
Jhon L. Esposito (ed.), Identitas Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 223-224.
3

Dalam wacana keagamaan—selain kitab suci—ada “sosok” penting
sebagai pengemban nilai-nilai etika ini, yakni Nabi dan Rasul. Setiap Nabi dan

Rasul yang dikirim di tengah-tengah kehidupan manusia mempunyai misi
utama untuk menegakkan nilai-nilai etika. Secara tegas, Alquran menunjukkan
bahwa penegakan etika yang diemban nabi Muhammad saw. misalnya, adalah
menyangkut tugas kemanusiaan yang universal, yaitu sebagai rahmat bagi
sekalian alam.9
Di kalangan intelektualitas muslim, salah seorang tokoh di era modern
yang sangat intens membicarakan etika adalah Fazlur Rahman (1919-1988 M);
seorang akademisi Islam dari Pakistan. Fazlur Rahman dididik dan dibesarkan
dalam tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang kritis.
Pengembaraan intelektualitasnya akhirnya mengantarkan Fazlur Rahman
menjadi salah seorang tokoh neo-modernisme Islam dengan wacana yang
bersifat humanitarianistik dan sarat dengan pemikiran yang liberal, tetapi tetap
otentik sekaligus historis.10
Gerakan neo-modernisme Islam sebagaimana diperankan Fazlur
Rahman hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran
pemikiran Islam yang lain yang timbul dalam perjalanan sejarah umat Islam,
serta juga pemikiran yang berkembang di Barat. Munculnya gerakan
modernisme klasik,11 pada pertengahan abad XIX yang bersifat lebih terbuka
(‫ ) نونما أ نلرنسل لننانك مإ لنلا نرلحنمةة لم لل لنعال نممينن‬Q.S. al-Anbiya [21]: 107.
Neo-modernisme muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang

terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang muncul sebelumnya, yaitu revivalisme pra-modernis,
modernisme klasik, dan neo-revivalisme. Adapun ciri-ciri neo-modernisme adalah sikapnya yang
liberal, kritis sekaligus apresiatif terhadap warisan pemikiran Islam dan Barat sekaligus. Kelompok
ini juga menekankan pentingnya ijtihad yang sistematis dan komprehensif. Lihat Abd. A’la, Dari
Neo-Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia
(Jakarta: Paramadina, 2003), h. 1.
11
Karakteristik modernisme klasik adalah keterbukaannya terhadap gagasan-gagasan dari
Barat, selain juga meneruskan ijtihad yang digagas kelompok revivalisme pra-modernis.
Kelompok revivalisme pra-modernis menekankan sikap prihatin yang mendalam terhadap
4
9

10

terhadap Barat—dan karena itu lebih apresiatif kepada intelektualisme—
masih terbentur kepada dua kelemahan mendasar. Pertama, kelompok ini
belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Kedua,
masalah-masalah yang menjadi fokus perhatiannya adalah merupakan
masalah juga bagi dunia Barat. Hal ini me-ninggalkan kesan kuat bahwa

kelompok

modernis

bersikap

westernized

(kebarat-baratan),12

yang

menimbulkan reaksi dengan munculnya gerakan lain yang bernama neorevivalisme.13
Sebagai gerakan yang reaktif, gerakan neo-revivalisme tidak menerima
metode dan semangat modernisme klasik. Meskipun dalam realitasnya
kelompok ini menerima masalah-masalah substantif yang diangkat gerakan
modernis, misalnya ide demokrasi, tapi penerimaan mereka masih lebih
bersifat keterpaksaan. Kelompok ini juga tidak mampu mengembangkan
suatu metodologi apapun, sehingga mereka kesulitan untuk merumuskan
tujuan mereka secara jelas dan akurat. Selain itu, mereka juga tidak dapat

mengembangkan perangkat intelektual yang diperlukan untuk menegaskan
dan menemukan posisi mereka, yang membuat mereka ter-perangkap dalam
sikap yang serba bingung.14 Dalam kondisi yang demikian, kelompok ini
sangat sulit diharapkan dapat menawarkan solusi yang tuntas dan memuaskan
terhadap masalah-masalah aktual yang dihadapi umat.

kemerosotan sosio-moral masyarakat Islam, menghimbau untuk kembali kepada Islam yang asli,
perlunya ijtihad dan jihad. Lihat Abd. A’la, Ibid., h. 2-8.
12
Ibid., h. 2.
13
Ibid., h. 20. Gerakan ini bernuansa reaktif terhadap segala yang berasal dari Barat Ciri
khas gerakan neo-revivalisme terletak pada usahanya untuk membedakan Islam dari Barat.
14
Fazlur Rahman, ‘Islam: Challenges and Oppurtunities”, dalam Alford T. Welch dan P.
Chahia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburg: Edinburg University Press,
1979), h. 322-323.
5

Kelemahan-kelemahan ini mengundang lahirnya kelompok pembaharuan Islam lainnya yang disebut neo-modernisme. Gerakan pembaharuan

ini - berbeda dengan gerakan-gerakan yang sebelumnya mencoba untuk
melihat dan menyikapi secara kritis dan objektif hasil-hasil pemikiran umat
Islam dan Barat sekaligus.
Dalam paradigma aliran ini, tidak semua hasil pemikiran umat Islam
dan ilmuan Muslim selalu baik, benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam, sebaliknya Barat tidak dapat selamanya diidentikkan dengan segala
kebobro-kan dan hal-hal yang negatif. Karena itu umat Islam dituntut untuk
menyikapi semua itu secara objektif dan kritis tanpa harus mempunyai
prakonsepsi yang akan membuat bias pandangan mereka dari realitas yang
sebenarnya.
Melalui sikap ini, neo-modernisme ingin membangun Islam dengan
berbagai dimensinya dengan satu kerangka yang utuh, menyeluruh,
sistematis, serta mencerminkan nilai-nilai Alquran dan teladan nabi yang
sebenarnya. Melalui paradigma tersebut umat Islam diharap-kan mampu eksis
dalam dunia modern dan sekaligus tetap Islami.15
Dalam salah satu bukunya yang berjudul Islam, dua bab pertama dari
buku tersebut, Fazlur Rahman membicarakan tentang Nabi Muhammad saw.
sebagai pembawa risalah ajaran Alquran. Dikatakannya bahwa sebelum Nabi
Muhammad saw wafat, Islam telah mengembangkan sifat utamanya yakni
membentuk masyarakat beragama yang mencerminkan kualitas moral dan
spiritual agamanya. Bahkan sebelum kerasulannya-pun Nabi Muhammad
saw. telah tampil sebagai figur dengan kualitas moralitas yang luar biasa.

15

Abd. A’la, Dari Ne-Modernisme..., h. 2-3.
6

Sedangkan dalam konteks beragama, penyempurnaan etika atau moral
menjadi tujuan utama Alquran.16
Lebih jauh Fazlur Rahman mengemukakan bahwa etika beragama
bukan saja sebagai esensi dalam ajaran Alquran (the basic elan of the Quran),
tetapi juga merupakan aspek universal yang ada dalam setiap diri manusia.
Hukum etika atau moral yang hakiki tak dapat diubah. Ia merupakan
“perintah” Tuhan (God’s Command) manusia tak dapat membuat hukum
moral. Ketundukan terhadap moral itulah “Islam” dan perwujudannya disebut
dengan “ibadah”.17
Berkenaan dengan urgensi etika beragama ini, dalam bukunya Islam
and Modernity; Tranformation of an Intellectual Tradition, Fazlur Rahman
menulis:
Muslim scholars have never attempted an ethics of the Qur’an,
systematically or otherwise. Yet no one has done any carteful study of the
Qur’an can fail to be impressed by it’s ethical fervor. Its ethics, inkdeed, is
its essence, and its also the necessary link between theology and law.

18

(Para sarjana Muslim belum pernah mengupayakan penyusunan etika yang
dikandung Alquran baik secara sistematis dan metodologis. Pada hal
kandungan etika Alquran ini merupakan esensi ajaran kitab suci tersebut dan
merupakan mata rantai penghubung yang penting antara teologi dan
hukum).
Dengan ungkapan lain, Fazlur Rahman ingin mengaktualisasikan ajaran
etika beragama Islam dalam suatu kerangka yang utuh dan kokoh, di mana
antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lain merupakan satu tujuan yang
16

Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), h. 31.
Ibid., h. 32.
18
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Tranformation of an Intelellectual Tradition
(Chicago and London: University of Chicago Press, 1984), h. 154.
7
17

padu dan saling berkaitan. Melalui metode ini, ia berupaya untuk menjadikan
ajaran tentang etika beragama sebagaimana termaktub dalam Alquran dapat
dipahami secara holistik, dan bersifat praktis – yang menurut istilah Fazlur
Rahman – sebagai ‘faith in action’; bukan sekedar kajian yang tak berpijak
pada realitas kehidupan.
Etika beragama dalam konstruksi pemikiran Fazlur Rahman dapat
ditelusuri dari gagasannya mengenai beberapa istilah yang menjadi konsepkonsep kunci etika Alquran, yaitu istilah “iman, islam, dan taqwa”.19 Ketiga
istilah tersebut membentuk pondasi etika beragama sebagai hakikat dari Islam
secara menyeluruh dalam berbagai aspek ajarannya.
Memperhatikan uraian dia atas, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana
gagasan etika beragama

dalam pandangan Fazlur Rahman dan urgensinya

terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dewasa ini.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas,
maka rumusan masalah penelitian adalah;
1. Bagaimana konsep etika beragama menurut Fazlur Rahman
2. Apa urgensi dari aplikasi etika beragama terhadap berbagai aspek
kehidupan manusia menurut Fazlur Rahman.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mencari jawaban terhadap persoalan sebagai berikut;
1. Mengetahui bagaimana konsep etika beragama menurut Fazlur Rahman
2. Mengetahui apa urgensi aplikasi etika beragama dalam berbagai
kehidupan manusia menurut Fazlur Rahman

19

Fazlur Rahman “Some Key Ethical Concept of the Quran”, yang dimuat dalam Journal of
Religious Ethics, jilid XI, No. 2, 1983, h. 170.
8

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penataan
kehidupan masyarakat maupun untuk khazanah keilmuan, antara lain:
1. Sebagai kontribusi pemikiran dalam upaya menegtahui lebih mendalam
tentang etika beragama menurut pemikiran Fazlur Rahman
2. Merupakan rumusan etika alternatif bagi masyarakat beragama dalam
konteks etika global yang di satu sisi tidak tercabut dari akar konsep
Alquran, dan di sisi lain tetap mampu menghadapi perkembangan zaman.
D. Urgensi Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka
penelitian tentang etika beragama menurut Fazlur Rahman ini dianggap
penting; Pertama, mengingat kajian terhadap pemikirannya tentang etika
beragama secara detail masih langka, untuk menyatakan belum ada hingga
saat ini.
Kedua, yang menjadikan penelitian ini penting adalah karakteristik dasar
kerangka pemikiran Fazlur Rahman yang menetapkan secara tegas antara
wilayah normatif dan filosofis-kontekstual. Kerangka pemikiran Fazlur
Rahman yang seperti ini menjadikan wacana tentang

etika beragama

sedemikian rupa memiliki ruang dan gerak yang fleksibel, sekalipun
disyaratkannya

tetap berorientasi kepada ajaran agama sebagaimana

terkandung dalam kitab suci Alquran.
Ketiga,

kajian etika beragama dalam pandangan Fazlur Rahman ini

berupaya untuk mengelaborasi konsep pemikirannya tentang perilaku moral etisrasional-religius, tidak hanya sebatas upaya rasionalisasi manusia dalam upaya
menciptakan kehidupan yang baik dan bijak, akan tetapi juga merupakan hasil dari
keyakinan yang dalam terhadap ajaran agama, dalam hal ini Islam. Bila ditinjau
par excellence-nya, maka penelitian ini sangat memungkinkan untuk
menciptakan berlakunya suatu perilaku moral etis dalam kehidupan manusia.
9

Karakteristik pemikiran Fazlur Rahman yang demikian ini dinilai mampu
mengatasi ketimpangan-ketimpangan modernitas yang dirasakan sisi negatifnya
yang disebabkan adanya pemisahan temuan akal dan dalil-dalil normatif agama
dan tentu saja mengedepankan secara holistik landasan rasionalitas sebagaimana
kecenderungan yang berlangsung pada masyarakat modern.

E. Kajian Terdahulu
Kajian tentang etika dalam Islam selama ini cukup banyak dilakukan
oleh sarjana muslim maupun non-muslim. Di antaranya adalah buku yang
ditulis oleh Majid Fakhry yang berjudul “Etichal Theoris in Islam,
(Princeton: Near Eastern Studies Departement of Princeton University, 1985).
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Zakiyuddin
Badhawy dengan judul; “Etika Dalam Islam,” (Jakarta: Pustaka Pelajar,
1996). Dalam buku tersebut, pembahasan Majid Fakhry tentang berbagai teori
etika cukup lengkap, termasuk tentang pemikiran beberapa tokoh intelektual
muslim, muali dari etika tradisionalismenya Hasan al-Basri (w.728), Ibn Abi
al-Dunya (w.894), Abu Hasan al-Mawardi, Ali ibn Ahmad ibn Hazm
(w.1064), al-Ragib al-Isfahani (w.1108), Fakhruddin al-Razi (w.1209), dan alGhazali.
Buku lainnya adalah karya Toshihiko Izutsu, berjudul: “EthicoReligious Concept in the Qur’an, (Montreal: McGill University Press,1966).
Buku ini telah diterjemahkan oleh Mansuruddin Joely, berjudul: “Etika
Beragama dalam Qur’an,” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993). Buku ini
menguraikan tentang beberapa tema tentang etika pra-Islam hingga beberapa
tema terkandung dalam Alquran, misalnya tentang konsep kufr, kemunafikan,

10

iman, muslim, rasa syukur, tentang baik dan buruk, dan beberap konsep
lainnya yang berkaitan.
Buku lainnya yang membahas etika atau akhlak, di antaranya adalah;
“Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib al-Isfahani,” (Jakarta;
Pustaka Pelajar, 2002), karya Amril M. Buku lainnya adalah karya Syeikh
Muhammad Sayyid Tanthawi, “Adabul Hiwār fi al-Islām, (Mesir: Dar anNahdhah, 1997), diterjemahkan oleh Ahmad Zamroni Kamali dengan judul;
“Etika Dilaog Dalam Islam,” (Jakarta: Mustaqim, 2004), Ahmad Amin,
“Etika (Ilmu Akhlak),

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Hamzah Ya’kub,

“Etika Islam,” (Bandung: Diponegoro, 1993).
Sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang melakukan apresiasi
khusus dalam sebuah karya utuh dan komprehensif tentang kajian etika
beragama menurut Fazlur Rahman. Yang ada hanyalah tulisan beberapa
sarjana ataupun perorangan yang melakukan kajian dan penelitian terhadap
pemikiran Fazlur Rahman secara parsial pada bidang tertentu atau secara
umum untuk sekedar mendeskripsikan pemikiran Fazlur Rahman melalui
banyak ‘warna’ nalar keilmuan dan keagamaan.
Salah satu di antara mereka yang menelaah pemikiran tokoh neomodernis ini adalah Taufik Adnan Amal. Melalui bukunya yang berjudul
Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, telah
memaparkan bagaimana konsep dasar etika Alquran menurut Fazlur Rahman,
yang diterjemahkan dari artikel Fazlur Rahman yang berjudul Some Key
Ethical Concept of the Quran. Taufik Adnan Amal dalam bukunya tersebut
hanya sekedar menerjemahkan artikel Fazlur Rahman di atas. Ia belum
melakukan penelusuran secara mendalam tentang gagasan etika Fazlur
Rahman itu.
11

Dalam buku Taufik Adnan Amal lainnya, Islam dan Tantangan
Modernitas; Studi atas Hukum Fazlur Rahman, ia mengemukakan segi-segi
pembaharuan yang ditawarkan Fazlur Rahman. Meskipun telah membatasi
topik penelitiannya pada aspek hukum,20 ia terjebak dalam pembahasan
deskriptif mengenai segala pemikiran yang digagas Fazlur Rahman.
Selain itu, Taufik Adnan Amal kurang menganalisanya secara kritis
sehingga kelemahan pemikiran Fazlur Rahman tidak dapat diungkap secara jelas.
Walaupun demikian, Taufik Adnan Amal telah berusaha secara serius untuk
mengungkapkan pembaharuan pemikiran hukumnya sehingga ia patut mendapat
penghargaan yang semestinya.
Masih dalam pemikiran hukum Fazlur Rahman, Ghufran A. Mas’udi
berupaya mengungkapkan pemikiran tokoh itu dalam bidang metodologi
hukum dan rumusan-rumusan metodenya yang dibangun berdasarkan konsep
dasar-dasar metodologi tersebut. Ghufran A Mas’udi melalui bukunya yang
berjudul Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, menyimpulkan bahwa pemikiran metodologi hukum Islam
yang digagas Fazlur Rahman merupakan kelanjutan dari suatu proses yang
berkelanjutan dari pemikiran klasik. Selebihnya, apa yang dipaparkan
Mas’udi dalam bukunya tidak jauh berbeda dari penelitian yang telah
dipaparkan oleh Taufik Adnan Amal.
Kelemahan pembahasan seperti yang muncul pada tulisan Mas’adi
tersebut, nampak juga pada tesis Master yang ditulis oleh Muhammada Rifai
untuk tesisnya di School of Oriental and African Studies (SOAS), Universitas
London. Tesis yang berjudul Fazlur Rahman or Modernization of Islamic
20

Walaupun buku ini secara panjang lebar membahas pembaharuan tentang hukum Islam
dari Fazlur Rahman, tetapi dalam pembahasannya banyak sekali menyinggung aspek-aspek lain,
termasuk tentang etika, sehingga tampak sebagai deskripsi segala pemikiran yang digagas Fazlur
Rahman-pen.
12

Intellectualism itu berupaya mengungkapkan pandangan dan konsep Fazlur
Rahman tentang modernisasi keilmuan Islam dan tawarannya untuk melakukan
suatu pembaharuan. Sayangnya, deskripsi Muhammad Rifai terlalu umum dan
kurang bersifat analisis-kritis sehingga tidak menggambarkan secara utuh ciri
khas pembaharuan yang ditawarkan Fazlur Rahman.
Sarjana lain yang juga meneliti pemikiran Fazlur Rahman ialah
Kenneth Cragg. Melalui bukunya The Pen and The Faith: Eight Modern
Muslim Writers and The Quran, ia berusaha mengkritik pendekatan Fazlur
Rahman dalam memahami Alquran. Kritik yang dilakukan Kenneth Cragg.
Ini berangkat dari sudut pandang dia sebagai pendeta.21
Selanjutnya Amhar Rasyid, seorang mahasiswa universitas McGill
Kanada, dalam tesis Magisternya “Some Quranic Legal Text in The Context
of Fazlur Rahman‘s Hermeneutical Method, juga mencoba mengkaji
pemikiran Fazlur Rahman dalam aspek filsafat hermeneutik yang digunakan
Fazlur

Rahman

dalam

memahami

hukum-hukum Alquran.

Melalui

serangkaian analisis, ia berkesimpulan bahwa pemikiran Fazlur Rahman
dalam bidang hukum tidak terlepas dari subjektivisme pribadi, sehingga
hermeneutika yang digunakan lemah dalam pertimbangan-pertimbangan
teologis dan tinjauan hukumnya.
Selain itu menurut Amhar Rasyid, kelemahan metode dari Fazlur
Rahman terdapat pada dampak pandangannya yang akan membawa
terjadinya sekularisasi Alquran. Tesis ini telah mencoba untuk melihat secara
kritis pemikiran tafsir hukum Fazlur Rahman. Namun sayangnya, Amhar
Rasyid kurang berhasil menangkapnya secara utuh dan menyeluruh. Misalnya
saja, ia tidak melihat dan mengkaitkan tafsir hukum dari tokoh neo-

21

Abd. A’la, Dari Neo-Modernisme..., h. 12.
13

modernisme itu dengan ajaran etika Alquran yang digagasnya. Padahal di
sinilah salah satu fokus Fazlur Rahman yang sebenarnya.22
Tulisan mengenai pemikiran Fazlur Rahman juga diangkat oleh
Muhaimin et.al., dalam bentuk buku yang berjudul Kontroversi Pemikiran
Fazlur Rahman; Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, menyoroti
sumbangan tokoh neo-modernis itu di bidang pendidikan. Menurut para
penulis karya itu, kontribusi yang telah dilakukan Fazlur Rahman meliputi
aspek pembaharuan dalam tujuan pendidikan, dikotomi pendidikan, anak
didik, pendidikan dan peralatan pendidikan. Membaca buku tersebut, kesan
yang tampak adalah judulnya yang bombastis karena pemikiran Fazlur
Rahman di bidang pendidikan tidak menampakkan gagasan-gagasan yang
kontroversial. Justru ia lebih bersifat menyempurnakan, atau minimal
menyetujui rekonstruksi pendidikan yang diajukan kaum modernis yang lain.
Hal ini dapat dibaca pada tesis Wahyuddin Nur Nasution yang berjudul
Gagasan Pendidikan Islam Modern: Studi Pemikiran Fazlur Rahman,23 dan tesis
Muhammad Nasir dengan judul Wacana Islamisasi Ilmu: Telaah terhadap
Pandangan Fazlur Rahman, pada PPs IAIN Sumatera Utara, Medan.
Selain para sarjana di atas, tokoh lain yang tertarik dan sering menulis
mengenai Fazlur Rahman adalah Ahmad Syafi’i Ma’aarif, Dawam Raharjo,
dan Nurcholish Madjid. Pada umumnya tulisan-tulisan mereka berbentuk
artikel dan bersifat deskriptif-apresiatif dan masih sangat umum. Tulisan
Nurcholis Madjid misalnya tentang “Rekonstruksi Etika Alquran Fazlur
Rahman”,24 juga masih berada pada posisi semacam itu. Meskipun demikian, ia
22

Ibid., h. 12-13.
Karya ini menelusuri pandangan Fazlur Rahman ter-hadap kondisi pendidikan umat Islam
dalam dunia modern serta menggagas pendidikan Islam modern.
24
Artikel ini ditulis Nurcholish Madjid dalam rangka seminar tentang Pemikiran Fazlur
Rahman, yang diselenggara-kan oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3
Desember 1988. kemudian dimuat dalam Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993.
14
23

telah mencoba mengangkat hal-hal baru yaitu kepedulian Fazlur Rahman dalam
bahasan yang tepat, proporsional, sehingga dapat mengungkapkan karakteristik
pemikirannya mengenai etika yang berbasis Alquran sebagaimana mestinya.
Jadi sejauh pengamatan penulis, sampai saat ini belum ada satu studi
yang membahas etika beragama menurut menurut Fazlur Rahman dalam
bahasan yang tepat proporsional, sehingga dapat mengungkapkan karakteristik
pemikirannya mengenai etika beragama sebagaimana mestinya.

F.

Metode Penelitian
1. Pendekatan
Fokus penelitian ini adalah penelusuran terhadap gagasan dan
pemikiran tokoh, yakni Fazlur Rahman dalam memaparkan konsep etika
beragama yang bermuara pada nilai-nilai Alquran. Dalam peta keilmuan,
studi ini termasuk dalam ilmu humaniora sebagai mayornya dan filsafat
etika (moral) sebagai minornya. Oleh karena itu metode penelitian ini
memakai salah satu metode penelitian filsafat, yakni penelitian tentang
pemikiran tokoh.25
Sebagai suatu penelusuran terhadap gagasan dan pemikiran tokoh
dalam kurun waktu tertentu, maka penelitian ini menggunakan pendekatan
sejarah (historical approach) dengan memfokuskan pada penelitian biografi
seseorang. Karena itu penelitian ini merupakan penelusuran terhadap per
jalanan hidup seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat yang
mempengaruhi pemikirannya, serta pembentukan watak tokoh tersebut, dalam
hal ini Fazlur Rahman. Dapat disadari bahwa pemikiran seseorang tidak

25

Syahrin Harahap, Studi Tokoh dalam Bidang Pemikiran Islam (Medan, Istiqamah Mulya
Press, 2001), h. 12-20.
15

muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh kondisi, situasi dan tantangan
yang dihadapinya selama hayatnya.26
Selain pendekatan di atas, metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan hermeneutik – sebagaimana yang diangkat oleh
Emilio Betti – merupakan aktivitas interpretasi terhadap suatu objek yang
mempunyai makna (meaning-fulls forms) dengan tujuan menghasil-kan
pemahaman yang lebih objektif.27
Penyajian hasil penelitian ini – mengingat studi ini mengkaji
pemikiran tokoh tentang konsep tertentu – maka penyajiannya dilakukan
secara deskriptif, yaitu menguraikan secara teratur dan sistemis seluruh
konsepsi pemikiran tokoh dimaksud.28
Untuk

memahami

konsep-konsep

pemikiran

tokoh

tersebut

dilakukan analisis dengan menggunakan metode koherensi intern,29 yaitu
dengan menetapkan inti pikiran yang mendasar dan topik-topik sentralnya, 30
kemudian dilakukan interpretasi31 terhadap makna yang terkandung secara
khas dalam konsep pemikiran tokoh. Selanjutnya, pendekatan sejarah juga
digunakan untuk melihat benang merah dalam pengembang-an pemikiran
tokoh tersebut sebagai pendekatan penyelidikan yang mengaplikasikan cara
pemecahan masalah dari perspektif historis.32 Dengan pendekatan ini
tinjauan kesejarahan akan merupakan bagian awal yang akan dikaji, sebab
dari biografi itulah akan dapat dilacak bagaimana proses terbentuknya
26

Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 56-57.
Josef Bleicher, Contemporary Hermeuetics: Hermeunetics as Method, Philosophy, and
Critique [London: Routledge and Kegan Paul, 1980], h. 28.
28
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat [Yogjakarta:
Pustaka Kanisius, 1990], h. 65.
29
Ibid., h. 45.
30
Ibid., h. 64.
31
Ibid., h. 63.
32
Winarno Surachmand, Pengantar Penelitian Ilmiah,[Bandung: Tarsito, 1990], h. 132-134.
16
27

suatu pola pemikiran dari tokoh tersebut, disamping meng-kaji beberapa
faktor yang melatar belakangi kerangka pemikirannya.
Dari pendekatan historis ini akan dapat diketahui karakter
kepribadian

maupun

psikologi

berpikir

Fazlur

Rahman.

Untuk

mendapatkan objektivitas pemahaman, salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah adanya interpretasi historis. Dalam rangka interpretasi
historis tersebut, selain dituntut untuk menguasai pengetahuan tentang
personalitas tokoh, perlu upaya untuk merujuk pada peristiwa dan iklim
budaya dimana sang tokoh itu hidup.33 Dengan pendekatan ini, seseorang
diharapkan dapat melakukan dialog imajinatif dengan sang tokoh
meskipun keduanya hidup dalam ukuran waktu dan tempat yang berbeda.34
Dengan pendekatan di atas, konsep etika beragama Fazlur Rahman
diharapkan akan diketahui secara utuh dan menyeluruh, serta pada
gilirannya akan mampu menampakkan perbedaan dan atau persamaannya
dengan pemikiran etika Islam lainnya. Selain itu keunggulan, kelemahan
dan kekurangan pemikiran etikanya diharapkan akan tergambar dengan
transparansi yang jelas.

2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
tinjauan kepustakaan (library research), di mana sebagai sumber data
primernya diambil dari karya-karya Fazlur Rahman yang berkenaan
dengan masalah penelitian ini. Di antaranya adalah: Islam, Major Themes
of the Quran, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
33

Josef Bleicher, Contemporary Hermeunetics..., h. 43.
Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeunetik
[Jakarta: Paramadina, 1996], h. 132.
17
34

Tradition, Some Key Ethical Concepts of the Quran, Islamic Methodology
in History,35 dan buku-buku atau artikel yang berkaitan dengan penelitian
ini.
Sedangkan sumber sekunder akan diangkat dari karya-karya tulis
berupa buku atau artikel yang membahas tentang Fazlur Rahman, atau
etika secara umum yang ditulis para ulama atau ilmuan yang pernah ada
sebelumnya.

3. Analisis Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang
mengkaji pemikiran tokoh tentang konsep tertentu, maka secara
metodologis penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menguraikan secara
teratur dan sistematis seluruh konsepsi pemikiran tokoh dimaksud.36
Untuk menganalisis data dalam studi tokoh ini ada beberapa tehnik
yang digunakan, sebagai berikut;
1. Content Analisis, yaitu proses analisis terhadap makna dan kandungan
yang ada pada teks karya-karya Fazlur Rahman. Dengan demikian,
setelah data dideskripsikan maka yang berperan di sini adalah analisis
tersebut, sehingga corak sajian penelitian ini berupa deskriptif
analitis.37 Pendekatan hermeunetik digunakan ketika penelitian ini
menganalisis bagian-bagian pemikiran etika Fazlur Rahman sehingga
dapat dipahami sebagai suatu pemikiran yang utuh.

35

Tentang buku-buku dan artikel karya Fazlur Rahman dapat dilihat dalam Taufik Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, [Bandung: Mizan, 1996], h. 235-237.
36
  Anton Bakker dan Charris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, [Yogjakarta; Pustaka
Kanisius], h. 65.
37
Muhammad Nazir, Metode Penelitian ..., h. 56-57. Juga Syahrin Harahap, Metodologi
Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin [Jakarta: Rajawali Pers, 2000], h. 62-70.
18

2. Konherensi Intern, yaitu proses analisis secara tepat dan mendalam
tentang semua konsep dan aspek yang berkaitan dengan tema
pemikiran tokoh yang dibahas, dengan melihat keselarasannya satu
sama lain. Ditetapkan inti pikiran yang mendasar dan topik-topik yang
sentral, kemudian di analisis secara logis dab sistematis serta
disesuaikan dengan gaya dan metode pemikirannya.38
3. Idealisasi dan Analisa Kritis. Idealisasi pemikiran dimaksudkan
sebagai konsepsi universal dan ideal, kemudian setiap poin
pemikirannya

dianalisis

secara

kritis

dan

mendalam,

dengan

menggunakan pandangan pemikir alain atau dengan menggunakan
petunjuk Alquran. Dalam hal ini dibedakan antara narasi tokoh yang
dikaji (emik), dan narasi pemikir lain mengenai narasi tokoh yang
dikaji (etik), yang bertujuan agar orang yang membaca hasil penelitian
dapat menganalisis secara objektif.39
4. Kesinambungan Historis, yaitu pemikiran tokoh didekati dari dua sisi;
Pertama, adalah keterpengaruhan seorang tokoh dan pemikirannya
dengan zaman dan lingkungannya. Kedua, keharusan seorang peneliti
untuk ber-empati dalam memandang dan menganalisis pemikiran
tokoh yang sedang ditelitinya.40

G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian ini dapat dilihat dari sistematika penulisannya
yang dibagi kepada 5 (lima) bab. Tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-sub
(detail partikular) sesuai keperluan penyajian hasil penelusuran yang telah
38

Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Prenada, 2011), h.

35.
39

Anton Bakker, et.al., Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogjakarta: Kanisius, 1990), h. 45.
Lihat juga, Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh...., h. 35.
40
Ibid., h. 67.
19

didapatkan. Hal ini penulis tempuh agar mampu memberikan gambaran yang
utuh dan terpadu dari penelusuran tema ini.
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah dalam rangka melakukan penelusuran terhadap tema etika beragama
menurut Fazlur Rahman. Pada bab pertama ini penulis menampilkan benang
merah antara sejarah etika sebagai ilmu dengan peradaban pemikiran Barat
maupun Islam. Pendahuluan ini menguraikan tentang Latar belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Urgensi
Penelitian,

Kajian

Terdahulu,

Metode

Penelitian

dan

Sistematika

Pembahasan.
Bab kedua, merupakan Kerangka Teoritik. Dalam bab ini dijelaskan
pengertian etika, perbedaan etika, akhlak dan moral, dan elaborasi perluasan
makna atau pun penyepadanan term etika dengan term-term lainnya, seperti
akhlak, moral, nilai-nilai kesopanan, dan sebagainya. Kemudian dijelaskan
fokus kajian tentang term etika beragama.
Bab ketiga, berisikan Biografi dan Karya Fazlur Rahman, yang
menguraikan tentang Latar belakang Internal, Latar Belakang Ekternal,
Karya-Karya Utamanya, Metode dan Perkembangan Pemikirannya yang
dapat dilihat pada era Pakistan dan Chicago. Dengan demikian pembahasan
ini sangat urgen karena sebagai untuk menganalisis format dan corak
pemikiran etika atau moral yang dihasilkannya.
Bab keempat, membahasa tentang Etika Beragama dalam Beraqidah
dan Pandangan Dunia. Dalam bab ini akan mengulas tentang gagasannya
mengenai Etika Teologis; Iman, Islam dan Takwa, Kemudian dilanjutkan
dengan gagasan mengenai Pandangan Dunia (World View), antara lain
tentang; Kehidupan di Dunia, Kematian dan Eskatologi, Harta Kekayaan,
20

Kemiskinan, Eksistensi Manusia, Sosial Politik, Hubungan Antaragama,
sebagai hasil elaborasinya tentang etika yang bersumber dari Alquran.
Bab kelima, memaparkan tentang Etika Beragama dalam Beribadah
dann Mu’amalah, dan Idiom-Idiom Kehidupan. Pembahasannya dilakukan
dengan menarik benang merah dan relevansi etika beragama yang ditawarkan
Fazlur Rahman dengan realitas dan persoalan-peroalan aktual dalam
kehidupan.
Bab keenam, adalah penutup yang terdiri dari bagian kesimpulan yang
merupakan jawaban terhadap beberapa problematika yang diangkat dalam
penelitian ini. Selain itu rekomendasi maupun saran-saran seperlunya bagi
penyempurnaan penulisan penelitian ini.

21

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pengertian Etika.
Pengertian etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
ethikos, dari ethos, artinya penggunaan, karakter kebiasaan, kecenderungan
sikap. Dalam kata ini terkandung; 1) analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggungjawab dan
sebagainya; 2) pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan
moral; 3) pencarian kehidupan yang baik secara moral.41 4) karakter yang
dihasilkan oleh respon kebiasaan; dan 5) karakter yang dihasilkan oleh moral
sebagai lawan dari kebiasaan intelektual.42
Dalam Encyclopaedia Britannica, disebutkan; “Ethics is the systematic
study of the nature of value conceps, “good”, “bad”, “ought”, “right”,
“wrong”, etc. And of the general principles which justify us in applying them
to anything; also called “moral philosophy”.43 [Etika ialah studi yang
41

Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, [Bandung: Rosda Karya, 1995], h. 100-101.
Menurut Aristoteles ‘ethos’ digunakan untuk merujuk pada penampilan karakter drama
sebagai lawan dan tindakan, insiden, penderitaan, pemikiran, diksi, yang ditemukan pada tingkatan
perkembangan manusia yang berbeda. Lihat, Ibid., h. 105.
43
Encyclopaedia Britannica (1995: 220).
22
42

sistematik tentang tabiat dari pengertian-pengertian nilai “baik”, “buruk”,
“seharusnya”, “benar”, “salah”, dan sebagainya dan tentang prinsip-prinsip
yang umum yang membenarkan kita dalam mempergunakannya terhadap
sesuatu, ini disebut juga “filsafat moral”].
Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengertian etika menurut
filsafat dapat dirumuskan sebagai berikut: Etika ialah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.44

B. Perbedaan Etika, Akhlak, dan Moral
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi penyepadanan antara
istilah etika dengan akhlak, moral, sopan santun dan norma-norma. 45 Padahal
bila dicermati, cakupan makna yang terdapat pada istilah moral atau sopan
santun dan lain-nya memiliki perbedaan sangat mendasar dengan cakupan
makna yang terdapat pada istilah etika.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian akhlak dan ilmu akhlak
yang banyak dipadankan dengan term etika. Perkataan ‘akhlak’ berasal dari
bahasa Arab, jama’ dari kata “khuluqūn” yang secara lughawi [bahasa]
diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kata “khuluqūn” tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan
perkataan “khalqun” yang berarti; kejadian, serta erat hubungannya dengan
“khaliq” yang berarti; Pencipta, dan “makhlūq” yang berarti; yang
diciptakan. Perumusan pengertian “akhlāk” timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara “Khāliq” dengan “makhlūq”

44
45

Hamzah Ya’qub, op.cit., h. 13.
K. Bertens, Etika, [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994], h. 3-8.
23

dan antara “makhlūq” dengan “makhlūq”. Perkataan ini bersumber dari
kalimat yang tercantum dalam Alquran:
46

(4 :‫ )القلم‬.‫وانك لعلى خلق عظيم‬

“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang
luhur”.

Demikian pula dari hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
47

(‫ )رواه انس بن مالك‬.‫بعثت لتممى حسن الخلق‬

“Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti”.
Adapun pengertian ilmu akhlak secara terminologi yang dikemukakan
para ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Ahmad Amin

dalam

bukunya

“Etika

(Ilmu

Akhlaq)”

merumuskan pengertian etika ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah
manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
harus diperbuat.48

2. Hamzah Ya’kub mengartikan etika sebagai; ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.49
3. Menurut Rachmat Djatnika, Ilmu akhlak ialah studi yang sistematik
tentang tabiat dan pengertian-pengertian tentang nilai “baik”, “buruk”,
46

Q.S. al-Qalam: 4.
Malik ibn Anas, Al-Mawaththa’, Kitab Husn al-Khulūq, Bab Mā ja a fi Husn al-Khulūq
[Istambul, 1992], h. 904. Lihat juga Hamzah Yaqub, Etika Islam, [Bandung: Diponegoro, 1996], h.
11-12.
48
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang), 1975, h.3.
49
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h, 13.
24
47

“seharusnya”, “benar”, “salah”, dan sebagainya dan tentang prinsipprinsip yang umum yang membenarkan kita dalam mempergunakannya
terhadap sesuatu, ini disebut juga “filsafat moral”.50

4. Sidi Gazalba menyebutkan:
“Ilmu akhlak ialah suatu pengetahuan yang membicarakan tentang
kebiasaan-kebiasaan pada manusia, yakni budi pekerti mereka dan
prinsip-prinsip yang mereka gunakan sebagai kebiasaan”.51
Berdasarkan defenisi tersebut, ilmu akhlak mengandung beberapa hal,
antara lain; menjelaskan pengertian “baik” dan “buruk”, menerangkan apa
yang harus dilakukan seseorang atau sebagian manusia terhadap sebagian
yang lainnya, menjelaskan tujuan yang sepatutnya dicapai oleh manusia
dengan perbuatan-perbuatan atau perilaku manusia itu, menerangkan jalan
yang harus dilalui untuk berbuat. 52
Pengertian moral menurut K. Bertens,53 adalah sebagai nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Pemaknaan moral seperti ini diambil K. Bertens
setelah menganalisis kata moral yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, serta mengkaitkannya dengan kenyataan saat ini.
Makna yang hampir sama dengan kata moral juga ditampilkan oleh
Lorens Bagus,54 yang mengungkapkan antara lain; menyangkut kegiatan50

Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjumas,
1996), h. 29.
51
Gazalba, Sidi. Asas Ajaran Islam. [Jakarta: Bulan Bintang], 1972.
52
Ibid., h. 31
53
Ibid., h. 9-11.
54
Lorens Bagus, Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996], h. 672.
25

kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik atau buruk, benar atau salah,
tepat atau tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam
hubungan dengan orang lain.
Perkataan ‘moral’ sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu kata “mores”
yang merupakan jama’ dari kata “mos” yang berarti: adat kebiasaan. Dalam
bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud
dengan moral ialah sesuai dengan dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima yang meliputi kesatuan
sosial atau lingkungan tertentu. Dengan demikian jelaslah persamaan antara
etika dan moral. Menurut pandangan ahli-ahli filsafat, etika memandang
tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Abu al-A’la al-Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam
bukunya: Ethical of Islam, memberikan garis tegas antara moral sekuler dan
moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia
yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar kepada bimbingan
dan petunjuk Allah swt. dalam Alquran.55
Dari defenisi yang diungkapkan di atas tercermin bahwa, kata moral itu
setidaknya memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara pandang
seseorang atau kelompok masyarakat dalam bertingkah laku dengan orang
atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi
dasar bagi cara bertingkah laku.
Adanya norma-norma atau nilai-nilai di dalam makna moral seperti
diungkapkan di atas merupakan sesuatu yang mutlak. Karena norma-norma
 Abu al A’la al-Maududi, Ethical of Islam, diterjemahkan oleh Abdu Rahman Zainuddin,
judul; Moralitas Islam., [Jakarta: Publicita, 1971].
26
55

atau nilai-nilai ini di dalam moral selain sebagai standar ukur normatif bagi
perilaku, sekaligus sebagai perintah bagi seseorang atau kelompok untuk
berperilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tersebut.56
Bila makna moral seperti di atas dikaitkan dengan istilah seperti sopan
santun dan etika, maka terlihat bahwa pada dua istilah terakhir ini dapat
dikelompokkan pada makna moral seperti yang telah disinggung di atas. Hal
ini setidaknya dapat dilihat dari pemakaian dua kata ini yang berkaitan
dengan tata aturan perilaku seseorang atau kelompok ketika berhubungan
dengan orang lain atau kelompok lain.57
Berbeda dengan muatan makna yang terdapat pada moral, maka muatan
makna yang terdapat pada etika memiliki cakupan yang lebih luas. Frans
Magnis Suseno,58 misalnya mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilainilai serta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan moral secara kritis.
Pemaknaan etika seperti ini akan semakin jelas dimana para ahli berpendapat
secara eksplisit bahwa etika adalah sebagai nama lain dari filsafat moral
ketika etika dijadikan studi filsuf terhadap moral.59
Selanjutnya pengertian etika secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu ethikos, dari ethos, artinya penggunaan, karakter kebiasaan,
kecenderungan sikap. Dalam kata ini terkandung; 1) analisis konsep-konsep
seperti harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib,
tanggungjawab dan sebagainya; 2) pencarian ke dalam watak moralitas atau

56

K. Bertens, Etika..., h. 22.
Ibid., h. 9-11.
58
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Filsafat Moral [Yogjakarta:
Kanisius, 1993], h. 14.
59
Paul W. Taylor (ed.), Problem of Moral Philosophy an Introduction to Ethics, [California:
Dickenson Publishing Company Inc., 1997], h. 3.
27
57

tindakan-tindakan moral; 3) pencarian kehidupan yang baik secara moral. 60 4)
karakter yang dihasilkan oleh respon kebiasaan; dan 5) karakter yang
dihasilkan oleh moral sebagai lawan dari kebiasaan intelektual.61
Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengertian etika menurut
filsafat dapat dirumuskan sebagai berikut: Etika ialah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.62
Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan
itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik dan buruknya tingkah
laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide-ide
yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran
tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran
manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan,
karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk
mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan. Setiap golongan mempunyai
konsepsi sendiri-sendiri.
Etika sebagai cabang dari filsafat, bertitik tolak dari akal pikiran, tidak
berdasarkan teks kitab suci. Di sinilah letak perbedaannya dengan akhlak
dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu
ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk
berdasarkan ajaran Allah swt. dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai
dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus.

60

Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, [Bandung: Rosda Karya, 1995], h. 100-101.
Menurut Aristoteles ‘ethos’ digunakan untuk merujuk pada penampilan karakter drama
sebagai lawan dan tindakan, insiden, penderitaan, pemikiran, diksi, yang ditemukan pada tingkatan
perkembangan manusia yang berbeda. Lihat, Ibid., h. 105.
62
Hamzah Ya’qub, op.cit., h. 13.
28
61

Untuk menghilangkan kesamaran tersebut maka kiranya perlu diketahui
karakteristik etika Islam dan yang membedakannya dengan Etika Filsafat,
yaitu sebagai berikut:
a.

Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada
tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.

b.

Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral,
ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah swt.
(Alquran) dan ajaran Rasul-Nya (al-Sunnah).

c.

Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima
oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.

d.

Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan
fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka Etika Islam
dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia.

e.

Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke
jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah
pancaran sinar petunjuk Allah swt. menuju keridhaan-Nya. Dengan
melaksanakan Etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiranpikiran dan per-buatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.
Pemaknaan etika dengan filsafat moral seperti ini, sekaligus

menunjukkan bahwa kajian dalam etika bukan dalam bentuk studi deskriptif
sebagaimana yang dilakukan para ilmu-ilmu sosial seperti sosiolog, psikolog,
antropolog, dan sejarawan, akan tetapi dalam bentuk kajian kritis yang
mencakup dua segi, yaitu normatif dan analitik (meta-etik). Kajian etika
dalam bentuk pendekatan normatif biasanya mencermati bentuk-bentuk
sistem yang konsisten dari norma-norma yang ditunjukkan validitasnya bagi
semua manusia secara rasional oleh seorang filosof. Sedangkan pendekatan
29

analitik (matematik) me-liputi dua aspek, penelaahan terhadap konsep-konsep
yang dipakai dan penelaahan mengenai logika dan argumentasi yang
digunakan dalam rumusan metodologisnya. Kedua bentuk pen-dekatan kajian
etika seperti ini menurut para ahli tidak dapat dipisahkan.63
Sesuai dengan tujuan karya ini, maka makna filsafat etika yang
dimaksud adalah cakupan makna pada etika sebagai bentuk kajian kritis dan
filisofis, dalam pendekatan normatif dan analitik (meta-etik).
Bila ditelusuri sec