Tinjauan Hukum tentang Raperda Provinsi

Tinjauan Hukum tentang Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat1
Disusun oleh : Nurul Firmansyah, SH.,M.Si.

1. Pendahuluan
Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat rentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (Kemudian disebut Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat) ini
adalah analisis hukum doktrinal atas muatan materi pengaturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat. Dalam pendekatan tersebut, maka mengasumsikan hukum merupakan sebuah sistem, dan Raperda
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat adalah satu produk hukum di level daerah sehingga harus
konsisten dan koheren dengan produk hukum lain, terutama yang bersifat hirarkis demi mendatangkan kepastian
hukum.
Analisis doktrinal dalam tinjuan ini juga menggunakan sumber hukum sekunder berupa literatur antropologi dan
sosiologi tentang masyarakat hukum adat. Literatur antropologi dan sosiologi tentang masyarakat hukum adat
membantu menjelaskan kerangka konseptual masyarakat hukum adat yang akan diatur dalam Raperda ini.
Penggunaan pendekatan ilmu antropologi dan sosiologi dalam kerangka regulasi masyarakat hukum adat telah lama
digunakan sejak masa kolonial Hindia Belanda sampai dengan sekarang.
Secara umum, Tinjauan hukum ini menggunakan metode kajian hukum normatif dengan menggunakan sumber data
hukum primer dan sekunder yang relevan dengan objek kajian. Tinjauan hukum ini diperuntukkan untuk masukan
terhadap penyempurnaan muatan materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai
bagian dari produk perundang-undangan. Sistematika penulisan tinjauan hukum ini dibagi atas lima (5) bagian, yaitu:

pertama, pendahuluan; menjelaskan latar belakang dan metodologi penulisan tinjauan hukum, kedua; konsep
masyarakat hukum adat; menjelaskan kerangka konsep masyarakat hukum adat, Ketiga, Kerangka hukum
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat; menjelaskan dasar yuridis pengaturan masyarakat hukum
adat, terutama terkait dengan kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat keempat; Analisis muatan materi Raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat; berisi elaborasi normatif atas muatan materi raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,
kelima; Rekomendasi ; berisi masukan penyempurnaan isi raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum
adat.

Materi ini disampaikan dalam Konsultasi Publik Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Provinsi Kalimantan Barat
yang dilaksanakan oleh AMAN Kalimantan Barat di Pontianak pada tanggal 20 Agustus 2016

1

1

2. Konsep Masyarakat Hukum Adat
Sarjana-sarjana Eropa pada masa Pemerintahan Hindia Belanda telah mengembangkan konsep masyarakat hukum
adat. Konsep masyarakat hukum adat sendiri terkait dengan keberadaan persekutuan -persekutuan hukum daripada
golongan masyarakat pribumi atau disebut juga dengan adat rechtsgemeenschappen.2 Van Vallenhoven adalah

sarjana yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep ini yang kemudian diteruskan oleh sarjana-sarjana lain,
terutama J.F. Holleman. Secara umum, Holleman menyebutkan bahwa adat rechtsgemeenschappen adalah; unit
sosial yang terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan yang khusus dan otonom terhadap
kehidupan masyarakatnya karena adanya dua faktor; (1) Representasi otoritas lokal (kepemimpinan adat) yang
khusus, (2) Kekayaan komunal, utamanya tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan
pengaturannya, (Savitri dan Uliyah, 2014).
Secara lebih detil, konsep Adat rechtsgemeenschappen sendiri menggunakan kacamata ilmu antropologi dan
sosiologi tentang struktur sosial masyarakat adat. Adat rechtsgemeenshappen berakar dari konsep gemeinschaft
untuk padanan lain dari community (komunitas) yang membedakannya dengan Gesellschaft , yaitu padanan lain
untuk society. Gemeinschaft adalah bentuk alamiah dari sebuah kelompok yang tumbuh dari hubungan organis
antara manusia dengan lingkungannya, dan mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok. Sedangkan
Gesellschaft adalah kelompok artifisial yang terikat dengan kesadaran dan persamaan tujuan.(Sasmita, 2016).
Gemeinschaft sendiri tidak otomatis menjadi persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), apabila belum
memenuhi kriteria sebagai entitas hukum. Kriteria sebagai persekutuan hukum sendiri oleh Ter Haar dijabarkan
sebagai ―golongan-golongan yang mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu
masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam.
tidak sekalipun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan
manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan harta benda, milik keduniaan dan alam gaib.‖ (Sasmita,
2016).
Rechtsgemeenschappen atau Persekutuan Hukum adalah konsep umum untuk membantu menjelaskan masyarakat

hukum adat (adat rechtsgemeenscappen) secara khusus, yaitu persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada
adat.3 Salah satu ciri khusus paling menonjol daripada Masyarakat hukum adat adalah hubungannya dengan

Pemisahaan golongan penduduk ini terdiri dari golongan Pribumi, golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Istilah ‗Pribumi‘ identik dengan
masyarakat asli yang membedakannya dari golongan Eropa dan Timur Asing. Pemisahaan golongan adalah implementasi politik Kolonial
Eropa di Indonesia, Wignosoebroto, (2014)
3
Pengertian lain tentang Masyarakat Hukum Adat juga disebutkan Kusumadi Pudjosewojo sebagai masyarakat hukum sebagai suatu
masyarakat yang menetap, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri (hukum adat). Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang
timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau di perintah oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa

2

2

kedaulatan atas wilayah adat atau beschikkingsrecht4 yang jamak dikenal dengan konsep hak ulayat yang
merupakan sumber kekayaan yang hanya bisa dinikmati oleh anggota komunitasnya, (Sasmita ,2016 ; Warman,
2006).
Selain itu, Masyarakat hukum adat secara khusus juga mempunyai susunan dan corak yang terbagi dari tiga
kelompok; geneologis, territorial dan campuran (geneologis-teritorial), (Anwar dalam Firmansyah ,2012). Susunan

masyarakat hukum adat bersifat fungsional yang disebutkan oleh Mahmakah Konstitusi dalam Putusan MK
N0.35/PUU-X/2012 adalah golongan masyarakat hukum adat yang tidak digolongkan pada tiga golongan klasik
tersebut diatas. Masyarakat Hukum Adat bersifat fungsional belum mempunyai definisi baku dan detil namun di
analogikan seperti sistem irigasi subak di Bali oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu komunitas yang terikat pada fungsifungsi khusus sekaligus tradisional.5 Fungsi-fungsi khusus tersebut menyangkut kepentingan bersama yang
mempersatukan dan tidak bergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah (Savitri dan Uliyah, 2014).
Masyarakat hukum adat adalah pengampu hukum adat, yaitu memproduksi dan menjalankan hukum adat tersebut
yang oleh Van Vallenhoven diklasifikasi dalam 19 wilayah berlakunya hukum (rechtskringen). Rechtskringen6
bukanlah wilayah persekutuan hukum masyarakat adat, namun adalah wilayah kebudayaan yang identik dengan
wilayah sebaran etnis. Oleh sebab itu, Rechtskrigen yang disebutkan oleh Van Vallenhoven tidak memiliki unsur
sebagai adat rechtsgemeenscappen, sehingga Rechtskringen tidak mempunyai suatu sistem pengaturan yang
memiliki otoritas di wilayah adat sehingga sulit dijadikan obyek pengakuan hukum. Contoh dari masyarakat hukum
adat atau adat rechtsgemeenschappen adalah nagari yang mempunyai hak ulayat bukan pada wilayah lingkaran
hukum adat minangkabau (Zakaria, 2016).
lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota, memandang yang bukan anggota sebagai orang luar dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anggotanya. Lihat Kurniawarman (2006).
4 Soetandyo Wignosoebroto menyebutkan bahwa beschikking adalah hak penguasaan yang berada ditangan komunitas desa berdasarkan
hukum adat atas suatu teritori tertentu. Orang-orang adat tidak menciptakan istilah khusus untuk menyebut hak semacam ini, sehingga
pengkaji –pengkaji hukum adat harus menciptakan istilah khusus untuknya. Van Vallenhoven mengakui bahwa penggunaan istilah
beschikkingrechts ini atau terjemahaannya the rights of disposal, yang dipakai sendiri olehnya dalam tulisan tentang ―The Study of Indonesia
Customary Law, Illinois Law Review, Th.XIII (1918) adalah kurang tepat karena menurut hukum adat komunitas yang memegang hak ini dapat

mengalihkan haknya atas objek yang berkenaan secara mutlak dan permanen kepada subjek hak lain (Holleman, 1981). Oleh Wignosoebroto
padanan Hak Purba untuk menyebut jenis hak ini lebih tepat karena ―purba‖ dalam bahasa jawa lebih terbatas dalam maknanya sebagai
―penguasaan untuk mengurusi, mengatur dan atau menjaga agar semua berlangsung aman dan tertib. Sedangkan dalam pendekatan hukum
agrarian, ‖Budi Harsono (2003) menjelaskan secara lebih detil bahwa Beschikkingsrechts mempunyai tiga aspek yaitu ; (1) hak ulayat
masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik, (2) hak kepala adat/tetua adat bersifat hak public, (3) hak – hak atas tanah
individual baik langsung atau tidak langsung berasal dari hak ulayat. Kemudian Bakri (2007) mempertegas bahwa hak ulayat mempunyai dua
aspek : (1) aspek keperdataan mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warga komunitas adatnya, (2)
yang berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mnagtur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaan
tanah bersama. Secara umum, definisi Beschikkingsrechts atau Hak ulayat oleh westenenck disebut sebagai kekuasaan, hak untuk mengurus,
mengawas dan juga menguasai atas wilayah adat.
5 Lihat misalnya Janiawati (2014) yang menyebutkan bahwa sistem Subak adalah ekspresi tradisi sekaligus fungsi-fungsi yang dibentuk oleh
satu komunitas atau lintas komunitas untuk kebutuhan masyarakat secara lebih luas dalam menciptakan sistem distribusi air irigasi yang
berfungsi sosial maupun lingkungan.
6
Koentjaraningrat menyebutkan bahwa Rechtskringen yang disebutkan oleh Van Vallenhoven serupa dengan Kulturkreise atau wilayah
kebudayaan yang terdiri dari : Aceh, Tanah Gayo, Alas dan Batak, Tanah Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Tanah Melayu, Bangka
dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Gorontalo, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulauan Ternate, Maluku Ambon, Papua, Kepulauan Timor,
Bali dan Lombok, Jawa Pusat (Jawa Timur dan Madura, Daerah Kerajaan (Surakarta, Jogjakarta) dan Jawa Barat. Lihat Savitri dan Uliyah
(2014).


3

Dalam pendekatan Pluralisme hukum, pembentukan negara Bangsa Indonesia melahirkan interaksi antara hukum
negara dengan hukum adat dan bahkan hukum agama. Interaksi hukum ini menghasilkan konflik, akomodasi dan
adopsi. Interaksi yang berujung pada akomodasi dan adopsi muncul dari saling meminjam elemen-elemen masingmasing hukum. Peminjaman masing-masing elemen-elemen hukum tidak melahirkan masalah hukum baru jika
elemen yang dipinjam diintegrasikan ke dalam falasafah sistem hukum yang meminjam dan peminjaman elemen
tersebut membuat sistem hukum yang meminjam berlaku efektif. Persoalan muncul jika interaksi antar hukum
menghasilkan ―hukum baru‖ yang campuran (Hybrid).7
Interaksi antar elemen-elemen hukum adat dan negara dan juga bahkan hukum agama terjadi dalam dua arena,
yaitu; pertama, pembentukan hukum oleh komunitas adat yang membentuk norma baru, misalnya norma hibah
tanah adat yang merupakan norma baru dari interaksi adat dan islam di Sumatera Barat kedua, pembentukan
kelembagaan masyarakat hukum adat baru, misalnya struktur desa adat yang mengadopsi struktur adat dan negara
yang membentuk struktur baru yang khas, (Firmansyah, 2016; Vel dan Badner, 2016). Pendekatan pluralisme
hukum diatas diperlukan sebagai analisis untuk melihat situasi dan dinamika bekerjanya hukum adat dan
kelembagaan masyarakat hukum adat sebagai pengampu hukum adat pada konteks terkini dan dinamika
masyarakat hukum adat secara lebih luas terutama dalam interaksinya dengan Negara.
Artinya, untuk membantu melihat komunitas masyarakat hukum adat yang menjadi jantung subjek pengaturan dalam
Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini, maka mempertimbangkan tiga hal : (1)
Masyarakat hukum adat memiliki kekhasan sebagai komunitas yang terikat secara alamiah dan memiliki hak ulayat
atas wilayah adat, (2) Masyarakat hukum adat bersifat dinamis, sehingga kemungkinan masyarakat hukum adat

bersifat fungsional bisa menjadi salah satu subjek pengaturan, (3) masyarakat hukum adat sebagai pemangku
hukum adat memiliki dinamika dalam relasinya dengan hukum negara dan hukum lain, baik dalam arena
pembentukan hukum maupun kelembagaan pencipta dan pelaksana hukum ditingkat komunitas masyarakat hukum
adat. Perubahan-perubahan akibat interaksi antar hukum tersebut belum tentu dengan serta merta merubah
eksistensi masyarakat hukum adat.
3. Kerangka Hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Kerangka hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat8 dan hak-haknya dalam sistem hukum
Indonesia tercantum dalam UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 i UUD 1945. Dua pasal tersebut adalah
7

Ricardo Simarmata menjelaskan hukum campuran digunakan untuk menjelaskan norma-norma yang tidak bisa lagi dikualifikasikan sebagai
norma formal ataupun norma informal (Irianto, 2005) dan dari sisi sebab norma Hybrid tersebut lahir karena penetrasi antar sistem norma
hanya berujung pada tumpang tindih yang tidak sampai pada hubungan saling meniadakan (Santos 2006, Michaels 2009).
8 UUD 1945 menggunakan istilah kesatuan masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. UUD 1945 tidak menjelaskan istilah
masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional sebagai istilah yang sama atau berbeda, namun dalam berbagai peraturan perundangundangan, istilah yang digunakan pada umumnya adalah masyarakat hukum adat, masyarakat adat dan desa adat (Lihat Safitri dan Uliyah,
2014).

4

pasal-pasal pokok tentang kedudukan hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek penyandang hak9 dan

kewajiban, walaupun tidak menyebutkan definisi masyarakat hukum adat secara detil dan ketat.
Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Namun, pengakuan negara atas masyarakat adat ini bersyarat
(conditionalities) yang terdiri dari ;
1. Masyarakat adatnya masih hidup;
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat;
3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 28 i yang masuk dalam rumpun Hak Asasi Manusia mempertegas pasal 18 b ayat (2) dengan menyebutkan
bahwa ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya adalah salah satu unsur pembentuk
‗identitas budaya‘ masyarakat hukum adat.10 Artinya, ikatan masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumbersumber alam adalah pembentuk identitas masyarakat adat dan merupakan hak asasi.11 Selanjutnya, Pasal 32 ayat
(1) dan (2) secara implisit menyebutkan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan bahasa masyarakat hukum
adat.
Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak (hak-hak tradisional) menjadi isu sentral dalam
pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hukum masyarakat hukum adat terutama sejak lahirnya PutusanPutusan Mahkamah Konstitusi tentang Masyarakat Hukum Adat.12 Rumusan masyarakat hukum adat sebagai subjek
hak sendiri adalah13 :
1. Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat tidak bersifat individual, melainkan pengakuan atas suatu
“kolektiva” 14

9


Hak-hak khusus masyarakat adat terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus masyarakat hukum adat, yang juga disebut dengan hak
tradisional dalam UUD 1945 paska perubahan atau hak asal usul dalam UUD 1945. Hak asal usul kemudian digunakan kembali untuk
menjelaskan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa. Hak tradisional atau
hak asal usul adalah hak yang bersifat ―hak bawaan‖ yang melekat karena identitas khusus masyarakat adat tersebut.
10 Ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya disebut juga dengan hak ulayat atau hak-hak atas wilayah adat
11 Ikatan (penguasaan) masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum
adat diperkuat lagi rumusan pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; ―Identitas masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.‖
12 Terdapat empat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Masyarakat Hukum Adat, yaitu : Pertama, Putusan No. 31/PUU-V/2007 mengenai
Pengujian UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku. Putusan ini menjelaskan kriteria masyarakat hukum
adat. Kedua, Putusan No. 47-81/PHPU.A/VII/2009 mengenai pengakuan model noken di Papua, Ketiga, Putusan No. 55/PUU-VIII/2010
mengenai pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjelaskan bahwa penyelesaian konflik keperdataan harus
diutamakan daripada kriminalisasi dan, Keempat, Putusan Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang
konstitusionalitas Hutan adat
13 Secara lebih detil lihat Wirataman (2014).
14 Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat dalam sistem hukum nasional bersifat kolektif (kolektiva),
sehingga, perlindungan hukum masyarakat adat yang bersifat individual tidak merupakan ruang lingkup pengakuan, penghormatan dan
perlindungan masyarakat adat, namun masuk dalam ruang lingkup pengakuan, penghormatan dan perlindungan warga Negara.

5


2. Pengakuan terhadap hak-hak yang bersifat “kolektiva” tersebut terkait dengan : Pertama, unit sosial ‗kesatuan
masyarakat hukum adat.‘ dan Kedua, Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut.
Artinya, rumusan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 terkait pada tiga hal, yaitu ; pertama, sifatnya yang
khusus karena identitas budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat hukum adat, dan kedua sifatnya yang
kolektif sebagai suatu persekutuan masyarakat hukum, yang juga berkaitan dengan hak-haknya yang bersifat
kolektif, ketiga, sifat kolektif dari masyarakat hukum adat terkait dengan unit sosial kesatuan masyarakat hukum adat
yang merupakan unit dari persekutuan hukum yang lebih luas.
Secara khusus, Kerangka hukum pengakuan masyarakat hukum adat dalam Peraturan Perundang-undangan dan
kemudian dipertegas lagi oleh Putusan MK No.35/PUU-X/2012 menjelaskan sebagai berikut; Pertama, Putusan MK
No.35/PUU-X/2012 mempertegas kembali Masyarakat adat sebagai subjek hukum penyandang hak dan pemangku
kewajiban. Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan
hukum yang sama seperti subjek hukum lainnya; seperti individu dan badan hukum (Savitri dan Uliyah, 2014).
Kedua, Masyarakat hukum adat dinamis bukan statis. Mahkamah Konstitusi nampaknya merujuk pada pendapat
ilmuwan sosiologi klasik; Emile Durkheim tentang evolusi perkembangan masyarakat, yaitu perkembangan
masyarakat dari masyarakat mekanis menjadi organis, yang dalam proses perubahannya, bisa ―berubah‖ dan
bahkan ―punah‖ (Savitri dan Uliyah, 2014). Perubahan masyarakat hukum adat tersebut kemudian diuji berdasarkan
indikator keberadaannya secara hukum sebagai persyaratan pengakuan hukum. Adapun indikator keberadaan suatu
masyarakat hukum adat yang hidup secara de facto (actual existence) oleh Mahkamah Konstitusi, baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional, setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

pertama, adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling), kedua, adanya pranata
pemerintahan adat, Ketiga, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, Keempat, adanya perangkat norma
hukum adat dan, Kelima, terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Indikator masyarakat adat ini tidak bersifat
kumulatif, sehingga pembuktian keberadaan masyarakat adat bisa menggunakan salah satu unsur atau beberapa
unsur dari lima unsur tersebut (Zakaria, 2014),
Ketiga, Pengakuan masyarakat hukum adat cukup melalui Peraturan Daerah. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) secara
nyata mengatakan bahwa pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat akan diatur oleh undang-undang.
Namun, sebagaimana kita ketahui, sampai hari ini undang-undang yang dimaksud belumlah tersedia. Menghadapi
situasi yang demikian, MK (2013: 184) berpandangan, ―Oleh karena kebutuhan yang mendesak, (…) pengaturan
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan
tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.‖ (Zakaria, 2014). Dasar kewenangan Pemerintah Daerah
untuk pengakuan masyarakat hukum adat dalam sistem Pemerintahan termasuk dalam ―urusan wajib bukan
6

pelayanan dasar,‖ khususnya pada bidang pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa
(Savitri dan Uliyah, 2014).15 Kewenangan pengakuan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah dalam sistem
pemerintahan dan peraturan perundang-undangan yang ada16 dalam bentuk : pertama, pengakuan masyarakat
hukum adat bisa dalam bentuk model kelembagaan desa adat dan atau komunitas masyarakat hukum adat, (Andiko
dan Firmansyah, 2014), kedua, jenis produk hukum daerah pengakuan masyarakat hukum adat adalah Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat Penetapan untuk masyarakat hukum adat yang berada di wilayah
Kabupaten/kota dan Perda Provinsi untuk masyarakat hukum adat yang berada melampaui batas administrasi
kabupaten/kota.17 ketiga, Pemerintah Daerah berwenang untuk melaksanakan identifikasi, verivikasi dan validasi
keberadaan masyarakat hukum adat.
Di sisi lain, Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
mengatur bentuk baru Penetapan masyarakat hukum adat melalui Keputusan Kepala Daerah dan atau Keputusan
bersama kepala daerah. Muatan materi pengaturan dalam Permendagri 52 tahun 2014 ini masih diperdebatkan
secara isi muatan pengaturan dan potensi bertentangan dengan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda) dan UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)
karena ; Pertama, Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan masyarakat hukum adat dan
Putusan MK No.35/PUU-X/2012 tidak mengenal jenis penetapan masyarakat hukum adat dalam bentuk keputusan
Kepala Daerah, Kedua, Keputusan bersama kepala daerah tidak dikenal sebagai jenis peraturan perundangundangan dalam UU P3. Oleh sebab itu disarankan untuk tidak menggunakan penetapan masyarakat hukum adat
melalui Keputusan Kepala Daerah dan atau Keputusan Bersama Kepala Daerah.
Khusus pada kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
adalah sebagai berikut : Pertama, Peraturan Daerah Provinsi bisa berisi muatan materi tentang penetapan
masyarakat hukum adat yang berada di lintas administrasi kabupaten kota berdasarkan cakupan kewenangan dalam
UU Pemda, Kedua, Peraturan Daerah Provinsi bisa berisi muatan materi tentang pengaturan pedoman umum
penetapan masyarakat hukum adat, susunan kelembagaan masyarakat hukum adat dan masa jabatan kepala desa
adat (khusus untuk desa adat) yang menjadi norma panduan bagi Pemda Kabupaten/kota untuk pengaturan dan
penetapan masyarakat hukum adat yang berada di wilayah administrasi kabupaten/kota bersangkutan berdasarkan
karakteristik sosial-budaya yang ada. Ketiga, Peraturan Daerah Provinsi bersifat hirarkis terhadap Peraturan Daerah

15

Dasar kewenangan Pemerintah Daerah dalam sistem Pemerintahan adalah kewenangan menurut UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah (UU Pemda), Lihat Savitri dan Uliyah (2014).
16 Selain kewenangan yang diberikan oleh UU Pemda, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk melaksanakan pengakuan
masyarakat hukum adat yang terdapat dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Permendagri
No.52 Tahun 2014 tentang Pedoman pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
17
Peraturan Daerah termasuk kelompok produk hukum daerah yang sifatnya mengatur namun juga bisa bersifat penetapan. Dalam hal
pengakuan masyarakat hukum adat, bentuk Peraturan Daerah adalah berbentuk Penetapan.

7

Kabupaten/kota, termasuk dalam ruang lingkup pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat berdasarkan UU P3
sehingga bersifat mengikat.
4. Analisis Muatan Materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Analisis terhadap muatan materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat akan dibahas
secara detil dalam matrik dibawah ini :

Pasal

Ketentuan

Elaborasi
 Pengertian Masyarakat Hukum Adat tidak sinkron

Pasal 1

Pengertian Masyarakat Hukum Adat :

angka

Masyarakat Hukum Adat adalah warga negara

dengan kriteria (ciri) Masyarakat Hukum Adat

13

indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup

dalam Raperda ini Pengakuan dan Perlindungan

berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya,

Masyarakat Hukum Adat, sehingga melahirkan

memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau

pertanyaan apakah Raperda ini mengatur

kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat

masyarakat hukum adat sebagai kelompok

dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya

(komunitas) atau individu

sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,

 Hal ini berakibat pada ketidakjelasan subjek yang

sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

diatur, yaitu terkait dengan Masyarakat Hukum

tertentu secara turun temurun

Adat sebagai warga negara atau kelompok
masyarakat. Dalam hukum, perlindungan
Masyarakat Hukum Adat bersifat kolektiva
(kelompok masyarakat/komunitas).

 Perlindungan atas individu MHA sebaiknya
terkait dengan perlindungan ―identitas dan hakhaknya sebagai Masyarakat Hukum Adat‖ yang
merupakan bagian dari anggota komunitas yang
otomatis juga melindungi masyarakat hukum
adat secara individual.

 Pengertian masyarakat hukum adat belum
melingkupi golongan masyarakat hukum adat
yang bersifat fungsional. Mengingat dinamika
masyarakat hukum adat dalam interaksinya
dengan negara dan atau kelompok masyarakat
lain perlu kiranya memasukkan pengertian
masyarakat hukum adat bersifat fungsional untuk
menghindari batasan kriteria unsur syarat

8

Pasal 1
angka



Pengertian Pengakuan dan Perlindungan :



pengakuan.
Definisi pengakuan perlu diklarifikasi terkait : (1)

Definisi Pengakuan adalah pernyataan, tindakan

pengakuan tidak perlu de facto, (2) klausul

10 dan

secara de facto dan de jure atas keberadaan MHA

―diberikan ‖ bias makna antara pengakuan dan

11

beserta hak-haknya yang diberikan pemerintah atau

berian. (3) Kata pemerintah sebaiknya diubah

pihak lain

menjadi Pemda Prov dan atau Pemda Kab/kota

Definisi Perlindungan adalah suatu bentuk

(terkait ketepatan kelembagaan Pemerintahan

pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada

yang berwenang melaksanakan pengakuan

MHA dalam menjamin terpenuhi hak-hak mereka

(penetapan) dan Perlindungan masyarakat

dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagai

hukum adat).



suatu kelompok masyarakat, sesuai dengan harkat



Sebaiknya difinisi pengakuan diubah dengan

dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari

―penetapan‖ yang dalam nomenklatur hukum

tindakan diskriminasi

lebih dikenal dibandingkan dengan klausul
―pernyataan dan tindakan‖ dan memiliki
konsekunsi yuridis penetapan masyarakat


hukum adat sebagai subjek hukum.
Definisi perlindungan perlu dijelaskan terkait :
kata negara yang bisa bermakna Pemerintah
(nasional), sebaiknya diubah dengan Pemda



Provinsi dan Pemda kab/kota

Pasal 4

Kriteria Masyarakat Hukum Adat :

dan 5

Keberadaan masyarakat adat dapat didasarkan pada

rechtsgemeenschappen (persekutuan hukum

ikatan kekerabatan turun-temurun (genealogis), ikatan

masyarakat adat), perlu juga memasukkan

kekerabatan wilayah (teritorial), dan ikatan keturunan-

golongan masyarakat hukum adat yang bersifat

wilayah (genealogis-teritorial).

fungsional untuk menghindari batasan kriteria

Selain kriteria Berbasis pada pengertian adat

unsur syarat pengakuan pada komunitasKriteria /ciri keberadaan masyarakat adat :

 terdiri dari sekelompok orang yang bersifat teratur
yang membentuk kesatuan masyarakat hukum

 Menempati secara tetap wilayah/daerah tertentu
atau berada dalam kesatuan wilayah

 Memiliki penguasa/pemimpin dalam komunitas

 Memiliki hubungan berdasarkan ikatan geneologis,
teritorial dan geneologis-teritorial

 Memiliki harta kekayaan materil dan immaterial

 Mempunyai kesatuan hukum (hukum adat) dan
 Memiliki sistem kepercayaan

komunitas masyarakat hukum adat yang
dinamis.

 Pengertian ini masih generik yang sebenarnya
telah ada dalam undang-undang yang mengatur
Masyarakat Hukum Adat. Perlu mendetilkan ciri
yang lebih spesifik terkait dengan keberadaan
masyarakat hukum adat di Provinsi Kalimantan
Barat, baik yang bersifat geneologis, territorial,
territorial-geneologis maupun fungsional.

 Ciri dengan definisi masyarakat hukum adat
inkonsisten antara cakupan pengaturan dalam

9

unit sosial (komunitas) atau juga pada cakupan
pengaturan individu masyarakat hukum adat. Hal
ini berakibat pada ketidakjelasan subjek yang
akan diatur (lihat pembahasan tentang definisi
masyarakat hukum adat diatas).

 Sebaiknya menjelaskan ciri kategori Masyarakat
Hukum Adat yang bersifat geneologis, teritorial
dan fungsional berdasarkan kondisi empirik di
Kalbar untuk pedoman penetapan Masyarakat
Hukum Adat oleh Pemda kabupaten/kota atau
Provinsi (jika masyarakat hukum adat berada
lintas wilayah administrasi kabupaten/kota. Jika
perlu menyebutkan contoh unit sosial
masyarakat hukum adat berdasarkan
penggolongan masyarakat hukum adat tersebut

Pasal 8
dan 9

Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan :








diatas.
Sebaiknya penetapan (pengakuan hukum)

Pengakuan dilaksanakan bupati/walikota

dilaksanakan melalui Perda Kabupaten/kota

Melalui panitia pengakuan dan perlindungan

pada masyarakat hukum adat yang berada di

Secara implisit melalui surat keputusan kepala

wilayah administrasi kabupaten kota yang

daerah kab/kota

didelegasikan oleh Perda Provinsi ini.



Untuk penetapan perkomunitas (unit sosial)
masyarakat hukum adat bisa menggunakan
pendelegasian kepada Bupati/walikota melalui
Keputusan Kepala Daerah daripada Perda
penetapan yang akan disusun oleh masing
kabupaten/kota. Perumusan norma ini untuk
menghindari kelemahan dasar yuridis
penetapan masyarakat hukum adat melalui



keputusan kepala daerah.
Dalam hal penetapan masyarakat hukum adat
yang berada lintas kabupaten/kota bisa
menggunakan keputusan Gubernur yang
didelegasikan oleh Perda Provinsi ini.
Keputusan gubernur tentang penetapan pada
unit/unit sosial (komunitas-komunitas)
masyarakat hukum adat tersebut diatas

10

merupakan bagian dari pendelegasian
kewenangan daripada Perda Provinsi sehingga
menghindari dasar penetapan yang lemah
melalui Keputusan Kepala Daerah (Lihat
pembahasan tentang Permendagri 52/2014
dalam Bab Kerangka Hukum Pengakuan dan


Perlindungan Masyarakat Hukum Adat).
Penatapan masyarakat hukum adat melalui
Keputusan Bupati/walikota dan Keputusan
Gubernur untuk masyarakat hukum adat yang
berada lintas kabupaten/kota dilengkapi
dengan peta wilayah adat sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari penetapan masyarakat



hukum adat sebagai subjek hukumnya.
Dalam hal identifikasi, verivikasi dan validasi
masyarakat hukum adat melalui Panitia khusus
yang bersifat adhoc bisa dilaksanakan melalui
pembentukan oleh gubernur atau
bupati/walikota berdasarkan keberadaan



masyarakat hukum adatnya.
Panitia adhoc tersebut bertugas melakukan
identifikasi, verivikasi dan validasi tentang
keberadaan masyarakat hukum adat dan juga



wilayah adatnya.
Tentang desa adat; Perlu ada norma khusus
yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum
adat yang akan ditetapkan oleh Kabupaten/kota



dapat menjadi desa adat.
Sebaiknya dipisah antara mekanisme
pengakuan dengan perlindungan. Mekanisme
pengakuan bisa dimandatkan oleh panitia
(bersifat adhoc) dalam batas-batas tertentu,
(misalnya soal identifikasi), sedangkan
perlindungan adalah implementasi norma oleh
Pemda kab/kota dan atau Provinsi yang tidak

Pasal 7

Wilayah Adat dan Jenis-Jenis Hak :



mungkin dilakukan secara adhoc
Belum menyebutkan secara eksplisit dan detil

11

dan



pasal 10






Wilayah masyarakat hukum adat meliputi

tentang subjek hak dan hubungan hukum

kampung, gabungan dua atau lebih beberapa

dengan objek (wilayah adat). Perlu

kampung atau kampung dengan sebutan lain

menjelaskan jenis-jenis hak masyarakat hukum

Batas teritorial wilayah masyarakat hukum adat

adat sampai pada susunannya yang paling

ditentukan oleh masyarakat hukum adat atas dasar

kecil (individu/kelurga) terhadap tanah dan

pertimbangan adat dan hukum adat, serta

wilayah adat berdasarkan pengertian

kebiasaan-kebiasaan masyarakat hukum adat

beschikkingsrecth dalam literature hukum

secara turun-temurun

agrarian dan UUPA yang dibagi atas dua

Pemanfaatan wilayah adat untuk kepentingan

dimensi : (1) hak wilayah adat yang bersifat

umum hanya dapat dilakukan melalui persetujuan

publik, dan (2) hak wilayah adat yang bersifat

bersama kesatuan masyarakat hukum adat dengan

perdata adat (hak milik adat).

musyawarah



Baik jenis-jenis hak wilayah adat tersebut

Objek wilayah masyarakat hukum adat : meliputi

dipadankan dengan istilah adat (lokal) yang

kampung, gabungan kampung atau kampung

ada di Kalimantan Barat dengan menyebutkan
ciri-ciri haknya yang bersifat spesifik dan



wilayah adat
Jenis-jenis hak terhadap wilayah adat : hak



bahkan bisa menggunakan istilah adat (lokal).
Perbedaan pengaturan jenis hak wilayah adat

memiliki (hak milik ?), hak menggunakan, hak

tersebut terkait dengan perbedaan mekanisme

mengembangkan dan mengendalikan sesuai

penetapannya. Bagi hak ulayat yang

dengan hukum adat dan peraturan perundangan-

berdimensi publik penetapannya sepaket

undangan

dengan penetapan masyarakat hukum adat
seperti yang disebut dalam kolom tentang
mekanisme penetapan masyarakat hukum adat
diatas, sedangkan sedangkan hak milik adat

Pasal
10, 11,
12 dan
13

Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat :













cukup melalui ―penetapan hak komunal‖
Kewenangan Pemda Provinsi dalam

Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam

pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan

Hak atas pembangunan

perlindungan Masyarakat Hukum Adat masuk

Hak atas spiritualitas dan kebudayaan

dalam kategori urusan wajib bukan

Hak atas lingkungan

Pelayanan Dasar khususnya: pengaturan

Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat

pertanahan, lingkungan hidup dan


pemberdayaan masyarakat/desa
Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya
alam sebaiknya memisahkan hak milik adat
dengan hak ulayat. Pengaturan restitusi baik
untuk memastikan ―pemulihan hak‖—
pengaturan pemulihan sebaiknya dijelaskan

12

secara eksplisit dalam bentuk tata laksana


pemulihan hak untuk pemerintah kab/kota
Hak atas spiritualitas dalam raperda ini
sebaiknya disebut hak identitas budaya
/kearifan lokal untuk menghindari melampaui
batas kewenangan karena urusan agama



adalah urusan absolut Pemerintah Pusat.
Hak atas menjalankan hukum dan peradilan
adat bisa diletakkan dalam rezim UU Desa.
Artinya masyarakat adat dalam bentuk desa
adat/desa bernuansa adat

5. Rekomendasi
Secara umum, tinjauan hukum ini memberikan rekomendasi tentang isi muatan materi Raperda Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Barat sebagai berikut :
1. Ruang Lingkup Raperda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini adalah : Pertama, mengatur
tentang Pedoman penatapan Masyarakat Hukum Adat sebagai ―subjek hukum‖ dan hak-haknya di Provinsi
Kalimantan Barat yang menjadi rujukan oleh Pemda kabupaten/kota yang ada dalam wilayah administrasi
provinsi Kalimantan Barat, dan Kedua, sekaligus penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Provinsi
untuk masyarakat hukum adat yang berada lintas batas wilayah administrasi kabupaten/kota.
2. Tentang mekanisme teknis penetapan masyarakat hukum adat adalah penetapan masyarakat hukum adat oleh
gubernur melalui keputusan gubernur adalah delegasi kewenangan dari Perda Pengakuan dan Perlindungan
masyarakat hukum adat pada masyarakat hukum adat lintas kabupaten/kota, sedangkan penetapan masyarakat
hukum adat oleh bupati/walikota adalah delegasi kewenangan dari Perda kabupaten/kota yang isi muatan
materinya merujuk pada Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ini. Baik itu penetapan
masyarakat hukum adat oleh gubernur dan bupati/kota dilengkapi dengan wilayah adat yang didentifikasi,
diverifikasi dan divalidasi oleh panitia khusus yang bersifat adhoc.
3. Dalam fungsinya sebagai aturan pedoman, semestinya raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat mengatur tentang :
a. Tentang masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum : sebaiknya menyebutkan secara eksplisit
ciri/kriteria Masyarakat Hukum Adat yang lebih spesifik dalam konteks Masyarakat Hukum Adat di
Kalimantan Barat yang berguna sebagai panduan penetapan, dan juga menggunakan istilah lokal (adat)
untuk menyebutkan unit sosial masyarakat hukum adat yang akan ditetapkan, baik yang bersifat
geneologis, territorial, geneologis-teritorial, maupun fungsional.
13

b. Tentang Beschikkingrecths (hak atas wilayah adat) : sebaiknya menyebutkan ciri/kriteria jenis hak atas
wilayah adat dan susunan subjek pemangku haknya, baik hak yang bersifat publik maupun yang bersifat
privat (hak milik adat) dengan bisa menggunakan ciri berdasarkan hukum adat yang berlaku. Hal ini
berhubungan dengan harmonisasi hak adat dengan hak dalam hukum agraria
c. Tentang penetapan hak wilayah adat yang bersifat publik dengan privat (hak milik adat) berbeda dalam
kerangka hukum yang ada. Penetapan wilayah adat yang bersifat publik ada satu paket dengan penetapan
masyarakat hukum adat, sedangkan penetapan hak milik adat melalui mekanisme sertifikasi hak komunal.
4. Perlu ada pemisahaan mekanisme pengakuan dengan perlindungan MHA. Mekanisme pengakuan melalui
panitia (adhoc) bisa dilakukan dan sebaiknya dipisahkan dengan mekanisme perlindungan, karena perlindungan
melekat pada implementasi Perda oleh Pemda provinsi mapun Pemda kabupaten/kota.
5. Pengaturan wilayah adat yang merujuk pada satuan kampung dan atau gabungan kampung secara implisit bisa
menjadi panduan untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adat dalam konteks unit sosial.
6. Pengaturan tentang hak spiritual masyarakat hukum adat sebaiknya diubah menjadi hak budaya/kearifan lokal
untuk menghindari perdebatan tentang batas kewenangan Pemda Provinsi maupun Pemda Kabupaten/kota.
Hak spiritual identik dengan agama yang merupakan kewenangan absolut Pemerintah Pusat.

14

Referensi
Andiko dan Nurul Firmansyah (2014) Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Pengakuan Masyarakat Adat :
Kiat-kiat praktis bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil dan Pemimpin Masyarakat Adat,
HuMa, Jakarta.
Budi harsono (2003), Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta
Choirul Anam, Nurul Firmansyah dkk (2016) Mengakui Minoritas : Kajian Tentang Kelompok Minoritas dan
Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak-Haknya, Pelapor Khusus Hak-Hak Minoritas KOMNAS HAM,
Jakarta.
Edi Subowo dkk (2016) Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan
Perundang-Undangan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Kementerian
Hukum dan HAM, Jakarta.
HuMa and Epistema Institute (2013) Prosiding Simposium Masyarakat Adat: Masyarakat Adat Sebagai Subjek
Hukum, HuMa and Epistema Institute, Jakarta
Ida Ayu Ari Janiawati (2014) Sistem Subak dan Subak Abian Pada Tatanan Landskap di Bali : Makalah dalam
Landscape Ecology Subject, IPB, Bogor.
Jacqueline A.C. Vel dan Adrian W. Bedner (2016) Desentralisasi Dan Pemerintah Desa Di Indonesia, Kasus Baliak
Ka Nagari dan Kaitannya dengan UU Desa dalam Jurnal Transformasi Sosial, Insist, Jogjakarta.
Mahadi (1991) Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Muhammad Bakri, (2007), Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra
Media, Yogyakarta
Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah (2014) Adat di tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk Hukum
Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epistema Institute, Jakarta.
Nurul Firmansyah (2016), Arus Balik ―Baliak Ka Nagari‖ antara Fakta Hybridasi Nagari dan Desa Adat : Makalah
Dalam Simposium Masyarakat Adat Kedua, Jakarta.
Nurul Firmansyah (2016) Customary Village Model or Administrative Village Model : Political Contestation in the
Process of Revision of west Sumatera Provincial Regulation regarding Nagari, Paper on New Law, New
Village Workshop, KITLV, Leiden,

15

Rikardo Simarmata, Seri Pengembangan Wacana : Pluralisme Hukum dan Isu-Isu yang Menyertainya, HuMa,
Jakarta
R. Yando Zakaria (2014), Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat Dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber
Daya Hutan Pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 : Studi Kasus Kabupaten Kutai Kalimantan Timur
dalam Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Insist, Jogjakarta.
R.Yando Zakaria (2016) Strategi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat : Sebuah Pendekatan
Sosiologi-Antropologi : Makalah dalam Rapat Koordinasi Lintas Kementerian tentang Penanganan Masalah
Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Tody Sasmita (2016), Masyarakat Hukum Adat : Persekutuan Hukum (Recthsgemeenscappen) atau Subjek Hukum
? : Makalah dalam Simposium Masyarakat Adat Kedua, Jakarta.

16

LAMPIRAN :
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat Provinsi Kalimantan Barat

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31