UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL. docx

UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
TEORI SEJARAH ARSITEKTUR NUSANTARA
PENERAPAN ARSITEKTUR VERNAKULAR SUKU BADUY TERHADAP
ARSITEKTUR MODERN SEBAGAI IDENTITAS RUMAH WISATA

DIKERJAKAN :
RISMA IKA SARI, 16. A1.0156
DOSEN KELAS :
Ir. YULITA TITIK S, M.T

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
TAHUN 2017

PENGANTAR

Pada tugas Ujian Akhir Semester ini, saya akan membahas topik mengenai
penerapan arsitektur vernakular Suku Baduy yang berada di provinsi Banten dengan rumah
adatnya Sulah Nyanda terhadap arsitektur modern sebagai identitas rumah wisata
(homestay) di daerah Tanjung Lesung, Banten.

Pariwisata merupakan salah satu pendapatan devisa di dalam perekonomian
Indonesia, sehingga perlu diimbangi dengan fasilitas umum, aksesbilitas, identitas arsitektur
dan keunikan budaya daerahnya, Seiring perkembangan arsitektur secara global, membuat
arsitektur lokal menjadi pudar dengan munculnya arsitektur gaya moderntourisme.
Saat ini perkembangan homestay di daerah banyak yang tidak memiliki unsur
arsitektur lokal atau identitas budaya setempat, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan
kelokalan yang sangat penting, mulai dari adat, seni, budaya sampai arsitekturnya, sehingga
semakin memperkuat karakter budaya dari destinasi wisata.
Dalam hal ini, saya mengambil contoh sektor pariwisata pantai Tanjung Lesung yang
terletak di ujung barat Pulau Jawa, tepatnya di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Panimbang,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang akan diterapkan identitas budaya setempat
dengan mengangkat Rumah Adat Sulah Nyanda sebagai ide pembuatan rumah wisata
(homestay) di sekitaran Pantai Tanjung Lesung.

Semarang, 13 Desember 2017

RISMA IKA SARI
16.A1.0156

ANALISIS


Lokalitas, hemat energi dan income merupakan satu kesatuan dalam
pertimbangan Pendekatan Arsitektur Rumah Baduy Sebagai Identitas Rumah
Wisata (Home Stay) Di Tanjung Lesung, Banten.
Berkaitan dengan bangunan rumah tradisional, ada yang khas dari daerah
Baduy, yakni bambu. Ada pameo mengatakan ‘dimana ada bambu, di situ ada
masyarakat tradisional’ (Erwinantu, 2010: 57). Umumnya habitat manusia yang
pernah ada di dunia dari dulu hingga sekarang dikaitkan dengan keberadaan
sungai atau sumber air.
Manusia akan membangun permuki-mannya di dekat aliran sungai atau mata
air. Masyarakat Baduy mengambil kombinasi antara kedua hal tersebut, yakni
membuat perumahan di dekat sungai atau mata air dan rumpun bambu.Ada
alasan kuat mengapa masyarakat Baduy memilih tumbuhan bambu sebagai
“teman hidup”nya. Bambu dengan segala kelebihannya dimanfaatkan sebagai
bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidupnya.
Masyarakat Baduy dapat digambarkan dalam skema/diagram berikut :
Ekonom
(Profitable)

Kearifan

(Lokal

Sosial
(Harmoni

Ekologi
(Lestari)

Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam upaya konservasi dan pelestarian
lingkungan akan mencakup tiga unsur, yaitu sosial (harmonis), ekonomi
(profitable), dan ekologi (lestari). Ketiga aspek dalam pengelolaan dan

pelestarian lingkungan yang
kesalinghubungan satu sama lain.

berkelanjutan

tersebut

menunjukkan


Kearifan berperan dalam upaya menjaga ketiga fungsi dari keberlanjutan
tersebut. Kearifan lokal berupa pengetahuan, keyakinan, pemahaman,
wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia
dalam kehidupan sangat terkait dengan kondisi wilayah dan komunitas yang
diwariskan secara turun temurun, sehingga bentuk kearifan lokal dapat dilihat
melalui pendekatan kultural, yang terdiri dari pengetahuan lokal, budaya lokal,
keterampilan lokal, sumber lokal, dan proses sosial lokal.

Bahan bangunan lokal yang digunakan pada
arsitektur tradisional baduy adalah bambu,
kayu, batu, daun dll yang tersedia dialam
sekitar.

Ciri khas rumah baduy. Sosoro terletak paling
muka dan berfungsi untuk penerima tamu. Tepas
yang berfungsi untuk ruang yang lebih privat
merupakan tempat ruang keluarga dan tepas yang
berfungsi sangat privat merupakan ruang tempat
segala aktivitas keluarga berlangsung. Imah

diibaratkan sebagai rumah di dalam bangunan
rumah besar dengan seluruh aktivitas berlangsung
kecuali menerima tamu.

Aktifitas masyarakat setempat di
Tanjung Lesung adalah Pengrajin
Tenun, Nelayan dan Petani.
Dari
segi
penghawaan
dan
pencahayaan rumah panggung perlu
inovasi baru terkait pengaplikasian desain, terkait juga pada penghuni yang

akan menginap di rumah wisata
ini memiliki kebiasaan yang
berbeda dari masyarakat baduy
pada
umumnya.
Sehingga

diperlukan jendela kaca dan
ventilasi alami dan bukaan yang
besar.

Pada pembagian ruang,
terkait batasan luasan pada
bangunan hanya 36m2.
Maka diperlukan efisiensi
luasan
ruang,
dengan
pemanfaatan jenis furniture
yang fleksibel sehingga
ruang menjadi optimal.

Penggunaan jenis furniture yang fleksibel seperti
gambar diatas: kursi yang dibawahnya terdapat
laci /penyimpanan, meja multifungsi bisa menjadi
meja makan maupun meja warung untuk display
dagangan, tabulampot sebagai peredam panas

matahari dan juga menjadi media tanam obat obatan
dan rempah2, kasur dengan 2 bed sebagai ruang sewa
yang bisa digunakan mix room/kamar bersamaan.

Tampak selatan merupakan
pintu masuk utama dengan
bukaan lebar ke utara
sehingga
menciptakan
ruangan luas yang dapat
digunakan menjadi teras
rumah,
sedangkan
jika
jendelanya merupakan satu
kesatuan dengan meja warung/meja makan.
Tampak utara merupakan
tampak samping belakang,
terdapat bukaan besar di
ruang

keluarga
dengan
bukaan besar pula di tampak
selatannya yang menciptakan sirkulasi udara maupun
pencahayaan yang optimal, sedangkan jendelanya merupakan jendela dari
kamar penghuni dan kamara sewa, untuk loteng dibuat ventilasi depan
belakang sebagai pengontrol penghawaan saat jendela ditutup.
Tampak barat dan timur merupakan bagian samping
bangunan, karena posisinya yang berhadapan
langsung dengan matahari, maka diperlukan peredam
panas yang berupa tabulampot disisi barat, untuk sisi
timur
yang berhadapan dengan matahari pagi
langsung sudah ditahan dengan dinding kamar
mandi dan dapur kering/dapurkayu.
Untuk menjaga kelokalan dan kearifan arsitektur
tradisional baduy, maka facade bangunan tidak banyak perubahan seperti tetap menggunakan atap khas
baduy plana dengan tekukan, lantai panggung dan menggunakan material
lokal.


Dapur bersih yang digunakan untuk warung dan meja makan yang dapat
digunakan sebagai meja display dagangan, sehingga penyewa dapat memasak
langsung di dalam dan makan dimeja makan.
Ruang sewa dengan 2 bedroom
bertujuan agar penyewa ruangan/
kamar bisa disewa oleh 2 orang yang
berbeda/bukan
sekelompoknya,
sehingga penyewa memiliki tempat
tidur dan lemari masing-masing
meskipun dalam satu kamar sewa.

Bangunan panggung dengan ventilasi
alami
diatasnya
memperlihatkan
kearifan lokal dengan tidak merusak
alam, terdapat talang air hujan pada
sisi depan dan belakang bangunan
bertujuan untuk menampung air hujan

ke groundtank agar tidak terbuang dan
dapat dimanfaatkan kembali saat
kemarau. Bangunan ini berbahan
material lokal yang dapat dikerjakan
sendiri oleh masyarakat setempat “gotong royong” .

Ruang keluarga yang berfungsi
sebagai ruang keluarga, acara
adat ataupun dapat digunakan
sebagai ruang berinteraksi antara
penyewa terhadap penghuni
rumah. Furniture dengan simulasi
sofa bed yang dapat dijadikan
tempat tidur sementara dan singel sofa yang bagian bawahnya dapat dijadikan
penyimpanan seperti buku dll. Untuk langit-langit ruang keluarga dibuat
pendek agar diatasnya dapat dijadikan kamar sewa/kamar anak ataupun gudang
penyimpanan pemilik rumah.
Aktifitas
pengunjung
dapat

dijadikan income kepada pemilik
rumah
dengan
meneydiakan
keperluan seperti, penyewaan alat
snorkling
,
penyewaan
alat
pancing , penyewaan kapal,
pemandu wisata, kerajinan tenun,
kios/warung,dan peginapan.

Kesimpulan

Artikel ini dibuat untuk memperlajari upaya untuk pelestarian rumah
tradisional baduy sebagai arsitektur yang memiliki identitas, Ecotourisme ,
yang dapat digunakan baik bagi pemilik maupun penyewa kamar, sehingga
penerapan pada rumah wisata dengan ciri khas rumah tradisional baduy yang
khas akan kearifan alam bisa berjalan dengan baik dan mendapat perhatian luas
khususnya bangsa indonesia sendiri yang kaya akan budaya. Dengan demikian,
didalam usaha mengembangkan 10 destinasi wisata prioritas Indonesia,
keterlibatan dan peran serta masyarakat menjadi hal yang sangat penting untuk
diwujudkan sehingga masyarakat dapat menjadi “Tuan rumah di negerinya
sendiri”.

DAFTAR PUSTAKA
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016