ANALISIS KESESUAIAN TEORI RELATIVITAS UM

ANALISIS KESESUAIAN TEORI RELATIVITAS UMUM EINSTEIN DALAM
PERISTIWA ISRAK MIKRAJ DENGAN MELAKUKAN PENDEKATAN
KESESUAIAN ANTARA AL-QURAN DAN SAINS
Khaira Riska Ana
Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas KIP, Universitas Syiah Kuala
Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
Khairariskaana17@gmail.com

Abstrak
Peristiwa Israk Mikraj merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang termaktub di dalam Al-Qur’an
Surat al-Isra ayat 1 dan Surat an-Najm ayat 13-18. Peristiwa Israk Mikraj tidak dapat diuji dengan
metode eksperimen. Metode yang tepat untuk menganalisis kebenaran peristiwa masa lampau adalah
metode historis dengan pendekatan kesesuaian antara al-Qur’an dan Teori yang ada. Dari hasil analisa
dua arah tersebut peneliti mendapatkan adanya kesesuaian antara peristiwa Israk Mikraj dengan Teori
Relativitas Umum Einstein.
Kata kunci : Israk Mikraj, Teori relativitas Umum. Metode Historis.

Abstact
Isra' and Mi'raj event is a historic event which is enshrined in the Qur'an Surat al-Isra verse 1 and
Surat an-Najm verses 13-18. Isra' and Mi'raj event can not be tested by experiment. The exact method
for analyzing the truth of past events is the historical method with the approach of the fit between the

Qur'an and the existing theory. From the analysis, the researchers get a two-way compatibility
between the events of Isra' and Mi'raj with Einstein's Theory of General Relativity.
Keywords: Isra' and Mi'raj, Theory of General Relativity. Historical method.

PENDAHULUAN
Penelitian ilmiah adalah keajaiban di abad ke-20. Pasalnya metode ilmiah kini telah
menjadi syarat terujinya sebuah kebenaran. Akibatnya seluruh ilmu pengetahuan harus teruji
secara ilmiah untuk kemudian dapat diterima oleh khalayak. Menurut perspektif sains barat,
segala yang tidak dapat teruji kebenarannya secara ilmiah maka ditolak karena dianggap tidak
memenuhi unsur ilmu pengetahuan. Akan tetapi mereka juga tidak dapat memungkiri bahwa
ada suatu kekuatan besar yang tidak dapat diuji dengan ilmu pengetahuan manapun kecuali
dengan kitab-kitab ajaran agama yang teruji keotentikannya. Albert Einstein di akhir hidupnya
pernah mengatakan, “Ilmu Pengetahuan tanpa agama pincang. Agama tanpa ilmu
pengetahuan buta.” Hal ini menunjukkan bahwasanya di akhir hayatnya, ilmuan fisika
moderen ini mulai menyadari bahwa ada suatu kekuatan besar yang mengatur alam semesta
ini.
Islam adalah agama yang membenarkan penelitian dengan metode ilmiah. Allah
berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 260 yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
berkata, “Ya Tuhanku, Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang
mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab “Aku

Percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia Allah berfirman “Kalau begitu ambillah
empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit

satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan
segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini beliau menuturkan bahwa :“Ibrahim ingin agar
pengetahuannya yang berdasarkan keyakinan itu menjadi meningkat kepada pengetahuan
yang bersifat 'ainul yaqin dan ingin menyaksikan hal tersebut dengan mata kepalanya
sendiri.” Hal ini adalah salah satu bentuk penelitian ilmiah yang dilakukan oleh nabi Ibrahim
untuk meningkatkan keimanannya. Jadi meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang
islam adalah penting untuk memperkuat keimanannya.
Dalam debat yang berjudul “Debat Kristologi Al-Qur’an dan Injil; Mengupas Ilmu
Pengetahuan” dr Zakir Naik memaparkan bahwa Dr William Campbell dalam tulisannya
tentang jawaban atas buku Dr. Maurice Bucaille yang berjudul “The Qur’an and The Bible In
The Light of History and Science” dia mengatakan bahwa terdapat dua jenis pendekatan yang
bisa digunakan untuk menguji keotentikan sebuah kitab suci. Yang pertama adalah pendekatan
kesesuaian atau Concordist Approach yang berarti seseorang mencoba mencari kesesuaian
antara kitab suci dan ilmu pengetahuan, dan yang kedua adalah pendekatan konflik atau
Conflict Approach yang artinya seseorang mencoba mempertentangkan antara kitab suci dan
ilmu pengetahuan.

Concordist Approach atau pendekatan kesesuaian merupakan salah satu bentuk
pendektan ilmiah yang dapat digunakan untuk menguji keotentikan sebuah kitab suci. Kisah
nabi ibrahim diatas adalah salah satu bentuk penelitian ilmiah dengan pendekatan kesesuaian.
Pendekatan kesesuaian biasanya digunakan oleh para peneliti yang memang pro dengan kitab
suci yang ingin diteliti. Sedangkan pendekatan konflik biasanya digunakan oleh para peneliti
yang masih kontra dengan kitab suci tersebut.
Banyak tanda-tanda yang terpendam di dalam Al-qur’an mengenai ilmu sains. Salah
satu topik ilmu yang saat ini sedang ramai dibicarakan adalah mengenai peristiwa israk
mikraj. Menurut Rachmat (1996:66), “Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan
arah horizontal, yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Mejid al Aqsa di
Yerussalem yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan
dalam satu malam.” Sedangkan Mi’raj menurut Ibnu Manzur berarti “al-Tariq al Lazi tas’udu
fihi al Syai” yang artinya jalan yang digunakan padanya oleh sesuatu untuk naik. Lebih
jelasnya Al-Alusi al-Baghdadi menjelaskan “Israk adalah dinaikkannya Nabi Muhammad
SAW dari Masjid al-Aqhsa menuju langit untuk melihat keajaiban besar.”
Ada banyak pendapat mengenai peristiwa Israk Mikraj. Menurut Dedi Heryana
(2012), “Pendapat pertama mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ Mi’raj
dalam mimpi dan mimpinya itu adalah mimpi yang benar nyata bukan hanya sekedar mimpi
biasa. Pendapat kedua mengatakan bahwa Rasulullah Isra’ Mi’raj hanya ruhnya saja,
sedangkan tubuhnya tidak ikut bersama beliau. Pendapat ketiga mengatakan perjalanan

tersebut dengan tubuh dan ruhnya.”
Kejadian israk mikraj hanya terjadi sekali saja sehingga tidak dapat lagi dicoba dan
dipraktikkan oleh siapapun. Oleh karena itu, metode eksperimen tidak dapat digunakan untuk
membuktikan peristiwa tersebut. Sehingga satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa
kejadian tersebut benar adanya adalah dengan menyesuaikan peristiwa tersebut dengan
hukum atau teori-teori sains yang sudah ada.
Lelya Hilda dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Peristiwa Israk Mikraj
dengan Teori Relativitas Einstein” menyatakan bahwa, “Teori Relativitas dapat membuktikan
kebenaran kejadian Israk Mikraj”. Mengenai teori relativitas ini Agus Purwanto di dalam
artikel yang berjudul “Teori Kecepatan Cahaya dan Terapi Kejiwaan” mengatakan,
“Diperlukan pendekatan dengan teori lain yang lebih memadai. Hal ini mengarahkan pada
kesimpulan bahwa peristiwa tersebut hanya bisa didekati dengan konsep ruang dan waktu
ekstra sebagaimana teori ruang-waktu melengkung Albert Einstein.” Teori ruang-waktu

melengkung ini merupakan teori relativitas umum yang dipublikasikan oleh Albert Einstein
pada tahun 1916.
Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk meneliti Apakah peristiwa
Israk Mikraj sesuai dengan Teori Relativitas Umum Einstein jika ditinjau dengan
menggunakan pendekatan kesesuaian antara Al-Qur’an dan Sains.
AlQur’an dan Sains

Menurut Ali ash-Shabuni dalam Syarbini (2012:3), “Al-Qur’an merupakan firman
Allah SWT yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
khatamul anbiya (penutup para Nabi), melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihissalam dan
ditulis pada mushaf (lembaran-lembaran). Kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawattir dan membaca serta mempelajarinya merupakan sebuah amal ibadah yang dimulai
dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas.” Adapun mengenai makna sains, Conant
(dalam Usman, 2006:1) mendefinisikan makna sains sebagai “Suatu deretan konsep serta
skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan tumbuh sebagai hasil eksperimentasi
dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasikan lebih lanjut.”
Israk Mikraj
Di dalam buku yang berjudul Ensiklopesi Al-Qur’an Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya
(2002:1) disebutkan bahwa, “Kata-kata Isra’ dan Mi’raj yakni dua kata dalam bahasa Arab
yang masing-masing mempunyai arti sebagai berikut : Isra’ (‫ = اسراء‬berjalan malam) adalah
bentuk masdar dari kata asraa yusrii (‫ ) اسرى – يسري‬yang secara etimologis berarti ‘berjalan
pada malam hari’, atau ‘membawa berjalan pada waktu malam’. Kata asraa sendiri adalah
maziid bi harf (‫ )مزيد بحرف‬kata kerja yang sudah mengalami penambahan satu huruf, yaitu
alif. Dengan demikian, asraa berasal dari saraa yasrii saryan wa sirayatan (‫سرى يسري سريا و‬
‫) سراية‬. Adapun pengertian Mi’raj adalah kata benda tunggal yang berarti al-Sullam wa alMas’ad (‫ = السلم و المصعد‬tangga dan alat untuk naik). Secara bahasa, menurut Ibnu Faris, kata
yang terdiri dari huruf ‘ain (‫) ع‬, ra (‫) ر‬, dan jim ( ‫ ) ج‬menunjukkan tiga arti : pertama, mail (
‫ = ميل‬condong dan miring), seperti kata al-A’raj (‫ )العرج‬yang terdapat di dalam QS. Al-Nur

(24): 61. Kedua, ia juga bisa menunjukkan kepada al-‘A’dad (‫ = العدد‬bilangan). Dan ketiga, ia
berarti al-Irtiqa’ wa al-Irtifa’ ilaa al-Sama’ yang berarti meningkat naik dan naik ke atas
langit.”
Secara istilah Rachmat Taufik Hidayat (1996:66) menjelaskan bahwa, “Isra’ adalah
perjalanan Nabi SAW dengan arah horizontal, yakni dari masjid al-Haram di Mekkah sampai
ke Mesjid al-Aqsha di Yerussalem yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari.
Perjalanan tersebut dilakukan dalam satu malam”. Mengenai Mikraj, para ulama menjelaskan
bahwa Mikraj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari masjid al-Aqsha menuju
langit untuk melihat keajaiban besar dan bertemu dengan para Nabi dan kemudian berhenti di
Sidratul Muntaha. Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan
shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa peristiwa ini terjadi
pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW Hijrah ke Madinah. Di dalam Buku
Ensiklopedia Islam Indonesia (1992:456) dijelaskan bahwa, “Berdasarkan keterangan hadis
Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani
oleh malaikat Jibril dan memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).
Ayat-ayat mengenai Israk Mikraj telah dijelaskan di dalam tafsir al-Misbah karangan
M. Quraish Shihab sebagaimana diuraikan berikut:
1) Tafsir al-Qur’an Surat al-Isra ayat 1
Di dalam al-Qur’an Surah al-Isra ayat 1 disebutkan:


     
    





      
Yang artinya : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Di dalam tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab (2002 :397 Vol 7) dikatakan
bahwa “Ayat pertama ini menyatakan : Maha Suci dengan kesucian yang Maha Sempurna,
Allah yang telah mengisra’kan, yaitu memperjalankan pada waktu malam hamba-Nya, yakni
Nabi Muhammad SAW. Pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram yang berada di Mekah
ke al-Masjid al-Aqsha, yakni tempat sujud terjauh ketika itu di daerah Palestina yang telah
Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya dalam perjalanan malam itu
dengan mata kepala atau mata hatinya sebagian dari ayat-ayat Kami, yakni tanda-tanda
kebesaran dan kekuasaan Kami. Sesungguhnya Dia, yakni Allah SWT. Yang mengisra’kan itu

adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Diagnosa perkata pada ayat 1 surah al-Isra diuraikan oleh Quraish Shihab (397-405)
sebagai berikut:
Kata (‫ ) أسرى‬asra serupa dengan kata (‫ ) سرى‬sara, yakni perjalanan malam. Kedua
kata tersebut tidak membutuhkan objek atau dalam istilah tata bahasa ia adalah
lazim/intransitive. Huruf (‫ )ب‬ba’ pada kata (‫ )بعبده‬bi’ibadihi, yang bila diterjemahkan secara
harfiah adalah dengan hamba-Nya, huruh ba’ itulah yang menjadikan kata tersebut transitive,
yakni membutuhkan objek. Dengan demikian penggalan ayat tersebut mengandung makna
bahwa perjalanan malam yang diimaksud dilakukan oleh satu pihak dalam hal ini subjek,
yakni Allah SWT. Terhadap satu objek, yakni hamba-Nya dalam hal ini adalah Nabi
Muhammad SAW.
Kata (‫‘ )عبده‬abdihi, biasanya diterjemahkan hamba-Nya. Ketika menjelaskan ayat ke
lima surah al-Fatihah, penulis antara lain menyatakan bahwa dalam kamus-kamus bahasa,
kata (‫‘ )عبد‬abd mempunyai sekian banyak arti. Ia dapat menggambarkan “kekokohan” tapi
juga “kelemahlembutan”. ‘Abd dapat berarti “hamba sahaya”, “anak panah yang pendek dan
lebar” (makna ini menggambarkan kekokohan). Juga dapat berarti “tumbuhan yang memiliki
aroma harum”(ini menggambarkan kelemah lembutan). Apabila seseorang menjadi ‘abd/abdi
sesuatu maka ketiga arti diatas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.
Dalam ayat diatas, terdapat beberapa kali pengalihan redaksi dari persona ketiga pada
kata-kata ( ‫ ) سبحا ن الذي‬Subhana alladzi/ Maha Suci Dia dan pada kata ( ‫‘ ) عبده‬abdihi/

hamba-Nya, selanjutnya ke persona pertama yaitu ( ‫ ) الذي با ر كنا‬alladzi barakna/ yang telah
Kami berkahi dan (‫ ) لنريه‬linuriyahu/ agar Kami perlihatkan kepadanya, yang apbila tanpa
pengalihan akan dikatakan yang telah Dia berkahi dan agar Dia perlihatkan kepadanya.
Setelah pengalihan itu redaksi ayat diatas beralih lagi ke persona ketiga yaitu (‫ ) اننه‬innahu/
sesungguhnya Dia. Pengalihan-pengalihan tersebut bertujuan menekankan bahwa peristiwa
isra’ benar-benar bersumber dari Allah yang Maha Agung dan terjadi di hadirat Ilahi serta
diliputi oleh kesucian dan keagungannya.
2) Tafsir al-Qur’an Surat an-Najm ayat 13-18
Di dalam al-Qur’an Surah an-Najm ayat 13-18 disebutkan:

      
 
  

       
       
   
Yang artinya : “(13) Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain; (14) (yaitu) di Sidratil Muntaha; (15) di dekatnya
ada syurga tempat tinggal; (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi

oleh sesuatu yang meliputinya; (17) penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya; (18) Sesungguhnya Dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Di dalam tafsir al-Misbah (2002 : 414 Vol 13) Quraish Shihab mengungkapkan bahwa
“Dan Allah bersumpah bahwa sesungguhnya dia yakni Nabi Muhammad SAW telah
melihatnya yakni malaikat Jibril itu dalam keadaan yang lebih hebat dari apa yang dilihatnya
pertama kali, dia melihat Jibril dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain, dan di alam
yang jauh lebih hebat dari alam semula yaitu di sidrat al-Muntaha”.
Dijelaskan di dalamnya bahwa makna kata (‫ ) يرى‬yara/ lihat berbentuk kata kerja masa
kini dan datang, padahal yang dilihat Nabi SAW itu adalah sesuatu yang berlalu pada masa
turunya ayat ini. Hal tersebut sengaja demikian, guna menghadirkan peristiwa dan keindahan
apa yang beliau lihat itu ke benak mitra bicara, seakan-akan ia sedang terjadi.
Sidrat al-Muntaha merupakan kata majemuk. Dari segi bahasa kata (‫ ) سدرة‬sidrah
adalah sejenis pohon yang rindang. Pohon ini memiliki tiga keistimewaan utama, yaitu
rindang, lezat dan beraroma harum. Sementara ulama menerjemahkannya –secara harfiahdengan pohon bidara, sedang kata ( ‫ ) المنتهى‬al-muntaha berarti tempat terakhir. Tidak jelas
apa yang dimaksud dengan tempat itu. Beberapa riwayat menyatakan bahwa ia berada di
langit ketujuh. Disanalah terdapat surga al-Ma’wa yang tentunya tidak dapat terjangkau oleh
nalar manusia, dan di sana juga berakhir pengetahuan makhluk. Al-Biqa’i menukil satu
riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda : “Sungguh aku tidak mengetahui
apakah ia (Sidrat al-Muntaha itu). Tidak satu hamba Allah pun yang mampu melukiskannya.”

Di dalam penelitian yang berjudul “Curtural Paradigms and Muslim Behavior: a
Critical analyses of non-Islamic Festival in Pakistan” Dr Raja Irfan Sabir, dkk menyatakan
bahwa “Our finding shows some festivals that are not synchronize of Islam but still celebrate
in Pakistan.” Yang artinya masih banyak acara yang tidak sesuai dengan Islam namun masih
tetap dirayakan di Pakistan. Lebih lanjut si peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya
agar dapat menyelidiki apa faktor yang menyebabkan perayaan non-Islamic lebih banyak
dirayakan dibandingkan perayaan yang islami.
Berkaitan dengan saran tersebut, Ramadhanita Mustika sari dalam Artikel yang
berjudul “Ambivalensi Integrasi Ilmu Agama dan Sains: Studi Transformasi Konflik dan
Konsesus Pengaruh Ilmu Agama terhadap Perkembangan IPTEK di Zaman Modern”
menyimpulkan bahwa, “Dari penjelasan dalam makalah ini, bisa diambil kesimpulan bahwa
“usaha mengintegrasikan ilmu agama dan sains dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain
sejauh mana peran dan kerjasama antara ulama dan ilmuwan, dalam mengarahkan ilmu agama
agar berpengaruh positif dalam perkembangan IPTEK.”
Di dalam penelitian lain yang berjudul ”Peristiwa Isra Mi’raj Mempengaruhi
Lahirnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” Arsyad Said menyimpulkan bahwa, “Oleh
karena ia adalah peristiwa ilahi maka pendekatan imanilah yang paling cocok digunakan
terhadapnya dengan menggunakan fakta-fakta Al-Qur’an dan Hadist sebagai dasarnya.
Peristiwa Isra Mi’raj boleh dikatakan mengilhami para ahli fikir Islam, sehingga lahirlah ahli
pengetahuan dan teknologi”.
Pada awalnya di dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Peristiwa Israk Mikraj
dengan Teori Relativitas Einstein” Lelya Hilda menyatakan bahwa, “Teori Relativitas dapat
membuktikan kebenaran kejadian Israk Mikraj”. Di sisi lain, Agus Purwanto di dalam artikel

yang berjudul “Teori Kecepatan Cahaya dan Terapi Kejiwaan” mengatakan, “Kalau
seumpama mi’raj Nabi dari Palestina menuju langit dan kembali ke bumi dilakukan mulai jam
delapan malam sampai dengan jam empat pagi, tutur pakar fisika teori dari ITS Surabaya ini,
itu berarti hanya berdurasi delapan jam. Sehingga kalau dikalikan dengan kecepatan cahaya
300.000 km per detik, akan dihasilkan jarak tempuh sejauh 4.320.000.000 (empat milyar tiga
ratus dua puluh juta) kilometer dari bumi. “Berarti perjalanan ini baru mencapai planet
Neptunus, planet terluar dari sistem tata surya kita,” terangnya.” Lebih lanjut Agus purwanto
mengatakan “Diperlukan pendekatan dengan teori lain yang lebih memadai. Hal ini
mengarahkan pada kesimpulan bahwa peristiwa tersebut hanya bisa didekati dengan konsep
ruang dan waktu ekstra sebagaimana teori ruang-waktu melengkung Albert Einstein.”
Mengenai Teori Relativitas Umum Einstein yang dikeluarkn pada tahun 1916 ini Urai
Astri Lidya Ningsih, dkk menggunakannya untuk meneliti tentang “Analisis Lintasan Foton
dalam Ruang-Waktu Schwarzschild” dan menyimpulkan bahwa “Berdasarkan solusi
persamaan lintasan foton tersebut ditunjukkan bahwa cahaya bintang yang lewat dekat
matahari mengalami pembelokan dengan sudut sebesar 1,75". Pembelokan ini bergantung
pada massa bintang dan jarak, semakin besar massa bintang maka semakin besar pula sudut
deviasi yang terbentuk sebaliknya semakin besar nilai jarak maka semakin kecil sudut deviasi
yang terbentuk”.
Teori Relativitas Umum Einstein
Telah diketahui bahwa Teori relativitas adalah sumbangan terbesar albert einstein
dalam dunia Fisika. Sebagai mana dijelaskan oleh Rinto (2011:1), “Teori relativitas
merupakan salah satu tulang punggung fisika modern. Sumbangannya terutama dalam bentuk
penataan dan pelurusan konsep-konsep dasar dalam fisika, khususnya yang berkaitan dengan
ruang-waktu, momentum energi sebagai aspek kinematika semua gejala alam, yang
selanjutnya mengangkat cahaya sebagai pembawa isyarat berkelajuan maksimum”.
Mengenai kelajuan cahaya, Arthur (1987 : 26 ) mengatakan bahwa, “Kelajuan cahaya
c dalam relativitas selalu menyatakan harga besaran itu dalam ruang hampa yaitu 3,00 x 10 8
m/detik. Dalam semua media material, seperti udara, air, atau gelas, cahaya merambat lebih
perlahan dari itu, dan partikel atomik dapat lebih cepat dalam media semacam itu daripada
cahaya. Bila partikel bermuatan bergerak melalui bahan dengan kelajuan melebihi cahaya
dalam bahan itu, sekerucut gelombang cahaya dipancarkannya yang serupa dengan busur
gelombang yang ditimbulkan oleh kapal yang melintasi air dengan kelajuan lebih cepat dari
gelombang air. Gelombang cahaya serupa itu dikenal sebagai radiasi Cerenkov dan dapat
dipakai sebagai dasar dari suatu metode untuk menentukan kelajuan partikel seperti itu.”
a. Partikel tak bermasa
Partikel akan memiliki massa diam nol hanya bila partiel itu bergerak dengan kelajuan
cahaya. Adakah partikel tak bermassa? Tepatnya, adakah partikel yang massa-diamnya tidak
ada, namun menunjukkan sifat seperti partikel misalya energi dan momentum? Dalam
mekanika klasik, suatu partikel harus mempunyai massa-diam supaya bisa memiliki energi
dan momentum, tetapi dalam mekanika relativistik persyaratan seperti itu tak berlaku.
Marilah kita periksa apa yang bisa kita pelajari dari rumusan relativistik untuk energi
total dan momentum linear.
m0 c 2
E=
Energi total
√ 1−v 2 /c2
m0 v
P=
2
Momentum relativistik
v
1− 2
c



Jika m0 = 0, dan v < c , jelaslah bahwa E = P = 0. Sebuah partikel tak bermassa dengan
kelajuan cahaya tak dapat memiliki energi atau momentum. Namun, jika m0 = 0, dan
0
v =c , E=0/0 dan P= , hailnya taktentu : E dan P dapat memiliki harga berapa
0
saja. Jadi pesamaan 25 dan persamaan 11 konsisten dengan eksistensi partikel tak bermassa
yang memiliki energi dan momentum asal saja partikel itu bergerak dengan kelajuan cahaya.
Masih ada pembatasan lain pada partikel tak bermassa. Dari persamaan:
2 4
m c
[1]
E2= 0 2 2
1−v /c
Dan dari persamaan,
m 2 v2
[2]
P2= 0 2 2
1−v /c
m 02 v 2 c 2
2 2
P c=
[3]
1−v 2 / c 2
Dengan mengurangi P2 c2 dengan E2 menghasilkan
m02 c 4 −m 02 v 2 c 2
2
2 2
[4]
E −P c =
1−v 2 /c 2
2 4
2
2
m c (1−v /c )
¿ 0
[5]
2
2
1−v /c
2
2 4
2 2
[6]
E =m0 c + P c
2 4
2 2
[7]
E= √ m0 c + P c
Menurut rumusan itu, bila ada partikel dengan m0=0 , maka huubungan antar energi dan
momentumnya harus diberikan dengan
E=Pc
[8]
Semua rumusan itu tidak berarti bahwa partikel tak bermssa harus ada, tetapi rumusan itu
tidak melarang kemungkinan adanya partikel seperti itu, asal saja v =c dan E=Pc .
Nyatanya, ada dua jenis partikel takbermassa yang telah ditemukan -foton dan neutron- dan
perilaku itu tidak menyimpang dari yang diharapkan.
b. Konsep dasar teori Relativitas umum
Menurut Krane (1992 : 639), Perbedaan utama antara relativitas khusus dan umum
adalah bahwa relativitas khusus hanyalah berurusan dengan ruang-waktu “datar”, sedangkan
relativitas umum dengan ruang-waktu “lengkung” (Karena itu dinamakan demikianrelativitas khusus adalah kasus khusus relativitas umum). Untuk menggambarkan sebuah
sistem koordinat lengkung kita memerlukan lagi tambahan satu dimensi. Jadi untuk
menggambarkan suatu ruang-waktu lengkung berdimensi empat, kita memerlukan ruang
berdimensi lima ! karena “Penggambaran” ini berada di luar visualisasi kita, haruslah kita
merasa puas dengan beberapa contoh dari dimensi rendah yang dapat kita gambarkan dengan
mudah.
Berikut gambar pengilustrasian pelengkungan berkas cahaya pada sebuah roket.

Gambar 1. (a) Bila roketnya diam, bekas cahaya melintas secara horisontal. (b) Bila dilihat dari
roket, gerak dengan laju tetap menyebabkan berkas menyimpang dari arah horisontal. (c)
berkas tampak melintasi suatu kurva parabola apabila roket mengalami percepatan.

c. Ruang waktu melengkung
Rinto (2011 : 65-66) menjelaskan, ruang tiga dimensi dimana bentuk ds 2 dapat
dikembalikan ke bentuk dx 2+ dy 2+ dz 2 dinamakan ruang datar atau ruang Euclid. Jika tidak
dapat dicari suatu sistem koordinat (x,y,z) yang memenuhi persamaan ds 2=dx 2 +dy 2 +dz 2
maka ruang tersebut dinamakan ruang Reimann.
Bentuk ds 2 untuk ruang datar satu dimensi dan dua dimensi berturut-turut adalah
2
2
2
dx dan dx + dy . Contoh ruang datar untuk dimensi tersebut masing-masing adalah
garis lurus dan bidang datar. Sedangkan contoh ruang lengkung dua dimensi adalah
permukaan parabola, ellipsoida, paraboloida, permukaan sadel kuda dan lain-lain.
Contoh ruang datar empat dimensi (tiga dimensi ruang berkoordinat x,y,z dan satu
dimensi waktu berkoordinat t) dengan invarian kuadrat elemen garis adalah ruang-waktu
melengkung empat dimensi adalah apa yang dinamakan dengan ruang bermetrik
Schwarzschild untuk mana kuadrat elemen garisnya berbentuk
−1
r
r
[9]
ds 2=− 1− s dt 2 + 1− s dr 2 +r 2 (dθ +sin2 θ d ϕ2 )
r
r
Ilustrasi antara ruang datar dan ruang lengkung dua dimensi dapat dilihaat pada
gambar berikut:

( ) ( )

Gambar 2. Ruang datar (kiri) dan ruang legkung dua dimensi (kanan)

Gambar 4. Lintasan Lengkung dalam ruang lengkung

Gambar 3. Lintasan Lengkung dalam
ruang lengkung

Pendekatan Kesesuaian (Concordist Approach)
Concordist Approach atau Pendekatan kesesuaian merupakan salah satu dari dua
pendekatan yang dapat dilakukan dalam menguji keotentikan sebuah kitab suci. Hal ini
dijelaskan oleh Dr William Campbell di dalam tulisannya tentang jawaban atas buku Maurice
Bucaille yang berjudul “The Qur’an and The Bible In The Light of History and Science”
Beliau menuturkan “Terdapat dua jenis pendekatan yang bisa digunakan untuk menguji
keotentikan sebuah kitab suci. Yang pertama adalah pendekatan kesesuaian atau Concordist
Approach yang berarti seseorang mencoba mencari kesesuaian antara kitab suci dan ilmu
pengetahuan, dan yang kedua adalah pendekatan konflik atau Conflict Approach yang artinya
seseorang mencoba mempertentangkan antara kitab suci dan ilmu pengetahuan”
Pendekatan kesesuaian ini dilakukan dengan menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan fenomena-fenomena Sains atau teori-teori dan hukum yang telah berlaku secara
umum. Salah satu Metode penelitian yang sesuai dengan pendekatan kesesuaian adalah
Metode penelitian Historis. Menurut Gilbert J.Carraghan dalam Nur (2001:174), “Metode
penelitian sejarah, atau yang lazim disebut dengan metode sejarah adalah seperangkat aturanaturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah
secara efektif, menilai secara kritis, dan menyajikan sintesa dan hasil-hasil yang dipakai
dalam bentuk tertulis.” Selain itu Gottchalk (1986:2) menjelaskan bahwa, “Metode historis
adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman peninggalan masa lampau.
Termasuk didalamnya metode dalam menggali, memberi penilaian, mengartikan serta
menafsirkan fakta-fakta masa lampau untuk kemudian dianalisis kesimpulan dari peristiwa
tersebut.” Langkah atau sintak metode penelitian historis dijelaskan oleh Ismaun (2005:34)
sebagai berikut:
1. Heuristik, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan
dengan masalah yang akan diangkat oleh peneliti
2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah
3. Interpretasi, yaitu seagai suatu usaha untuk memahami dan mencari
keterhubungan antara fakta-fakta sejarah sehingga menjadi suatu kesatuan yang
utuh dan rasional.
4. Historiografi, yaitu proses penyusunan hasil penelitian yang telah diperolah
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
METODE PENELITIAN
Di dalam penelitian mengenai Analisis Kesesuaian Teori Relativitas Umum Einstein
dalam Peristiwa Israk Mikraj, peneliti menggunakan Metode Penelitian Historis dengan
pendekatan kesesuaian antara kitab suci Al-Qur’an dan sains dan teknik studi literatur sebagai
teknik pengumpulan datanya. Peneliti memilih Metode tersebut karena terdapat kecocokan
antara metode yang dipilih dengan topik “Peristiwa Israk Mikraj” yang merupakan sebuah
kejadian masa lampau dan tidak dapat diulang kembali.
Langkah-langkah penelitian dibagi ke dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan
penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pelaporan penelitian. Ketiganya dijabarkan
sebagai berikut:
Persiapan Penelitian
Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian. Kegiatan persiapan penelitian dimulai dengan penentuan metode dan teknik
pengumpulan data yang akan digunakan selama penelitian. Peneliti memilih Metode

Penelitian Sejarah/Historis, sedangkan pengumpulan datanya adalah teknik studi literatur.
Adapun persiapan yang dilakukan dalam studi literatur ini adalah sebagai berikut:
1) Penentuan dan pengajuan tema penelitian
Tema yang dipilih oleh peneliti adalah mengenai Keotentikan Peristiwa Israk Mikraj
dengan judul “Kesesuaian Teori Relativitas Umum Einstein dalam Peristiwa Israk Mikraj
dengan Melaukan Pendekatan Kesesuaian Antara al-Qur’an dan Sains”. Topik tersebut
diperoleh peneliti setelah membaca literatur berupa jurnal-jurnal yang meneliti topik yang
sama.
2) Penyusunan rancangan penelitian
Langkah selanjutnya peneliti mengajukan judul beserta bukti-bukti empiris mengenai
topik yang diteliti kepada dosen pembimbing yang berwenang mengasuh mata kuliah Seminar
Fisika demi mendapat arahan penulisan makalah penelitian. Adapun hal-hal yang diserahkan
kepada dosen pada saat pengajuan rancangan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Masalah berupa sumber literatur
b. Judul penelitian
c. Latar Belakang berupa penulisan isi bab I
d. Perumusan dan pembatasan Masalah
e. Tujuan Penelitian
f. Jenis Metode yang hendak digunakan
3) Konsultasi
Konsultasi dilakukan dalam seminggu sebanyak satu kali yakni pada setiap hari Selasa
selama 4 minggu. Kegiatan yang dilakukan pada saat Konsultasi berupa pengajuan masalah
dan judul yang hendak diteliti, pengkoreksian sistematika penulisan, perbaikan kesalahankesalahan dalam penulisan dan pengarahan langkah lanjut yang harus dilakukan.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan sesuai dengan sintak atau langkah dari metode peneilitian
historis. Yaitu heuristik atau pengumpulan sumber, kritik atau analisis sumber sejarah,
interpretasi atau penafsiran sejarah dan historiografi atau penyusunan/penulisan hasil
penelitian. Empat kegiatan tersebut diuraikan sebagai berikut
1) Heuristik (pengumpulan sumber)
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah
yang memuat informasi dan berhubungan dengan topik yang dikaji. Sumber sejarah yang
didapat oleh peneliti berbentuk bahan bacaan (literatur). Karena menurut Sjamsudin
(1996:73), “Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung yang
memberitahukan kepada kita tentang suatu kenyataan kepada manusia masa lalu”. Artinya,
sumber bacaan juga merupakan sumber sejarah yang boleh dikaji. Bahan bacaan tersebut
berupa buku-buku, artikel (jurnal) baik yang terdapat di internet maupun yang ada di
perpustakaan terdekat. Sumber bacaan yang diperoleh berupa sumber primer yakni penelitian
terdahulu dan sumber sekunder yakni kutipan-kutipan para pakar dan buku-buku.
Proses pencarian buku dilakukan dengan cara mengunjungi berbagai perpustakaan.
Perpustakaan yang dikunjungi hanyalah yang terdapat di sekitar kota Banda Aceh. Yakni
perpustakan wilayah kota Banda Aceh, perpustakaan Induk Universitas Syiah Kuala,
Perpustakaan UIN ar-Raniry Banda Aceh, dan Perpustakaan FKIP Universitas Syiah Kuala.
Sejauh ini, bahan bacaan yang berhubungan dengan topik Israk Mikraj paling banyak ditemui
di perpustakaan UIN ar-Raniry Banda Aceh. Sedangkan bahan bacaan mengenai Teori
Relativitas Umum Einstein terdapat di hampir semua perpustakaan yang dikunjungi.
Sedangkan proses pencarian jurnal selain dilakukan dengan cara mengunjungi perpustakaan,

peneliti juga menggunakan akses internet yang valid sehingga dapat mengumpulkan jurnal
lebih banyak.
2) Kritik (analisis sumber sejarah)
Peneliti menganalisis sumber sejarah (berupa bahan bacaan) dilakukan secara internal
dan eksternal keduanya diuraikan sebagai berikut:
1. Kritik internal
Pengkritikan internal ini dimulai ketika peneliti membaca sebuah jurnal hasil
penelitian Misbakhudin yang berjudul “Isra’ Mi’raj Sebagai Mukzizat Akal”. Misbakhudin
menyatakan bahwa, “Peristiwa isra’ mi’raj memunculkan banyak teka-teki dari para ulama
dan ilmuan, banyak pula menimbulkan keraguan di kalangan umat islam sendiri mengenai
kevalidannya. Pertanyaan yang muncul berkisar apakah fisiknya dan ruh (Kesadaran)
Muhammad SAW sebagai sebuah Kesatuan ataukah hanya ruhnya saja yang diperjalankan
oleh Allah SWT”.
Peneliti kemudian mencari sumber yang berkaitan dengan Pernyataan Misbakhun
tersebut dan menemukan sebuah pernyataan monumental yang dicetuskan oleh Dr Agus
Purwanto, D.Sc dalam artikel yang berjudul “Isra’ Mi’raj Teori Kecepatan Cahaya dan
Terapi Kejiwaan” yang mengatakan bahwa, “Jika kembali pada Surat al-Isra ayat 1, Tutur
anggota majelis Tarjih PW Muhammadiyah Jawa Timur ini, di sana terdapat kata asraa
(memperjalankan) yang berarti mewakili elemen ruang. Kemudian kata bi’ibadihi (hambaNya) yang berarti elemen materi, serta kata lailan (Pada malam hari) yang mempresentasikan
waktu. Jadi di sini jelas, bahwa perjalanan Nabi itu secara keseluruhan yang melibatkan ruh
dan jasad”.
Peneliti kemudian membandingkan kedua pernyataan tersebut dan menyimpulkan
bahwa: “Jika Rasulullah Muhammad SAW melakukan israk mikraj tidak hanya dengan ruh
tapi juga dengan zasad keseluruhannya maka kejadian tersebut memerlukan sentuhan logika
yang cukup dan perlu didasari dengan teori-teori pendukung untuk dapat diterima oleh semua
kalangan. Bagi umat islam mungkin peristiwa tersebut dapat diterima hanya dengan modal
keimanan yang kuat dan persepsi bahwa semua keajaiban yang terjadi dalam peristiwa
tersebut merupakan kuasa Allah SWT. Namun tidak sama halnya dengan mereka yang non
muslim. Terlebih pada abad ke-20 ini sebuah argumen baru bisa diterima jika sudah terbukti
secara ilmiah terutama sesuatu yang menyentuh nilai-nilai keagamaan.”
Lebih lanjut peneliti membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Lelya Hilda dalam
penelitiannya yang berjudul “Hubungan Peristiwa Israk Mikraj dengan Teori Relativitas
Einstein” menyatakan bahwa, “Teori Relativitas dapat membuktikan kebenaran kejadian Israk
Mikraj”. Mengenai teori relativitas ini Agus Purwanto mengatakan “Diperlukan pendekatan
dengan teori lain yang lebih memadai. Hal ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa peristiwa
tersebut hanya bisa didekati dengan konsep ruang dan waktu ekstra sebagaimana teori ruangwaktu melengkung Albert Einstein.” Teori ruang waktu melengkung terssebut tidak lain
merupakan Teori Relativitas Umum Einstein yang dipublikasikan oleh Einstein pada tahun
1916.
Peneliti juga membaca beberapa tafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bercerita tentang
peristiwa Isra’ Mi’raj. Diantaranya adalah tafsir QS. al-Isra:1, QS. an-Najm :13-18, QS. alIsra:93 dan QS. al-Rahman 33. Ketika ditinjau dari sisi penafsiran klasik maupun penafsiran
kontemporer peneliti tidak menemukan kontradiksi dan malah menemukan kesesuaian pada
tiap-tiap penafsiran. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kejadian israk mikraj adalah
kejadian yang dapat disesuaikan dengan hukum-hukum dan teori sains yang berlaku. Selain
itu, banyaknya penelitian mengenai peristiwa israk mikraj menambah kepercayaan peneliti
bahwa peristiwa israk mikraj dapat dibuktikan secara ilmiah.
2. Kritik eksternal
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti untuk mengkritik sumber bacaan tersebut
adalah memperhatikan tahun terbit sumber bacaan tersebut dan memperhatikan tahun-tahun

penulisan sumber yang original. Hal itu guna mengetahui tulisan tersbut ditulis berdasarkan
kejaian fakta atau hanya argumen belaka.
Misalnya untuk penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan peristiwa israk mikraj.
Peneliti lebih memperhatikan penafsiran klasik karena penafsirannya lebih dekat dengan
Rasulullah dibandingkan dengan penafsiran kontemporer. Akan tetapi untuk menghubungkan
ayat dengan perspektif sains, peneliti juga akan meninjau penafsiran kontemporer karena
penafsirannya lebih menghubungkan dengan akal rasional.
Selain memperhatikan asal-usul penerbitannya, peneliti memperhatikan siapakah yang
menulis sumber tersebut. Apakah integrasinya dalam bidang yang ia tulis? Hal itu dilakukan
untuk mengetahui hubungan penulis dengan tulisannya. Apakah penulis ahli dalam bidang
yang tengah dikajinya atau tidak. Misalnya Dr Agus Purwanto, D.Sc yang pernyataannya
dikutip dalam artikel yang berjudul “Isra’ Mi’raj Teori Kecepatan Cahaya dan Terapi
Kejiwaan”. Ia merupakan salah satu alumnus ITB Bandung dan UGM dengan gelar Doktor
serta menjabat sebagai kepala Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTIFA) di ITS
(Institut Teknologi Semarang). Posisinya tersebut tentu menunjukkan bahwa beliau
berdedikasi di bidang Fisika. Selain itu, beliau juga merupakan Tarjih PW Muhammadiyah
Jawa timur yang tentu memiliki ilmu di bidang keagamaan.
Dengan adanya hubungan antara sumber dengan topik yang hendak diteliti sehingga
dapat ditarik suatu rekontruksi imajinatif yang memuat penjelasan terhadap pokok-pokok
permasalahan penelitian.
3) Interpretasi (penafsiran sumber sejarah)
Dalam tahapan interpretasi ini, peneliti melakukan dua hal, yaitu dengan anelisis dan
sintesis. Tahapan analisis dan sintesis ini diuraikan sebagai berikut:
1. Tahapan Anelisis
Pada tahapan anelisis peneliti menguraikan bahasan yang dikaji di dalam penelitian
ini. Tahapan Anelisis ini disajikan oleh peneliti di dalam bab II. Mulai dari menjelaskan
pengertian-pengertian yang terdapat di dalam kata kunci hingga menguraikan bahasan tiaptiap topiknya.
2. Tahapan Sintesis
Pada tahapan ini peneliti mencoba menyatukan uraian-uraian informasi yang didapat
menjadi suatu kesimpulan. Tahapan Sintesis ini disajikan oleh peneliti di dalam bab IV. Yakni
pada bab Hasil Penelitian.
4) Historiografi (Penyusunan/penulisan Sejarah)
Tahap Historiografi merupakan tahap akhir dari penelitian historis. Pada tahapan ini
peneliti menyajikan penelitiannya dalam bentuk penulisan karya ilmiah. Dalam proses
penulisan, peneliti dituntut untuk menyajikan penelitiannya dengan bahasa yang menarik dan
komunikatif. Teknik penulisaanya didasari atas pendeskripsian, narasi dan analisis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Pembahasan Historis
Rachmat Taufik menjuluki perjalanan israk dengan kata-kata “Perjalanan dengan arah
Horizontal”. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa perjalanan israk tidak dilakukan
secara mendaki. Mekah dan Madinah adalah dua tempat yang memang sejajar dan tidak perlu
melibtkan aktivitas mendaki. Perjalanan dengan arah Horizontal tentu membutuhkan waktu
yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan perjalanan dengan arah vertikal. Jika kita
bandingkan dengan peristiwa mikraj, jarak tempuh peristiwa israk memang jauh lebih singkat.
Kebanyakan orang bahkan langsung bisa membenarkan perjalanan tersebut karena hal
tersebut bukan lagi sesuatu yang tidak dapat dilakukan di jaman sekarang. Yakni menempuh
mekkah dan madinah dalam waktu singkat dengan menggunakan pesawat.

Berbeda dengan perjalanan israk, perjalanan mikraj adalah perjalanan dengan arah
Vertikal. Vertikal artinya tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya. Dalam hal ini
terdapat banyak kekeliruan umum mengenai makna jalur vertikal yang dilalui Oleh Rasulullah
SAW. Seperti hal nya Agus Purwanto di dalam artikel yang berjudul “Teori Kecepatan
Cahaya dan Terapi Kejiwaan” mengatakan “Kalau seumpama mi’raj Nabi dari Palestina
menuju langit dan kembali ke bumi dilakukan mulai jam delapan malam sampai dengan jam
empat pagi, tutur pakar fisika teori dari ITS Surabaya ini, itu berarti hanya berdurasi delapan
jam. Sehingga kalau dikalikan dengan kecepatan cahaya 300.000 km per detik, akan
dihasilkan jarak tempuh sejauh 4.320.000.000 (empat milyar tiga ratus dua puluh juta)
kilometer dari bumi.”
Sekilas kita perhatikan perjalanan menuju planet-planet yang ada di dalam tata surya,
seperti misalnya perjalanan menuju planet Mars adalah perjalanan dengan arah vertikal atau
mendaki. Karena untuk menempuh perjalanan tersebut, sebuah pesawat harus naik untuk
mampu keluar dari atmosfer bumi. Akan tetapi jika kita perhatikan susunannya, planet-planet
tersebut tidaklah vertikal dengan bumi melainkan horizontal. Di dalam sistem tata surya bima
sakti misalnya, planet-planet berotasi terhadap matahari dengan lintasan yang elips dan
horizontal.

Gambar 5. Susunan tata surya : Planet tersusun secara Horizontal

Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “Sidrat al-Muntaha” merupakan tempat
tertinggi (batas akhir sesuatu dinaikkan dari bumi). Jika tempat tertinggi yang dimaksud
berada di belakang Planet Neptunus, maka hal tersebut tidak wajar karena Neptunus sejajar
dengan bumi dan planet lainnya. Sedangkan tempat tertinggi adalah diatas seluruh alam
semesta. Allah menyebutkan di dalam Surat al-Mulk ayat 5 bahwa : “Sesungguhnya Kami
telah menghiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang..” artinya, bintang-bintang yang
tampak dari bumi dan dikabarkan berjarak sekitar lima ribu tahun cahaya dari bumi terletak di
langit terdekat dari bumi. Maka langit ke tujuh berada di atas semua ketinggian itu.
Arah vertikal yang dimaksud adalah arah yang menembus semua objek-objek
horizontal sampai ke tempat tertinggi dan tidak ada lagi yang sejajar dengannya. Dengan kata
lain perrjalanan mikraj adalah perjalanan terjauh dan tertinggi yang pernah dilakukan oleh
manusia sejauh ini.
Hasil pembahasan berdasarkan tafsir
Berdasarkan penafsiran ayat 13 Surat an-Najm Yang artinya : “(13) Dan
Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu
yang lain” dapat disimpulkan bahwa Jibril adalah malaikat yang memiliki wujud. Artinya
Jibril bukanlah seberkas cahaya atau sinar sebagaimana kita fahami sebelumnya melainkan
cahaya yang telah dibentuk menjadi wujud tertentu. Jika kita merujuk kepada sifat cahaya
yakni ketika ia diemisikan ke dalam sebuah bidang, maka sifat gelombangnya menjadikan ia
sampai ke bidang tersebut namun sifat partikelnya menyebabkan ia tetap berada pada posisi

awalnya tanpa mengurangi materinya. Partikel cahaya dinamakan foton. Selama ini foton
dikenal sebagai salah satu partikel dengan massa terkecil setelah Neutron.
Sebagaimana manusia telah diciptakan dari tanah namun tidak berwujud tanah, seperti
itu pula lah Malaikat Jibril yang diciptakan dari cahaya, namun wujudnya boleh jadi bukan
seperti cahaya sebagaimana adanya. Sehingga ketika Muhammad SAW Dibawa oleh Malaikat
Jibril, kecepatannya boleh jadi lebih cepat dari pada kecepatan cahaya. Wujud cahaya
malaikat jibril dapat mengartikan bahwa materi Malaikat Jibril adalah materi yang ringan
bahkan mungkin tak bermassa. Sehingga ia memiliki kemampuan terbang yang jauh lebih
cepat dari pada cahaya.
Di dalam surat al-Ma’arij ayat 4 dikatakan bahwa : “Malaikat dan Jibril naik
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” Yang
artinya, perjalanan tersebut dapat dilakukan oleh Malaikat dalam waktu sehari. Namun kita
baru bisa menempuhnya dalam waktu lima puluh ribu tahun sekalipun dengan kemampuan
terbaik yang telah kita punya.
Hasil Pembahasan Berdasarkan Teori Relativitas Umum
Teori relativitas telah menyatakan bahwa partikel bisa saja bermassa diam nol dan
memiliki energi sebesar E = Pc asalkan partikel tersebut memiliki v = c. Sejauh ini ada dua
partikel tak bermassa yang telah ditemukan yakni foton dan Neutron. Foton adalah partikelpartikel cahaya. Katakanlah bahwa Malaikat Jibril tercipta dari partikel-partikel cahaya itu
maka ia termasuk dalam salah satu materi yang massa diamnya nol.
Terlebih jika malaikat Jibril melaju lebih cepat daripada kecepatan cahaya, maka
seperti yang dikatakan oleh Arthur (1987 : 26 ), “Bila partikel bermuatan bergerak melalui
bahan dengan kelajuan melebihi cahaya dalam bahan itu, sekerucut gelombang cahaya
dipancarkannya yang serupa dengan busur gelombang yang ditimbulkan oleh kapal yang
melintasi air dengan kelajuan lebih cepat dari gelombang air.” Bayangkan saja jika sebuah
kapal melaju dengan kecepatan melebihi kecepatan aliran sungai, maka ia akan menimbulkan
efek gelombang yang sangat besar berupa lengkungan-lengkungan partikel air yang
ditabraknya. Lengkungan partikel-partikel itu mengakibatkan laju kapal semakin cepat.
Begitu pula Ketika suatu partikel bermassa diam nol melaju dengan kecepatan yang lebih
cepat dari pada kecepatan cahaya, maka ia menabrak partikel-partikel cahaya dan
menyebabkan partikel yang ditabraknya menjadi bergelombang berbentuk lengkunganlengkungan seperti air yang bergelombang itu.

Gambar 6. Peristiwa pembelokan cahaya
Setelah ditinjau dari dua sudut pandang diatas maka dapat disimpulkan bahwa
peristiwa israk mikraj relevan dengan teori relativitas umum.
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan
bahwa perjalanan israk merupakan perjalanan dengan arah horizontal sedangkan perjalanan
Mikraj merupakan perjalanan dengan arah vertikal. Perjalanan israk dan mikraj tidaklah
bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena prinsipnya relevan dengan teori relativitas
umum Einstein. Dikatakan relevan karena Malaikat Jibril tercipta dari partikel cahaya yang
massa diamnya nol (foton). Jika Jibril melaju dengan kecepatan yang lebih cepat dari pada
kecepatan cahaya maka ia akan menabrak partikel-partikel cahaya di sekitarnya dan
menyebabkan partikel-partikel tersebut bergelombang. Gelombang tersebut kemudian akan
mempercepat laju malaikat Jibril tersebut.
Saran
Untuk Pengembangan lebih lanjut, peneliti menyarankan kepada pembaca untuk
menganalisa kesesuaian Peristiwa Israk Mikraj dengan meninjau penafsiran kendaraan yang
disebut “Buraq”.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 2001. Ilmu Pendidikan. PT Rineka Cipta : Jakarta.
Anugraha, Rinto. 2011. Pengantar Teori Relativitas dan Kosmologi. Gajah Mada University
Press : Yogyakarta.
Asri, Nurul. 2013. Visualisasi Efek Relativistik Pada Gerak Pelanet. Jurnal Prisma Fisika.
Vol.1, No.1.
Beiser, Arthur. 1987. Concepts of Modern Physics, Fourth Editon. Diterjemahkan oleh Liong,
The How dalam judul Konsep Fisika Modern Edisi Keempat. Erlangga : Jakarta.
Departemen Agama RI. Al-Qur’anul dan Terjemahnya. Syamil Qur’an.
Gottchalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. UI-Press : Jakarta.
Hilda, Lelya. 2014. Hubungan Peristiwa Israk Mikraj dengan Teori Relativitas Einstein.
Jurnal Logaritma Vol. 11, No 01. Edisi Khusus Desember.
Ismaun. 2005.Pengantar Ilmu Sejarah. Jurusan Pendidikan Sejarah : Bandung.
Krane, Kenneth. 1992. Fisika Modern. UI-Press. Jakarta.
Majid, Abdul Dkk. 2002. Mukzizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Tentang Iptek. Gema Insani
Press : Jakarta.
Misbakhudin. 2012. Isra’ Mi’raj Sebagai Mukzizat Akal. Jurnal Religia Vol. 15, No.1, Edisi
Khusus April.
Muhammad bin Mukarram bin Manzur. Lisan al-‘Arab Juz 14. Beirut : Daar Shair.
Muhammad Quraysihab. 1996. Membumikan Al-Qur’an Cetakan ke-13. Mizan : Bandung.
Ningsih, Urai Astri Lidya Dkk. 2013. Analisis Lintasan Foton dalam Ruang-Waktu
Scwarzschild. Jurnal Prisma Fisika. Vol.1. No.1.
Purwanto, Agus. 2010. Isra’ Mi’raj Teori Kecepatan Cahaya dan Terapi Kejiwaan. Lensa
Utama : Surabaya.
Rachmat Taufik Hidayat. 1996. Khazanah Istilah al-Qur’an Cetakan ke-4. Mizan : Bandung
Sabir, Raja Irfan Dkk. 2014. Curtural Paradigms and Muslim Behavior: a Critical analyses
of non-Islamic Festival in Pakistan. Journal of Islamic Studies and Culture. Vol.2,
No.2.
Said, Arsyad. 2013. Peristiwa Isra Mi’raj Mempengaruhi Lahirnya Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. Jurnal Sains & Teknologi. Vol.15, No.1.

Sari, Ramadhanita Mustika. Ambivalensi Integrasi Ilmu Agama dan Sains: Studi
Transformasi Konflik dan Konsesus Pengaruh Ilmu Agama terhadap Perkembangan
IPTEK di Zaman Modern.
Sjamsudin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Ombak : Yogyakarta.
Syarbini, Amirulloh dan Jamhari. 2012. Kedahsyatan Membaca Al-Qur’an. Ruang Kata :
Bandung.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 7,
Vol 13. Lentera Hati : Jakarta
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Djambatan :
Jakarta.
Tim Penyusun. 2012. Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen-teori, Praktik dan Riset Penidikan. PT Bumi Aksara :
Jakarta.