PENYELESAIAN PERMASALAHAN PENGUNGSI MEDI santoso

PENYELESAIAN PERMASALAHAN PENGUNGSI MEDITERANIA
SELATAN TERHADAP UNI EROPA
(Nanda Dwi Haryanto/ Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret/
harydwi96@gmail.com)
Ringkasan
Pengungsi pada dasarnya adalah orang yang meminta perlindungan kepada
negara lain karena mereka merasa terancam atas kondisi negaranya. Konflik
yang terjadi di Mediterania Selatan merupakan awal terjadinya permasalahan
pengungsi ini. Pengungsi yang berasal dari Mediterania Selatan yang meminta
perlindungan ke Eropa mendapat tanggapan yang negatif oleh negara-negara
Uni-Eropa. Sengketa kewenangan yang terjadi antara negara Eropa yang jumlah
penerimaan pengungsi tidak sama memaksa Uni Eropa turun tangan membuat
organisasi bernama EASO yang khusus menangani masalah penguungsi.
sehingga permasalahan pengungsi ini tidak hanya ditanggung oleh negara yang
menerima pengungsi tersebut, melainkan tanggung jawab bersama negaranegara Uni-Eropa.
Keyword: EU, Refugees, Asylum Seeker, Southern Mediterranean.
A. Latar Belakang
Pengungsi merupakan suatu status yang diakui oleh hukum internasional.
Seseorang yang telah diakui sebagai pengungsi akan menerima kewajiban yang
ditetapkan serta hak-hak yang diakui oleh hukum internasional dan hukum
nasional. Seorang pengungsi adalah sekaligus seorang pencari suaka, sebelum

seseorang diakui statusnya sebagai seorang pengungsi, pertama-tama dia adalah
seorang pencari suaka.1 Pengungsi merupakan orang yang berada di luar negara
asalnya atau tempat tinggalnya. Mereka mempunyai dasar ketakutan yang sah
1 Hamid Sulaiman, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 40.

akan diganggu keselamatannya sebagai akibat dari kesukuannya, keagamaannya,
kewarganegaraannya, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat
politik yang dianutnya. Serta tidak mampu atau tidak ingin memperoleh
perlindungan bagi dirinya dari negara asalnya tersebut, ataupun kembali kesana
karena kekhawatiran keselamatan dirinya2.
B. Permasalahan
Uni Eropa sedang menghadapi krisis pengungsi terbesar sejak akhir Perang
Dunia II. Arus migrasi meningkat secara signifikan pada tahun 2014, terutama
melalui rute Mediterania bagian tengah. Pada tahun 2015 seperti terlihat drama
yang menjengkelkan terhadap situasi tersebut. Angka yang melewati Uni Eropa
yang dikenal sebagai rute Mediterania bagian timur mencapai 182.740. angka
yang cukup besar jika dibandingkan dengan tahun 2014.3
Pencari suaka, sebagaimana disarankan, merupakan bagian yang relevan
dari arus migrasi Laut Tengah. Menurut UNHCR, 50% dari kedatangan dari Laut

Tengah terdiri dari orang Suriah dan Eritrea, yang dikenal sebagai orang yang
memerlukan perlindungan.4 Pada tahun 2013, Syiria menjadi negara yang pertama
dari pencari suaka yang asli di 44 negara industry di Eropa, Amerika Utara, dan
Asia Pasifik5.
Eropa berada dipersimpangan jalur imigran, Sejak 2011, peningkatan
kedatangan imigran gelap dan pengungsi hanya menyoroti kekacauan dari migrasi
tersebut dan politik pengungsi.6 Desain migrasi transregional dan pemerintahan
pengungsi sangat dipengaruhi oleh politik internal dan kompetensi hukum Uni
2 Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, (Jakarta: PT Sinar Grafika,
2012), hlm 69.
3 European Commissions, “Addressing the Refugee Crisis in Europe:
The Role of EU External Action”, High Representative of The Union for Foreign
Affairs and Security Policy, 40, (Brussels, September 2015), hlm 2.
4 Emanuela Roman, “Mediterranean Flows into Europe. Refugees or
Migrants?”, University of Palermo, hlm 2.
5 Nicole Ostrand, “The Syrian Refugee Crisis: A Comparison of
Responses by Germany, Sweden, the United Kingdom, and the United States”,
Jurnal on Migration and Human Security, Center the Migration Studies Of New
York, 3:3, (New York, 2015), hlm. 257.
6 Sarah Wolf, “Migration and Refugee Governance in the

Mediterranean: Europe and International Organizations at a Crossroads”, NewMed Research Network, Istituto Affari Internazionali, 15:42, (2015), hlm. 3.

Eropa. Meskipun undang-undang migrasi yang disusun antara Parlemen Eropa
dan Dewan Uni Eropa tetap berada dibawah kontrol negara anggota Uni Eropa.
Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa tetap melakukan pembatasan karena
mereka memiliki hak untuk menentukan kriteria bagi pendatang dari negaranegara ketiga (Pasal 79 Treaty on the Functioning of the Europe Union). 7
Kedatangan para pengungsi di Mediterania Selatan di Uni Eropa
mendapatkan tanggapan yang bermacam-macam tanggapan dari negara Uni
Eropa. Perlakuan cara penerimaan pengungsi di negara Uni Eropa itupun berbeda.
Kedatangan pengungsi ini berdampak negatif bagi negara-negara Uni Eropa yang
dituju pengungsi. Terutama bagi negara-negara Uni Eropa yang berada di kawasan
pantai yang lebih mudah dicapai pengungsi.8.
Dampak pengungsi terhadap negara-negara Uni Eropa mencakup hampir semua
bidang seperti, ekonomi, sosial dan Politik. Dampak secara ekonomi contohnya
terjadi di Yunani, negara yang berjuluk negara para dewa itu, berbatasan langsung
dengan laut Mediterania. Yunani harus menanggung beban atas adanya para
pengungsi di negaranya. Pemerintah Yunani tampaknya tidak mampu memenuhi
kebutuhan para pengungsi yang paling mendasar, seperti tempat tinggal, makanan dan
minuman serta perlindungan, karena pada tahun 2011 Yunani dalam keadaan krisis.
Berdasarkan Perjanjian Dublin II negara yang menjadi tujuan pengungsi bertanggung

jawab atas proses suaka.9
Dampak politik atas adanya pengungsi terjadi di Italia. Dimana Italia yang
mendapatkan dampak langsung pengungsi terutama pengungsi dari Libya,
mengeluarkan kebijakan dengan membiarkan para pengungsi untuk memasuki
wilayah Uni Eropa. Bahkan pemerintah Italia memberikan visa Schengen kepada para
pengungsi. Sehingga menimbulkan masalah baru bagi negara-negara anggota Uni
Eropa yang lain. Negara-negara besar seperti Prancis, Jerman dan Inggris sangat
menentang kebijakan yang diambil pemerintah Italia. Karena ketiga negara tersebut
merupakan tujuan yang paling banyak didatangi oleh para pengungsi karena negara
7 Ibid., hlm. 6.
8 Ani Kartika Sari, “Upaya Uni Eropa Dalam Menangani Pengungsi dari
Negara-Negara Mediterania Selatan di Kawasan Eropa”, Jurnal Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, 3:3,
(Samarinda: 2015), hlm. 548.
9 Ibid.

tersebut merupakan negara kaya di Uni Eropa. Adanya permasalahan tersebut Uni
Eropa selaku organisasi tertinggi Eropa melakukan beberapa upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Seperti kasus pengungsi di Yunani, Uni Eropa membentuk
badan urusan suaka yang disebut EASO (European Asylum Support Office) Badan ini

membantu negara-negara penerima pengungsi untuk menangani pengungsi secara
layak, termasuk pengungsi anak-anak yang tidak memiliki pendamping.10
Italia merupakan tempat masuk para pengungsi Mediterania Selatan ke
kawasan Eropa, berdasarkan data Frontex sejak awal gelombang pengungsi pada
tahun 2010 dikawasan Eropa, Italia sudah menampung sekiar 10 ribu pengungsi.
Pengungsi tersebut sebagian besar berasal dari Tunisia dan Libya. Hampir setiap hari
di kepulauan Lampedusa pengungsi terus berdatangan, sehingga Italia tidak mampu
menampung para pengungsi tersebut. Untuk mengurangi dan mempercepat proses
pendataan pengungsi pemerintah Italia memberikan visa Schengen kepada para
pengungsi tersebut. Namun kebijakan pemerintah Italia yang memberikan visa
Schengen kepada para pengungsi tersebut mendapat kritikan dari negara Uni Eropa
yang lain. Akibatnya masalah pengawasan perbatasan menjadi bahasan para menteri
dalam negera- negara Uni Eropa. Sejak Italia memberikan ijin kepada para pengungsi
Mediterania Selatan untuk bergerak bebas di kawasan Schengen. Banyak negara yang
memperketat keamanan perbatasan di negara mereka, contohnya Jerman dan Prancis,
guna mengamankan dan menghindari banyaknya pengungsi yang masuk kedua
wilayah negara tersebut mereka mengerahkan petugas bea cukai dan polisi perbatasan
untuk melakukan pengawasan perbatasan.
Berbeda dengan Italia yang memberikan visa Schengen kepada para pengungsi
untuk mengurangi jumlah pengungsi di negaranya. Dalam membendung gelombang

pengungsi yang terus masuk kewilayahnya, pemerintah Yunani membangun dinding
berduri di wilayah perbatasan. Pemerintah Yunani berusaha untuk menutup
perbatasannya tidak hanya dengan cara peningkatan pengawasan perbatasan dan
pembangunan pagar berduri, tetapi terkadang juga dengan cara yang lebih keras yaitu
dengan cara, mendorong pengungsi untuk kembali ke Turki. Sehingga tindakan yang
dilakukan Yunani ini mendapatkan kecaman dari Amnesti Internasional, yang
menganggap tindakan pemerintah Yunani telah melanggar Hak Asasi Manusia
10 Ibid., hlm. 549

Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut UE sebagai induk pemerintahan di
Eropa melakukan langkah-langkah strategis untuk membantu menangani masalah
pengungsi di negara anggotanya. Langkah awal yang dilakukan oleh Uni Eropa yaitu
membentuk suatu sistem perlindungan pengungsi yang teritegrasi di seluruh anggota
Uni Eropa, hal ini dilakukan supaya permasalahan pengungsi tidak hanya menjadi
beban atau permasalahan bagi negara penerima saja namun juga tanggung jawab
regional.
Permasalahan pengungsi dari Mediterania Selatan merupakan masalah
Regional Eropa bukan hanya masalah satu, dua negara Eropa saja. Untuk itu Uni
Eropa membentuk European Asylum Support Office (EASO), organisasi ini dibentuk
untuk melindungi dan menangangi masalah pengungsi di kawasan Eropa. Tidak

meratanya jumlah pengungsi di setiap negara Eropa menjadi pekerjaan EASO. EASO
bekerjasama dengan negara asal dan negara ketiga untuk merelokasi pengungsi. Hal
ini dilakukan supaya pengungsi mendapatkan penanganan yang tepat. Selain itu juga
permasalahan finansial negara penerima menjadikan alasan dilakukannya relokasi
pengungsi.11

C. Analisis
Seperti yang kita ketahui, pengungsi merupakan warga suatu negara yang
melarikan diri dari negaranya karena merasa tidak aman. Kasus migrasi ini
menurut saya merupakan kasus transnasional atau kasus lintas batas karena dalam
hal ini menyangkut migrasi, warga negara yang keluar dari wilayah negaranya
karena merasa kondisi negaranya tidak aman. Orang atau warga negara yang
berasal dari Mediterania Selatan yang wilayahnya konflik sehingga mereka
merasa terancam kehidupannya kemudian melarikan diri ke Eropa, mereka
memandang bahwa Eropa karena kuat dalam bidang ekonomi.
Uni Eropa dalam hal ini Yunani dan Italia yang merupakan negara dengan
penerima pengungsi terbanyak merasa bahwa mereka menanggung biaya yang
cukup banyak untuk memenuhi kehidupan ekonomi para pengungsi. Sebenarnya,
jika tindakan Yunani yang mengusir para pengungsi dan Visa Schegen yang
dikeluarkan oleh Italia bermaksud agar pengungsi dapat memasuki wilayah

schegen, sehingga memiliki wilayah yang lebih luas untuk memasuki wilayah
11 Ibid., hlm. 553

Uni Eropa. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan oleh Italia dan Yunani
menyalahi aturan hukum Internasional Pasal 33 Konvensi 1951, dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa setiap negara dilarang mengusir dan mengembalikan
para pengungsi yang memohon perlindungan. Dari hal tersebut jelas terlihat
bahwa Yunani dan Italia melakukan international wrongful act Selain itu terdapat
prinsip non-Refoulment yang terdapat dalam pasal 3 Konvensi 1951, bahwa setiap
pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negaranya selama masih ada ancaman
yang membahayakan dirinya.
Selain itu, bahwa menurut Deklarasi tahun 1967 menentukan bahwa para
pemohon suaka tidak boleh ditolak di perbatasan, ataupun telah memasuki
wilayah suatu negara untuk memohon suaka dipulangkan secara paksa ke Negara
dimana ia mungkin akan mengalami suatu persekusi, kecuali dengan alasan
keamanan nasional ataupun untuk menyelamatkan bangsa.12 Dalam hal ini
tindakan yang dilakukan oleh Italia maupun Yunani menyalahi aturan tersebut.
Uni Eropa sebagai organisasi regional yang menaungi negara-negara di
Eropa ikut turun tangan dalam hal ini, agar memberi kepastian hukum dalam
menerima pengunngsi. Uni Eropa selaku organisasi regional eropa melakukan

langkah-langkah strategis untuk membantu menangani masalah pengungsi di negara
anggota. Yaitu melalui pembentukan EASO (European Assylum Support Office) agar
permasaahan pengungsi tidak hanya menjadi beban atau permasalahan bagi negara
penerima namun juga tanggung jawab regional.
D. DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Sulaiman, Hamid. 2002. Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Wagiman. 2012. Hukum Pengungsi Internasional. Jakarta: PT Sinar Grafika.

12 Achmad Romsan, Usmawadi, dkk. Pengantar Hukum Pengungsi
Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan
Internasional. (Bandung: UNHCR Regional Representation Jakarta in Republic
Indonesia, 2003), hlm. 95.

Romsan,

Achmad.

Usmawadi,


dkk.

2003.

Pengantar

Hukum

Pengungsi

Internasional. Bandung: UNHCR Regional Representation Jakarta in Republic
Indonesia.
Jurnal:
Roman, Emanuela. “Mediterannean Flows into Europe, Refugees or Migrants?”.
University of Palermo.
Ostrand, Nicole. 2015. “The Syrian Refugees Crisis: A Comparison of Responses by
Germany, Sweden, the United Kingdoms, and the United States”. New York:
Jurnal on Migration and Human Security, Center the Migration Studies of New
York 3(3).

Wolf, Sarah. 2015. “Migration and Refugees Governance in the Mediteranian;
Europe and International Organizations at a Crossroads”. New-Med Research
Network, Instituto Affari Internazionali 15(42).
Sari, Ani Kartika. 2015. “Upaya Uni Eropa Dalam Menangani Pengungsi dari
Negara-Negara Mediterania Selatan di Kawasan Eropa”. Jurnal Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Mulawarman 3 (3). Samarinda: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.